Sosok hitam bersayap itu tersenyum lebar-lebar menyaksikan semuanya.
"Satu anak pion sudah kuciptakan. Sekarang tinggal menunggu waktu bagi lawanku menggerakkan bidaknya. Ah, semoga permainan kali ini tidak membuatku bosan."
***
Saat hujan deras turun, Aisu sudah duduk di dalam angkot yang akan membawanya pulang. Selama setengah jam, supir angkot berkendara pelan seolah menikmati irama hujan yang berjatuhan mengenai atap mobil. Atau bisa jadi sekadar berhati-hati pada aspal yang licin.
Saat badan angkot sudah tiba di gang perkompleksannya, Aisu turun setelah membayar dengan uas pas. Namun dia tidak berlari, tidak pula berjalan memepet rumah orang demi menghindari hujan. Malah Aisu sengaja berjalan pelan-pelan, membiarkan kepala dan tubuhnya dibasahi hujan.
Rumah tingkat dua berdesain serupa dengan seluruh rumah di perkompleksan itu adalah tempatnya berhenti. Aisu membuka pagar rumah, melewati halaman, lalu masuk lewat pintu depan.
"Mbak Aisu, pulangnya sama siapa? Kehuja— eh, ya ampun! Sebentar saya ambilkan handuk, Mbak!" Seorang perempuan yang tak jauh lebih tua darinya, menyambut Aisu pulang. Mbak Ris yang datang dari ruang tengah, segera menuju kamar mandi setelah melihat Aisu yang masuk dengan tubuh basah kuyup.
Aisu duduk di dekat rak sepatu, melepas ransel dan tabung gambar serta sepatu hitam-putih usangnya.
"Ya ampun, Mbak Aisu! Kenapa hujan-hujanan?! Ayo, lepas bajunya, Mbak! Nanti keburu masuk angin. Saya ambil ember dulu buat taruh baju Mbak." Mbak Ris lantas pergi setelah menaruh handuk di dekat Aisu.
Aisu diam sebentar, merelakan telinganya tersihir oleh suara hujan di luar rumah yang mengetuk-ngetuk atap dan halaman, sampai tak sadar kalau dari tadi Mbak Ris memanggilnya.
"Mbak Aisu? Mbak Aisu!"
"Eh, iya?" Aisu tersadar oleh tepukan di pundaknya.
"Ayo, diganti bajunya, Mbak. Kalau masuk angin bahaya, lho. Mbak Aisu kan, besok masih kuliah."
Perkataan Mbak Ris membuat Aisu menghela napas berat. Dadanya terasa panas saat melihat tabung gambar di depannya, Aisu malah teringat wajah dosen sok galaknya itu.
Tapi Aisu membuka lapisan bajunya satu-satu dan memasukkannya ke dalam ember yang dibawa Mbak Ris, babysitter Ami yang dipekerjakan Mama setengah tahun lalu, tepat saat Ami masuk TK—yang datang ke rumah setelah Ami pulang sekolah, lalu pergi setelah Aisu pulang dari kampus.
Ngomong-ngomong tentang Ami, "Ami mana, Mbak Ris?"
"Tidur, Mbak Aisu. Habis makan sambil nonton kartun, Ami langsung tidur. Hawanya dingin, jadi mengantuk katanya."
"Maksudnya, Mbak Ris yang mengantuk?" Aisu tertawa.
"Ah, Mbak Aisu bisa saja."
Aisu membuka seluruh bajunya, hanya menyisakan pakaian dalam di balik balutan handuk yang dia pakai.
"Kalau mengantuk, tidur di sini saja, Mbak Ris. Mau pulang juga hujan, kan. Nanti saya bangunin, kok."
Aisu berdiri, ekspresinya tampak aneh. "Ha... ha... hatsii!!"
Aisu mengelap hidungnya, lalu dia membawa ember berisi baju basahnya ke lantai dua. "Saya mandi dulu, Mbak Ris. Titip Ami sebentar lagi, ya."
"Iya, Mbak Aisu. Saya sekalian bikin teh buat Mbak. "
Aisu tersenyum. "Makasih, Mbak Ris." Kemudian pergi ke lantai dua.
***
Hujan dengan intensitas yang sama besar juga terjadi di kafe tempat Deka bekerja. Tak seperti biasa, kafe yang lumayan besar itu ramai. Bisa jadi karena hujan yang memaksa para pejalan kaki mencari tempat berteduh. Dan karena hujan tak juga berhenti sesudah satu jam, kaki-kaki mereka mulai pegal berdiri, mereka juga jadi bosan.
Mau tak mau, kafe Dinolatte menjadi pilihan tempat mereka berlindung dari hujan. Di konter kafe, untungnya hanya tersisa dua pelanggan yang tengah mengantre. Para karyawan sibuk meracik pesanan, meneriakkan nama pelanggan atas pemesanan, sekaligus merapikan konter bekas perhelatan.
"Aku enggak percaya tempat ini bisa ramai." Irfan, sang Kasir, menatap aneh meja-meja di kafe yang biasanya kosong berdebu itu tengah dihinggapi banyak pelanggan.
"Berkah hujan namanya, Fan. Tuhan Maha Baik, memberi berkah setiap waktu, bahkan saat hujan lagi turun sekali pun."
Iyo, barista kafe, mengelap konter berlapis keramik sembari menimpali Irfan dengan cara religius seperti biasa.
"Hhhh," Irfan menghela napas. "Kalau gitu, kenapa cuma pas hujan saja kafe besar ini ramai, Mas? Katanya memberi berkah setiap waktu, harusnya kalau hujan enggak turun, kafe ini tetap ramai, dong?"
Iyo tersenyum mafhum. "Rezeki itu harus dicari dan diusahakan, Fan. Bukan cuma ditunggu."
"Ya iyalah, Mas. Tapi kita, kan, kerja di kafe. Pelanggan yang datang ke kita, rezeki yang mendatangi kita. Kalau mencari pelanggan, gimana caranya, Mas? Mau memboyong kafe? Keliling bawa-bawa kafe, gitu? Ada-ada saja."
Mas Iyo menggeleng. Teman setempat kerjanya itu tidak nyambung kalau diajak bicara.
Pintu karyawan di pojok konter terbuka, Deka keluar dari sana dan menimbrung dengan mereka berdua. "Maksudnya, usaha bos kita itu kurang untuk menarik pelanggan, Mas Irfan. Setengah-setengah, kayak jabatannya."
"Ah, itu benar, sih. Kafe ini memang kuno banget, enggak ada Wi-Fi-nya. Interiornya juga dibuat terlalu sederhana, enggak estetik, enggak menarik. Apalagi, menu kopinya kurang bervariasi. Padahal kopi, kan, menu paling utama di sebuah kafe."
"He, cangkemmu." Iyo menyikut Irfan. (Mulutmu)
"Mas Iyo juga setuju, kan? Tempat ini besar, tapi selalu sepi kayak kuburan. Gajinya juga enggak seberapa. Karyawannya cuma ada tiga: Mas Iyo, saya, sama Deka.
"Si Bos menjabat jadi manajer juga. Mana enggak ada karyawan perempuan, saya jadi enggak bisa cuci mata. Tiap hari lihat Deka sama Mas Iyo bikin saya bosan." Irfan menopang dagu, berkeluh kesah.
"Tapi betul kata Mas Iyo, kan, Mas Irfan? Walaupun kafenya selalu sepi, malah jadi berkah buat Mas Irfan karena bisa menyicil skripsi." Deka ikut merapikan konter bersama Iyo.
"Menyicil skripsi opo? Wong laptop-ne ndak digowo, kok." (Laptopnya saja tidak dibawa, kok.)
Deka tertawa mendengar kalimat Iyo. Setengah menertawai Irfan, setengahnya lagi karena suara medok Iyo.
"Sudah, ah. Kalian enggak asyik. Bahasnya skripsi terus, kayak bapakku saja." Irfan langsung pergi meninggalkan mereka ke ruang karyawan, menghindari topik mengenai skipsinya.
"Lho, Fan, rek nengendi?" (Mau ke mana?)
"Istiharat bentar, Mas. Kepalaku langsung pusing gara-gara kalian menyebut skripsi."
"Kasirnya gimana, Fan?"
"Alah, paling kalau hujannya hilang, pelanggannya juga ikut hilang, Mas."
"Lahdalah, Fan!"
"Biar saja, Mas. Kemarin Mas Irfan cerita kalau Bab 1-nya ditolak lagi sama dosen pembimbing. Bapaknya ngambek, Mas. Mas Irfan jadi harus jaga sikap di rumah biar bapaknya luluh, katanya."
Iyo menggeleng. "Itu, sih, salah wonge dewe, Deka. Wis dua kali ditolak dosen, ditolaknya juga masih bagian Pendahuluan. Ndak anak ndak bapak, podo wae. Sama-sama tukang ngambek."
Deka tertawa kecil dibuatnya.
"Terus, tadi Bos bilang apa, Deka?"
Pertanyaan Iyo membuat Deka menggeleng. "Kayak biasa, Mas. Bikin terobosan menu kopi baru, tapi gagal total. Enggak enak. Padahal kalau Bos mau konsultasi tentang menu kopi, bisa sama Mas Iyo daripada sama saya."
Iyo menghela napas, "Aku wis ngomong karo Bos, Deka, tapi wonge mbandel. Dia terlalu keras kepala, kekeh mau bikin menu kopi hasil pemikirannya sendiri biar namanya dikenal satu negara."
"Maklum, Mas. Sudah berkali-kali gagal, ditambah kafenya selalu sepi, mungkin Bos jadi frustrasi." Deka bergerak mendekati Mas Iyo, dia menurunkan suaranya, "Saya dengar, minggu lalu pemilik bangunan menagih Bos buat cepat-cepat bayar sewa.
"Katanya, sewa bulan kemarin baru dibayar setengah harga. Bulan ini juga belum lunas, Mas, masih nunggak. Pemilik gedung bilang, kalau sampai akhir bulan ini tidak dilunaskan semua, kontrak sewanya bakal dicabut. Kafe ini bakal digusur, Mas."
"Gusti!" pekik Iyo.
Lantas orang Jawa tulen itu tersenyum canggung sembari menundukkan kepala pada para pelanggan yang menoleh ke arahnya.
"Lah, dadine kepiye, Dek?" Raut wajah Iyo tampak panik. (Jadinya gimana?)
"Kurang tahu, Mas." Deka menggeleng lemah. "Tapi menurutku, daripada Bos sibuk bikin menu baru, mending mengurusi kafe ini biar ramai. Idenya Mas Irfan untuk pasang Wi-Fi boleh juga. Eh— lho, Mas Iyo mau ke mana?"
Deka ditinggal begitu saja oleh Mas Iyo yang mencopot apron hitamnya seraya pergi dari konter.
"Mau bicara sama Bos. Kamu jaga konter bentar, Deka."
"Eh tapi, Mas—"
"Aku ndak seneng ngomong iki, tapi aku kudu setuju karo Irfan." Iyo keluar dari konter lewat pintu kecil setinggi pinggang. "Yen udane entek, kafe-ne melu entek." (Kalau hujannya habis, kafenya ikut habis.)
"Mas Iyo!!"
Iyo sudah hilang ke ruang karyawan, meninggalkan Deka yang hendak mengejar, tapi tak bisa pergi dari konter saat pintu kafe mendadak terbuka. Mau tak mau, Deka harus melayani mereka.
Hatinya ikut resah, khawatir jika Mas Iyo dan Bos akan bertengkar karena ulahnya. Namun sesungguhnya, hal yang mesti Deka khawatirkan bukanlah urusan kafe, Mas Iyo, ataupun bosnya, melainkan sesosok bayangan hitam bersayap yang berdiri di depan kafe, yang menatap ke arahnya di bawah hujan sambil menyeringai.
"Waktunya menggerakkan pion yang lain," desisnya.
Bersamaan dengan sambaran petir, sosok itu lenyap, menghilang bagai tak pernah ada di sana. Tapi satu hal yang pasti, tak lama lagi, takdir Deka akan berubah seratus delapan puluh derajat.
Sedangkan Deka, tersenyum polos menghadapi pelanggan: sama sekali tak tahu akan kabar buruk yang menunggunya.