Sinar hangat matahari kembali muncul demi menghibur bumi, setelah dijatuhi tangisan langit di wajah pertiwi. Aroma khas sehabis hujan, menguar dari tanah basah di atas pijakan. Hawa yang terbang di pagi itu terasa sejuk. Namun Deka tampak merajuk.
Hatinya macam tak terpengaruhi kicau burung dan sinar hangat matahari yang menyambutnya dari jendela kamar. Deka terlihat kuyu, walau pakaiannya rapi dan wangi. Dia sudah siap pergi ke toko roti, tapi kakinya enggan sekali mengamini.
"Deka! Sini sarapan dulu!" Panggilan Bunda membuat Deka mau tak mau menurutinya.
Aroma nasi goreng langsung menusuk hidung, kala Deka memasuki teritorial Bunda. Dapur begitu ramai dan berisik. Sedikitnya, pertengkaran kecil kedua abangnya, Diksi dan Deril, juga sambutan hangat Bunda, dapat membawa pergi kemuraman Deka.
"Kenapa kamu? Semalam tidak tidur?"
Ayah, yang wajahnya terhalang oleh bentangan koran, menyelidik Deka. Matanya itu macam dapat melihat menembus lembaran koran saja, membuat Deka mengerjap.
Sungguh. Satu tarikan napas Ayah mampu membuat dapur langsung diterjang keheningan. Dan semua pasang mata, ikut menusuk Deka, melumat wajahnya penuh curiga.
"Enggak, Yah. Deka tidur, kok."
"Bohong, Yah. Semalam dia habis keluyuran, gak tahu ke mana. Masa, jam sebelas baru sampai rumah. Mana ada lembur, yang namanya kerja di kafe? Sudah gitu malah ke pos ronda, bukannya belajar."
"Bang Diksi masih membahas yang semalam? Kubilang, aku habis pulang kerja. Tanya bosku sana, kalau enggak percaya."
"Kurang kerjaan amat."
"Tukang menuduh sembarangan."
"Bang Diksi, Deka," peringat Deril.
"Masih pagi, masa, sudah berantem? Di depan makanan pula. Tidak baik lho, berteriak di depan rezeki. Sudah, ayo makan. Nanti keburu dingin."
Bunda duduk di hadapan Deka, di sebelah Ayah yang berdeham dan melipat korannya.
"Kamu fokus belajar saja. Tidak perlu lagi kerja paruh waktu di dua tempat. Tidak perlu memaksakan diri, kalau memang tidak mampu."
Perkataan Ayah membuat kedua bahu Deka lebur. Dia menunduk. Pandangannya buram, mungkin karena asap yang menguar dari nasi goreng di depan wajahnya.
"Deka bisa, Yah. Deka mampu."
Deka meraih sendok, menyuap nasi goreng buatan Bunda yang pagi ini terasa hambar dengan lahap.
"Ayah." Bunda memanggil suaminya, menggeleng pelan.
"Kapok!"
"Bang Diksi." Deril mendesis pada abangnya.
Meski sedih, tetap saja Deka tidak mau kalah oleh abangnya. Karenanya, si Sulung dan si Bungsu saling melempar tatapan tajam satu sama lain.
Untungnya, yang duduk di sebelah Deka itu Deril, bukan Diksi.
Kalau Diksi mengisi kursi di sebelah Deka, seperti masa ketiga bersaudara itu sekolah dulu, mungkin saja mereka akan berangkat dengan baju seragam yang lecak dan kusut karena berebutan dasi—sebab Diksi lupa di mana menaruh dasinya, dan memaksa Deka memberikan miliknya dengan alasan 'menghormati yang lebih tua'.
Kalau itu terjadi, Deril selalu menjadi penengah bagi keduanya, sebelum dehaman Ayah melabrak telinga. Acara sarapan bersama sudah selesai dengan Deka yang membantu Bunda mengurus cucian piring. Agaknya, dia ingin kabur dari cengkraman mata Ayah.
Sementara Deril berangkat kuliah, Diksi diseret Ayah membetulkan atap rumah yang bocor karena hujan lebat semalam. Begitu Deka sudah siap di depan rumah dengan sepedanya, Bunda menghampirinya dengan wadah makanan di tangan.
"Apa itu, Bun? Bekal?"
"Kue lava cokelat, Deka. Kemarin sore Bunda bikin. Bu Nar bilang, toko kita kurang menu yang ada cokelat-cokelatnya. Kamu bawa ini, tolong kasih Bu Nar, biar dicicip ramai-ramai sama semua karyawan."
"Eh…? Buat Deka mana, Bun?"
Bunda tertawa. "Di kulkas masih ada, kok. Kalau para karyawan bilang enak dan cocok, nanti Bunda dan Bu Nar bakal rilis menu baru."
"Menu baru?" lagi ngetren ya, bikin menu baru di mana-mana? Bingungnya.
"Iya. Tinggal cari wadah yang cantik saja untuk membungkus kuenya."
"Oh, kalau gitu biar Deka temani, Bun."
Bunda meraih tas selempang anak bungsunya. "Iya, Deka." Lantas Bunda membuka tas, menaruh kotak bekal, dan menutupnya kembali.
Melihat Deka menunggunya, Bunda jadi teringat waktu si Bungsu TK dulu. Mungkin sekitar sepuluh tahun lalu, Bunda persis melakukan hal yang sama: memasukkan bekal nasi yang berkali-kali Deka lupakan, sementara anak bungsunya panik, 'Cepat, Bun! Nanti Deka telat! Ditungguin Bu Guru, nih!".
"Kenapa, Bun?" tanya Deka saat mendapati Bundanya tersenyum.
"Gak apa. Sudah, sana berangkat. Hati-hati ya, menyebrangnya. Pelan-pelan naik sepedanya."
"Pasti. Deka berangkat, Bun!" Setelah menyalami tangan kisut Bunda, Deka mengayuh pedal sepeda.
Selepas si Bungsu hilang dari pandangan, senyum Bunda ikut hilang. Wajahnya berubah khawatir.
"Maafkan Bunda, Deka."
Namun tanpa Bunda tahu, di pinggir jalan raya, anak bungsunya juga berwajah sama.
***
Di lain dapur, pada pagi yang sama hangatnya, hening menjadi selimut di atapnya.
Yah, maksudnya bukan senyap. Melainkan, tidak adanya suara yang saling mengisi obrolan pada masing-masing insan.
Mama berdiri di depan kulkas, siap dengan segala kesibukan. Sekaleng s**u bubuk milik Ami di tangan kiri, dan sendok kecil di tangan kanan mengais isi kaleng dan menuangkannya pada gelas kosong.
Dengan ponsel yang menempel di telinga, Mama menerima panggilan dari rekan kantor. Pembicaraannya seputar naskah interview yang mesti dicek kembali, dan perdebatan soal siapa penanggung jawab yang akan mencetaknya ke dalam majalah.
Papa, tak jauh bedanya dengan Mama. Gawai lebar di atas meja lebih menarik daripada roti panggang stoberi yang dibuatkan istrinya.
Harum kopi yang menguar bersamaan dengan uap panasnya juga tak disentuh. Papa lebih asyik menggoreskan layar gawai dengan pen pasangannya, demi merevisi rough sketch rancangan proyek bangunan.
Dan telinganya itu disumpal earbuds, menerima perintah sang klien di seberang telepon, tidak menanggapi panggilan gadis ciliknya.
"Papa! Papa!"
Aisu menghela napas, kedua bahunya kuyu. Bukan karena pemandangan yang sudah biasa di depannya, tapi karena buah kepalanya semalam.
Aisu jadi kepikiran tentang telepon kemarin sore, juga maksud kalimat Papa tentang Mama semalam.
Saking tidak ingin membuat Papa khawatir jika anak perawannya mendengar ucapannya semalam, Aisu berdalih ingin mencuri desain Papa, hingga nekat masuk sembunyi-sembunyi ke dalam kantor pribadinya.
Ancaman pemotongan uang bulanan, sungguh lebih baik daripada harus dicurigai mendengar sesuatu yang seharusnya tak Aisu tahu.
Dan melihat keduanya belum saling bicara sedari tadi, sudah cukup membuat prasangka Aisu menjadi-jadi.
"Papa!"
Aisu berkedip. Dia menyodorkan roti panggang stoberi miliknya pada Ami. "Ini. Ami mau roti lagi, kan?" terkanya.
Ami berbinar sebentar. "Terus, Kak Aisu makan apa?"
Aisu tersenyum, menunjuk gelasnya yang berkeringat. "Es kopi."
Ami mengangguk, sejurus menyambar jatah sarapan si Kakak, tidak tahu kalau minum kopi saja bukan hal baik di pagi hari.
Wajahnya yang belepotan selai dan remah roti, mengundang sapuan tangan Aisu pada pipi gembilnya.
Drrkkk
Aisu menoleh, mendapati Papa berdiri. "Eh, sudah mau berangkat, Pa?"
Papa mengemas gawai ke dalam tas ransel kulit mahalnya. "Iya. Ada yang harus Papa bahas bersama klien. Siang nanti juga harus survei ke lapangan untuk lihat kondisi tempat konstruksi."
Papa beralih ke istrinya. "Ma, sudah siap? Ayo, berangkat. Papa buru-buru."
Mama menjauhkan ponsel. "Duluan saja, Pa. Mama menunggu teman."
"Teman? Oh— hari ini, ya?" Papa melihat jam tangannya. "Papa sampai lupa kalau ada janji temu."
Sekilas, Aisu melihat Papa melirik padanya. Pria itu diam sebentar, memberi kode pada Mama. "Kalau gitu, hati-hati, Ma. Papa berangkat dulu. Nanti kabari saja lewat telepon."
Mama mengangguk, lantas kembali pada rekan kantornya.
"Pa?" panggil Aisu. Namun saat Papa berhenti siap-siap demi menoleh pada putrinya, Aisu tergugu.
"Kenapa, Kak?"
"A-- itu… Papa— Mama… eh…."
Kalimat Aisu menyangkut di tenggorokan, tidak siap dia muntahkan. Tidak ingin. Tapi penasaran setengah mati. Sebab, untaian benang kusut dalam kepalanya harus dibereskan.
Papa menatapnya bingung. "Kamu mau berangkat bareng Papa?"
"Naik mobil Papa!"
Papa mengelus kepala Ami. "Iya, ayo."
"Tapi, ini masih jam setengah tujuh, Pa. Ami masuk sekolahnya jam delapan."
"Kamu ada kelas pagi jam berapa?"
"Sepuluh."
"Kalau gitu, kamu temani Ami di sekolahnya saja sambil menunggu bel masuk. Masih ada dua jam sampai kelas pertamamu dimulai, kan?"
"Tapi, Pa—"
Papa lebih dulu menyambut kedua tangan Ami yang mengulur, lalu menggendongnya dalam sekali peluk.
"Tidak apa, Kak. Sudah lama juga Papa tidak mengantar Ami. Papa akan jadi supir kalian hari ini. Ayo, Papa hampir terlambat."
"Ami." Mama mencegat Papa yang putar balik. "Minum s**u dulu."
"—Aisu masih punya tugas yang belum rampung…."
Aisu mengembuskan napas berat, kalimatnya tidak digubris. Mama terlalu sibuk mengabsen kelengkapan buku dan alat tulis dalam tas Ami.
Dan Ayah, menertawai tepi bibir gadis ciliknya yang membekas putih oleh s**u. Mau tak mau, Mama ikut terkekeh melihat Ami yang cemberut.
Kedua orang dewasa itu lantas saling menatap. Sisa-sisa tawa yang masih tertinggal, membawa bekas lengkungan senyum pada wajah keduanya.
Mama dan Papa, mereka saling pandang untuk beberapa waktu. Aisu yang mengintip dari meja makan, menggoda mereka. "Hayo. Katanya Papa buru-buru? Tapi masih sempat mesra-mesraan."
Aisu tertawa, sedang Mama dan Papa membuang muka. Aisu dapat melihat rona merah pada wajah papanya. Benar-benar macam anak remaja saja. Padahal keduanya sudah pernah… ya, kau tahulah.
"Mesra-mesraan? Apa itu, Pa?"
Papa tampak kewalahan dengan pertanyaan Ami. Beliau mencari pembelaan dari Mama, tapi Mama sudah kembali ke kitchen set, menyiapkan sarapannya.
Dan Aisu, melipir dari ruang makan untuk mengambil ransel dan tabung gambarnya di kamar.
"Mereka baik-baik saja. Aku hanya terlalu banyak memikirkan masalah kecil."
***
Mobil sedan yang dikemudikan Papa membelah jalan raya menuju sekolah Ami. Mereka bertiga duduk rapi dipeluk sabuk pengaman.
Wangi maskulin khas laki-laki membekap hidung ketiganya. Aisu tak tahu, aroma ini berasal dari pengharum mobil yang terpasang di sela-sela AC dasbor, atau dari minyak wangi Papa.
"Padahal Papa cuma bercanda saat bilang akan jadi supir. Tapi kalian betulan menganggap omongan Papa serius, ya?"
Papa melirik kedua anak gadisnya yang duduk di belakang lewat bilah kaca di atas kepala. Ami tertawa. "Ami suka naik mobil sama Papa!"
Sedang tas bawaan ketiganya, berada di bangku depan, menemani Papa—si supir berjas jutaan. "Kalau bukan jalan-jalan akhir pekan, kita mana pernah naik mobil Papa. Ya kan, Ami?"
"Iya!" Ami mengangguk riang.
"Nyaman. Jadi tidak perlu sesak-sesakan dengan penumpang angkot lain yang selalu penuh setiap pagi."
"Tapi, Kak Aisu."
"Ya?"
Ami merengut. "Mobil Papa bau. Ami gak suka."
"Hahaha." Papa menyemburkan tawa. Badan mobil sedikit oleng, menghindar dari motor bebek yang menyalip dari kiri. "Baunya enak, kok."
Ami menggeleng. "Lebih suka wangi parfum Mama!"
Aisu penasaran dengan reaksi Papa. Dia melongok kepada kaca depan. Aisu melihat Papa tersenyum. "Oh ya? Parfum Mama, Papa lho, yang pilihkan. Wangi, ya?"
Aisu berbinar-binar. Semangat betul ingin mendengar alasan Papa. "Benar, Pa? Kok, bisa?"
"Tentu bisa. Kan, Papa yang kasih sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Papa senang sekali karena Mama menyukainya. Papa pilih merek yang itu, karena wanginya tidak menyengat, segar, dan manis. Persis seperti wangi mamamu."
"Pa-Papa!" Aisu menutup kedua telinga Ami. "Kalimat Papa terlalu dewasa!"
Sedang Ami, kebingungan menatap kakaknya. "Hahaha. Maaf. Papa hanya terlalu senang. Lagi pula, kamu kan, sudah dewasa."
"Tapi ada bayi di belakang!"
"Ami sudah besar, Aisu."
"Tapi Papa selalu bilang, 'Bayiku! Bayiku!' saat menggendong Ami!"
"Hm? Kapan Papa bilang begitu?"
"Setiap waktu! Papa memanjakan Ami, sampai tidak sadar kalau Ami sudah terlalu besar untuk dipanggil 'Bayiku'."
Papa tersenyum lebar. Kedua sudut matanya menyipit. "Papa hanya menunjukkan rasa sayang Papa. Apa itu salah?"
"Ti-tidak, sih… tapi kan…."
"Kalau gitu, kamu mau Papa panggil 'Bayiku' juga?"
"Ih, Papa!"
Papa tertawa. Suaranya memenuhi badan mobil. Hingga mereka tiba di depan sebuah TK, Papa baru berhenti setelah seorang satpam menunjukkan tempat kosong untuk memarkirkan mobil.
Aisu dan Ami keluar, mereka berdiri di depan sisi pintu Papa, mengantarnya berangkat kerja. "Hati-hati, ya. Dengarkan perkataan bu guru. Ami jangan berantem sama teman-teman. Bekalnya dihabiskan, ya!"
Selepas mengacak rambutnya, Papa memegang kemudi, siap memutar balik dan pergi.
"Tolong temani Ami dulu ya, Kak. Papa berangkat."
Aisu menyalimi Papa, lalu melambai. "Hati-hati Pa, menyetirnya."
"Siap, bayiku!"
Dua satpam menoleh dari posnya, membuat Aisu kehilangan muka. "Papa!"
***
Deka mencuci tangan di wastafel, menghilangkan lengket adonan tepung dan telur yang berlarian dari sarung tangan hingga mengenai jemarinya.
Dia menyeka keringat. Lelah juga mencampurkan berbelas kilo bahan-bahan untuk membuat roti. Tubuhnya beranjak ke ruang karyawan, mencari kotak bekal yang dititipkan Bunda.
Sudah dapat, dipeluknya dan ditunjukkan pada karyawan toko yang sedang melepas penat sembari menunggu roti-roti dalam oven itu matang kecokelatan.
"Bu Nar."
"Iya, Bang Deka?"
"Tolong dicicip. Kue lava cokelat bikinan Bunda. Sudah jadi."
"Oh, cepat sekali bundamu bikinnya, Bang?"
Deka tersenyum. "Masih bersemangat sekali, padahal aku dan Ayah sudah melarangnya banyak bergerak agar tidak terlalu capek."
"Itu kan, sudah hobi bundamu. Sesekali tidak apa." Bu Nar membuka tutup wadah, menyodorkannya pada seluruh karyawan toko yang bergerombol. "Ayo, dicoba. Saya dan pemilik toko mau buat menu roti baru. Kalau enak dan pas, bulan depan akan dijual."
"Bu Nar, sisakan untuk Vinka sedikit." Deka berpesan sebelum kue buatan Bunda habis kikis. Sementara semuanya sibuk merasakan kue lava cokelat buatan Bunda, sibuk mengomentari dan memberi tanggapan, Deka meraih gelas di dekat dispenser.
Rasa haus membawanya ke ruang depan toko. Dia menikmati matahari yang mulai berdiri tegak di luar jendela besar dengan segelas air mineral di tangan.
Jam analog di atas dinding menunjukkan pukul sembilan. Vinka belum datang. Hidungnya baru akan kelihatan jam sebelas nanti, tepat satu jam setelah toko roti dibuka.
"Bang Deka baik-baik saja?" Bu Nar menyusup di tengah lamunannya.
"Eh, baik kok, Bu Nar. Sehat sentosa." Dia menyengir. "Kuenya habis?"
"Habis. Respons mereka baik. Enak, cokelatnya juga tidak terlalu pekat. Cocok untuk diminum bersama kopi, katanya."
Deka mengangguk. "Manis dan pahit memang menjadi kombinasi yang bagus. Apa saya usulkan ke Bunda untuk sekalian menjual kopi, ya?"
"Nanti saingan dengan kafe Dinolatte tempat Bang Deka kerja, dong? Bisa-bisa, bosnya Bang Deka mengira kalau Bang Deka itu agen ganda. Bahaya sekali," goda wanita paruh abad itu.
"Hahaha. Tapi tidak apa deh, kalau bisa membuat toko roti Bunda ini ramai. Tinggal pasang meja dan kursi saja di luar, beres, deh. Ya kan, Bu Nar?"
Bu Nar menanggapi dengan gelengan kepala. "Itu lebih baik daripada Bang Deka murung."
Deka tertegun. Wajahnya lantas menyungging senyum. "Memang, kentara sekali ya, Bu Nar?"
Wanita gembil berkerudung cokelat yang serasi dengan celemek cokelat bergaris putih itu menepuk pundak Deka, berbangga diri. "Umur membuat seseorang menjadi bijak. Umur mengajarkan segalanya, Bang Deka. Umur tidak pernah bohong."
"Saya cuma pusing dengan soal-soal semalam kok, Bu Nar. Bukan hal besar. Hanya pelajaran dan persiapan tes SBMPTN tahun depan." Deka mendelikkan bahu. "Masalah pelajar."
"Masalah pelajar itu bukan hanya seputar akademik lho, Bang Deka."
"Pelajar itu juga remaja. Bang Deka tahu kan, masalah umum para remaja?"
Deka tertawa, mengejek dirinya. "Saya lupa kalau saya sudah bukan pelajar, Bu. Jadi, saya mana tahu."
"Wah, kalau gitu bagus, dong."
Deka menaikkan sebelah alis, penasaran. "Bagus?"
Bu Nar mengangguk. "Bang Deka sudah dewasa. Jadi, masalah Bang Deka sudah bukan hal-hal yang rumit lagi."
"Eh?" Bukannya akan semakin rumit? "Kok, begitu?"
"Dewasa itu artinya matang. Karena Bang Deka sudah dewasa, berarti semua aspek dalam diri Bang Deka sudah matang. Termasuk penguasaan ekspresi diri dan kemampuan memecahkan masalah."
"Tapi…."
"Tapi, menjadi dewasa bukan berarti Bang Deka tidak boleh mengekspresikan rasa kecewa dan kesedihan Bang Deka, lho. Justru karena sudah dewasa, Bang Deka jadi tahu, kapan harus mengeluarkan emosi dan kapan harus menyembunyikannya. Seperti sekarang."
Deka tergelak. "Saya tidak menyembunyikan apa-apa, Bu Nar."
"Dan Bang Deka juga jadi tahu, tempat-tempat mana saja Bang Deka mesti mengekspresikan diri." Deka melihat sesimpul senyum teduh. "Kalau Bang Deka mau, Ibu bakal ke belakang dan berpura-pura tidak melihat apa pun. Jadi, Bang Deka bebas mengeluarkan ekspresi."
Matanya membulat. Tidak biasanya dia mendengar Bu Nar mengeluarkan wejangan demikian, membuat Deka bingung.
"Ibu sudah bilang. Umur membuat seseorang menjadi bijak. Dan bijak bukan berarti sempurna, tapi mengerti kondisi dan situasi untuk melakukan sesuatu. Bijak berarti menangkal diri dari melakukan kesalahan, bukan luput."
"Delapan belas tahun itu… termasuk dewasa, Bu?"
"Ya. Dan lima puluh satu itu terbilang tua, Bang Deka." Suara tawa mereka menggema di dalam toko, menjadi pusat perhatian para karyawan barang sebentar.
"Jadi, Bang Deka ada masalah apa?" Bu Nar duduk di kursi besi di dalam toko, yang disediakan untuk menaruh p****t-p****t pel4nggan yang hendak menghabiskan roti di tempat.
Lagi-lagi, lelaki dewasa itu dibuat kaget. Tapi dia tersenyum tipis. "Hanya masalah pelajaran, Bu Nar. Padahal saya baru lulus tahun ini, tapi rasanya sulit sekali menghafal rumus-rumus. Malamnya belajar, menyumpal kepala dengan rumus dan materi, tapi paginya sudah rontok lagi."
"Biar Ibu tebak," katanya memancing atensi Deka. "Bang Deka ditolak, ya?"
Bingo!
Bu Nar mengangguk-angguk, menyapa air muka Deka. "Ditolak memang sedih, Bang Deka. Tapi selama Bang Deka masih berusaha, pasti bisa. Sebab, sejak awal, kita pasti akan mendapatkan yang kita haturkan. Dan kita akan mendekap yang kita harapkan."
Tapi kalimat itu tidak membuat rasa pundung Deka terobati. Macam tidak mempan. Deka tidak terhipnotis.
"Tapi, Bu Nar…. Ada kalanya, sekeras apa pun kita berusaha, hal yang paling kita dambakan tidak akan menjadi milik kita."
Bu Nar tersenyum syahdu. "Kalau itu terjadi, menyerahlah."
Deka mengangkat wajahnya. "Menyerah?" Andai memang semudah itu.
Bu Nar mengangguk. "Menyerah, dan incar tujuan baru. Bang Deka boleh sedih, boleh kecewa karena harapan dan kerja keras Bang Deka tidak juga tercapai. Tentu boleh menyerah. Tapi jangan lupa untuk mencari tujuan baru.
"Jangan habiskan waktu untuk bersedih berlama-lama. Sayang sekali waktumu, Bang Deka. Apalagi, Bang Deka masih muda. Masih panjang jalannya menuju puncak.
"Carilah tujuan baru. Limpahkan semangat Bang Deka untuk tujuan itu. Tuhan akan mengabulkan harapan orang-orang yang sakit hati. Maka, menyerahlah."
Matanya terbelalak. "Menyerah dan mencari tujuan baru? Tapi, kepada siapa?"
"Eh? Bukannya Bang Deka lagi membahas tes SBMPTN?"
Deka berkedip, mulutnya mengaga. "Eh?"