3. JATD

2010 Kata
Semakin masuk ke tempat gelap itu, bukannya merasa ketakutan, Justin justru merasa semakin penasaran. Tangannya terus meraba, yang dapat ia pegang adalah seperti sebuah tembok yang agak kasar. Hingga semakin ia berjalan jauh, maka tembok itu tak lagi terasa. Ia bahkan seperti sedang memegang angin, bukan benda yang dapat dipegang sesungguhnya. Justin ingin menerangi tempat yang sama sekali tidak ia ketahui ini, tetapi ia sama sekali tidak membawa senter. Ia juga bukan orang gaul yang suka bermain dengan ponsel pintar dan membawanya ke mana-mana layaknya benda mati multifungsi itu adalah oksigen pelengkap. Justin hanyalah Justin, laki-laki yang lebih suka bermain rubik dan tidak suka bermain segala macam benda yang menurutnya sedikit aneh itu. Suasana gak hanya gelap, melainkan juga begitu sunyi. Mungkin jika orang lain yang berada di dalam tempat aneh ini akan segera keluar dari pohon besar yang kemungkinkan akan sangat berbahaya, apalagi tak ada cahaya yang masuk. Namun, Justin berbeda dengan anak kebanyakan, meskipun ia adalah anak yang tertutup dan bahkan memiliki penyakit psikis, tetapi Justin sama sekali bukan laki-laki penakut. Ia justru cenderung merasa sangat penasaran dengan hal-hal yang begitu misterius dan menurutnya kelinci yang masuk ke dalam pohon besar ini begitu misterius. Seakan tak ada rasa takut bagi Justin saat ini, ia terus berjalan tak tentu arah dengan tangan yang meraba. "Ke mana kelinci itu pergi? Mengapa aku merasa kalau tempat ini semakin lama semakin besar?" tanya Justin pada dirinya sendiri. Justin berjalan hanya dengan menggunakannya insting perasa dan penciumannya saja karena tidak mungkin ia menggunakan indra penglihatan di tempat gelap seperti ini. Beruntung, sepanjang ia berjalan tak tentu arah hanya demi mencari keberadaan kelinci itu, tidak ada tanda-tanda kalau ada bahaya yang mendekati. Semacam suara bisikan ular mungkin atau bahaya lainnya. "Ada cahaya!" teriak Justin ketika akhirnya ia melihat sebuah cahaya yang jauh di atas sana. Laki-laki itu langsung berlari untuk mengejar cahaya itu yang ternyata adalah sebuah lubang di pohon besar. Cahaya itu membuat Justin jadi bisa melihat sekeliling yang ternyata malah terlihat sangat mirip dengan gua, tetapi dengan bahan kayu besar. Mata Justin menjelajah ke sekeliling, mencari-cari keberadaan sosok hewan mungil lucu yang memang sedari tadi ia cari. "Ke mana kelinci itu pergi?" tanya Justin terus mencari-cari keberadaan si kelinci coklat. "Kelinci! Kau ada di mana!?" teriak Justin berlari mencari kelinci itu. Semuanya seakan tak bisa dipikirkan oleh akal dan nalar ketika Justin akhirnya tiba di jalan buntu, di mana hanya ada tembok kayu yang Justin yakini adalah bagian dari pohon besar. Sudah berada di ujung tempat ini, tetapi si kelinci coklat itu tidak ia temukan. Yang ada hanyalah tempat begitu kosong tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Memangnya apa yang Justin harapkan? Ada manusia atau hewan yang hidup di sini? Jelas saja tidak mungkin ada karena memang pada kenyataannya tempat ini hanyalah perut pohon besar yang tidak layak untuk menjadi tempat tinggal. "A-apa ini?" Justin memejamkan matanya ketika merasakan perih di matanya karena tiba-tiba saja ada asap yang datang. Bau asap ini begitu tidak enak dicium, seakan ada aroma bius yang bercampur dengan bau busuk. Tak hanya mata yang Justin tutup, melainkan juga hidungnya. Sedang sibuk menghalau aroma asap yang begitu bau dsn merusak mata, tiba-tiba saja Justin merasa kalau tubuhnya melayang. Seakan asap ini lah yang membawanya terbang entah ke mana. Ingin membuka mata, tetapi matanya tak sanggup menahan perih. Yang hanya bisa Justin lakukan adalah, berharap semoga saja tak terjadi apa-apa padanya. Karena ia sadar kalau ia adalah anak yang menyusahkan orang tua karena penyakitnya ini dan belum bisa memberikan apa yang terbaik untuk kedua orang tuanya. "A-apa semua ini?" tanya Justin. Perlahan-lahan asap hilang, menghantarkan Justin ke suatu tempat. Tempat yang tak bisa dilihat oleh manusia biasa, yang bisa melihat hanyalah orang yang mempercayai adanya dunia dan tempat ini. Namun, Justin sepertinya memiliki aura yang berbeda sehingga bisa pergi ke tempat ini tanpa ia tahu sebenarnya apa nama tempat ini. Justin membuka kedua matanya ketika merasa kalau tubuhnya telah diturunkan di suatu tempat. Bau asap pun juga hilang seiring ada sedikit celah cahaya yang dapat ia rasakan di balik kelopak matanya yang tertutup. Antara kagum, aneh dan merasa heran ketika ia benar-benar sudah membuka mata. Hal yang pertama kali Justin lihat adalah tempat luar biasa indah sekaligus aneh yang tidak pernah Justin lihat sebelumnya. Atau mungkin hal ini tidak ada di dunia nyata dan hanya ada di dunia mimpi. "Tempat apa ini?" tanya Justin. Tangannya menepuk-nepuk pipinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya kalau ini benar-benar nyata karena terbukti rasa sakit ia dapat ketika ia benar-benar memukul pipinya sendiri. Tempat ini serba aneh, terlihat seperti hutan dengan pohon warna-warni yang bentuknya benar-benar aneh. Yang membuat Justin heran adalah, di tempat ini semua nampak keterbalikan dari alam yang Justin anggap nyata. "Ini nyata!? Bukan mimpi!? Aku yakin ini pasti mimpi. Aku harus sadar!" Justin terus menepuk pipinya sendiri. "Sadar dari mimpi anehmu, Justin!" Ia terus memukul pipi serta tangannya. Beberapa kali mencoba meyakini kalau ini adalah mimpi, nyatanya yang terjadi malah pipi serta tangannya lah yang memerah. Semua ini bukti kalau ia memang berada di tempat nyata, bukanlah alam mimpi. "Di mana jalan keluar? Mengapa sepertinya tidak ada jalan keluarnya?" Daripada terus bersikap bódoh dengan meyakinkan diri kalau kenyataan ini adalah mimpi, Justin memilih menjelajah tempat ini. Barangkali kalau ia berjalan menyusuri tempat aneh nan ajaib ini, ia bisa menemukan jalan keluar. Tidak ada orang yang bisa Justin tanyai di sini, hanya ada tumbuhan serta hewan-hewan aneh yang agak mirip dengan di dunia tempatnya tinggal. Yang aneh adalah, ketika ada sebuah sungai yang biasanya tempat ikan berenang, malah yang Justin lihat malah burung yang berenang, sedangkan pada ikan terlihat terbang di atas langit. Tak hanya itu saja, ada bener pohon yang daunnya berada di bawah sedangkan akar berwarna-warni berada di atas. Apakah selain tempat ini yang luar biasa indah? Tetapi juga luar biasa aneh? Mengabaikan semua keanehan ini, Justin terus melangkah tak tentu arah. Sesekali memandang semua benda hidup yang nampak aneh. Beberapa lebah terlihat sedang mencari sari, tetapi bukannya sari bunga melainkan sari akar bunga. Semakin berjalan jauh, semakin aneh pula hal-hal yang dilihat oleh Justin. Contohnya lagi adalah di mana setiap tumbuhan di sini dapat berjalan bahkan berlarian saling mengejar hingga membuat Justin terkejut beberapa saat. "Kelinci!" teriak Justin ketika melihat kelinci coklat yang sedari tadi ia cari tengah berlari melewatinya. Tak ingin membuang waktu hingga membuat kelinci itu kabur lagi darinya, Justin segera mengejar kelinci itu. Justin sudah merasa sangat senang ketika kelinci itu pergi ke jalan buntu, tepatnya di depan sana ada sebuah sungai yang cukup lebar. Justin berharap kalau ia berhasil menangkap si kelinci nakal yang sudah membuatnya terjebak di sini. Namun, Justin sepertinya harus tidak terlalu percaya diri karena ketika ia akan menangkap kelinci itu, tiba-tiba saja kelinci coklat itu melompat hingga dapat melewati sungai yang cukup besar ini. "Kelinci itu sedang terbang atau melompat?" Terlihat jelas wajah keheranan Justin saat melihat kelinci itu menatap ke arahnya setelah berhasil melewati sungai. "Hei kelinci! Tunggu aku!" teriak Justin. Namun, sang kelinci coklat sama sekali tidak mendengarkan Justin, setelah melihat ke arah Justin, kelinci coklat itu segera berlari meninggalkan Justin hingga membuat Justin kembali kebingungan. Laki-laki itu sekarang bingung ia akan pergi ke mana saat ini, karena harapannya yaitu ingin menangkap kelinci coklat tadi dan berharap kalau kelinci itu bisa membantunya keluar sama sekali tidak tercapai. Justin menghela napas panjang, ia memilih berbalik arah daripada harus menyusul kelinci coklat yang sudah menyeberang sungai. "Halo! Halo! Halo!" Justin menoleh, mencari-cari sumber suara itu. "Siapa itu!?" tanya Justin berteriak mencari-cari keberadaan sosok bersuara tadi. "Siapa! Siapa! Siapa!" Justin semakin menajamkan pendengarannya. Hingga akhirnya ia dapat melihat siapa pemilik suara tadi yang tak lain adalah sesosok burung berwarna merah muda dengan jambul berwarna coklat di kepalanya yang tengah hingga di atas akar pohon besar. "Hei burung! Apakah kau tahu aku sekarang ada di mana?" tanya Justin. Konyol memang, Justin bertanya pada seekor burung yang entah apa jenisnya itu. Terserah saja dianggap konyol karena Justin saat ini sudah sangat putus asa sekali, tidak ada manusia di sini. Lantas kalau bukan bertanya pada makhluk yang ada di sini? Ia akan bertanya pada siapa? "Burung! Burung! Burung! Di mana! Di mana! Di mana!" Sepertinya Justin telah salah menanyakan hal ini pada si burung, karena nyatanya burung itu hanya mengikuti perkataannya tanpa mau menjawab pertanyaannya. Justin menghela napas, mengapa jadinya ia bisa tersesat di tempat ini hanya karena mengejar seekor kelinci coklat? Mana ia sama sekali tidak tahu arah jalan pulang karena seperti ada sihir yang membawanya sampai ke tempat ini. "Sudahlah, hanya sia-sia saja aku bertanya padamu. Kau tidak akan bisa menjawab pertanyaanku," ucap Justin kemudian memilih pergi meninggalkan burung itu. Justin terus berjalan menyusuri tempat ini, sesekali ia bertanya pada sesuatu yang ia temui. Meskipun bener kali tak mendapat jawaban, Justin tak menyerah. Karena jika ini adalah film di mana ia terjebak di suatu tempat yang penuh dengan ilmu sihir, maka seharusnya semua hewan yang ada di sini pasti negeri perkataannya dan kemudian akan menjawab. Sejenak, Justin menghentikan langkahnya ketika segerombol rumput yang bisa berjalan melewatinya, seharusnya ia tidak perlu heran lagi dengan itu karena sudah beberapa kali ia melihat makhluk ataupun tumbuhan aneh di sini. "Justin ... Justin ... Justin ...." Ada sebuah suara yang memanggil namanya membuat Justin menoleh ke semua arah. "Siapa itu!?" teriak Justin. "Kami butuh bantuanmu ...." "Butuh bantuan ... bantuanmu ...." Suara itu terdengar seperti berdengung membuat Justin seketika langsung menutup telinganya. Ia ingat, suara ini sama persis dengan suara yang selalu menghampirinya di alam mimpi dan alam nyata. Justin berpikir sebenarnya ada apa ini? Mengapa suara ini selalu menganggunya? Siapa si pemilik suara ini dan apa tujuannya terus memanggilnya tanpa menunjukkan jati dirinya? "Hei! Sebenarnya siapa kamu!? Kalau berani ayo tunjukkan wujudmu! Jangan hanya bersuara saja dan membuatku penasaran!" teriak Justin. Justin sama sekali tidak takut, yang ada ia merasa begitu penasaran dengan sosok yang selalu menganggunya. Tak hanya itu saja, ia juga begitu penasaran apa yang sebenarnya diinginkan sosok si pemilik suara itu. Bantuan? Bantuan apa yang dimaksud? Memangnya manusia lemah seperti dirinya ini bisa membantu? Sebenarnya selain tempat ini yang begitu menakjubkan, tempat ini juga begitu aneh. Dengan siapa ia bisa hidup di tempat ini kalau sama sekali ia tidak melihat ada manusia di sini? Dengan hewan-hewan yang aneh itu? Atau dengan pohon dan tumbuhan yang bisa bergerak? BUMMM Sebuah suara keras seperti ledakan bom membuat Justin terperanjat, apalagi ikan-ikan yang beterbangan tadi tiba-tiba langsung terbang dengan bergerombol untuk menghindari suatu tempat yang menjadi pemicu suara ledakan bom itu. "Suara apa itu? Apa di sana ada orang?" tanya Justin. Justin berlari menghampiri tempat yang menimbulkan suara ledakan keras itu. Napasnya naik-turun saat berlari karena sebelumnya ia sama sekali tidak pernah melakukan olahraga berat semacam lari jarak jauh, biasanya ia lebih sering mengurung diri di kamar sambil bermain rubik. Hingga di tempat seperti ini, ia diharuskan berjalan jauh dan bahkan berlari jauh ke suatu tempat yang sama sekali tidak ia ketahui apa dan bagaimana situasinya nanti. Justin menghentikan langkahnya sejenak ketika melihat sebuah asap tebal hitam yang nampak bergerombolan, laki-laki itu memundurkan langkahnya. Asap tebal itu seperti hidup, dengan mata dan juga mulut yang terlihat begitu jelas. "Hahahaha!" Terdengar suara tawa keras yang berasal dari asap tebal hitam itu membuat Justin sejenak merinding. Semua yang ia lihat ini biasanya hanya bisa ia tonton di televisi dan tak menyangka kalau ternyata ia mengalami sendiri kejadian aneh sekaligus menyeramkan seperti ini. "Uhuk! Uhuk!" Justin terbatuk ketika sedikit asap tak sengaja ia hirup. "Rupanya ini pahlawan yang datang!" ucap asap itu pada Justin sambil menatap remeh ke arahnya. Segera asap itu pergi dari hadapan Justin, pergi entah ke mana. Meninggalkan Justin yang masih terbatuk-batuk sambil berpikir apa maksud perkataan si asap hitam tebal yang ternyata bisa berbicara itu. "Tunggu dulu ... asap tadi bisa berbicara, mengapa aku tidak bertanya padanya saja tadi?" gumam Justin merasa menyesal karena tak langsung membuka suara saat ada asap yang dapat berbicara. Sekarang saat asap itu pergi, ia jadi bingung akan pergi ke mana. Semua nampak sama dari ujung ke ujung sehingga membuat Justin berpikir kalau tempat ini bukanlah sembarang tempat. Yang Justin pikirkan saat ini adalah bahwa ia tidak akan bisa pergi dari sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN