09. Yang Tak Bisa Kembali

1910 Kata
Sebenarnya, Aisu lupa kalau bangku yang mereka duduki di belakang kampus itu tertuduh angker. Meja-meja kayu di sekitar mereka itu memang biasa dipakai sebagai tempat istirahat di sela-sela jam padat kuliah. Apalagi, letak kantin yang tidak terlalu jauh dari sana membuat bangku taman belakang kampus menjadi tempat berpangkalnya mahasiswa—selain student lounge. Namun, dengan adanya danau berair hijau keruh, serta pohon kamboja di tepinya, membuat bagian belakang kampus terkesan angker. Dan lagi, area belakang kampus yang memang pada dasarnya tidak pernah dilalulalangi, seolah menjadi tempat sisa bagi penghuni lain. Berbagai urban legend hinggap di telinga para mahasiswa dan alumni. Cerita-cerita itu mengatakan satu pokok yang sama. Bahwasannya, ada seorang mahasiswi yang frustrasi ditinggal pacarnya dalam keadaan bunting, karena tersesat nafsu duniawi dan tidak mau bertanggung jawab. Rasa kesepian itu menuntun si mahasiswi untuk gantung diri di batang pendek pohon kamboja yang mengarah pada permukaan danau, yang menyebabkan lutut hingga ke telapaknya tercebur masuk ke dalam air. Beberapa versi mengatakan, kalau mahasiswi tersebut menenggelamkan dirinya dengan batu besar yang ditalikan pada pergelangan kaki. Beberapa yang lain bilang, kalau mayat si mahasiswi tidak pernah ditemukan dan hilang begitu saja. Satu-satunya jejak yang tersisa, hanyalah tali tambang dan batu besar yang berada di kaki kamboja, yang sampai saat ini masih berada di sana. Untuk setiap arwah yang meninggal dengan membawa dendam dan penyesalan, tentu memiliki kelanjutan cerita tentang bagaimana semestinya dia membalaskan dendam dan bergentayangan. Kisah menyeramkan itu, mendadak saja menghantui kepala Mindy. Terlebih, posisi mereka duduk sekarang persis di tepi danau. Salahkan Aisu, karena selalu memilih meja paling ujung untuk berkumpul. "Kita… pindah, yuk?" "Kenapa?" tanya Leo. "Su-suasananya mulai aneh. Aku merinding." Mindy memeluk lengan Aisu. "Aneh apanya? Memang dari dulu begini kan, suasananya?" "Aku takut, Aisu." Aisu menepuk kepalanya. "Gak perlu takut. Kan, ada Leo." Warna merah kembali muncul pada wajahnya. Mindy melirik Leo, dadanya terasa geli. Apalagi, Leo membuang wajahnya macam tengah menyembunyikan rasa malu. "Ngomong-ngomong soal hantu…," Aisu mengapit batang rokoknya pada jemari, membebaskan mulutnya untuk bersuara. "Kemarin aku lihat satu." "A-apa?" Ah, dasar perusak suasana. "Hantu. Kemarin sore aku lihat hantu." "Ha-hantu?" Mindy makin mengerat pada Aisu. Aisu mengangguk santai. Wajahnya setenang permukaan danau keruh di sana. "Iya, hantu. Hitam, bersayap, punya tanduk, dan kayaknya… laki-laki." Lima detik yang berlalu terasa mencekat bagi Mindy. Pembahasan horror tentang penunggu danau di belakang kampus sudah cukup menegangkan untuknya. Aisu tak perlu lagi menimbulkan penyakit lain pada Mindy dengan mengatakan kalau dirinya melihat hantu. Mindy tak percaya, tapi tubuhnya jujur; bulu kuduknya meremang naik. Sementara Leo, tak menanggalkan wajah datarnya. Dia malah merasa kalau perkataan Aisu penuh dengan lelucon bapak-bapak. "Oh, begitukah?" singkatnya, lalu kembali pada TTS yang isinya sama sekali tidak nyambung. "Aku serius!" "Hm, hm." Leo mengangguk tanpa memandang Aisu. "Aku lihat hantu!" "Hm." "Dia bersayap! Hitam! Punya tanduk! Dan