07. Hantu

3527 Kata
Dengan lambaian, Ami diamit masuk oleh wali kelasnya. Aisu segera pergi dari lorong kelas setelah berbasa-basi dengan Bu Vit, sedang adiknya itu meriah sekali bercerita tentang kedatangannya yang diantar Papa. Tepat dua menit berlalu, bel sekolah meraung. Aisu melihat jam tangan. Sudah pukul delapan tepat. Dia mesti cepat-cepat berangkat. Kaki panjang dibalut jinsnya melangkah lebar-lebar pergi dari pekarangan TK. Aisu malu, jika harus bertatapan dengan dua satpam penjaga gerbang, sebab kejadian barusan. Tetapi, dia masih punya muka untuk membalas sapaan ibu-ibu—orang tua teman sekelas Ami. Malah, tubuhnya itu mesti terpaksa berdiam diri beberapa menit, demi mendengarkan cuap-cuap mereka tentang sulitnya mencuri waktu untuk pergi ke salon, atau mampir ke mal untuk menghabiskan duit. Sampai salah satu ibu-ibu, dengan riasan agak tebal yang menyembunyikan wajah alaminya—Aisu pikir, kalau saja ibu muda itu menggunakan riasan tipis, pasti akan lebih cantik daripada mengoleskan seluruh koleksi kosmetiknya sampai terlihat mirip boneka dakocan—menyentuh rambutnya. "Kak Aisu, kapan-kapan ikut kami ke salon, yuk. Rambutmu bagus, panjang. Tapi sayang, bercabang. Salon di mal besar sana punya produk bagus untuk mengatasi masalah sepele seperti ini." "Sekalian spa saja, Kak Aisu. Biar bening dan banyak yang melirik. Atau, biar langsung dilamar begitu selesai wisuda. Jadi tidak perlu melowong lama-lama." "Iya, lho, Kak Aisu. Perempuan itu harus pandai merawat diri, biar gak bosan dilihat. Kalau gak bisa merawat diri, gimana mau cepat dapat pasangan?" "Hihihi." Aisu menghela napas, menyingkirkan tangan lentik si ibu yang seenaknya memainkan ujung-ujung rambutnya. Siapa tahu, ibu itu habis makan gorengan, lalu memeperkan bekas minyaknya pada rambut Aisu; membuat Aisu sebal, karena anggapannya itu tidak mungkin benar. Mana ada ibu-ibu bertas jutaan rupiah, menu sarapannya gorengan? "Maaf, Bu. Saya buru-buru. Masih punya banyak tugas yang belum tuntas. Permisi." Seraya Aisu berbalik pergi, mulut ibu-ibu itu menceng-menceng. Gatal sekali dengan tingkah Aisu yang selalu menolak ajakan dan usul mereka. "Padahal itu untuk kebaikannya sendiri." "Aduh, kalau sedikit saja Kak Aisu mendengarkan, saya mau mengenalkan Kak Aisu pada anak sulung saya yang belum juga laku." "Kak Aisu itu cantik, kalau dia mau memoles tubuhnya sedikit. Sayang sekali. Dia seperti tidak terurus." "Bu Erika seberapa gila kerja, sih, sampai anak-anak gadisnya tidak teropeni?" *** Tubuh angkot berguncang, saat supirnya tak hendak memelan kala melintasi aspal berlubang. Sekarang, angkot sedang sepi. Penumpangnya sudah pergi menuju urusan masing-masing. Itu menyebabkan tubuh Aisu membentur badan besi, langsung dihinggapi rasa nyeri. Jika saja angkot dalam keadaan padat, dan di sebelah Aisu adalah ibu-ibu berselimut lemak, Aisu akan bersyukur berdempet-dempetan walau sesak. Aisu berseru, meminta turun di depan halte kampus. Selepas menyerahkan uang pas, si supir langsung menancap gas. Tubuhnya hampir limbung begitu satu kakinya memasuki gedung. Mungkin merasa pusing, karena supir angkotnya pagi ini ugal-ugalan demi mengejar setoran. Tapi tak masalah. Aisu bisa kembali menjejak, sigap berjalan masuk. Dia juga masih memiliki setoran yang harus buru-buru diserahkan. Gedung-gedung kampusnya gagah berdiri di depan sana. Tubuhnya besar, putih, dan cantik disiram matahari pagi. Tetapi sepanjang Aisu berjalan, kampus lumayan sepi. Maka dari itu, Aisu berani masuk ke dalam gedung Fakultas Kedokteran. Entah dia tidak tahu malu, atau memang tidak punya malu. Begitu masuk, hawa dingin AC menyambutnya. Tapi bukan hanya itu saja. Lirikan beberapa orang juga hinggap di wajahnya. Penyebabnya, sudah pasti karena Aisu tidak mengenakan jas putih, yang artinya dia itu bukan mahasiswi Kedokteran. Mereka teritorial sekali. Tapi Aisu sungguh tak peduli. Satu-satunya alasan dia mau menampakkan wajah di sana meski semua orang menatapnya, hanyalah karena mesin penjual minuman otomatis di sana menjual kopi kaleng kesukaannya. Dan kalau ingin melabeli siapa yang rasis, Aisu yakin pihak kampus dan beberapa mahasiswi Kedokteran memiliki status yang sama. Habis, bagaimana bisa hanya gedung fakultasnya saja yang tidak disediakan vending machine? Kantin fakultasnya juga tidak sebagus milik fakultas lain. Miris. Beruntung, ponsel dalam sakunya berbunyi. Satu panggilan dari Mama menyelamatkannya. Aisu jadi punya pengalihan dari belasan mata yang menatapnya curiga. "Halo, Ma?" "Oh, sudah tersambung. Halo, Aisu? Ami sudah di sekolah?" Aisu memasukkan selembar uang, memencet salah satu tombol, lalu mesin berbunyi gaduh seraya kaleng kopinya jatuh. "Sudah, Ma. Tadi sudah Aisu titipkan juga ke Bu Vit, kalau Aisu akan telat sedikit. Aisu masih ada kelas sampai sore. Cuma bisa keluar pas jeda makan siang. Semoga sempat." Aisu beranjak keluar, ingin terbebas dari cengkraman mata. Dia membuka kaleng, lalu meneguk kopinya. Suara itu mengundang rasa curiga dari seberang telepon. "Minum kopi lagi?" "Bukan, kok! Ini minuman bervitamin C, Ma!" "Semalam bergadang sampai jam berapa?" "A-Aisu enggak bergadang, kok." "Itu kebohongan yang bodoh. Aisu tidak mungkin tidak bergadang. Sampai jam berapa?" cecar Mama. Aisu menyengir, dan orang-orang yang berjalan di seberangnya mengernyit. "Sampai… subuh. Hehehe." "Kamu cuma tidur satu jam, Aisu?" Aisu menyingkir dari jalanan. Dia menepi. Agak memperlambat langkahnya, karena kampus sudah mulai ramai oleh mahasiswa yang mengejar kelas pertama atau selanjutnya. "Kalau banyak tidur, Aisu tidak akan bisa mengejar Papa, Ma. Aisu ingin lebih hebat dari Papa. Ada banyak hal yang lebih penting Aisu lakukan daripada tidur." Aisu mendengar helaan napas. "Kamu ambisius sekali, Aisu. Mirip dengan papamu." Aisu tertawa. Wajahnya tampak cerah, walau di bawah matanya terdapat kantung hitam. "Aisu kan, anaknya, Ma. Ah! Aisu juga mirip Mama, kok!" "Jangan sampai ambisi besarmu itu membutakan mata, hingga kamu tidak bisa melihat sekitarmu, Aisu. Jangan hanya buta pada tujuanmu sendiri. Ingat adikmu. Ingat Mama. Ingat Papa. Jangan jadi seper—" Tiiiiiin!! Sialnya, nasihat Mama diserobot suara klakson mobil, membuat Aisu mengerutkan dahi. "Mama sedang di jalan? Menelepon Aisu sambil menyetir mobil? Bahaya, Ma." Mama tertawa renyah. "Tidak. Bukan Mama yang menyetir. Mama menumpang dengan teman Mama." "Te…man?" Aisu tertegun. "Mama mau ke mana? Kapan pulangnya? Teman itu siapa? Perempuan atau—" "Oh, Mama hampir lupa. Nanti Mama saja yang jemput Ami. Aisu di kampus saja. Masih punya tugas yang belum selesai, kan?" "Lho, tapi Mama menjemput Ami sama sia—" "Sudah ya, Kak. Mama sudah sampai. Kenalan Mama sudah menunggu di dalam kantornya. Kamu jangan tertidur di kelas. Awas, ya." Tut Tut Tut "Eh? Ma? Ma!" Telepon sudah lebih dulu terputus. Aisu menatap nama mamanya di layar ponsel. Dia meremas kaleng kopi, menyalurkan sangsi. Perasaannya campur aduk. Pikirannya luluh lantak. Aisu merasa pundung. Namun, kaki-kaki yang melintas di sekitarnya mampu mengalihkan suasana hatinya. Sampai kapan pun, sekecil apa pun sebab-musababnya, Aisu tidak boleh menangis di depan umum! Tidak boleh! Tidak lagi! "Berhenti, berhenti!" ucapnya pada diri sendiri. "Semalam sudah tidak tidur memikirkan masalah telepon dan ucapan Papa, tapi ternyata hanya masalah kecil saja, kan? Berhenti memikirkan hal yang tidak perlu, Aisu!" Menghiraukan tatapan orang lain, Aisu buru-buru menuju gedung fakultasnya yang hanya tinggal berbelas meter di depan. Lobi segera ramai oleh orang-orang berseliweran. Macam Aisu, kebanyakan dari mereka berhenti di depan lift. Mungkin terlalu malas menggunakan tangga untuk sampai di lantai dua atau tiga. Kepalanya terpaku pada layar ponsel, tapi kakinya seperti tahu harus melangkah ke mana. Kedua alisnya menukik saat membaca salah satu ruang obrolan grup. "Tempat kerja kelompoknya pindah tempat?" Tangan kirinya sibuk menggenggam kaleng kopi, dan tangan kanannya pun sama; mengetikkan balasan pada teman sekelompoknya setengah sebal. Pundaknya terasa berat. Tentu saja, karena isi tas ranselnya adalah laptop dan beberapa majalah arsitektur tebal yang Aisu pinjam dari Papa, demi menyetor bahan referensi untuk kelompoknya. Dan membawa beban berat di punggung sembari menunggu lift terbuka itu melelahkan. Aisu sesekali mendecak. Orang-orang di sekitarnya terlalu banyak. Dia tidak yakin dirinya akan kebagian masuk pada angkutan lift pertama. Lift di sana hanya ada tiga. Bisa jadi, orang yang mengantre untuk naik itu sebanyak lima kali lipat batas muatan. Jika memilih tangga, lantai enam terlalu melelahkan untuk dipanjat. Mau tak mau, Aisu mesti menunggu lift. Anggap saja naik angkot. Tak apa desak-desakan. Ding! Wajahnya berubah ceria menyambut pintu lift yang terbuka. Namun, semua orang yang berdiri di bibir pintu, langsung berdesak ingin masuk. Aisu tak mau kalah. Dia memanfaatkan tubuh jenjang dan (selalu) baunya itu untuk menempatkan sedikit ruang bagi dirinya. Saat sebagiannya sudah di dalam, tepat saat Aisu ingin masuk; Aisu jadi mesti menatap wajah-wajah yang menghadap kepadanya. Saat tubuhnya tak ingin kalah dari pundak-pundak orang lain, Aisu merasakan dorongan hebat untuk bersin. Hidungnya mendadak terasa gatal. "Ha… ha--hatsyiii!" Aisu mengusap-usap hidungnya, menggelengkan kepala supaya rasa gatal yang merambat dari ujung hidung ke seluruh wajahnya itu dapat terbang. Tetapi, dia tidak sadar kalau suaranya itu besar sekali hingga menjadi perhatian penghuni lift, juga orang-orang di sekitarnya. Sebagian orang mundur, membiarkan tempat sisa dalam lift menjadi milik Aisu. Melihat adanya wajah teman sekelompok di dalam lift, Aisu melangkah kegirangan. Tangannya yang meraba saku jaket hitam kulit milik Papa--menaruh ponsel-- satu kakinya yang menjejak masuk, dan matanya yang--sialnya--tak sengaja menangkap wajah dewasa menyebalkan itu; Membuat Aisu memekik tiba-tiba, "Ah!" Seluruh mata meliriknya. Aisu melangkah mundur, berkelit. "Aku lupa beli rokok!" Aisu lantas pergi meninggalkan seluruh pasang mata yang menatapnya heran, aneh, sekaligus keki. Aisu tak peduli. Dia lebih baik dikira perempuan berimej urakan, tidak baik, ataupun gadis nakal, daripada harus berada satu lift dengan bapak-bapak yang Aisu hindari. Aisu tidak sudi jika harus berdempetan satu petak dengan Pak Hiroki. *** "Bu Nar, saya titip toko, ya." Deka sudah siap dengan tas selempang dan helm sepeda yang terpasang. "Iya. Hati-hati, Bang Deka." Deka hanya mengangguk pelan. Dia tak menoleh lagi, barang untuk basa-basi. Kemudian tubuhnya hilang tertelan keramaian pejalan kaki di luar toko. "Bang Deka kenapa, Bu?" Bu Nar tersenyum mafhum pada Vinka. Raut keibuannya terpampang pada wajah tua keriputnya. "Biasa, Mbak Vinka. Masalah remaja." Tapi Vinka, melihat sang manajer terkekeh geli, mengerutkan alis. Dia tidak percaya. "Masalah remaja?" Bu Nar mengangguk singkat, lantas kembali mencatat sesuatu pada buku keuangan toko. "Bundanya Bang Deka…." Pulpen yang digenggam Bu Nar terhenti sekejap. "Baik-baik saja kan, Bu?" Dua detik berselang, Bu Nar kembali membawa senyum pada wajah yang semula tanpa ekspresi. "Baik, Mbak Vinka. Lagi pula, bukan itu yang saat ini membuat Bang Deka murung, tapi hal lain." "Hal lain?" tanyanya penasaran. Bu Nar lagi-lagi mengangguk. Wanita lima puluh satu itu terlampau antusias saat mengatakan, "Masalah yang sama dengan yang kemarin membuat Bang Deka senyam-senyum. Masalah remaja." *** Taman kampus tempat Aisu kuliah itu luas, besar, dan rimbun oleh pohon-pohon besar yang Aisu sendiri tak tahu namanya. Di tengahnya terdapat air mancur. Di sisi-sisinya terduduk bangku besi yang mirip dengan milik taman kota. Bergerak agak ke pinggir, tepat di belakang taman, di dekat kantin Jurusan Arsitektur, berjejer berbelas bangku-meja kayu khas piknik yang biasa dipakai sebagai tempat istirahat, mengobrol, mengerjakan tugas, menikmati makanan kantin, atau sebatas duduk leha-leha saja. Tapi, tempat yang Aisu duduki itu agak ke ujung, persis di tepi danau belakang kampus. Bukan karena apa, Aisu itu suka dengan ketenangan yang dibawa semilir angin di depan wajahnya. Lagi pula, meja yang Aisu tempati itu selalu kosong dan jauh dari kerumunan. Meja itu selalu tersisa dan tidak ada yang memakainya. Seperti disisakan untuk Aisu… tapi sebenarnya, bukan begitu. Kali ini, matahari sudah menjulang tinggi. Jam menunjukkan pukul setengah satu siang. Kelas pertama Aisu sudah usai. Dia menunggu jeda kelas berikutnya di sana, sembari mengerjakan tugas Fisika yang satu soal; jawabannya bisa menghabiskan satu halaman folio. Serius. Ini tidak main-main. Fisika tingkatan anak kuliahan itu sadis. Pertanyaannya memeras otak dan menghabiskan banyak energi. Ya, tapi Aisu tak perlu menggunakan kepalanya untuk sekadar menyalin tugas milik Mindy. Sebenarnya, Aisu sudah pusing dengan kegiatan kerja kelompok tadi pagi. Diskusinya buntu. Ide-ide yang dikeluarkan teman-teman satu kelompoknya terlalu umum. Tidak ada yang menarik. Aisu memang bukan ketua, tapi dia menginginkan yang terbaik untuk projek tugasnya. Menyatukan tujuh kepala itu memang sulit. Dan akhirnya, kerja kelompok itu mesti ditunda sampai nanti sore, untuk menyambung ide buntu. "Burung, burung apa yang hantu?" Pertanyaan itu keluar dari Leo, lelaki berambut gondrong bak tak terurus, yang duduk di depan Aisu dan Mindy. "Gagak." Aisu menjawab seadanya. Mata dan kepalanya terpaku pada binder di atas meja, sedang telinganya mesti terpaksa diisi oleh pertanyaan Leo yang selalu random, alias tak berbobot. "Burung mati." Mindy berkata polos. Dengan sepotong roti isi dalam genggaman, dia mengedip-ngedip di sela kunyahan. Leo mengangguk. Tak lama, selembar koran di depan wajahnya itu dia isi dengan sekeping pulpen milik Aisu. "Enggak muat." "Leo mengisi apa?" Mindy melepas roti isi yang hanya tersisa dua gigit. Dia merebut koran Leo, membacanya dengan kedua sudut bibir yang bertabur remah roti. "TTS?" Mindy menatap teman beda jurusannya. "Sejak kapan Leo suka mengisi TTS? Kak Aisu, coba lihat, deh." Mindy membagi kertas buram itu dengan Aisu. Tapi yang membuat Aisu menoleh itu justru ucapannya. "Mindy, sudah kubilang kalau memanggilku jangan pakai 'Kak'." "Aw!" Mindy mengelus pipinya. Entah sudah berapa puluh kali wajahnya itu menjadi korban jempol Aisu. "Coba, mana." Aisu membaca tulisan dalam koran, "Topik TTS ini kan, tentang bisnis." "Hm." Leo mengangguk. Mindy mengintip isi koran, membaca judulnya. Kedua alisnya ikut mengernyit, tapi mulutnya terlalu sibuk mengunyah roti. Aisu mengerutkan dahi. "Kenapa bertanya soal burung?" Sebelah alis Leo terangkat. "Gak boleh?" Aisu membanting koran. "Gak nyambung!" "Namanya juga mencoba. Gak nyambung atau salah, ya coba lagi." "Bisnis, mana ada urusannya dengan burung?! Ada juga tentang saham dan perusahaan!" Leo mendelikkan bahu. "Burung juga bisa jadi bisnis." Aisu geram. Nada dan wajah datar Leo membuatnya gondok. "Ini namanya Jaka Sembung bawa golok!" "Gak nyambung, dong?" "—g*blok!" Sembari tertawa, Mindy menahan tubuh Aisu yang tampak ingin menyambar kerah baju Leo dan melemparnya ke danau di belakang mereka. "Kenapa kau marah sekali, sih?" "A-Aisu." Mindy memeluk lengan Aisu, menjaganya agar tidak berbuat khilaf. Tapi Aisu berbalik menyerangnya. Kedua tangannya itu menyambar wajah Mindy, mencubitnya habis-habisan. "Kamu memihak Leo, ya? Mentang-mentang lagi dekat dengannya, kamu pilih kasih denganku? Iya, kan? Ayo, mengaku!" Mindy tertawa, menggeleng dengan wajah yang memerah. Saat melirik Leo, dia melihat kedua sudut bibir lelaki itu terangkat. "Jangan menyiksanya." Aisu sejurus menoleh. Wajahnya berubah riang, nafsu sekali mendengar Leo. "Apa? Apa? Jangan apa?" Aisu mengambil leher Mindy, membawanya ke dalam rangkulan tangan, agak sedikit menekannya hingga membuat Leo mengernyit. "Jangan begitu, Aisu. Nanti lehernya sakit," peringatnya. "Uuu!" Aisu membebaskan Mindy. "Kenapa mendadak gerah, ya? Hari ini cuacanya panas sekali, sampai membuat wajah Mindy merah!" Aisu menimpuk Leo dengan koran miliknya. "Kau jantan sekali, Bung!" "Tenagamu terlalu besar. Mindy itu lebih kecil darimu. Kasihan dia kalau sampai penyet karenamu." "Ya, ya. Aku tahu kamu membelanya, tapi tak perlu membuat perbandingan macam itu. Mood-ku jadi hancur." "Aku tidak bermaksud begitu. Kau saja yang salah tangkap, Bung." Aisu merotasi mata. Dia kembali pada soal-soal Fisika pada bindernya—tugas yang mesti dikumpul hari ini. "Aku memang selalu salah." "Kau yang menganggap dirimu selalu salah." Aisu mendecak. "Aku sudah mengatakannya. Tidak usah diulang, dasar mahasiswa abadi." "Aku hanya mengambil cuti dua semester, bukan tidak lulus. Kau juga sama saja, Bung. Kita seangkatan." "Mana ada? Aku kakak tingkatmu. Baik-baik denganku, kalau kau mau kehidupan kampusmu sehat walafiat." "Kakak tingkat apanya? Kita seangkatan. Kita setara. Tidak ingat, dulu kau pernah tidak naik kelas waktu SMA?" Aisu mengambil penggaris besi panjangnya, menggetok kepala Leo. "Kenapa membahas masalah lama? Yang sudah usang, sudah sepantasnya dibuang!" "Ka-Kak Aisu—" "Katanya kakak tingkat, tapi kelakuanmu masih seperti bocah, Bung." Kedua mata Aisu menajam. "Kau betulan ingin dikucilkan orang satu kampus?" Leo kembali pada korannya. "Tidak masalah. Asal aku punya kalian berdua." "Idih!" "Hahaha." Mindy tertawa. Raut cemasnya sudah berganti lagi dengan wajah ceria. Dan tawanya itu sungguh mengontaminasi Aisu. Mau tak mau, walau merasa sebal pada Leo, Aisu tertawa. Menertawai dirinya sendiri, bahkan. "Kak Aisu, Leo, kalian berdua imut sekali, tahu." Aisu menyengir. Sebelah tangannya menumpu dagu, sebelahnya lagi mengacak rambut Mindy. "Kamu lebih imut, Mindy. Dan lagi, berhenti memanggilku Kak. Kita seangkatan." "Tapi, Aisu kan, Kakak." "Kamu kenapa tumben sekali imut begini, sih? Siapa yang mengajarimu?" "Aw!" Mindy mengusap pipinya. "Bung," panggil Aisu pada Leo. "Sesekali kautiru, lah, Mindy. Kau dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Selalu datar dan sok jaga imej. Belagak keren?" "Aku memang keren, Bung." Aisu memajukan bibir. Dia menoleh pada Mindy. "Kamu kenapa mau sama Leo, sih?" Gadis mungil berambut sebahu itu lantas menunduk malu-malu. Sesekali, dia mengintip pada Leo dengan kedua pipi yang memerah. Aisu pikir, warna merah itu adalah ulah jemarinya. "Aku saja mau dengan Mindy. Kenapa dia tidak mau denganku?" Tapi saat Leo bersuara, warna merah itu makin benderang. "Serius, Bung. Kau terlalu percaya diri. Mual mendengarnya tiap hari." Suara mereka menyatu di udara, membumbung tinggi sebelum akhirnya hilang tersamarkan oleh desis angin yang membawa sejuk. Perdebatan Aisu dan Leo masih berlanjut dengan Mindy yang kadang kali memerah, saat Aisu mendesak ingin tahu alasannya menyukai Leo, tetangganya sedari mereka masih ingusan. Aisu tahu, bahwa Mindy baru-baru ini menyukai Leo, walau ketiganya berada dalam satu kelas yang sama selama setahun waktu SMA. Dan bertemu lagi dalam satu kampus—walau beda jurusan—adalah kebetulan yang ajaib. Ya, tidak seratus persen ajaib, sih. Saat Aisu ditolak oleh kampus nasional alumni Papa, Aisu terpaksa masuk ke kampus swasta sembari menunggu tes masuk PTN tahun depan. Namun, karena sudah terlanjur nyaman dengan kondisi dan lingkungan kampus, Aisu memilih menetap. Apalagi, kampusnya yang sekarang memiliki program pertukaran mahasiswa ke Inggris. Sangat disayangkan bagi seorang penggemar arsitektur bangunan tua macam Aisu, jika harus pindah kampus—meski pindah ke kampus negeri sekali pun. Dan suatu hari, di salah satu mata kuliah umum, Aisu melihat Mindy berada dalam kelas yang sama dengannya, pun satu jurusan. Tetapi, jangan tanya bagaimana Aisu dan Leo bisa menjadi teman. Aisu bosan membahasnya. Apalagi, tidak sedikit teman yang menanyakan kenapa Aisu bisa berteman dengan Leo, si mahasiswa Jurusan DKV. Sungguh, mencari jawaban untuk satu pertanyaan mudah macam itu, malah akan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan. Leo itu sudah sedari dulu ada. Kehadirannya tidak bisa diduga. Dia persis setara dengan pertanyaan, "Ayam dan telur, lebih dulu mana?" Membingungkan. Leo selalu ada setiap waktu, mengagetkan Aisu dengan kehadirannya yang setipis kartu. "Leo adalah tetangga." Waktu SMP, kalimat itu sangat mujarab. Namun beranjak SMA, banyak mata yang menyelidik keduanya setiap Aisu menyentuh pundak seraya memanggilnya, setiap Aisu melayangkan tinju karena merasa kesal, atau bahkan saat Aisu mencomot uang jajan Leo dalam sakunya. Untuk membuat mereka diam, Aisu butuh alasan. Tetapi, waktu Aisu menggunakan alasan, "Leo hanyalah peliharaan", ada banyak orang yang keheranan. Namun, yang lebih membingungkan adalah, ketika Aisu menyebut alasan teman, makin lebih banyak orang yang tidak percaya pada ucapannya. "Mereka pasti lebih dari teman." Mereka bilang, 'Tidak ada yang namanya teman di antara laki-laki dan perempuan. Apalagi jika keduanya sudah saling kenal sejak masih ingusan. Aisu dibuat bingung jika mesti mencari alasan. Ah, tepatnya, bila harus menjelaskan. Leo itu sungguh hanya tetangga; yang kebetulan satu SMP; yang kebetulan satu SMA; yang kebetulan sering mengajaknya pulang bersama; yang kebetulan satu kampus; yang kebetulan memiliki UKM yang sama; dan… kebetulan-kebetulan lain yang tentu akan mendatangkan rasa curiga jika Aisu menggunakan salah satunya sebagai alasan. Dan di antara kebetulan itu, Mindy memainkan peran sebagai kenalan yang berbagi kenangan. Mindy adalah pelengkap. Mindy adalah penyelamat; bagi Aisu dan bagi Leo. Berkat Mindy, Aisu bisa memilih alasan, "Oh, Leo itu crush-nya Mindy. Aku cuma nyamuk." Aisu beruntung, Mindy menjadi satu alasan terang untuk menyumpal kecurigaan orang-orang. Namun, Mindy selalu bilang, kalau dirinyalah yang beruntung, sebab bisa bertemu kembali dengan Aisu dan menjadi teman kuliahnya. Karena Mindy itu, dari SMA, dia mengangumi Aisu. Aisu selalu penuh dengan ambisi. Dia juga memiliki rasa keadilan yang tinggi terhadap teman-teman sekolah yang kena bully. Makanya, Mindy selalu menyukai Aisu. Dan baginya, tidak ada gadis sekeren Aisu yang bisa melawan tiga kakak tingkat lelaki sekaligus, sampai membuat mereka kapok mengejar-ngejar Mindy waktu mereka berstatus mahasiswi baru dulu. Pun, Aisu tahu kalau Mindy mengaguminya. Tingkah temannya itu sungguh manis. Terkadang, Mindy akan meneleponnya malam-malam, sekadar mengingatkan untuk tidak bergadang. Atau dalam banyak kasus, Mindy selalu membelikannya minuman dan makanan kecil. Atau kalau Aisu butuh dihibur ketika dirinya sedang buntu inspirasi, Mindy akan mengajaknya keluar rumah dan mengelilingi jalanan Bandung, meski jalan kaki. Aisu tahu, bahwa Mindy itu gadis yang manis dan mudah untuk disukai. Dia mungil, ceria, dan tingkahnya sering membuat gemas. Aisu pun tahu, kalau Mindy menyukai Leo. Namun, yang Aisu heran; kenapa Mindy baru menyukai Leo? Apa dia baru menyadari perasaannyakah; apa Mindy kena peletkah; atau Mindy terlalu malu untuk berkenalan dengan lelaki lain selain Leo-kah…. Sungguh, ada banyak lelaki lain yang lebih cocok dengan Mindy ketimbang Leo, si lelaki tak bernyali untuk mempererat benang merah dengan Mindy. Tapi, kenapa harus Leo? Memikirkan itu, membuat Aisu tambah pusing. Makin hari, masalahnya seperti makin bertambah saja. Aisu harap, masalah-masalah yang tengah dihadapinya akan hilang dan menguap ke udara macam asap rokok yang menyempil pada bibirnya. Aisu menghisap rokoknya dalam-dalam. Dia dapat merasakan nikotin dan tar memasuki paru-parunya dan menjadi penghuni tetap di sana. Asap yang diembuskan Aisu terasa mengganggu. Tapi bukan itu yang dikhawatirkan Leo. "Bung, kau masih saja merokok di area kampus." "Aku tidak merokok di dalam gedung. Jadi, tidak masalah." Leo menatapnya datar. "Tenang saja. Aku tidak akan masuk ruang Kaprodi lagi." "Tempat angker ini masih termasuk ke dalam area kampus, Bung." Aisu menatap malas Leo. "Sejak kemunculan s3tan, sudut taman ini sudah ditinggalkan, Bung. Anggap saja aku merokok di area lain." "Tapi kau bisa mengganggu penunggu di sini, Bung." "Kak Aisu! Le-Leo! Ja-jangan bicara soal hantu di tempat kayak gini. Na..nanti dia betulan datang." "Ah… hantu, ya?" Aisu membuang asap, berlagak tidak peduli, “Kemarin aku lihat satu," dan membuat kedua temannya membelalak kaget. Hantu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN