Asap itu melesat masuk ke dalam mulut Irfan yang terbuka. Sebentar, tubuh Irfan gemetaran menerima wujudnya. Irfan memejam, dan saat membuka kelopak, seluruh bola matanya hitam pekat sebelum kembali normal.
Irfan berdiri. Dia menyeringai.
"Khh—hahaha!"
***
Hari sudah menjadi malam. Hujan deras sudah lelah mengguyur permukaan bumi, dia pergi setelah selesai menangis. Jam dinding di kamar Aisu menunjukkan pukul sepuluh malam. Seperti biasa, gadis itu belum juga tidur.
Bisa jadi, hari yang sudah hampir di ujung malam ini terlalu sore bagi Aisu untuk tenggelam dalam mimpi. Di depan PC mahal hasil rakitannya sendiri, Aisu melarutkan diri dalam salah satu program desain 3D.
Sudah dua jam berlalu dia berkutat di depan monitor, mencocokkan desain bangunan dalam komputernya dengan desain di kertas A2 yang tadi dibawanya kuliah.
Hampir dua jam pula Aisu bersungut-sungut, memaki Pak Hiroki yang menolak hasil rancangannya itu. Aisu mengatainya sombong, tak punya toleransi, terlalu ketat, hingga segala macam nama hewan keluar dari mulutnya.
Amarah sudah terlalu menguasainya, Aisu jadi tak bisa berpikir jernih. Mungkin, dia malah merasa kalau makiannya itu cocok untuk Pak Hiroki. Toh, Aisu rasa dia takkan kualat jika mengatai atau berbicara hal buruk tentang Pak Hiroki di belakang.
Dosen keturunan Jepang itu tidak terlalu tua. Tiga puluh dua, di negeri Sakura, masih bisa dibilang muda untuk pria seukurannya. Meski Aisu lebih sering menganggapnya bapak-bapak, tapi Aisu tak bisa bersikap sopan kepada Pak Hiroki.
Aisu ikut dengan orang-orang negeri Sakura: menganggap Pak Hiroki masih muda. Dan mengatai pria muda, Aisu yakin dirinya takkan dikutuk Kami-sama.
Aisu merebahkan dirinya pada sandaran kursi, menunggu hasil render-nya selesai. Dia menatap ke langit-langit. Kamarnya yang gelap, yang pencahayaan di sana hanya berasal dari lampu LED RGB di belakang monitor PC-nya, membuat pikirannya jungkir balik.
Mula-mula, dia memikirkan Pak Hiroki. Amarahnya lantas meroket ke ubun-ubun. Lalu, kelebat Mindy melintas dalam benaknya, menambah rasa sebal dalam hati. Tapi segera pergi karena telah mendapatkan maaf dari Mindy, dan lagi, Mindy tak sepenuhnya salah. Aisu ikut campur tangan dalam menggiring obrolan itu.
Hingga pikirannya jatuh ke panggilan telepon tadi sore, wajahnya berubah muram.
Ting-nung!
Program desain 3D itu sudah selesai me-render hasil rancangan desain miliknya. Aisu duduk tegak, matanya tak berkedip menatap monitor. Pikirannya pergi dari tempurung kepala, berterbangan di langit-langit kamar.
Erika? Tanpa 'Bu'... apa artinya?
Hening malam di perkompleksan rumahnya, membuat pikiran Aisu berlarian liar. Biasanya, hening macam ini adalah hening yang Aisu suka: di saat tetangga-tetangga yang Aisu tak kenal terlelap, hening yang tercipta membawakan ketenangan dan melahirkan inspirasi bagi Aisu untuk mengerjakan tugas-tugas desainnya.
Namun, Aisu tak menyukai hening malam ini. Tenang yang dibawa hening malam ini terasa memampatkan pikirannya. Aisu tak bisa memikirkan tugas-tugas atau amarah besarnya terhadap Pak Hiroki sekali pun. Sebab, satu-satunya hal yang dia cemaskan adalah lelaki di seberang telepon yang memanggil Mama tanpa sematan 'Bu'.
Malam adalah waktu bagi Aisu untuk hidup dalam dunianya. Malam adalah hidup dan kesehariannya. Dan dia terfokus pada hal itu setiap hari. Tapi jika malam membunuh ketenangannya dengan mendatangkan pikiran-pikiran muram, bagaimana Aisu bisa bertahan hingga pagi datang?
"Ah! Tahu, lah!"
Aisu bangkit dari kursi model kantornya, mematikan layar monitor, lalu pergi keluar kamar. Mungkin, menenggak kopi instan dingin bisa membuat pikiran-pikiran muram itu terbang ke luar rumah, menyatu dengan titik-titik air yang jatuh dari atap lalu terserap hilang ke tanah.
Aisu keluar kamar. Saat kakinya ingin menuruni anak tangga, Aisu melihat pintu di sebelah kamarnya terbuka, pertanda Papa sedang lembur di ruang kerja.
Es kopi instan yang menunggu untuk diseduh di bawah, Aisu lupakan. Aisu terlalu tertarik dengan apa yang papanya kerjakan, terutama hal-hal berbau arsitektur dan segala desain rancangan Papa. Makanya, apa yang tengah Papa kerjakan sekarang, lebih menarik daripada apa pun di dunia.
Aisu mengintip Papa dari celah pintu yang terbuka. Papa tengah duduk di depan PC, tampak fokus hingga tak sadar kalau Aisu mengetuk pintu. Dan karena Papa tidak menyahut, Aisu memutuskan untuk masuk tanpa permisi. "Pa?"
Aisu membiarkan pintu kamar yang diubah menjadi kantor pribadi Papa itu terbuka sedikit. Dilihatnya, Papa tengah menatap monitor serius sekali. Aisu mendekat, hendak mencuri pandang pada proyek desain arsitektur Papa. Karena siapa tahu, Aisu akan mendapatkan ide dari desain papanya. Ya, meski itu adalah satu kebiasaannya yang Papa tidak suka.
Wajah Aisu semringah, dia mengendap-endap ke belakang Papa, ikut melihat layar monitor yang papanya pelototi lekat-lekat sampai tak sadar kalau anak gadisnya sudah ada di belakangnya. Namun, Aisu yang tadinya berniat mengageti Papa setelah mengintip desainnya, malah terdiam.
Seperti Papa, Aisu melihat layar monitor lekat-lekat. Di monitor, Papa memainkan galeri dalam mode slideshow, tampak satu per satu foto di sana ditampilkan dan lantas berganti setiap dua detik.
Aisu melihat foto-foto Papa dan Mama waktu muda dulu. Mulai dari acara wisuda Papa dan Mama yang berdiri di sebelahnya, foto pernikahan keduanya, Papa dan Mama yang berfoto di belakang pantai, sampai foto Mama menggendong seorang bayi—yang Aisu tebak adalah dirinya.
Aisu menyengir melihat Papa yang sedang mengenang masa lalu di tengah jam lemburnya. Papa jadi macam seorang lelaki yang tengah merindukan pacarnya yang berada jauh di negeri seberang, dan hanya bisa menatap wajahnya melalui foto—walau nyatanya Mama ada di lantai satu.
Lihat saja sekarang. Papa berwajah sendu sambil mengembuskan napas berat, macam remaja labil yang galau tidak bisa bertemu pacarnya. Aisu menyembunyikan tawanya, dia antusias ingin mengagetkan Papa dengan menepuk pundaknya dan berteriak dorrr! sekencang-kencangnya, seperti waktu Aisu kecil dulu.
Dulu, waktu Aisu masih kecil, karena Papa terlalu menyukai pekerjaannya dan terlalu fokus pada itu setiap waktu, Mama selalu menyuruh Aisu mengajak Papa turun untuk makan malam bersama.
Berkali-kali dipanggil, Papa tak juga turun. Dan karena salah satu permainan kesukaan Aisu waktu itu adalah petak umpat, Aisu akan mengagetkan Papa di tengah fokusnya pada monitor.
"Dorrr!" ucap Aisu kecil dulu.
Tentu Papa tidak kaget. Papa malah merasa gemas dengan suara anaknya. Aisu yang terkekeh, membuat Papa mengamini panggilan Mama di bawah yang menyuruhnya makan malam bersama.
Kenangan itu tiba-tiba saja mendatangi Aisu yang tengah berpose hendak mengagetkan Papa dari belakang, seperti waktu kecil dulu.
Aisu tersenyum lebar, seolah tahu kalau kali ini Papa akan betulan kaget, atau bahkan terjungkal.
1...
2...
Aisu berhitung dalam hati, wajahnya semringah betul menanti reaksi Papa.
Namun, saat angka tiga dia sebut dalam hati, dan kedua telapaknya hendak mendarat pada pundak papanya, bersamaan dengan itu, Aisu malah terkejut dengan kalimat Papa.
"Erika… cintanya... sudah habis."
***
Sepeda gunung yang dikendarainya tibai di pekarangan rumah hampir pukul sebelas malam. Deka memarkirkan sepeda di garasi, lalu mengendap masuk ke dalam rumah setelah menyelot pagar.
Untungnya, pintu rumah belum dikunci. Karena mengetahui rumah dalam keadaan sepi, dan kemungkinan Bunda dan Ayah sudah tidur, Deka menjadi lebih khawatir pada dirinya sendiri.
Ruang keluarga yang merangkap jadi ruang tamu, gelap. Deka tak bisa melihat jalan menuju kamarnya, dia tidak ingat, meski sudah delapan belas tahun hidup di sana.
Deka meraba dinding, mencari saklar lampu. Merasa menyentuh sesuatu, Deka menekannya. Lampu terang ruang tamu-keluarga itu lantas menyala—
"Habis dari mana?"
"UWAAAAAH!!"
—tapi Deka tak bisa memprediksi apa yang ada di depannya.
"Jangan berisik."
Diksi, abangnya, mendadak muncul tepat di depan wajah sesaat lampu Deka nyalakan, membuat Deka terkejut setengah mati.
"Abang sendiri ngapain, sih?! Bikin orang jantungan saja!" Deka memeluk helm erat-erat, menjaga dadanya agar tak meledak hingga isinya berhamburan keluar.
Duh, berlebihan sekali.
Deka berjalan menuju dapur, Diksi mengikutinya di belakang, membuat Deka sebal karena perilaku abangnya itu mengingatkannya pada tingkah Irfan barusan.
"Kutanya, habis dari mana?"
"Pulang kerja. Memangnya dari mana lagi?"
"Kenapa sampai malam?"
"Kafenya ramai."
"Tumben?"
"Soalnya hujan."
"Terus?"
Deka menoleh pada abangnya. "Ya sudah, hujan. Apanya yang terus?"
"Kenapa bisa ramai?"
Pertanyaan itu membuat Deka mengernyit. "Karena hujan."
"Terus?"
"Apanya yang terus?!" Deka bersungut.
Diksi menarik kursi, dia menggeleng. "Bodoh banget, sih. Kamu keturunan siapa, sampai berpikir turunnya hujan memengaruhi banyaknya pel4nggan di kafe?"
"Karena hujan, banyak orang jadi meneduh di kafe! Makanya kafe jadi ramai! Hujan juga lama berhentinya, bikin kafe belum bisa ditutup karena masih ada pel4nggan di dalam! Duh, bodoh banget, sih?!"
Selepas meniru nada Diksi, Deka mengambil gelas, menampungkannya di bawah dispenser, lalu meneguk air mineralnya sampai habis.
Berbeda dengan Deka, Diksi tampak tak terganggu oleh kalimat adiknya. "Deka… Deka…. Kalau mau bohong, bikin alasan yang lebih rasional, lah. Kayak anak SD saja, kecil-kecil sudah pintar bohong, tapi tidak pintar cari alasan."
"Siapa yang bohong? Aku benaran habis pulang kerja dari kafe! Tanya bosku sana! Memangnya aku Bang Diksi, yang sekalinya main sampai tidak ingat rumah?"
Diksi menaikkan kedua bahu. "Lempar batu sembunyi tangan."
Deka memelototi abangnya. Rasanya Deka ingin melempar helm sepeda yang dipegangnya itu ke muka Diksi, atau kalau perlu dengan sepedanya saja sekalian.
Abangnya itu selalu cari gara-gara dengannya, selalu menyudutkannya untuk hal-hal kecil sekali pun.
Diksi tidak membiarkan Deka menang, tidak pula menerima pengakuan kalah adiknya demi menjaga ketentraman rumah. Pokoknya, Diksi itu tidak pernah bisa meninggalkan adiknya dalam diam.
"Dasar pengangguran!"
Dan kalau Deka sudah mengeluarkan kata terlarang itu, Diksi yang setiap waktu berwajah tenang walau mulutnya tajam, langsung mengubah air mukanya menjadi macam pria dewasa yang nama bapaknya diteriakkan oleh segerombolan anak kecil: sangat marah.
Apa yang terjadi selanjutnya membuat Bunda dan Deril keluar kamar, menghampiri mereka.
"Deka, kenapa teria— ya ampun!" Bunda menepuk-nepuk Deril. "Der, tolong itu pisahkan adikmu sama abangmu!"
"Deka! Bang Diksi! Kenapa ribut terus, sih?!" Deril menuruti Bunda, dia memisahkan keduanya, menarik Diksi ke sudut satunya, sedang Deka berdiri di sebelah Bunda.
"Bang Diksi tuh, Bang! Deka baru pulang kerja malah dikira bohong!"
"Memang benar kan, buktinya kamu pulang hampir tengah malam begini? Ke mana lagi kalau bukan ngeluyur?"
"Bang Diksi." Deril menyentuh pundak abangnya, berharap Diksi mau berhenti.
"Apaan sih, Bang Diksi! Sudah dibilang kafenya ramai karena hujan!"
"Tuh kan, bohong. Hujan, kafe, dan kamu yang telat pulang itu di mana sangkut pautnya? Kecil-kecil tukang bohong."
"Kan aku sudah bilang kalau—"
"Sudah, Deka." Bunda menepuk kepalanya. "Sudah malam, jangan gaduh-gaduh. Nanti mengganggu tetangga. Nah, makan dulu. Habis itu cuci muka saja, ganti baju, tidak usah mandi, sudah malam. Deril, tolong ajak Diksi."
Deril mengangguk. "Ayo, Bang."
Diksi mengembuskan napas, wajahnya sudah tampak lebih tenang. Seraya pergi dari dapur, Diksi masih tak mau kalah dari adiknya. "Pengadu."
"Diksi." Bunda memberi peringatan.
"Eh, bercanda kok, Bun." Diksi menyengir, lantas hilang dari pandangan dibawa Deril.
"Pengangguran."
"Deka." Bunda melototi Deka, sedang si anak bungsunya salah tingkah, tak menyangka Bunda dapat mendengar gumamannya.
"Cepat makan dulu, sudah malam."
Bunda menarik kursi untuk Deka, lalu membuka tudung saji, menyodorkan lauk ini-itu ke dalam piring penuh nasi yang Deka ambil.
"Tumben sampai malam, Deka? Bunda sama Ayah menunggu kamu buat makan malam bersama, tapi tidak pulang-pulang." Bunda ikut penasaran sembari memberikan segelas air putih.
Deka menelan sesendok nasi ayam gorengnya. "Tadi hujan, Bun. Kafenya jadi ramai karena banyak orang yang datang buat meneduh. Pas sudah waktunya tutup, pel4nggannya belum pergi juga, jadi harus menunggu sampai sepi baru bisa tutup."
Bunda yang duduk di samping, menatap Deka, menaruh curiga.
"Benaran kok, Bun! Deka tidak main ke mana-mana kayak Bang Diksi! Masa, Deka bohongin Bunda? Mana berani? Nanti Deka malah kualat."
Bunda tertawa kecil. "Iya, Bunda percaya. Lagi pula, kamu yang naik sepeda begitu mau main jauh ke mana? Deka kan, tidak tinggi, mana kuat mengayuh sepeda jauh-jauh?"
"Bunda…." Deka merengek. "Masa, Deka dibilang pendek?"
"Lho, Bunda kan, bilangnya Deka tidak tinggi, bukan pendek?"
"Tapi kan, sama saja."
Bunda menepuk kepala anak bungsunya sambil terkekeh geli. "Sudah, cepat habiskan makanannya biar cepat tambah tinggi."
"Tidak berpengaruh, lah, Bun."
Obrolan itu habis seraya dengan Bunda yang bangkit merapikan meja makan. Bunda bergerak ke wastafel, memindahkan piring-piring dan gelas bersih ke dalam rak. Deka menawarkan bantuan, tapi Bunda menyuruhnya untuk cepat menghabiskan nasinya dan segera tidur.
"Ayah ke mana, Bun? Sudah tidur?"
Nasi berlauk ayam goreng dan sambal bawangnya sudah habis, Deka lalu membawa piring bekasnya ke wastafel untuk dicuci, tak membiarkan Bunda mengambil alih kerjaannya. Bunda pun akhirnya digiring Deka ke ruang keluarga.
"Ayah meronda."
Bunda berfokus menonton berita malam di tv. Deka duduk di depan Bunda, membuka toples kerupuk pasir dan memakannya.
"Meronda? Bukannya Bang Diksi atau Bang Deril yang mesti meronda, Bun? Kan, sudah biasanya begitu. Lagian, di pos ronda banyak anak-anak Karang Taruna juga."
"Ayahmu disamper Pak RT. Katanya mau mengajak main catur sekalian mendiskusikan sesuatu. Anak-anak Karang Taruna disuruh libur dulu, pos rondanya mau dipakai untuk pertemuan bapak-bapak."
"Eh, catur?" Deka berbinar. Dia langsung menelan habis kunyahan kerupuknya, menutup toples, lalu bersiap keluar rumah.
"Ya ampun, lihat tuh, Deka. Banjirnya sampai sebatas d**a orang dewasa. Syukurlah daerah kita tidak terkena banjir, Deka. Kasihan sekali. Semoga cepat surut."
"Deka mau ikut Ayah ya, Bun!"
Lantas pintu menutup, Deka mengibrit keluar rumah, menyusul Ayah di pos ronda untuk ikut bermain permainan papan kesukaannya.
"Iya." Bunda masih menghadap tv, menonton berita banjir akibat hujan deras di Indonesia bagian timur--
"Eh, apa? Deka? Deka!" Bunda mencari si bungsu yang mendadak hilang dari pandangannya. "Deril! Adikmu pergi lagi!"
***
Pos ronda 3 X 4 itu hampir penuh sesak, ramai oleh bapak-bapak berselendang sarung yang berniat bergadang hingga fajar, demi menjaga perkampungan mereka.
Malam hampir tiba di pucuk, tapi tampaknya pos ronda itu akan semakin ramai saja.
Dan Deka ada di antara para pria paruh baya berperut buncit itu. Dia duduk bersila di depan Pak RT. Dan di antara mereka berdua, terdapat papan catur yang bidak-bidaknya sudah saling tinggal sedikit, pertanda salah satunya akan segera memenangkan permainan hanya dengan beberapa langkah lagi saja.
Ayah ada di seberang, duduk di bangku panjang bersama bapak-bapak lain yang tidak kebagian tempat di dalam pos ronda.
Ayah sudah melipir dengan segelas kopi hitam panas setelah dua kali dikalahkan Pak RT, memilih berbincang tentang burung-burung peliharaan milik Pak Oskar yang semakin hari semakin berisik.
Obrolan itu merambat pada hadiah uang yang berharap akan dibagikan ke bapak-bapak lain jika Pak Oskar memenangkan lomba kicau burung satu kecamatan.
Pak RT, di depan Deka, menggerakkan Ratu Putih-nya tiga langkah ke depan, memakan dua bidak Deka dalam sekali jalan.
"Hahaha. Bagaimana, Mas Deka? Sekarang kamu tidak bisa jalan ke mana-mana. Salah melangkah, rajamu bisa saya skak!"
Sementara Pak RT girang dengan deduksinya, Deka membuat ekspresi serius sembari menganalisis bidak-bidak catur. Dia menjalankan simulasi dalam kepalanya itu, membiarkan Pak RT tertawa menanti kemenangannya.
"Pak RT... Pak RT.... Bapak terlalu fokus untuk menjebak saya pakai ratu Bapak di depan bidak-bidak saya, biar saya terpancing menggerakkan raja, dan dengan begitu Bapak bisa menskak saya, kan?" Deka menggeleng-geleng.
Pak RT melotot melihat langkah yang Deka buat: dia menggerakkan Benteng Putih-nya dua langkah di depan Raja Hitam, membuat Pak RT tak bisa melarikan rajanya, tidak bisa memakan bidak benteng yang mengancam rajanya, juga tidak bisa memblokir ancaman yang ditujukan kepada raja hitamnya.
Mudahnya, permainan ini dimenangkan oleh Deka.
Pak RT berubah kuyu sambil memposisikan kembali bidak-bidak catur dalam satu barisan padu.
"Kamu kecil-kecil kenapa bisa jago main catur sih, Mas Deka? Setiap main catur sama Mas Deka, pasti saya selalu diancam skak sampai tidak tahu cara kabur dari strategi Mas Deka."
Deka menyengir. "Bapak kalau main catur, terlalu mengincar langkah raja saya, sampai melupakan keberadaan benteng dan kuda. Lagi pula, saya tidak pakai strategi kok, Pak RT. Saya cuma menghindar dari jebakan-jebakan Pak RT saja." Jebakan Pak RT, jebakan pemula, sih.
Pak RT menghela napas, "Hhhh... padahal saya sudah bikin jebakan mujarab buat Mas Deka, tapi Mas Deka terlalu jago. Sekali-kali, biarkan saya menang, lah, Mas Deka."
Deka tertawa sopan, sedikit canggung karena tak tahu harus membalas apa. Untungnya, dia diselamatkan oleh notifikasi beruntun dari ponsel di saku celananya.
Ting
Ting
Ting
Ting
"Siapa tuh, Mas Deka? Pacarnya, ya?"
"Izin dulu sama cewekmu, Deka!"
"Jaluk opo pacarmu, Mas? Jaluk k1ss bye?" (Minta apa pacarmu, Mas? Minta k1ss bye?)
"Hahaha." Para bapak-bapak di sana menertawai Deka, senang sendiri oleh anggapan bahwa pesan yang masuk itu memang dari pacar Deka—walau nyatanya bukan.
Sedangkan Ayah, menatap Deka penuh selidik sembari menyecap kopinya.
"B-bukan pacar kok, Pak! Saya harus fokus belajar buat tes masuk kuliah tahun depan, mana sempat mengurusi cewek!"
Deka berdiri, salah tingkah di depan para pria paruh baya yang menganggap omongan Deka hanya sanggahan malu-malu saja. Dia lantas duduk di sebelah Ayah, membiarkan Pak RT bermain dengan bapak-bapak lain.
"Alah, Mas Deka. Sudah besar begitu kalau bukan sibuk dengan cewek, sibuk apa lagi?"
"Hahaha."
"Waduh, Pak Kris sebentar lagi bakal sebar undangan, dong?"
"Jangan lupa undang saya, lho, Pak!"
"Campur sarian tujuh dari tujuh malam ya, Pak!"
"Hahaha."
"Hahahaha."
Deka menggeleng pada Ayah, tidak mengamini terkaan bapak-bapak di sana. Walau begitu, matanya melotot senang saat membaca nama si pengirim pesan: Monalisa.
Deka tak sadar, kalau Ayah diam-diam meliriknya di sela cicipan kopi hitamnya. Deka yang sudah terlanjur senang saat tahu Monalisa belum tidur, segera membuka ruang obrolan.
Monalisa
Oh, kamu kerja di kafe dekat kampus besar itu, ya?
Kebetulan sekali. Aku besok mau mampir di daerah sana. Mau bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.
Boleh. Memang mau bicara apa, Mon?
Deka merasa perutnya geli. Mungkin karena ajakan Monalisa menggelitik hati.
Ting!
Aku mau undang kamu ke pesta pertunanganku. Lebih detailnya, kita ketemu besok siang, ya!
Mata yang berbinar itu, senyum yang menukik itu, hati yang geli itu, lantas jatuh meluruh.