dia laki-laki!" "Oke." "Leo!" "Apa?" Dia menoleh pada Aisu. "Kubilang, aku lihat hantu!" Leo menganguk-angguk. "Sampaikan salamku padanya." "Si4l kau!" Aisu menimpuknya dengan tempat pensil. "Kamu percaya sama aku kan, Mindy?" Mindy tergagap. Wajahnya antara panik dan kaget. Untungnya, raut itu ditangkap Leo. "Jangan mencari pembelaan." "Aku tidak mencari pembelaan. Aku bicara fakta!" "Yang kauungkit itu jauh dari sebuah fakta." "Kubilang, aku serius lihat hantu kemarin sore!" "Itu, fakta dari mananya?" "Hah? Kau mau bilang kalau aku berbohong?" "Aku tidak bilang begitu." "Tapi nadamu terdengar begitu!" "Itu cuma perasaanmu saja." "Tapi aku tidak bohong! Aku betulan lihat hantu!" Leo memberi jeda pada Aisu yang menggebu-gebu. Dia menghela napas. "Hantu itu tidak nyata, Aisu. Tidak ada yang namanya hantu, s3tan, monster, vampir, drakula, frankenstein, siluman, atau makhluk apa pun yang hidup dalam dongeng di dunia kita. Mereka hanya fantasi yang kaubuat dalam kepalamu. Mereka tidak nyata. Mereka hanya ilusi, Aisu." Aisu mengernyit. "Jadi menurutmu, aku berbohong?" Leo menggidikkan bahu. "Kau yang menarik kesimpulan begitu, Bung." "Tapi tadi kalimatmu bilang begitu! Dan aku tidak berbohong!" Leo menatap Aisu yang meledak-ledak. Wajahnya tampak penuh emosi, seperti Aisu yang selalu. Lantas melirik Mindy. Dia berbeda sekali. Tampak takut sekaligus khawatir pada pertengkaran keduanya. "Ya, kau tidak." Kedua bahunya kembali naik. "Setidaknya untuk membangun suasana mendukung bagiku dan Mindy, kan?" Leo menatapnya dengan satu tolehan kepala yang tegas. Matanya memaku pada titik pandang Aisu; membuat Aisu merasa entah harus bereaksi seperti apa, atau membalas tatapan itu bagaimana, atau pula… mengartikannya macam apa. "Tidak perlu dibahas lagi. Kau tidak lihat, Mindy ketakutan begitu, Bung?" kata Leo menunjuk Mindy dengan matanya. Aisu berkedip. Dia mendapati Mindy bersembunyi di balik lengannya. "Mindy takut?" Aisu melembut. Dia menaruh telapaknya pada pucuk kepala Mindy. "Kau sih, segala membahas hantu!" Ujung telunjuk Leo mengacung pada dirinya sendiri. "Aku?" tanyanya kebingungan. "Aku?" ulangnya. Aisu memeluk tubuh mungil Mindy, merangkulnya pada tubuh bongsornya. "Leo tidak peka sekali, ya? Kamu mau apakan Leo? Bilang padaku. Aku buka jasa pukul." Sementara Leo merengut, Mindy tertawa kecil. "Aku gak pa-pa, kok. Lagi pula, mana ada hantu siang bolong begini? Mu-mungkin Kak Aisu kemarin kelelahan, sampai berimajinasi yang enggak-enggak." Mulut Aisu sontak maju sejengkal. Dilepaskannya tubuh Mindy, menyerahkan binder miliknya, lalu mengerjakan soal-soal yang jawabannya mengular panjang itu dengan otak tumpulnya sendiri. "Eh…." Mindy menoleh pada Leo, berharap lelaki itu mau membantunya membujuk Aisu yang merajuk. "Kak Aisu…." Tidak ada jawaban. Aisu sok sibuk dengan rumus Fisika yang sudah pasti salah dengan soal yang ditanyakan Bu Dosen. "Kak Aisu ngambek, ya? Maaf, deh. Aku… aku gak berpikir Kak Aisu bohong, kok. Cuma… mungkin… Kak Aisu kelelahan dan kurang tidur saja, dan akhirnya malah menimbulkan halusinasi yang enggak-enggak." Mindy menoleh pada Leo di akhir kalimatnya, meminta lelaki itu untuk mendukungnya. Tak berjeda satu detik, Leo mengeluarkan suara dengan semangat, "Benar kata Mindy. Kau itu kurang tidur. Terlalu ambisius mengejar nilai A di setiap tugas dan mata kuliah. Segitu menggebunya ingin cumlaude?" Aisu melirik Leo tajam. "Orang t***l kayak kau yang gak mengerti apa-apa, pasti mengganggap kerja kerasku hanya sebatas "mengejar cumlaude" saja. Dasar goloknya Jaka Sembung." Leo menoleh pada Mindy. "Dia tidak marah, kok." Tapi rasa bersalah masih mengerubunginya. "Kak Aisu… aku minta maaf, ya? Aku gak bermaksud gak percaya sama omongan Kak Aisu. Kak Aisu kan, paling tahu kalau aku selalu ada di pihak Kak Aisu; apa pun yang terjadi! Kapan pun!" Mindy menunduk, meremas ujung lengan jaket kulit Aisu. "Kak Aisu kan, selalu tahu kalau aku gak pernah berubah dari dulu. Aku… aku selalu ada di pihak Kak Aisu. Dulu, sekarang, dan sampai kapan pun…." Sikap imut Mindy tentu mencubit hati Aisu. Dia menutup mulutnya, tidak kuat menahan keimutan wajah dan sikap yang ditunjukkan Mindy. Buru-buru Aisu merontokkan wajah kerasnya, lalu menumbruk tubuh mungil Mindy dan memeluknya erat-erat. "Aaa!! Ya ampun, Mindy! Kamu mau bunuh aku, ya? Kamu manis sekali, sih! Bisa-bisa aku mati karena diabetes, tahu!" Leo kembali tak minat, dia memilih menatap korannya. "Berlebihan." "Bilang saja kau iri, Bung!" Aisu menjulurkan lidahnya. Dia mendekap Mindy makin erat, yang Mindy rasa pelukan itu dapat menghilangkan nyawanya karena terlalu mencekik dan membuatnya tak bisa bernapas. "Aku bisa melakukan itu kapan saja. Jadi, buat apa iri?" kata Leo dengan muka tebal yang membuat wajah Mindy memerah. "Ah, sial. Panas sekali!" Aisu melepas pelukan, mengibas-ibas wajahnya, meledek dua orang itu sekaligus. "Bisa gak sih, merayunya jangan di depanku?" Leo menatap Aisu sebentar. "Kau cemburu?" "Bah!" Aisu tertawa renyah. "Cemburu? Aku cuma gak mau jadi nyamuk saat kita sedang kumpul bertiga. Dasar lamban." "Tapi kau selalu menjodoh-jodohkan aku dan Mindy saat kita sedang kumpul, Bung." Aisu mengerutkan alis. Bibirnya terbuka tanpa mengeluarkan suara apa pun beberapa waktu. "… ya… itu… karena… aku hanya punya kesempatan meledek kalian saat sedang kumpul saja. Jadi… ya…." "Ya, jangan salahkan aku kalau kau jadi nyamuk. Kau sendiri yang menciptakan suasana jadi begini." "Ck! Si4lan!" Satu-satunya senjata yang tersisa untuk melempar Leo hanyalah binder miliknya, tapi urung dilakukan karena tugas dan materi di dalamnya lebih berharga dibanding nyawanya sendiri. Delikan bahu Leo sudah cukup membuat Aisu mendidih. Tetapi, untung saja Mindy mencegah Aisu dari melempar meja piknik itu pada Leo. Mindy menyelamatkan seseorang hari ini. "Kak Aisu!" Mindy menahan lengannya, sejurus mendapat tolehan. "Ak-aku minta maaf, ya?" Lagi-lagi, wajah imut yang Mindy buat mampu menurunkan panas pada hati Aisu. "Sudahlah. Kamu minta maaf terus dari kemarin. Lagian aku sudah bilang, kamu gak salah. Aku juga selalu bilang, kalau kamu gak salah apa-apa, jangan minta maaf. Jangan pernah lupakan itu, Mindy." Aisu menutup kalimatnya dengan jawilan pada pipi mulus Mindy. "I-iya, Kak Aisu. Aku lupa, hehe." Mindy mengenyir. Aisu menegaskan wajahnya, tetapi cukup lembut untuk berkata, "Kalau lupa pada hal itu, kamu tahu kan, harus apa?" "Siap!" Sebelah tangannya ditaruh pada kening, memberi hormat pada Aisu macam seorang prajurit pada komandannya. "Satu bungkus rokok segera datang!" Mindy hendak berlari menuju kantin, tapi maniknya bertumbuk dengan milik Leo, membuatnya berhenti sejenak. "Leo mau menitip apa?" "Enggak… aku baik." "Pftt! Mindy kan, bukan menanyakan kabar! Segitu groginya kau dengan dia?" ejek Aisu. "Ka-kalau gitu, aku pesankan minuman saja." Mindy beranjak. Kaki-kaki pendeknya setengah berlari menuju kantin di dalam gedung dengan wajah memerah. "Duh, Leo! Kok, kau membiarkan Mindy pergi sendiri, sih? Harusnya kau pergi saja dengannya! Tawarkan diri, bilang ingin menemaninya! Kaku banget deh, kayak kanebo kering! Hahaha!" Sementara Aisu terbahak, Leo terus menusuk Aisu dengan matanya. Bahkan, Aisu tak tahu kalau sejak Mindy masih duduk di sebelahnya, mata Leo terus memaku ke arahnya. Begitu tawanya habis, setelah mencari oksigen untuk paru-parunya, raut wajah Aisu sontak berubah drastis. Wajah itu datar tanpa ada satu pun kedutan otot. Tatapan matanya menusuk lembaran kertas di atas meja. Aisu tampak seolah tak pernah tertawa. "Sejak kapan kau menjadikan Mindy sebagai pesuruhmu?" Aisu mengernyit. "Pesuruh?" Air wajahnya tampak marah. "Jadi bagimu, aku sama dengan mereka-mereka di masa lalu Mindy?" "Memangnya kau berbeda?" "Jadi maksudmu, aku jahat?" "Kau selalu menarik kesimpulan yang salah, Aisu." "Kalimatmu memang terdengar seperti aku adalah orang jahat." "Aku tidak pernah bicara begitu." Brak! "Tapi kau seperti sedang menyalahkanku!" Aisu naik pitam. Dia hanya bisa melampiaskan tangan gatalnya pada permukaan meja, tidak pada wajah Leo. Bisa-bisa, Mindy betulan menganggap Aisu orang jahat, persis yang dikatakan Leo. "Sudah kubilang, kau itu selalu menarik kesimpulan yang salah." Aisu mengepalkan kedua tangannya. Buku-buku jarinya meninggalkan bekas pada telapak, tetapi Aisu lebih peduli jika kukunya merobek kulit dan membuat telapaknya berdarah sekali pun, dibandingkan mesti memberi penjelasan pada Mindy karena meninju Leo. Pemikiran itu dapat menguapkan amarahnya sejenak. Dan agaknya, Leo mengetahui, bahwa Mindy akan selalu menjadi kelemahan Aisu. "Pergi sana," usir Aisu. "Tidak bisa." Aisu sudah keburu melotot. "Mindy membelikanku minuman. Setidaknya, aku harus ada saat minuman itu datang. Kau tidak ingin membuatku jadi orang jahat, kan?" Aisu menatap Leo penuh kebencian. Dia hanya bisa mengumpat dan berdecak. Aisu tahu, bahwa berurusan dengan Leo hanya akan menguras tenaganya, dan itu adalah hal sia-sia. Sebab, Aisu pun tahu, bahwa Leo tidak akan kehabisan akal untuk memeras emosi dan amarahnya. Terutama soal Mindy. Aisu menganggap, sikap Leo padanya adalah pembalasan atas ledekan-ledekannya. Makanya, Leo selalu memiliki kalimat balasan untuk Aisu kalau-kalau dirinya diledek. Seolah membuat Aisu tahu rasa, kalau senjata juga bisa makan tuan. Namun, berbeda dengan Leo, Aisu selalu gampang terpancing. Jika saja ada orang asing melihat mereka berdebat, pasti Aisu dan Leo dikira bermusuhan. Dan fakta bahwa sebenarnya mereka adalah teman sejak kecil, pasti sukses membuat dagu orang itu jatuh ke tanah. Hening menyerbu keduanya agar membisu. Leo memainkan ujung koran, dengan diam-diam mencuri pandang pada Aisu. "Aisu." Perempuan itu diam saja. Dia memaksakan diri untuk hanya fokus pada soal Fisika di atas meja. "Apa kita…." Aisu mengangkat kepala, mempertemukan mata dengan Leo. Mereka saling menatap dalam satu garis lurus yang menghanyutkan. "…tidak bisa memulai kembali?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN