1. JATD

1218 Kata
Malam harinya, seperti biasanya Justin Hanney merasa tidurnya selalu terusik, tak bisa nyenyak. Ia selalu memimpikan sesuatu yang sama sekali tidak bisa ia pahami, suasana di dalam mimpi begitu gelap. Banyak orang-orang yang tingginya hanya sebatas lututnya, ditambah ada beberapa orang yang memakai pakaian hitam. Mereka memberikan sesuatu yang jahat hingga yang lainnya berubah menjadi jahat dengan mata memerah ataupun juga ada yang tewas karena tidak mau menuruti orang-orang itu. Entah mimpi semacam apa yang terus berulang ini, hal inilah juga yang membuat Justin merasa takut untuk bergaul dengan teman sebayanya selain penyakit yang ia alami. Bayang-bayang yang sejujurnya tak masuk akal bila ada di dunia seperti ini. Justin terduduk dengan napas yang tak beraturan ketika ia berhasil keluar dari dunia mimpi menyeramkan itu, dàdanya naik turun pertanda kalau hal itu benar-benar membuatnya takut. Laki-laki itu dengan segera mengambil rubik yang berada di sampingnya, ia langsung mengotak-atik rubik itu hingga perasaan hatinya jadi lebih tenang. Bagi Justin, tak perlu meminum obat penenang karena hanya dengan memainkan rubik maka hatinya jadi jauh lebih tenang. Semacam terapi alami yang entah mengapa bisa membuat hatinya yang semula takut, cemas ataupun khawatir kini bisa tenang seiring dengan semua bagian rubik itu yang kini sudah berwarna sepadan. Pintu kamar Justin tiba-tiba terbuka membuat Justin langsung menoleh ke arah pintu kamarnya, di sana ada Avril yang nampaknya begitu khawatir. Tentu saja Avril merasa khawatir karena tadi ia mendengar teriakan kencang yang berasal dari kamar Justin, ternyata tadi saat terbangun dari mimpinya, tanpa sadar Justin berteriak kencang ketika ia hampir tewas di tangan seseorang yang tubuhnya kecil, tetapi memiliki mata merah menyeramkan. "Justin, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Avril langsung menghampiri putranya setelah menghidupkan lampu kamar Justin. Wanita itu mengecek anggota tubuh Justin dan ia bernapas lega ketika tidak terjadi apa-apa, yang terlihat hanya peluh yang membasahi seluruh rambut Justin. Avril seperti ini karena tadi ia mendengar teriakan Justin yang mengatakan kalau ia sakit dan hampir mati. "Aku tidak apa-apa, Bu, tadi hanya mimpi buruk saja," ucap Justin membuat Avril mendesah lega. "Untunglah, Ibu pikir tadi terjadi sesuatu padamu, Nak. Kamu tadi berteriak sangat kencang sekali, teriakanmu membuat Ibu panik sekali." Justin hanya diam, ia menatap rubiknya yang warnanya sudah senada kemudian ia mengotak-atik rubiknya hingga akhirnya rubik itu kembali memiliki warna tak beraturan. "Ibu kembalilah ke kamar, aku ingin kembali tidur," ucap Justin sambil menaruh rubiknya di samping bantalnya. "Kau yakin, Nak?" tanya Avril. Ia masih merasa khawatir, takut-takut kalau ia meninggalkan Justin maka akan terjadi suatu hal yang buruk. "Aku yakin, Bu. Aku benar-benar baik-baik saja, itu sepertinya ayah sudah pulang, Bu." Terdengar sebuah ketukan pintu, hari ini ayah Justin memang sedang lembur hingga pulangnya lebih telat dari biasanya. "Ya sudah, Ibu akan menghampiri ayahmu. Kau istirahat lah lagi, Nak," ucap Avril mengusap kepala Justin kemudian keluar dari kamar Justin dan menutup pintunya. Justin menghela napas setelah kepergian ibunya, tentunya ia tidak akan mungkin menceritakan mimpi menyeramkan yang tadi ia alami. Bisa-bisanya ibunya semakin khawatir padanya. Laki-laki itu beranjak dari ranjang, ia pergi ke jendela kamarnya yang tertutup gorden, membuka gorden itu hingga ia bisa melihat dengan jelas langit malam yang begitu indah. Banyak sekali bintang bertaburan malam ini, ada juga bulan purnama yang semakin menerangi malam yang biasanya sepi dan gelap. Tanpa sadar, laki-laki itu tersenyum, entah ia merasa bahagia dengan kesepian penuh cahaya yang ia rasakan. Tidak ada hal yang lebih ia pentingkan selain keluarga dan dirinya sendiri, Justin tidak mau lagi percaya pada siapapun. Karena gara-gara ia terlalu percaya pada orang waktu itu, hidupnya jadi seperti ini. Merasa minder, tak punya semangat dan enggan bersosialisasi dengan orang lain. Justin berpikir, tidak ada yang bisa dipercayai selain dirinya sendiri. Karena jika ia terlalu percaya, maka orang itu akan mematahkan kepercayaannya lagi hingga hatinya sakit. Puas menatap indahnya langit malam dan suasana kelap-kelip dari atas sini, Justin menutup gordennya kembali. Laki-laki itu berjalan menuju tempat tidurnya, membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata. "Justin ...." Justin memejamkan matanya erat-erat ketika ada sebuah suara yang seakan memanggil namanya. "Justin ... kami membutuhkan bantuanmu ...." Justin membuka kedua matanya ketika mendengar suara-suara itu semakin jelas terdengar, tetapi ketika matanya terbuka sempurna ia tidak melihat apapun dan tiba-tiba saja suara yang ia dengar hilang. "Ada apa sebenarnya ini? Apakah benar ada seseorang yang berusaha memanggilku atau ini hanya perasaanku saja?" gumam Justin merasa bingung. "Justin, apakah kau sudah tidur?" Pintu kembali dibuka, Justin yang awalnya ingin kembali tidur pun tidak bisa lagi karena ibunya sudah melihat kalau ia belum tidur. "Ah, kebetulan sekali kau belum tidur. Ayahmu pulang membawakan pizza untuk kita, ayo kita makan sama-sama. Kau tadi hanya makan sedikit sekali, ayo-ayo." Belum juga Justin menolak ajakan ibunya, ibunya sudah mengajaknya berdiri kemudian berjalan keluar dari kamarnya. "Wajahmu mengapa terlihat pucat seperti itu?" tanya Benny–ayah Justin, ketika melihat sang putra yang wajahnya lebih pucat dari terakhir kali ia melihatnya. "Tadi Justin mimpi buruk lagi, malam tadi juga dia makannya lebih sedikit dari biasanya. Untunglah kau pulang membawa pizza, jadi Justin bisa mengisi perutnya lagi. Ayo, Nak, kau makanlah. Yang banyak, ya, kebetulan sekali ayahmu membeli cukup banyak." Avril memaksa agar Justin duduk, di atas meja ada dua box pizza dengan topping yang lengkap. Sebenarnya karena mimpi itu, Justin merasa tak berselera makan. Namun, ia tidak ingin kedua orangtuanya bertanya lebih padanya hingga akhirnya Justin memaksa dirinya memakan satu potong pizza itu, berusaha menelannya walau ia sudah kenyang karena mimpi menyeramkan. "Kalian makanlah, habiskan. Kalau tidak habis bisa disimpan di dalam kulkas, ayah ingin membersihkan tubuh dulu yang terasa lengket." Benny pergi sambil menenteng jasnya menuju kamarnya bersama sang istri. "Justin, ayo! Makan yang banyak." Justin hanya diam, tangannya yang memegang sepotong pizza mengudara membuat Avril mengernyitkan dahinya. "Justin?" Justin tersentak ketika Avril memegangi lengannya. "Eh! Iya, Bu." "Apa ada yang kau pikirkan? Kau nampak melamun seperti itu. Padahal dari tadi Ibu memanggilmu tapi kau tak membalas," ucap Avril. "Aku hanya mengantuk saja, Bu," balas Justin singkat. Tak berniat menceritakan hal yang ia pikirkan pada sang ibu. "Habiskan pizza-mu setelah itu tidur," ucap Avril yang dibalas anggukan oleh Justin. "Aku sudah selesai, aku pamit tidur duluan, Bu." Justin beranjak setelah menghabiskan dua potong pizza. "Selamat tidur, semoga mimpi indah, Nak." Justin mengangguk sambil tersenyum sekilas kemudian ia memasuki kamarnya, menutup pintu kamarnya. 'KAMI BUTUH BANTUANMU, JUSTIN' Justin tersentak ketika ia melihatnya ke arah lantai, ada sebuah coretan bertuliskan sesuatu yang sama sekali tidak Justin miliki. Hingga ketika ia mengerjapkan matanya beberapa kali, tiba-tiba tulisan yang ia lihat tadi itu menghilang. Justin mengusap kedua matanya, tadi tulisan itu memang benar ada ataukah hanya ilusinya saja? Justin menghela napasnya. Akhir-akhir ini banyak sekali mimpi dan sedikit kejadian aneh yang sama sekali tak Justin mengerti, Justin selalu berusaha mengabaikan itu semua karena ia berpikir kalau itu bukanlah sesuatu yang penting. Justin pun tidak berniat memberitahukan mimpinya serta apa yang ia lihat karena tidak ingin membuat orang-orang merasa khawatir padanya. "Entahlah yang sering aku lihat itu nyata atau hanya ilusi, aku tak ingin memikirkannya terlalu serius. Lebih baik aku kembali beristirahat, semoga saja kali ini mimpiku indah dan tidak menjadi mimpi buruk yang menyeramkan seperti tadi." Justin berusaha memejamkan matanya, ia merapatkan selimut yang membungkus tubuhnya sebatas leher. "Justin ... kami membutuhkan bantuanmu." Lagi, terdengar bisikan itu, tetapi Justin berusaha mengabaikannya. Ia berusaha terlelap agar hari esok ibunya tak khawatir ketika melihat lingkaran di bawah matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN