08. Buaian

1476 Kata
Helaan napas menjadi dialog pembuka di antara kedua laki-laki itu. Mendengar miliknya dibabat oleh orang lain, Deka menoleh pada Iyo, peduli pada wajah murungnya. "Kenapa, Mas?" "Koe sing nopo." (Kamu, tuh, yang kenapa.) "Saya sih, baik-baik saja. Mas Iyo sendiri, kenapa kelihatan lesu begitu? Belum sarapan?" "Yo uwis, lah. Raimu dewe kenopo? Kecut ngono. Rak kepenak didelok." (Ya sudah, lah. Wajahmu kenapa? Kecut gitu. Gak enak dilihat.) "Eh? Perasaan saya gak pa-pa?" "Yen rak popo yo uwis." (Kalau gak pa-pa, ya sudah.) Iyo kembali dengan urusannya; menata perabot, menyiapkan segalanya jika nanti pelanggan datang. Deka mengelap meja konter. Matanya naik turun pada Iyo dan debu-debu di atas kayu. "Mas Iyo," panggilnya. "Nopo?" "Kemarin… Mas Iyo bicara apa sama Bos?" Tangannya itu terhenti di atas mesin blender. Iyo diam sebentar. Menimbang antara ingin memberitahu Deka, atau ingin mencincangnya dan menghilangkan jejak kejahatannya dengan blender lalu membuang jus Deka di selokan. "…ada, lah." "Ya… apa, Mas? Saya pengin tahu." "Engko koe tau dewe yen uwis wektune." (Nanti kamu tahu sendiri kalau sudah waktunya.) "Tapi, saya maunya sekarang." "Durung wektune! Iki bocah dikandani—!" (Belum waktunya! Ini bocah dibilangin—!) Deka menyengir, menghindari amukan Iyo. Tapi dia belum kapok. "Mas Iyo membahas tentang nasib kafe ini kan, sama Bos? Gimana katanya, Mas Iyo?" Deka hampir melotot, menajamkan mata dan telinganya. Iyo menghela napas. "Kamu kerja saja yang benar, Deka. Masalah kafe dan kontrak bangunan, biar atasan saja yang mengurus." Deka setengah menyesal telah bertanya, karena dilihatnya, raut wajah Iyo tampak marah. "Tapi… saya disuruh Mas Irfan, Mas. Mas Irfan gak berani bertanya, makanya minta tolong ke saya. Soalnya semalam…." Deka memilih bungkam saat Iyo meliriknya datar sekaligus tajam. Dia ciut. Tetapi untungnya, Irfan lewat di depannya—sebagai perisai bertahan. Tepatnya, sebagai kambing hitam. "Kenapa?" Irfan berhenti, menoleh pada keduanya di tengah kegiatan menyapunya. "Oh, semalam kalian dengar aku sama Bos bertengkar?" "Eh?" Deka mengernyit. "Saya sama Mas Irfan cuma dengar u*****n Mas Iyo di ruang loker saja, tuh? Memangnya… Mas Iyo sama Bos bertengkar kenapa?" Pancingan Deka, menangkap ikan yang salah. Sebab, Iyo melempar lap dan langsung pergi ke anak tangga menuju lantai dua. "Mas Iyo! Mau ke mana?" "Jaluk pesangon!" (Minta pesangon) "Eh?! Pesangon?!" Deka mengejar, tapi langkahnya berhenti setelah si ikan hilang di puncak tangga. "Hahaha." Deka menoleh, mendapati Irfan menopang dagu pada ujung gagang sapu. "Mas Irfan, bantu saya cegat Mas Iyo! Kalau mereka adu jotos kayak dulu, bisa gawat urusannya!" Irfan masih saja tertawa. "Mas Irfan! Ayo, ke atas! Sepertinya kafe ini betulan bangkrut!" Deka keluar konter, dia sudah siap di depan anak tangga, tinggal menunggu aba-aba dari Irfan saja. "Mas Irfan!" Deka mendecak. "Mas Irfan! Ayo, cepat!" Dia geram. Irfan masih tertawa dengan nada yang tinggi dan kering. Deka hampir keheranan dengan tingkahnya, jika saja rasa cemas terhadap Iyo tak melelapkan kepalanya. Deka buru-buru menaiki tangga, tapi saat satu kakinya baru menapak— "Biarkan saja." —suara Irfan menghentikannya. Nadanya terdengar serius. Canda dalam sisa tawanya sudah menguap entah ke mana. Makanya, Deka menoleh dengan raut bingung yang kentara. Melihat itu, Irfan kembali berbicara, "Biarkan saja mereka begitu. Tuhan menciptakan mulut untuk berbicara. Tapi saat telinga sudah tidak mau diajak bekerja sama, Tuhan memberikan tangan untuk bersuara." Deka berkedip. Perubahan Irfan tidak bisa diantisipasi. Sedangkan Irfan, kembali menggerakkan gagang sapu, menepati janji. "Mas Irfan… saya gak salah dengar, kan?" Irfan tersenyum. Bukan menenangkan. Sudut bibirnya itu seolah menyentuh titik pengejekkan. "Kau mau aku bicara pakai tangan?" Deka berkedip. Rasa bingung terhadap tingkah Irfan yang berbeda dengan semalam, membawanya kembali ke konter--bersiap, meski tak ada satu pun pelanggan. "Maksud saya bukan itu. Cuma… Mas Irfan… gak khawatir?" "Kenapa?" "Lho? Bukannya Mas Irfan semalam heboh, mau tahu urusan Mas Iyo sampai bisa marah begitu?" Irfan berhenti. Dia menatap satu meja sebelum kembali mengumpulkan debu pada pengki. "Oh, ya? Aku tidak peduli." "Ti-tidak peduli?" Satu kerut muncul di dahi. "Semalam, Mas Irfan bilang bakal gawat kalau sampai kena pecat! Katanya kalau kafenya bangkrut, Mas Irfan tidak bisa bekerja lagi! Terus, sekarang… kenapa Mas Irfan…." Deka menggantung kalimatnya. Dia menatap Irfan dengan mata penuh selidik. "Wajar saja, lah. Ini bukan tubuhku. Dan lagi, orang itu sudah bilang kan, kalau kau harus fokus bekerja saja. Urusan sewa bangunan dan yang lainnya, biar atasan saja yang mengurus. Hidupmu ribet sekali sih, dasar manusia." Irfan memutar tubuh, dia membelakangi Deka. Dan gumamannya itu, sungguh bisa didengar Deka. "Aku salah memilih tubuh. Urusan manusia yang kurasuki ini tidak penting sekali. Uang, uang, dan uang. Tidak cocok sekali denganku yang lebih suka menggerogoti dasar hati mereka. Ah, membosankan sekali." "…apa? Mas Irfan… kenapa?" Irfan menoleh. Wajahnya nihil panik. "Ini pengalaman pertamaku memilih sebuah wadah." Dia menggeleng. "Aku tidak beruntung. Tubuh ini tidak nyaman sama sekali. Energinya tidak cocok pada wujudku." Irfan mendadak mendekat pada Deka. Dia mengamati wajahnya, menyipit, lalu mengendus sesuatu. "Kau juga sama saja. Aku hanya mencium aroma yang sama. Masalah finansial yang di ujung tanduk, dan beberapa masalah tentang—" Irfan mengendus lagi. "—Ah… kau sakit hati? Hahaha!" Irfan tertawa. Dia betulan tergelak. Gagang sapu yang dipegangnya sudah jatuh ke lantai. "Ma-Mas Irfan kenapa, sih?!" Irfan memegangi perutnya. "Aku hanya—hahaha. Tidak percaya kalau rencanaku akan berjalan sebegini mulusnya. Hahaha. Manusia memang makhluk yang lemah. Mudah sekali memanipulasi sesuatu yang rapuh. Aku tidak pernah dibuat bosan dengan kelakuan mereka." "Mas… Irfan?" Deka bergerak mundur. Dia merasa ada sesuatu yang janggal pada kelakuan senior kerjanya itu. Jika berpikir Irfan frustrasi akan nasib dirinya tak bisa mencari kerja di tempat lain selain kafe itu, mungkin terlalu berlebihan. Lagi pula, mana ada orang yang berubah gila dalam waktu semalam saja? "Mas Irfan… ke..napa?" Deka menjauh seraya Irfan menatapnya datar. Raut wajah yang dibuat Irfan terlalu berubah-ubah. Deka tidak bisa memprediksi akan seperti apa wajahnya lima detik ke depan. Tapi sekarang, Irfan di depannya itu, wajah datarnya menjadi erat. Irfan menatapnya tajam, wajahnya pun tampak gelap. Dan rona matanya… berubah hitam. Macam tak ada kehidupan di sana. Macam… tak ada Irfan di depannya, walau Irfan tepat di hadapannya. "Ma-Mas Ir..fan…." Deka pias. Tubuhnya sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Tubuhnya dicekal lemari penyimpanan di belakang, dan di depannya, walau terpisahkan meja konter, ada Irfan yang menatapnya lekat-lekat. Deka ingin kabur, atau sesepele membuang muka. Tapi, dia merasa seperti sesuatu yang buruk akan terjadi jika matanya kabur satu senti saja. "Lihat. Bukankah menyenangkan?" Deka memilih membeku, terpaksa mendengarkan. "Saat kau berhadapan dengan manusia lemah, bukankah mendebarkan karena kau berpikir bisa berbuat apa pun yang kausuka untuk mengendalikannya?" Jemari Irfan mengetuk-ngetuk meja. Senyum yang tersungging di wajah yang tak Deka kenali, bertambah asing dengan kalimat-kalimat yang menghiasinya. "Kupikir, seharusnya aku cepat-cepat melakukan semuanya agar tidak tertangkap lagi oleh Si Cahaya. Tapi, apa yang menyenangkan dari terburu-buru dan menikmati hasil instan, jika bersabar dapat membuatku panen, kan? Hahaha!" Suara tawa Irfan terdengar melengking. Nadanya terdengar berbeda dari milik Irfan yang biasanya. Saat diterka Deka bisa mengambil celah dari tawa itu, saat kakinya baru hendak menyerong— "Kau tahu, kau punya masalah serius, Manusia." —Irfan membuatnya tergugu. "Hatimu berlubang. Dan untuk ukuran lelaki kecil macam dirimu, beban yang kaubawa terlalu berat. Apa kau ingin kubantu?" "Ban..bantu? Mas Irfan… dari tadi bicara apa?" Irfan mengerutkan dahi. Sejurus kemudian, dia menggeleng. "Ah, tidak, tidak. Aku harus bersabar. Aku tak boleh terburu-buru. Dia terlalu pintar mencium aroma perbuatanku dari jurang itu. Tapi…." Dia menopang dagu, tampak menimbang sesuatu. Deka meraba meja di belakangnya. Blender dan termos panas terlalu kentara untuk dijadikan senjata. Tangannya menyentuh satu benda pipih dan dingin. Saat menoleh, itu hanya garpu. Dan sebilah garpu yang akan meleyot sekali dibengkokan itu, tidak bisa digunakan untuk menumpu hidupnya! "Aku tidak bisa meninggalkan jejak. Aku tidak boleh berlama-lama berada dalam tubuh ini. Aku harus mencari wadah baru, demi kelancaran rencanaku sekaligus kabur darinya. Aku tidak boleh memberinya buntut. Hei, Manusia," panggilnya, membuat Deka melepas genggaman garpu. "Aku harus pergi. Sebagai hadiah perkenalan, bagaimana jika kuberi kau nasihat?" Irfan menyeringai, mendapati Deka masih ketakutan. "A…apa?" Irfan melirik ke arah pintu, dia merasakan sesuatu. "Ah, waktu yang tepat." Deka mengernyit tidak paham. "Hadiah… perkenalan?" "Dengar, Manusia. Untuk menyelesaikan masalah, kau harus egois. Jangan pedulikan raut wajah orang lain, jika milikmu saja belum kaubenahi. "Dan jika sudah tertukar, untuk menang dan kembali normal, kau harus mendahulukan dirimu dulu. Egois, lah! Pentingkan urusanmu dulu! Obati lubang dalam hatimu!" "Ap—" Cling! Pintu kaca kafe terbuka. Seseorang muncul di sana. Perempuan berambut panjang dengan baju one piece putih yang membuatnya tampak menawan. Dia masuk, tersenyum, dan aroma vanilla langsung menyebar ke satu ruangan. Monalisa…. Batin Deka. Satu sudut bibir Irfan terangkat. Dia mengerling saat Deka tak sadar melangkah maju demi menyimak pesona perempuan di bibir kafe. "Satu lagi. Kalau kau melihat dadanya, usahakan jangan dipegang. Dia benci sekali jika seseorang menatap tubuhnya sekali pun. Ah— jangan kaget dengan ukurannya." Deka menoleh. Walau dahinya berkerut, wajahnya merona. "Da-d4da?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN