Terjadi keheningan untuk beberapa detik. Wanita itu menggunakannya untuk menatap Deka—agak terbengong dan masih tak percaya. Sedang Deka menggunakannya untuk membalas tatapan si wanita dengan bingung. “Anaknya?” tanya wanita itu, sungguhan curiga.
Deka mengangguk. “Iya, benar.” Dia tak sadar jika salah satu resepsionis, teman wanita itu, sudah melirik-lirik petugas keamanan yang berjaga di dekat mesin pencetak nomor antrean.
“Maaf, tapi boleh saya lihat KTP-nya?” ucap wanita itu.
Deka berkedip-kedip—bukan maksud menggoda, tetapi sebatas reaksi tak menyangka saja. “Eh?”
Deka hampir dibawa dan diamankan oleh petugas keamanan yang menyambut ekspresi cangung dan penuh harap si resepsionis, kalau saja Deka tidak menunjukkan KTP miliknya. Atau kalau saja Deka tidak meminta si wanita resepsionis untuk mengecek kecocokan data pada fotokopi Kartu Keluarga yang Bunda dan Ayah bawa serta untuk keperluan dirawat inap.
Si wanita resepsionis untungnya meminta maaf karena sudah salah paham dan membuat Deka malu di hadapan orang banyak. Tetapi Deka tidak terlalu mempedulikan hal itu lagi. Ada hal yang lebih penting yang mesti dia lakukan sekarang.
“Jadi, saya sudah boleh lihat tagihan medis untuk Ibu Sani di kamar 505?” tanya Deka sedikit sarkas.
“Oh, iya, tunggu sebentar.” Wanita resepsionis itu lantas mengecek layar komputer di depan wajahnya. Dia mengetikkan sesuatu, mengarahkan mouse pada titik tertentu. Wanita resepsionis itu menatap Deka lagi sembari sesekali membaca layar komputernya. “Tagihannya apa mau dicetak sekalian dan dibayar ke kasir?” tanyanya.
“Eh?” Deka sempat bingung. “Tagihan Ibu Sani… bukannya ditanggung BPJS, Mbak?”
“Ah, kemarin suami Ibu Sani memang sempat mengajukan kartu BPJS, tapi tidak bisa dipakai.”
“Tidak bisa dipakai?” Deka mengernyit, dan sesungguhnya bergumam sendiri.
“Iya. Kartu BPJS-nya ditolak karena ada indikasi tunggakan tagihan yang belum dilunaskan.”
Penjelasan si wanita resepsionis membuat kedua mata Deka membulat. Tunggakan? pikirnya. “Tunggakan… berapa bulan, Mbak?”
“Maaf, Mas. Kalau soal itu kami tidak tahu. Kami tidak mengurusa soal masalah internal kartu BPJS. Kami hanya memproses keperluan pasien di rumah sakit, dan kartu BPJS hanya salah satu metode pembayaran tagihan rumah sakit saja,” jelas wanita itu.
Deka terbengong sebentar, masih mencerna informasi yang pertama kali membuatnya bingung.
“Apa tagihannya ingin dicetak?” Wanita resepsionis itu menatap Deka, mengalihkannya dari lamunan yang dianggapnya tidak perlu.
Deka mengangguk terpatah-patah. “O-oh, boleh, Mbak.”
Wanita resepsionis itu segera memproses permintaan Deka. Setelah bergerak dengan cekatan dan menyabet kertas putih yang keluar dari mesin pencetak, ia menyerahkannya kepada Deka, memberi instruksi alur pembayaran di kasir sekaligus memberi tahu jumlah tagihan rumah sakit atas nama Ibu Sani Maryam yang mesti dilunaskan.
Selepas berterima kasih dan dibekali senyuman bisnis serta ucapan semoga lekas sembuh, Deka berjalan dengan lemas tak tentu arah dengan mata yang memaku pada kertas tagihan di tangannya. Wajahnya cengo seperti seseorang yang tertidur di kelas, lalu dibangunkan oleh teman sebangku karena guru di depan menyuruh Deka untuk mengisi jawaban Matematika di papan tulis. Persis seperti itu.
Deka yang linglung, membawa kertas mahal itu untuk duduk di salah satu deretan bangku di lobi. Menjatuhkan p****t, Deka yang lemas masih menatap deretan angka. “Lima juta… tiga ratus…,” ucapnya lesu. “Untuk dua malam? Hanya untuk biaya rawat inap dua malam?”
Dia menjatuhkan punggung pada tubuh bangku, kepalanya menyender pada dinding dingin yang memiliki bau serupa dengan semua barang yang ada di rumah sakit, bau disinfektan yang menyengat. Deka menatap langit-langit yang tak terlalu jauh di atas sana. Dia menghela napas. “Kenapa aku lupa kalau proses penyembuhan Bunda membutuhkan banyak biaya?”
Deka memejamkan mata. “Ah, rasanya seperti ingin menangis.”
Selama beberapa menit dia duduk dengan isi kepala yang penuh, Deka baru beranjak setelah mendengar kehebohan di pintu lobi yang diisi oleh suara tangis, perintah untuk menyingkir, teriakan sedih, dan lagi-lagi suara roda ranjang rumah sakit yang bergulir didorong ke dalam Unit Gawat Darurat.
Deka tersenyum miris, mengasihani dirinya sendiri yang merasa iba pada orang-orang berwajah murung di dalam rumah sakit. Dia merasa miris pada dirinya sendiri, karena masih sempat bersimpati pada orang lain, sementara kondisi kesehatan bundanya sendiri saja… ah, sudahlah.
Deka memasukkan kertas mahal itu ke dalam tas selempangnya, sekaligus mengambil ponsel. Pukul sepuluh kurang lima belas. Ada tiga panggilan tak terjawab; satu dari Vinka, rekan kerja di toko roti Bunda, dua yang lain dari Bu Nar. “Oh, iya, aku belum ke sana.” Deka sekali lagi menghela napas.
Setelah menaruh ponselnya ke dalam tas lagi, Deka melangkah keluar dari lobi menuju parkiran motor. Tanpa membayar parkir—karena memang sepeda tidak ditagih—Deka mengayuh sepedanya keluar dari rumah sakit, tapi perasaan yang memberatkan hatinya tidak kunjung pergi walau dia sudah jauh dari Bunda.
***
“Kenapa? Hiks… hiks—” isak Aisu, mengusap wajahnya yang sudah basah dan berantakan. “Kenapa berce— hiks… kenapa Papa dan Mama mau ce— hiks… cerai? Hiks… hiks hiks.”
Ah, apa Aisu terlalu naif karena menganggap hubungan Papa dan Mama baik-baik saja, padahal kenyataannya Mama menyimpan surat permohonan perceraian?
Aisu memejamkan mata, berusaha menghentikan tangisan, tapi air matanya mengalir deras tak mau berhenti. Aisu terisak, menangis di kamar Papa Mama, hanya karena selembar kertas….
“Hiks… sia— hiks… sialan! Hiks hiks… hiks.”
***
Aisu membiarkan kamar Papa Mama begitu adanya, tidak merapikannya lebih beres kecuali menata kertas itu kembali di atas meja kerja Mama. Dengan air mata yang menderai, yang meninggalkan jejak di kedua pipi, yang terasa asin di sudut-sudut bibirnya, Aisu bangkit berdiri dan mencoba untuk tidak memikirkan apa yang baru saja dilihatnya.
Dia menutup pintu kamar Papa Mama dengan agak kencang, terbawa emosi, lalu mengumpat kencang-kencang, “Sialan! Sialan! SIALAN!” lalu menangis meraung-raung, memukul-mukul dinding.
Namun, apa yang dilakukannya malah semakin membuat hatinya terasa semakin sakit. Aisu kehilangan kekuatan pada kakinya, tapi tak menuruti untuk jatuh terduduk lagi. Dia pikir, jika kembali berada di bawah, tangisannya akan semakin kencang dan perasaannya akan semakin muram. Maka, Aisu memaksa dirinya untuk berhenti menangis, merapatkan kedua bibir dan agak menekannya. Berhasil, namun kedua pundak dan tubuhnya bergetar mengikuti seseguk yang datang karena usahanya menahan tangisan.
Aisu merasa hancur, tentu saja. Namun, bukan hanya itu yang memenuhi hatinya. Aisu merasa marah, kesal, sedih, dan juga merasa bingung. Dia marah karena Papa dan Mama tidak pernah membahas soal rencana perceraian mereka kepada Aisu. Pun marah karena salah satu di antara mereka, mungkin mamanya, tidak mendiskusikan permasalahan mereka berdua sebagai pasangan suami istri secara cermat, sebelum membawa pulang formulir Permohonan Cerai Talak dari pengadilan agama. Mungkin juga papanya, karena tidak memberi tahu sesuatu apa pun pada Aisu, anaknya sendiri.
Aisu marah pada kedua orang tuanya atas keputusan berat yang terkesan enteng yang Mama atau Papa buat. Di sela itu, terlintas pertanyaan; apa Mama dan Papa sudah berdiskusi? Apa mereka sudah saling bertukar pikiran perihal percerian mereka? Lantas, apa Mama memikirkan nasib Aisu? Nasib Ami, anak terkecilnya yang masih berusia tujuh tahun.
Bagaimana dengan Papa? Apa Papa juga memikirkan nasib Aisu? Nasib Ami? Aisu memang sudah dewasa, tapi bukan berarti Aisu tidak membutuhkan peran orang tua, kan? Bukan berarti Aisu sudah tidak butuh kedua orang tuanya sebagai pasangan suami istri. Bukan berarti Aisu bisa melakukan apa-apa sendiri; memang benar bisa melakukan sendiri, tapi kan, keutuhan rumah tangga orang tua itu sangat krusial dan mempengaruhi kesehatan mental anak-anak di rumah.
Apa orang tuanya berpikir sampai ke sana? Apa Mama memperhatikan poin itu? Apa Papa mempedulikan hal itu? Apa bahkan Papa mencegah Mama dan membujuk Mama untuk memikirkan ulang tentang permasalahan mereka, yang entah apa pun itu Aisu tidak ketahui? Di mana letak salahnya…?
Aisu kesal, karena baik Papa dan Mama maupun Papa atau Mama tidak pernah kelihatan dalam kondisi hubungan yang buruk yang mengharuskan mereka berdua untuk bercerai. Papa tak pernah kelihatan berselingkuh. Mama tidak pernah kelihatan berselingkuh. Papa dan Mama tidak pernah kelihatan bertengkar atau berselisih di depan Aisu dan Ami, ataupun di belakang kedua anaknya. Aisu kesal, karena… ini semua dirasanya tidak adil.
Aisu merasa sedih, karena jika Papa dan Mama betulan akan bercerai, maka Ami akan tumbuh menjadi anak dari orang tua yang mengalami perceraian dan broken home. Aisu tak masalah pada dirinya sendiri, karena menganggap dia sudah cukup dewasa untuk menghadapi perceraian, meskipun… Aisu memang tidak sanggup juga menghadapinya. Tapi demi Ami, adiknya yang baru berumur tujuh tahun, Aisu harus terlihat kuat dan bisa diandalkan, meski pada kenyataannya Aisu lebih banyak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri mengurusi pendidikan. Aisu sedih memikirkan Ami.
Dan Aisu merasa bingung, karena… apa alasan bagi kedua orang tuanya untuk sampai pada keputusan berpisah? Dipikir dengan kemungkinan apa pun, Aisu tak menemukan alasan yang tepat. Aisu tak menemukan jawaban yang masuk akal. Sungguh, orang tuanya, Papa dan Mama, terlihat baik-baik saja dan tidak pernah bertengkar. Mereka berdua, ya, sama seperti pasangan yang saling mencintai pada umumnya. Baik-baik saja dan harmonis. Sungguh.
Apa yang menyebabkan orang tuanya ingin berpisah?
“Erika… cintanya sudah habis.”
Ah, Aisu mendadak mengingat ucapan Papa dua malam yang lalu saat Aisu hendak mengagetkannya.
“Bisa bicara dengan Erika?”
Dan tiba-tiba saja, penelepon dua sore lalu yang mencari mamanya, yang memanggil nama Mama tanpa embel-embel “Bu” atau “Ibu” atau apa pun, melintas dalam pikirannya.
Mengingat dua hal itu, ekspresi Aisu berubah terkejut dan hilang akal. Ah… mungkin memang ada rahasia yang Papa dan Mama sembunyikan dari keduanya, sekaligus dari Aisu dan Ami.
Aisu merasa semakin hancur.