Matahari muncul dari bumi belahan timur. Sinarnya hangat menyambut pagi. Semilir angin ikut membawa sensasi sejuk dalam sekali kibas, menambahkan semangat untuk memulai hari.
Tapi bagi Aisu, matahari terbit adalah pertanda untuk tidur. Aisu itu bukan kelelawar, bukan juga burung hantu. Habitatnya bukan di gua, bukan pula di tengah hutan belantara.
Aisu hanyalah mahasiswi Jurusan Arsitektur normal yang jam tidurnya berubah sejak awal semester tiga lalu--normal, bukan? Siang jadi malam, malam jadi siang. Hidup dan beraktivitas saat matahari mulai pergi, lalu tidur saat matahari terbit lagi.
Makanya, kantung mata berlipat-lipat muncul di bawah matanya. Bintik-bintik hitam dan jerawat kecil juga terkadang singgah sebelum hilang dengan sendirinya. Karena itulah, Aisu tak terlalu memikirkan soal penampilan, cara berpakaian, ataupun rupa wajahnya yang selalu tampak kelelahan dan tidak enak dilihat setiap berangkat ke kampus.
Meski teman-temannya komplain tentang bau yang datang darinya, Aisu sungguh tak menghiraukannya. Ejekan teman-temannya datang dan pergi--macam jerawat dan bintik hitam pada wajahnya--jadi, untuk apa dia peduli? Toh, jika ditanggapi hanya akan menjadi sebuah siklus; datang, pergi, lalu terjadi kembali.
Tak peduli, tak mau tahu, dan tidak penting adalah alasannya menanggapi segala urusan yang tidak dia minati; semua hal, kecuali desain-desain bangunan tua dan arsitektur.
Meski masa bodoh dengan bagaimana penampilannya, Aisu itu cukup ramah pada semua orang. Alasannya mudah: tak ingin dibenci karena kelakuannya, cukup saja dijauhi karena penampilannya yang urakan dan sedikit bau.
Aisu bukanlah gadis yang menurut ukuran-ukuran sederhana saja bisa disebut gadis cantik. Dia tomboi, urakan, dan tak peduli penampilan. Dia tidak punya pakaian imut yang sehari-hari dipakai gadis seusianya.
Kemeja, kaus, jins, hingga tas ransel yang dipakainya kuliah adalah milik Papa waktu muda dulu.
Singkatnya, Aisu itu lebih mementingkan nilai pakai dan kenyamanan dibandingkan estetika dan kesan--terutama kepada lawan jenis. Makanya tidak ada laki-laki yang menganggapnya menarik.
Mungkin, satu-satunya kesulitan menjadi mahasiswi semester lima bagi Aisu, adalah menebar imej kakak tingkat yang cantik dan patut dipuja, sebab Aisu memang bukanlah tipikal perempuan semacamnya.
Dan bisa jadi, segala tugas desain, proyek rancangan bangunan, maket, hingga model bangunan 3D, adalah kesulitan yang merangkap jadi rasa nikmat pada kesehariannya.
Seperti semalam. Lagi-lagi, Aisu tidak tidur untuk merampungkan tugas gambar rancangan bangunannya untuk direalisasikan dalam bidang tiga dimensi saat UAS nanti.
Sisa-sisa perhelatannya semalam, berserakan di lantai. Bungkus koyo miliknya sudah habis, isinya menempel pada leher, punggung, siku hingga jemarinya. Kotak es krim yang diincar koloni semut sejak malam tadi ada di bawah meja belajar. Kertas-kertas sketchbook bertaburan di mana-mana.
Baju bekas dua hari lalu yang baunya mengkontaminasi kamar, masih tercantel di belakang pintu. Berbungkus-bungkus makanan ringan, sampai gelas kopi, berdiam diri di meja belajar.
Semua itu, membuat kamarnya bagai dihantam badai semalaman. Semua itu, tidak pantas berada di kamar gadis berusia dua puluh tahun, kan?
Ponsel yang sedang di-charge di meja belajar, berkedip kala satu pesan masuk, sekaligus menunjukkan pukul enam pagi. Korden kamarnya tertutup, tapi cahaya matahari dapat menembusnya, sedikit menerangkan kamar yang pemiliknya sedang mengembara dalam mimpi.
Aisu tertidur, meninggalkan tugas kuliah yang siap dia bawa ke tangan dosen, sekaligus meninggalkan suara teriakan Mama yang memanggilnya kencang-kencang dari dapur.
***
Di lain sisi, masih dalam belahan bumi yang sama, seorang lelaki menjalani pagi yang seratus delapan puluh derajat berbeda.
Deka, sejak matahari masih malu-malu menampakkan tubuh telanjangnya, sudah siap di atas sepeda gunung, lengkap dengan helm dan tas ransel, serta kayuhannya yang membawa Deka sampai pada toko roti milik Bunda yang berjarak tiga puluh menit dari rumah. Sedang Bunda, tengah memasak sarapan untuk Ayah dan dua abangnya di rumah.
Sebetulnya, Bunda sudah menyuruh seorang manajer toko untuk membuka toko dan mengurus semuanya, tapi Deka bersikeras ingin membantu Bunda. Karena beberapa alasan, Bunda jadi tidak bisa menjabat jadi manajer toko lagi--tentu karena harus menjadi Ibu Rumah Tangga.
Dan sebagai anak pemilik toko, Deka merasa bertanggung jawab atas ketidakhadiran Bunda yang dulu menjadi manajer sebelum Bu Nar menggantikannya.
Walaupun Deka adalah anak bungsu, tapi dia tidak manja pada Ayah dan Bunda, juga pada kedua abangnya. Makanya, sembari menunggu dibukanya tes SBMPTN tahun depan, Deka mengambil berbagai macam pekerjaan paruh waktu.
Di pagi hari, Deka mengurus toko roti Bunda. Siangnya, Deka bekerja di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari sana. Menjelang malam, barulah Deka belajar untuk persiapannya mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri tahun depan.
Ya, meski diselingi dengan bermain game online di PC-nya.
Selain konsentrasinya yang mudah pecah karena hal kecil, Deka itu pekerja keras. Dia tidak terlalu tampan, tapi enak dilihat. Deka juga baik hati dan ramah, tapi sayang otaknya kayak siput: lambat memahami sesuatu.
***
"Kak! Kak!" Aisu mengerang kala merasakan guncangan pada tangannya.
"Kakak!" Lalu guncangan itu naik ke pundaknya, membuat Aisu tak nyaman dan berbalik menghadap sisi lain.
"Kak Aisu! Bangun! Makan!" Tepukan keras mendarat di pipinya, membangunkan Aisu dengan perasaan sebal.
"Kakak! Kak Aisu!"
"Ah… iya, iya, Ami. Kakak bangun, kok." Tapi Aisu menutup tubuhnya dengan selimut, menghiraukan Ami, gadis cilik berusia tujuh tahun yang sudah rapi dengan seragam TK imutnya.
"Kak Aisu! Sekolah! Berangkat sekolah!" Ami merebut selimut, menariknya hingga jatuh ke lantai.
"Mmm... iya, ayo. Kakak sudah siap," ucapnya tanpa bangkit atau membuka mata sedikit pun.
Sulit bangun sebab bergadang semalaman, adalah hal wajar bagi Aisu. Tapi, tanggung jawab adalah tanggung jawab: jam delapan pagi, setiap hari, Aisu mesti mengantar Ami berangkat sekolah.
Itu dilakukannya sesaat Ami masuk TK. Mama dan Papa tidak bisa mengantar, melihat Ami melambai masuk kelas, ataupun menjemputnya pulang. Sebab, keduanya harus sudah siap di kantor jam tujuh pagi.
Dan pagi itu, karena kakaknya tidak turun ke ruang keluarga, Ami menghampiri kamar kakaknya di lantai dua, berniat membangunkannya untuk bersiap berangkat sekolah.
"Kakak! Sekolah! Kak Aisu!"
Aisu mengerang, "Iya, Ami. Ini Kakak sudah bangun. Ayo."
"Bukan!" Ami tampak gemas. "Sekolah! Kak Aisu sekolah!"
Aisu mengeratkan pelukan pada guling, "Iya... sebentar lagi sampai, Ami. Abang angkotnya lagi mengetem."
"Ih, Kak Aisu! Sekolah! Kakak sekolah!" Karena sebal kakaknya tak bangun juga, Ami menjambak rambut panjang bergelombangnya.
"Aduh, Ami. Iya, iya! Kan, Kakak bilang sebentar lagi sampai. Sebentar!"
Kalimat kakaknya membuat Ami cemberut, tapi Ami malah tampak imut dengan kedua pipi yang mengembung. Dia menyerah. Kakaknya itu kalau sudah pulas, sulit dibangunkan meski meteor menimpa kamarnya.
Ami turun dari ranjang Aisu, hendak keluar dari kamar kakaknya yang berantakan dan bau. "Kak Aisu, kalau enggak bangun, nanti guru Kakak marah, lho! Ami sudah bangunin Kakak, Kak Aisu jangan salahin Ami kalau disetrap, ya!"
Lantas pintu menutup. Ami pergi dari kamar, menyisakan ruangan ber-AC itu senyap. Aisu melantur, "Kamu ngomong apa, sih? Ini kita sudah sampai di sekolah Ami. Kakak bayar abang angkotnya du-- eh?"
Kemudian matanya melotot, terbuka lebar-lebar. "Uang!! Kakak tidak bawa uang!"
Aisu terduduk, mengatur napasnya sembari melihat sekeliling, "...mimpi, ya?" katanya saat menyadari kalau tubuhnya tidak berada di jalan raya.
Lalu dia merebahkan tubuh pada kasur empuknya, berniat kembali tidur barang lima menit lagi. Dia menghadap meja belajar, menghindari jendela dan matahari yang menyilaukan mata yang persis nyalang di belakangnya.
"Tidur sebentar la--" Untuk sesaat, gadis dua puluh tahun itu terdiam.
Tatapannya terkunci pada jam dinding di dekat pintu kamar. Tapi kemudian dia memeluk guling, memejamkan mata.
"Jamnya mati, ya? Duh, bikin kaget. Kirain sudah jam setengah dua belas siang. Harusnya semalam aku ganti bate... EH?!?"
Aisu langsung meloncat bangun dari ranjang. Dia melotot melihat jam dinding. "SETENGAH DUA BELAS?!"
Di lantai satu, di ruang tamu, Ami menggeleng mendengar teriakan histeris kakaknya. "Kak Aisu pasti bakal dimarahin Bu Guru karena tidak masuk sekolah." Lalu gadis cilik itu kembali fokus menonton kartun di tv, menghiraukan kegaduhan kakaknya di lantai dua, masih belum mengganti seragamnya setelah pulang tadi.
***
"Eh, Bang Deka kayaknya lagi senang, ya?" Bu Nar, manajer toko roti pengganti Bunda, menangkap putra bungsu temannya tengah mengelap kaca etalase sambil tersenyum lebar-lebar.
"Ada apa kali ini, Bang Deka? Perasaan, gaji kafe belum turun." Pekerja paruh waktu lain yang baru datang, mahasiswi semester satu, menimbrung seraya memakai celemek dan melangkah keluar dari ruang karyawan.
"Paling juga karena perempuan, Mbak Vinka." Bu Nar tertawa geli pada terkaannya. Vinka mengangguk-angguk, memafhumi pikiran lelaki seusianya, sedang senyuman pada wajah Deka semakin lebar.
"Apa sih, Bu Nar. Bukan apa-apa, kok. Cuma senang karena cuacanya lagi bagus saja." Lantas Deka menaruh lap, menyambut pelanggan yang datang bersamaan dengan bunyi lonceng yang dipasang di atas pintu.
"Cuaca lagi bagus, katanya?" Bu Nar menyikut Vinka, tersenyum geli dengan kedua alis yang berkerut heran.
Vinka menggeleng, tertawa kecil sembari melihat langit di luar jendela toko roti: arakan awan mendung yang menyembunyikan tubuh matahari.
Percakapan itu terhenti oleh nampan berisi tumpukan roti yang datang ke kasir. Bu Nar tersenyum ramah pada pelanggan seraya menghitung harga roti yang dibawanya.
Vinka berdiri di sebelah Bu Nar, membungkus roti-roti matang kecokelatan itu ke dalam plastik sebelum menyerahkannya ke tangan pelanggan. Selama Bu Nar dan Vinka melanjutkan kerja sama di konter kasir, Deka membawa troli bertingkat berisi bernampan-nampan roti yang baru saja matang dari dapur toko.
Lengkap dengan masker di wajah, Deka berhati-hati menyusun roti-roti hangat itu ke dalam etalase. Aromanya berkeliaran ke seluruh ruangan, menggoda indra penciuman.
Lampu kuning yang dipasang di atasnya pun menyinari mereka, menambah kilauan cantik dan warna keemasan yang menggoda siapa pun yang melihatnya.
Beberapa pelanggan datang dan pergi setelah membayar roti, membuat toko roti kecil milik Bunda sibuk di jam makan siang. Dilihat dari pakaian yang mereka pakai saja, bisa ditebak kalau beberapa dari mereka adalah pekerja kantoran atau sejenisnya.
Deka segera pergi ke ruang karyawan setelah melihat jam tangannya: pukul satu siang. Selepas mengganti seragam dan celemeknya, Deka meninggalkan toko roti Bunda.
"Bu Nar, saya titip toko, ya," katanya setengah berbisik dari pinggir konter.
Bu Nar mengangguk di sela kegiatannya menghitung harga roti. "Hati-hati, Bang Deka."
Deka mengeratkan cangklongan tas ranselnya seraya melangkah keluar toko, tapi Vinka menghentikannya.
"Eh, sudah mau berangkat, Bang Deka? Bukannya masuk kerja di kafe jam dua siang?"
Deka memegang gagang pintu toko. "Iya, Vin. Bosku menyuruh datang lebih awal. Katanya mau diskusi tentang resep baru. Oh iya, saat kamu istirahat nanti, jangan lupa makan jatahmu. Kata Bu Nar, kemarin rotinya malah tidak disentuh sama sekali."
"Eh tapi, Bang--"
"Tidak usah sungkan, Vin. Bundaku memang sudah menjatah dua roti untuk setiap karyawan. Lagi pula, dua belas roti gratis yang dikeluarkan setiap hari tidak akan membuat toko ini bangkrut, kok. Dimakan, ya!"
"Bang Deka--"
Denting lonceng berbunyi saat daun pintu kaca membenturnya. Di saat yang sama, Deka sudah pergi dari toko menggunakan sepeda, lengkap dengan helm dan senyuman lebar pada wajahnya.
***
Aisu berlarian melewati lorong sepi. Kaki-kaki panjangnya segera membawa Aisu menuju pintu kelas. Bahkan dia mendobraknya ketika dosen tengah menjelaskan tentang salah satu teori penting yang harus diperhatikan dalam merancang sebuah bangunan.
Semua pasang mata lantas tertuju pada Aisu, tak terkecuali dosen berkacamata yang wajahnya memerah, tampak siap meledak karena menahan amarah. Aisu sampai dibuat ciut, tapi dia tetap melangkah masuk, berusaha tidak terintimidasi oleh Pak Hiroki, dosen pendiam yang sekalinya bicara, kalimatnya tajam-tajam.
Seperti sekarang, saat kakinya baru sejengkal melangkah, Pak Hiroki menusuknya dengan bilang, "Anda salah masuk kelas. Ruangan ini masih ada jam kuliah, belum perlu dibersihkan. Silakan keluar."
Aisu terperanjat. "Tapi, Pak--"
"Kalau gitu, silakan dibersihkan. Tapi jangan mengganggu perkuliahan saya."
Kalimat itu membuat telinga Aisu panas. Dia segera pergi dari sana, membawa rasa malu yang mesti dia telan mentah-mentah. Aisu berbalik pergi setelah mendelik pada dosennya, menunjukkan rasa tidak sukanya jelas-jelas.
Kemudian pintu menutup, suara bantingannya keras. Aisu pergi, meninggalkan sumpah serapah pada Pak Hiroki.
"Dosen sok galak!"
***
"Hahaha!"
Aisu cemberut mendengar Mindy, teman sekelas yang menertawainya. Mereka berdua duduk di bangku taman kampus, berteduh di bawah pohon beringin besar dari kawanan awan mendung yang siap menjatuhkan rintik hujan kapan saja.
Mindy yang tadi menemukan Aisu di lobi gedung fakultas mereka sembari duduk berjongkok di sebelah mesin penjual minuman otomatis, segera menarik temannya itu ke taman kampus selepas jam kuliahnya habis.
"Tidak usah tertawa," ucap Aisu ketus.
"Lagian, kamu pakai ketiduran segala, sih. Jadi telat masuk kelas--bukan. Malah jadi terlalu awal untuk menyapu ruang kelas, kan! Hahaha!"
Aisu meneguk minuman isotonik yang dibelikan Mindy, mendinginkan suasana hatinya. "Aku mau pulang." Lantas Aisu bangkit, hendak pergi, tapi Mindy segera menyambar lengannya.
"Eh! Tunggu dulu, Kak Aisu!"
"Minggir. Kamu tidak mau kena semprot olehku, kan?" katanya mengabaikan raut wajah imut yang Mindy buat.
"Maaf, deh. Aku tidak bermaksud bikin kamu tambah kesal. Cuma... sedikit kelepasan saja.”
Setelah mengembuskan napas berat, Aisu menaruh bokongnya. Ransel kulit warna hitam milik Papa dan tabung gambarnya dia lepas dan diletakkan di antara dirinya dan Mindy.
"Aku sebal sama dosen itu."
"Dosen itu? Ah, maksudnya Pak Hiroki yang orang Jepang itu?"
"Ke-tu-ru-nan!" Aisu mengeja kalimatnya, mengoreksi kesalahan Mindy. Lalu Aisu bergidik. "Aku kesal sekali! Sombong! Sok galak!"
"Keturunan? Bukannya Pak Hiroki memang orang Jepang asli yang tinggal di Indonesia? Dia itu salah satu arsitek yang mendesain renovasi terminal tiga Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kan?
"Makanya, dekan kampus kita terkesan dengan idenya sampai menawari Pak Hiroki menjadi dosen di sini. Siapa tahu bisa membagikan ide-ide cemerlang dan tips menjadi arsitek yang hebat, katanya."
"Orang Jepang apanya?! Dia itu cuma keturunan! Lahir dan besarnya di Indonesia. Dan yang mengepalai desain renovasi itu kakeknya!
"Dia cuma menumpang nama keluarga 'Hiroki' untuk tenar dan dikenal banyak orang! Dan aku yakin, ada kesepakatan tersembunyi di belakang perekrutan Pak Hiroki menjadi dosen di sini dengan Dekan!" Aisu bersungut-sungut, tatapan wajahnya tampak sebal.
Mindy menyikutnya, merasa canggung karena dilirik oleh orang-orang lewat. Terlebih, karena sekarang adalah jam istirahat siang sebelum kelas kuliah selanjutnya dimulai kembali. Makanya taman kampus agak ramai. Dan yang merasa malu malah Mindy, karena memiliki teman macam Aisu.
"Jangan keras-keras bicaranya! Kata-katamu itu bisa menjadi rumor buruk, tahu! Lebih parahnya lagi, kamu bisa dituduh memfitnah Pak Hiroki!"
Aisu mengangkat kedua bahu, tampak tak peduli. "Itu kenyataan. Aku dua ratus persen yakin."
"Tahu dari mana? Memang kamu punya bukti? Lagi pula, kenapa kamu tahu sedetail itu soal Pak Hiroki? Aku saja tidak dengar rumor apa-apa soal kewarganegaraannya atau hal-hal yang lebih pribadi."
Aisu menengadah, dia menatap akar-akar beringin yang menggantung di atas kepalanya. "Tahu, lah. Waktu aku ke ruang dosen tadi, aku--" Aisu mendadak melirik Mindy.
"Apa?" Mindy sudah mendekat ke arahnya dengan wajah yang tampak sangat penasaran.
Aisu sempat diam sejenak, membuat rasa penasaran Mindy makin memuncak. "Kamu apa, Kak Aisu?"
Aisu menggaruk lehernya. "Aku...,"
Mindy menunggunya. "Aku?"
"Aku... dimarahin karena tadi terlambat." Tapi Aisu mengatakannya sembari melengos, membawa pergi tatapannya dengan harapan Mindy tak mencurigainya.
Mindy menatapnya erat-erat, membuat Aisu gugup. "Yang benar?"
"Be-benar, kok!"
Aisu berusaha menatap Mindy tanpa melirik arah lain. Karena jika dia gentar sedikit saja, pasti Mindy akan tahu kalau Aisu menyembunyikan sesuatu.
Dan jika Mindy sudah tahu hal yang seharusnya Aisu tidak sebarkan, temannya itu pasti akan memulai rumor dan membuat kehebohan.
Dan untunglah, rasa kesal Aisu terhadap dosen keturunan Jepang itu masih tertinggal di dalam hatinya. Aisu jadi bisa mengalihkan kecurigaan Mindy pada hal lain.
"Tapi aku masih kesal sama Pak Hiroki! Sudah bergadang semalam suntuk, mengulik rancangan desain susah payah, tapi tugasku tidak diterima! Kesal sekali! Tidak punya perasaan!" Kemudian Aisu merogoh saku jaket jinsnya, mengeluarkan sebungkus rokok.
"Yah, itu sih, karena kesalahanmu juga. Kamu lupa sama salah satu peraturan mengikuti kelasnya? 'Terlambat masuk kelas, maka presensi dianggap tidak hadir'."
Dan ternyata, cara itu ampuh untuk mengelabuhi Mindy.
"Tapi, kan, nggak termasuk penolakan penyerahan tugas, Mindy!"
Aisu memelototinya. Sembari mengapit batang rokok pada bibir dan menyalakan api pada ujungnya, Aisu menceritakan keluhannya. Melihat itu, Mindy jadi gemas sendiri karena batang rokoknya naik turun seirama dengan gerakan bibir Aisu. Tapi Mindy memutuskan diam, mendengarkan temannya berbicara.
"Habis diusir dari kelas, aku langsung ke ruang dosen dan menunggu Pak Hiroki di depan pintu. Lima belas menit berdiri kayak orang bodoh, waktu dia sudah datang dan aku bilang mau mengumpulkan tugas, dia malah bilang, 'Saya sudah tahu kualitas rancangan desain Anda tanpa perlu melihatnya'.
"Coba kamu pikirkan, Mindy! Ya Tuhan, aku benci sekali sama dosen sombong seperti dia!!" Aisu mengakhiri cerita dengan tinjuan di lututnya.
"Sudah, Kak Aisu. Tidak perlu dipikirkan."
"Tidak perlu dipikirkan apanya?! Aku bergadang semalaman dan memikirkan rancangan itu selama tiga hari!
"Aku berkeliling di daerah perumahan Pondok Indah yang jaraknya dua jam dari rumah, sampai dikira maling sama satpam di sana karena mengambil foto tanpa izin!
"Kamu tahu gak, seberapa besar kerja kerasku untuk mengerjakan proyek rancangan ini buat UAS nanti?! Kamu tahu gak, sekesal apa aku saat ini?!"
Aisu meledak-ledak. Dadanya naik turun mengambil napas rakus-rakus. Wajahnya mengeras, nada suaranya tinggi, Aisu dan Mindy lantas menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.
"Kak A-Aisu...."
Aisu langsung bangkit saat mendapati sekitarnya menatap padanya. "Maaf, Mindy. Aku malah marah-marah ke kamu, padahal kesalnya sama Pak Hiroki." Aisu mengamit ransel dan tabung gambarnya.
"Aku mau pulang." Kemudian Aisu pergi, meninggalkan Mindy dengan perasaan bersalah yang tak semestinya dia miliki.
"Kak Aisu!" Mindy berdiri tanpa mampu melangkahkan kakinya. "Habis ini masih ada kelas! Aisu!"
Tapi Aisu tetap melangkah keluar gerbang kampus tanpa berbalik lagi.
***
Seseorang--ah, bukan. Sesosok bayangan hitam bersayap, terbang turun dari langit mendung. Kepakan sayap besarnya meniupkan angin kencang, menerbangkan dahan-dahan pohon, akar-akar gantung beringin, dan dedaunan kering yang berserakan di taman.
Tapi tak ada satu pun orang yang curiga dengan kedatangannya. Mereka hanya menganggap angin itu adalah angin kencang yang berkibas sebelum hujan tiba.
Lantas sosok hitam bersayap itu mendarat di bawah pohon beringin, tepat di belakang Mindy. Dia menyatu dengan bayangan besar pohon, memerhatikan Mindy.
Mindy, tanpa tahu situasi yang tengah dilaluinya, terduduk di bangku taman kampus. Kakinya lemas, raut wajahnya lesu, dan hatinya terasa berat. Dia merasa tidak enak karena telah memperburuk suasana hati Aisu. "Ya ampun, apa ada yang bisa kulakukan agar Aisu merasa lebih baik?"
Sejurus kemudian, sosok hitam bersayap itu tersenyum. Wujudnya yang tak tampak di mata manusia, menguntungkannya untuk bergerak mendekati Mindy dan berdiri di hadapan gadis itu.
"Oh, Gadis Kecil. Apa kau membutuhkan bantuanku?"
Tentu suara itu tak dapat didengar oleh Mindy. Malah, tidak ada sesiapa pun yang dapat mendengarnya bicara ataupun melihat sosok besar hitam bersayapnya.
"Hi..hi..hi."
Dia tertawa. Dan jika ada seorang manusia yang dapat mendengar suaranya, pasti orang itu akan langsung lari ketakutan mengira mendengar tawa setan. Padahal, sosok hitam bersayap itu jauh lebih menyeramkan dari makhluk gaib mana pun.
Dia hitam. Tubuhnya tinggi dan besar. Bentangan sayapnya panjang. Jemari kukunya hitam dan panjang-panjang. Tepat pada keningnya, tumbuh sepasang tanduk yang runcing. Semua giginya tajam bertaring. Aura yang dikeluarkannya pun membuat burung-burung dan hewan lainnya segera menjauh ketakutan, seolah dapat merasakan kehadirannya.
Lantas sosok itu meniupkan sesuatu dari tangan kosongnya. Bubuk hitam segera berterbangan, arahnya tepat menuju wajah Mindy. Mindy mendadak terdiam dengan wajah yang pucat pasi saat bubuk hitam itu jatuh dan menyerap ke dalam wajahnya.
Sejurus kemudian, kedua bola mata Mindy menjadi hitam sebelum kembali seperti semula. Mindy berkedip-kedip, dia tersenyum, kemudian segera berlari pergi.
Sosok hitam bersayap itu tersenyum lebar-lebar menyaksikan semuanya.
"Satu anak pion sudah kuciptakan. Sekarang tinggal menunggu waktu bagi lawanku menggerakkan bidaknya. Ah, semoga permainan kali ini tidak membuatku bosan."
Sosok itu lantas menghilang, pergi entah ke mana tanpa ada satu pun orang yang mengetahui keberadaannya. Angin kembali bertiup, kali ini lebih kencang. Disusul dengan itu, hujan besar luruh dari langit deras-deras.
Seraya dengan datangnya hujan, takdir baru seolah dihujamkan turun ke dalam bumi. Terkhusus untuk dua tokoh utama cerita ini.