Tiga

1817 Kata
“Irza sayang, mau ke mane, nih, kesayangan Bang Roman?” panggil suara tak asing di rungu Irza. Pria bertubuh gempal dengan tato di sekujur lengan kiri dan punggungnya. Irza hanya menoleh lalu melempar tatapan tajam pada Roman. Kemudian dia melanjutkan langkah tanpa menjawab pertanyaan bernada bercanda ala Roman tadi.  Sebenarnya Roman bukanlah laki-laki yang buruk rupa. Kulitnya kecoklatan khas warna kulit orang Indonesia pada umumnya, tubuhnya juga bisa dibilang atletis meski dia sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan gym dan yang terpenting dia bisa diandalkan oleh Irza di saat kepepetnya soal uang. Roman juga kerap membantu Irza bila sedang mengalami kesulitan dengan imbalan yang setimpal tentunya. Salah satunya melayani kebutuhan Roman di atas ranjang. Tidak sampai making love, hanya sebatas make out dan laki-laki itu sudah bisa mendapatkan kepuasannya.  Meski sudah terbilang cukup lama saling dekat, dan membentuk hubungan simbiosis mutualisme, Roman bukan tipikal laki-laki yang patut diperjuangkan untuk urusan jangka panjang dan berhubungan dengan masa depan. Prinsip hidupnya anti kemapanan tapi dia rela menghalalkan segala cara demi uang, termasuk membuat sulit kehidupan orang lain. Hal itu yang membuat Irza sama sekali tidak pernah tertarik pada Roman meski menurut para gadis yang tinggal di sepanjang lorong sempit di tengah hiruk pikuk ibukota adalah laki-laki paling tampan dan rupawan. Irza rasanya ingin muntah bila ada gadis mulai memuji ketampanan Roman. Mau bagaimana lagi, Irza hanya menyukai laki-laki bukan berdasarkan ketampanannya. Yang terpenting bagi Irza itu adalah uang dan kesenangan.  Bicara soal duit kali ini Irza tidak bisa memanfaatkan Roman. Meski laki-laki itu pasti akan berusaha mendapatkan berapapun yang Irza butuhkan, tapi nama Roman berada di daftar paling bawah orang yang akan dimintai tolong saat kepepetnya, setelah nama Jinan tentunya.  Mesti ngepet di mana coba gue biar bisa dapat duit sebanyak itu dalam waktu kurang dari dua puluh hari? Sempat terlintas di pikiran Irza untuk meminta bantuan pada pria yang dulu pernah menjadikannya simpanan. Namun saat ini Irza sedang tidak ingin terlibat ke dalam persoalan apa pun yang ada hubungannya dengan rumah tangga orang lain.  Irza melangkah gontai kembali ke tempat kosnya. Hal itu tentu membuatnya harus melewati tempat tongkrongan Roman dan kawan-kawannya. Benar saja laki-laki itu mengikuti Irza hingga ke tempat kosnya.  “Ngapain lo ngikutin gue? Kayak bayi kucing liar lo!” Irza mendamprat Roman tanpa ampun. Suasana hatinya sedang tidak bagus saat ini dan Roman mencoba mencari gara-gara dengannya.  “Kenape, sih, lo? Ada masalah ape?” tanya Roman penuh kelembutan. Kali ini dia sudah berwujud seperti manusia yang sebenarnya. Karena bagi Irza, Roman itu adalah manusia jadi-jadian kalau sudah kumat jahatnya. “Nggak usah banyak tanya lo. Gue cerita juga lo nggak bakal ngerti masalah gue, Bang.”  “Gimana gua bisa ngerti, nah, elunya aja belum cerita ape-ape, Ja...Irja.” “Sekali lagi lo panggil gue dengan nama Irja, gue pelintir burung lo!”  Roman segera mengatupkan kedua paha dan menyentuh miliknya dengan kedua tangannya. Lalu menampilkan ekspresi seolah seperti orang yang ketakutan saat mendengar ancaman seperti yang dikatakan oleh Irza.  “Sadis lu! Mana ada lakik bener yang mau sama elu, kalau omongan lu sekotor kali Ciliwung.” “Bacot lo ye! Pergi nggak lo!” Irza meraih salah satu sepatu yang ada di rak sepatu samping pintu sebuah kamar kos, entah milik siapa, Irza tidak peduli.  Roman hanya melindungi kepalanya dengan tangannya tapi tidak membuatnya beranjak pergi, malah terus mengikuti Irza masuk ke dalam kamar kos perempuan itu.  “Heran gue, Jinan kok bisa betah temenan sama elu, Ir?” komentar Roman setelah merebahkan tubuhnya di lantai. Kakinya dibiarkan menggantung keluar kamar karena dia malas melepas sepatunya.  “Bukan urusan lo!”  “Sekarang cerita sama gua, ada masalah apa lu?”  “Lo punya duit tiga ratus juta nggak?”  “Ebuset, banyak bener?”  “Lima ratus juta deh. Ada nggak? Kalau nggak ada ke laut aja sono lo!”  “Lima rebu perak ada, nih. Lu lagi butuh duit? Ngobrol dong, jangan marah-marah mulu. Berapa banyak? Gua cariin deh.” Irza menggeleng cepat. Dia lalu benar-benar meminta Roman secara baik-baik supaya meninggalkan kamar kosnya. Sekali lagi dia tidak akan menerima bantuan dari Roman dalam bentuk apa pun. Terlebih dalam bentuk materi. Dia takut akan berbuntut panjang dan semakin rumit bila berurusan soal uang dengan Roman.  >>> Sesuai permintaan ibunya, hari ini Jerome akan menghadiri acara makan malam yang telah diatur oleh Marieta. Jerome tidak ingin mengecewakan ibunya yang telah bersusah payah mengatur kencan buta ini hingga sedemikian rupa. Jerome bahkan membiarkan ibunya yang memilihkan outfit yang akan ia gunakan untuk acara kencan buta malam ini. Sebenarnya tidak bisa dibilang kencan buta, karena Jerome telah mengetahui siapa pasangan kencannya malam ini.  “Apa ini tidak terlalu berlebihan, Mi? Aku ini mau pergi makan malam, bukan menghadiri acara pesta dengan pengusaha dan pejabat,” protes Jerome saat melihat refleksi tubuhnya di cermin. Tubuh atletisnya terbalut sebuah setelan jas warna dark brown karya desainer terkemuka tanah air. Semakin menonjolkan kesempurnaan bentuk tubuh dan ketampanan seorang Jerome Orlando. Sepertinya para dewa dewi di kayangan sedang bersukacita saat meniupkan roh ke rahim Marieta. Sehingga bayi yang dilahirkannya ke muka bumi bisa tumbuh menjadi laki-laki sesempurna ini.   “Berlebihan apanya? Pas gitu kamu pakai,” jawab Marietha, merapikan bagian pundak jas yang dikenakan oleh Jerome.  “Ukurannya memang pas. Yang tidak pas itu tempat penggunaannya. Nggak usah pakai ini, deh, Mi. Aku pakai kemeja sama celana bahan saja ya.” Jerome melepas kancing jasnya. Wajah Marietha berubah sendu saat melihat Jerome melepas jas pilihannya. Dia duduk sambil bersedekap di kursi yang berada di walk in closet milik Jerome. Membuang muka saat Jerome menahan senyum melihat ke arahnya.  “Jasnya aku simpan untuk dipakai di acara penting saja ya, Mi. Untuk malam ini aku pakai pakaian semi formal saja,” ujar Jerome, berjongkok di hadapan Marietha.  “Ya sudah kalau itu mau kamu. Mau memenuhi permintaan Mami aja, Mami udah seneng banget, kok, Jey,” ucap Marietha dengan sedikit memasang wajah cemberut.  “Senyum dong!” goda Jerome.  Marietha tidak kuasa lagi untuk tidak tersenyum saat Jerome menggodanya seperti itu. Dia lalu meminta Jerome beranjak dari berjongkoknya. Diikuti oleh dirinya yang juga beranjak dari kursi. Keduanya berjalan bersisian keluar dari walk in closet. Tangan Marietha tak lepas dari merangkul lengan Jerome. Dia terus mengantar putra kesayangannya itu hingga ke mobil yang akan mengantar Jerome ke restoran tempatnya bertemu dengan teman kencannya malam ini.  “Selamat bersenang-senang, Jey,” ucap Marietha setelah Jerome masuk ke mobil.  Jerome tertawa kecil. “Kayak lagi nganter aku piknik saja Mami ini,” komentarnya, sambil tertawa geli atas ucapan Marietha beberapa saat yang lalu.  “Mami ini lagi seneng beneran, loh, Jey,” jawab Marietha sedikit kesal, lalu meminta supir untuk melajukan mobil yang membawa Jerome di dalamnya.  >>>  Jerome memasuki sebuah restoran prancis dengan penuh percaya diri. Dia menyebutkan nama Marietha yang digunakan saat reservasi restoran mewah ini. Seorang pramusaji wanita mengantar Jerome menuju meja yang telah dipesan oleh Marietha jauh-jauh hari. Rupanya dia datang terlambat karena perempuan yang menjadi teman kencannya malam ini telah menunggunya. Saat ini perempuan tersebut sedang duduk memunggunginya, sehingga tidak bisa mengetahui kedatangan Jerome.  “Selamat malam,” sapa Jerome sopan.  “Selamat malam... Hay, Kak Jerome. Akhirnya kamu datang juga. Silakan duduk, Kak,” jawab Heriza sopan.  “Sudah lama menunggu saya?” tanya Jerome setelah duduk di hadapan Heriza.  “Belum terlalu lama. Kita pesan makan dan minum sekarang ya. Supaya bisa mengobrol dengan lebih santai kalau sambil makan,” saran Heriza. Matanya tak hentinya menilik kesempurnaan yang ada pada diri Jerome. Wajah yang terpahat sempurna, dan tubuh yang sepertinya tanpa cacat sedikitpun.  “Terserah kamu saja, bagaimana baiknya,” jawab Jerome dingin.  Jerome ternyata bohong. Karena sepanjang acara makan, laki-laki itu hanyak diam. Sekalinya bersuara bila Heriza melontarkan pertanyaan yang membutuhkan jawaban cukup panjang. Selebihnya Jerome hanya menjawab denga kata ‘ya’ atau ‘tidak’, ‘benar’ atau ‘salah’. Itu saja. Hal itu membuat Heriza mulai jenuh dan kehabisan akal untuk bisa membuat Jerome berbicara lebih banyak.  Arloji di tangan Jerome sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Artinya dia sudah berada di restoran ini bersama Heriza selama lebih dari satu jam lamanya. Rupanya bukan hanya Heriza saja yang merasa bosan, karena Jerome juga merasakan hal yang sama.  “Setelah dari restoran ini, Kak Jerome ada acara ke mana?” tanya Heriza untuk yang kesekian kalinya dia yang terlebih dulu melontarkan pertanyaan untuk laki-laki di hadapannya ini.  “Pulang. Mau ke mana lagi? Kalau kamu punya acara lain setelah dari sini silakan. Saya tidak akan mengganggu,” jawab Jerome. “Kak Jerome suka mengunjungi night club, nggak?”  “Tidak suka,” jawab Jerome sekenanya.  “Bagus! Kita nongkrong di coffee shop aja gimana?”  “Saya nggak ngopi,” jawab Jerome lagi.  “Kita keliling kota aja gimana?”  “Saya sudah puas melihat jalanan ibukota setiap hari. Itu-itu saja, tidak ada yang menarik.” Damn!!! Heriza mengumpati dirinya sendiri. Laki-laki macam apa yang sedang dihadapinya sekarang ini, Tuhan??? Manusia setengah robot atau mungkin jenis alien lain yang terdampar di bumi? Heriza sudah kehabisan kata-kata saat mengatakan kalimat penutupnya.  “Kita pulang aja yuk, Kak.” Dan benar saja. Rupanya kalimat itu yang ditunggu-tunggu oleh Jerome sejak bermenit-menit yang lalu. Jerome memang menahan dirinya untuk tidak mengajak Heriza pulang terlebih dulu. Menunggu sampai perempuan itu yang mengakhiri acara kencan yang lebih layak disebut rapat dengan kolega dari pada kencan buta.  “Kak Jerome nggak ada niatan mau mengantar aku pulang?” tanya Heriza heran saat Jerome hendak masuk ke dalam mobilnya yang sudah menunggu di dropzone. “Tadi kamu ke sini naik apa?”  “Pakai taksi online.” “Siapa yang order?” “Aku.” “Berarti kalau sekarang order sekali lagi masih bisa, kan?”  What??? Double apes ini namanya. Heriza menghentakkan kakinya penuh kekesalan. Dia meninggalkan Jerome begitu saja. Memutuskan melangkah meninggalkan restoran. Dengan harapan Jerome mau mengejarnya.  Namun ekspektasinya terlalu tinggi saat Heriza mendengar klakson mobil yang sedang melintas di sampingnya. Benar, itu adalah mobil milik Jerome dan laki-laki itu tidak berbasa basi sedikitpun untuk menawarkan tumpangan pada Heriza.  Demi Tuhan Heriza tidak akan pernah melupakan kejadian malam ini. Dia bersumpah pada langit yang berada tepat di atas kepalanya, dan bumi yang ia pijak sebagai saksi, bahwa laki-laki bernama Jerome Orlando itu kelak akan tunduk dan bertekuk lutut di hadapan seorang wanita di kemudian hari. Entah siapapun wanita itu, tidak harus dirinya. Jerome harus merasakan bagaimana rasanya tergila-gila pada seorang perempuan dan akan melakukan hal gila apa pun demi perempuan itu.  Tiba-tiba terdengar gemuruh menggelegar di atas langit. Tak lama kemudian hujan turun begitu derasnya. Padahal sejak pagi tadi sama sekali tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Ditambah lagi bulan ini bukanlah waktunya musim hujan. Heriza berlarian mencari tempat bernaung yang dapat melindungi tubuhnya dari hujan deras. Setelah menemukan tempat bernaung dia segera menghubungi teman yang bisa segera menjemput dan membawanya dari tempat laknat ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN