2. JATD

1202 Kata
Dalam satu minggu ini sudah beberapa kali Avril memaksa Justin agar putranya itu pergi ke psikiater. Justin memang menurut, tetapi sayangnya sesering apapun ia mengajak Justin konsultasi, hal itu sama sekali tidak memberikan perubahan apapun. Hingga sang psikiater memberikan saran padanya dan suaminya agar mengajak Justin ke alam terbuka yang udaranya begitu sibuk dan dengan beberapa keluarga yang hadir di sana juga. Avril jadi berpikir kalau selama ini mereka memang jarang sekali berpiknik, akhirnya Avril berucap pada suaminya. Suaminya pun setuju hingga hari minggu yang cerah ini ketiganya menaiki mobil menuju hutan wisata yang pastinya hari ini akan ada banyak keluarga lainnya yang tengah berpiknik. Avril berharap setelah mengajak Justin ke sana, maka putranya itu akan mau bersosialisasi setidaknya dengan satu orang sebayanya saja. Ya, harapan sederhana dari seorang ibu sepertinya yang mengharapkan kesembuhan dan keceriaan anaknya bisa kembali lagi. Justin sendiri tidak tahu akan dibawa ke mana dirinya oleh kedua orangtuanya, ia terlalu penurut untuk membangkang keinginan kedua orangtuanya. Avril dan Benny duduk di depan sedangkan Justin duduk di bangku penumpang belakang sambil memainkan rubiknya, Justin sama sekali tak tertarik melihat ke jendela mobil. Tepatnya banyaknya orang-orang yang tengah berkumpul. Sesekali Justin memikirkan malam kemarin, di mana ada suara aneh yang memanggilnya. Entah suara dari mana itu, Justin sungguh sangat penasaran. "Kita sudah sampai," ucap Benny. "Justin, ayo kita turun." Justin menyimpan rubiknya di dalam saku jaket biru dongker yang ia pakai kemudian ia turun dari mobil. "Kita ke sini, Bu?" tanya Justin tak suka ketika melihat sekelilingnya. Tepatnya banyak para keluarga yang tengah berpiknik. "Iya, ayah dan Ibu butuh udara yang segar, Nak. Berpiknik di tengah hutan tidak ada salahnya 'kan?" Ya, memang tidak salah, tetapi yang menjadi masalah adalah di sini ramai. Sepertinya Justin tahu apa maksud ayah dan ibunya membawanya ke sini, tetapi ia tidak protes. Begitupun ketika kedua orangtuanya membawanya ke tengah-tengah keluarga yang sepertinya sangat lengkap dan harmonis, Justin sendiri nampaknya tak peduli dengan sekelilingnya. "Hei, kau! Ayo main bersamaku!" Justin yang tengah duduk di atas tikar sambil memainkan rubiknya pun mendongak ketika mendengar suara seorang laki-laki. "Aku tidak mau," balas Justin singkat. "Kenapa? Bukankah menyenangkan bermain bola di tengah hutan yang udaranya sejuk seperti ini? Di situ ada tempat yang cukup luas untuk kita bermain. Ah atau kau berpikir kalau hanya dua orang saja itu tidak menyenangkan? Baiklah kita bisa mengajak laki-laki seusia kita lainnya untuk ikut bersama kita," ucap laki-laki bermata coklat muda itu. "Kau bisa bermain sendiri atau mengajak orang lain, tapi aku tidak mau ikut." Justin memang tidak tertarik untuk ikut bermain karena ia takut kalau orang-orang itu pasti akan menghinanya jika ia melakukan sedikit kesalahan. "Justin, ayo sana kamu main saja sama mereka. Ayah dan Ibu menunggu di sini," bujuk Benny pada Justin yang kini memilih mengabaikan laki-laki seusianya yang tadi mengajaknya bermain. "Aku tidak mau." "Ya sudah kalau kau tidak mau, jika kau berubah pikiran kau bisa menyusul kami bermain di sana. Oh iya, perkenalkan namaku Frans." Laki-laki bernama Frans itu mengulurkan tangannya pada Justin, tetapi Justin tak menerima uluran tangan itu membuat Frans kembali menarik tangannya. "Aku pergi dulu, semoga kau berubah pikiran." Dengan seenaknya Frans menepuk bahu Justin sekilas membuat Justin menatap Frans tak suka, tetapi Justin tak mengatakan apapun hingga akhirnya Frans memilih pergi menghampiri remaja semi dewasa lainnya. "Justin mengapa kau tidak mau ikut bermain bersama mereka, Nak?" tanya Avril begitu lembut. "Aku tidak tertarik, Bu," jawab Justin. "Setidaknya sapa salah satu dari mereka, siapa tahu bisa menjadi teman barumu," ucap Avril. Justin hanya diam, ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata ibunya. "Lihatlah anak kita, Sayang. Sangat sulit sekali meminta Justin berinteraksi dengan teman sebayanya," ucap Avril pada suaminya sambil menatap Justin sendu. "Iya aku melihatnya, tidak ada yang bisa kita lakukan. Semua nampak sia-sia," balas Benny membuat Avril langsung menatap suaminya. "Apa maksudmu, Sayang? Kau mau menyerah? Menyerah membantu Justin keluar dari rasa traumanya dan ketakutannya itu?" tanya Avril tak suka. "Entahlah." "Jawablah apa maksud kata-katamu tadi," pinta Avril menuntut suaminya segera menjawab hal yang menjadi pertanyaannya. "Kau ingat-ingat lagi saja perjuangan kita bagaimana, sekeras apapun kita berusaha, Justin tidak akan sembuh dari penyakitnya itu." "Ini semua salahmu, andai saja kau tak memberi usul bahwa Justin harus homeschooling, maka semua ini tidak akan pernah terjadi!" Suara Avril terkesan rendah, tetapi amarahnya tak dapat ia tutupi dari nada suaranya. "Mengapa kau jadi menyalahkanku? Kau juga salah karena setuju, seharusnya waktu itu kau melarangku!" balas Benny tak mau kalah. Karena menurutnya semuanya bukanlah hanya kesalahannya, Avril juga ikut salah karena tidak menghentikannya. Dan pertengkaran itu semakin berlanjut, keduanya saling adu mulut. Sedangkan Justin yang melihat serta mendengar pertengkaran itu hanya diam, laki-laki itu lebih memilih memainkan rubiknya. Hingga tiba-tiba saja matanya menangkap seekor kelinci berwarna coklat yang berjalan menghampirinya, kelinci itu sangat lucu sekali. Justin menyimpan rubiknya di dalam saku jaketnya, pandangan matanya kali ini terfokus dengan kelinci yang begitu imut nan menggemaskan itu. "Kelinci, ayo ke sini," panggil Justin pelan. Justin berdiri, ia berniat akan menangkap kelinci itu, tetapi yang terjadi kelinci itu malah berlari. Justin tak menyerah, ia harus mendapatkan kelinci itu. Justin berlari mengejar kelinci itu hingga ia memasuki area hutan yang sepi oleh orang-orang. Kelinci itu sangat lincah sekali, ia masih terus berlari menghindari Justin. Justin mempercepat larinya ketika sebentar lagi ia akan menangkap kelinci menggemaskan itu. Tangannya sudah terulur akan menangkap kelinci itu, tetapi tiba-tiba saja kelinci itu membelokkan larinya memasuki sebuah lubang yang ada di pohon besar. Justin akhirnya tersadar kalau ternyata ia sudah memasuki area hutan terlalu jauh, pohon-pohon di atas Justin membuat ia merasa kecil seperti semut. Pohon-pohon begitu besar hingga menutupi sinar matahari, area hutan jadi sedikit lebih gelap. Laki-laki itu kembali menatap ke arah lubang di mana tadi kelinci coklat itu masuk. Lubang itu begitu besar hingga jika Justin masuk pasti akan muat. Justin meneliti lubang di pohon itu, ia ingin segera pergi dari sini dan menghampiri ibunya lagi, tetapi ia merasa penasaran dengan lubang di pohon besar ini. Masalahnya hanya pohon besar ini yang berlubang, selebihnya tak ada pohon yang berlubang. Jika pun ada, hanya lubang kecil, tidak ada lubang sebesar ini. "Ada apa di dalamnya? Apakah ada banyak keluarga kelinci?" tanya Justin terus menatap ke lubang itu. Penasaran, Justin mengintip ke dalam lubang itu. Tak terlihat apa-apa, hanya ada gelap dan hitam yang ada di lubang itu karena matahari tak bisa masuk. Justin berjalan memasuki lubang itu, entah keberanian dari mana ia bisa berani masuk ke lubang yang jelas saja ia tidak tahu ada apa di dalamnya. "Kelinci, apakah kau ada di dalam?" tanya Justin perlahan-lahan memasuki lubang besar di pohon itu. Tak ada jawaban, hal itu semakin memacu keberanian Justin untuk lebih masuk ke dalam lubang itu. Entah perasaannya atau memang benar adanya, lubang pohon ini begitu panjang dan luas. Seakan ini adalah sebuah terowongan, tetapi ia tidak bisa memastikan dengan jelas karena semuanya begitu gelap. Justin bahkan harus meraba-raba sekitarnya, takut-takut kalau ada benda keras yang ia tabrak dan itu menimbulkan cedera di tubuhnya. Semakin lama Justin pikirkan dan kakinya terus melangkah, semuanya nampak begitu aneh. Bagaimana tidak? Sepanjang ia berjalan ia tidak menemukan dinding pohon di dalam lubang ini, semuanya nampak kosong sekali. Ada apa sebenarnya? "Mengapa tidak ada apa-apa di sini? Di mana aku harus meraba?" tanya Justin pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN