"Ara?"
Aralin mencari asal suara yang menyebut namanya. Matanya menangkap seorang gadis cantik berstelan kantor yang berjalan tergesa menghampirinya. Penampilannya dengan blazer putih nampak anggun membuatnya menjadi pusat perhatian.
"Cindy?" tanya Aralin tak yakin karena jarak yang lumayan jauh.
Gadis cantik itu tersenyum. "Ah ... ternyata benar. Gimana kabar kamu, Ra?" tanya Cindy seraya memeluk dan mencium pipi keramahan.
Sudah lama Aralin tidak bertemu dengan sahabatnya satu ini. Mungkin sejak wisuda kelulusan. Belum lagi penampilannya sangat berbeda dengan penampilannya saat kuliah dulu membuatnya agak tak yakin.
"Baik, kok kamu ada di Indonesia? Dengar-dengar kamu pindah ke Malaysia?" tanya Aralin penasaran.
"Yah, aku udah hampir satu tahun di Indonesia, Ra. Kamu sih hilang kontak sama kita-kita. Mentang-mentang udah nikah sama si Taufik," balas Cindy cemberut. "Hmm dengar-dengar juga baru-baru ini Taufik diangkat jadi manager ya di perusahaan tempatnya kerja?" tanya Cindy lagi.
Aralin yang mendengarnya langsung tampak pucat dan canggung. Cindy menyadari hal itu karena diantara teman-temannya, Cindy lah yang paling peka. Dia bisa merasakan jika ada hal yang membuat Aralin tidak nyaman saat membahas Taufik.
"Kamu kenapa, Ra? Aku salah ngomong?"
Aralin mencoba tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa kok, tapi sebenarnya aku udah cerai dari Taufik."
Cindy menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangannya. Tak menyangka sama sekali dengan pasangan yang terlihat adem ayem waktu kuliah itu bercerai. Bercerai sodara-sodara ....
"Kok bisa sih, Ra? Gimana ceritanya?"
Aralin tak nyaman dengan suasana di sekitarnya. "Kamu sibuk nggak? Kita cari tempat yang enak buat ngobrol yuk," ajak Aralin.
Cindy menyadari tempat mereka berdiri kini sama sekali bukan tempat yang nyaman. Apalagi di keramaian Mall begini.
"Yuk, aku tahu tempat yang enak buat kita ngobrol." Cindy menarik tangan Aralin dan membawanya menuju sebuah cafe yang cukup ramai. Tempatnya nyaman dan desain ruangnya nampak menyejukkan mata.
"Ayo, duduk sini. Aku mau tanya banyak hal sama kamu, Ra."
Aralin mengambil duduk di kursi seberang. Bersebrangan dengan Cindy.
"Oke. Kenapa kamu bisa cerai dari Taufik ismail itu?" Cindy memulai sesi tanya jawabnya. Dia membungkukkan tubuh modelnya dan meletakkan dagunya di atas lipatan kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Siap mendengarkan.
Aralin menghembuskan nafasnya. "Taufik Ariwibowo, Cin." Aralin meralat ucapan Cindy.
Cindy mengibaskan tangannya tak perduli. Dia lebih tertarik pada cerita Aralin tentang bagaimana bisa temannya itu bercerai.
Seorang pelayan datang menanyakan pesanan mereka, menghentikan sesi tanya jawab yang baru saja akan dimulai.
"Ih, ganggu tahu nggak." Cindy terlihat sewot dengan kedatangan pelayan itu. Aralin bahkan yakin pelayan itu mendengarnya. Namun pelayan laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi omongan Cindy yang nyelekit tak enak didengar.
"Jus alpukat satu, fish and chips satu." Aralin memandang Cindy, bertanya.
"Lemon tea satu, sama chicken katsu satu."
Pelayan pria yang terlihat menawan itu mengulangi pesanan mereka dan segera berlalu.
"Dasar! Nyebelin." Umpat Cindy. Wajahnya benar-benar keruh.
Ara yang bingung pun merasa heran. "Emang siapa sih, Cin?"
"Calon tunangan gue."
"Pelayan tadi calon tunangan kamu?" Aralin mengabaikan bahasa gaul Cindy. Baginya apapun hayoo aja yang penting nyaman .
"Kayaknya dia baik," tambah Aralin.
Cindy menghela nafas, "Taufik juga dulu kelihatan baik."
"Yah, kan kadang yang kelihatan baik memang belum tentu baik."
"Makanya. Gue sebel sama cowok itu. Dia itu playboy, kami dijodohin sama ortu. Ya gitu deh ... eh, kok malah gue yang cerita. Ayo gih," tuntut Cindy.
"Ya intinya aku sama Taufik cerai karena ... karena aku cacat."
"Cacat? Maksud lo?"
"Aku mandul, Cin."
"Lo udah periksa ke dokter?"
Aralin menggeleng. Dia takut jika kekhawatirannya benar-benar menjadi kenyataan.
"Lo kok udah berubah bego sih? Aralin yang gue kenal tuh pinter. Jadi siapa yang bilang lo mandul?"
"Lima tahun, Cin. Lima tahun kami nikah tapi belum juga punya anak. Akhirnya Taufik bosan nunggu.
Apalagi hampir semua keluarganya selalu mojokin aku, bilang aku mandul. Orang tua dia juga. Aku bisa apa?" Tanpa sadar matanya berkaca-kaca.
Obrolan mereka terputus saat pelayan pria tadi datang dengan pesanan mereka.
Cindy terlihat emosi mendengar cerita Aralin. Setelah pelayan itu pergi Cindy tak bisa lagi menahan amarahnya.
"Terus lo diem aja dipojokin gitu?"
"Aku sadar diri, Cin. Setahun belakangan sifat Taufik berubah. Beberapa kali aku memergokinya jalan bareng bawahannya di kantor. Seorang karyawan cantik dengan penampilan menarik."
"Dan lo diem aja?" Cindy terbelalak seraya geleng-geleng kepala.
"Dan empat bulan lalu bawahan Taufik itu datang beserta keluarganya meminta pertanggung jawaban. Dia hamil. Hamil anak Taufik, Cin."
Cindy tak tahu apa yang harus dia lakukan. Di genggamnya jemari Ara memberi dukungan.
"Mantan mertuaku bahagia banget waktu tahu Rindy hamil. Dia seneng bakal dapat cucu. Akhirnya dia ngasih pilihan buat aku. Bertahan atau cerai. Tentu aja aku milih cerai. Mereka tidak ada yang menyayangi aku, Cin. Kalau aku nekat bertahan, Taufik pasti juga akan lebih suka dengan Rindy dan anaknya. Aku juga yang bakal sakit hati lagi. Jadi aku pilih cerai."
Cindy segera berpindah duduk di sebelah Ara. Memeluknya dan mengusap punggungnya yang bergetar karena tangis. Cindy saja yang tidak mengalaminya merasa marah, sedih, dan terluka. Bagaimana dengan Ara yang mengalami mimpi buruk ini. Tanpa siapa-siapa.
"Yang sabar ya, Ra. Gue tahu kalau gue nggak mengalaminya. Tapi sebagai wanita yang mendengar ini gue ikut sedih. Pasti ada hikmahnya, siapa tahu lo bakal dapat yang lebih segala-galanya dari Taufik."
"Amin, Cin."
"Oke." Cindy berpindah ketempat duduknya dan bersiap makan. "Makan dulu. Lo harus siapin tenaga buat melupakan si b******k Taufik. Sekarang lo tinggal di mana ?"
"Aku beli apartemen di deket sini."
"Bukannya lo punya rumah peninggalan Orang tua lo?"
"Aku jual. Uangnya aku beliin apartemen biar nggak ribet. Sekarang lagi nyari kerja. Baru tiga hari yang lalu aku dipecat dari kerjaan."
"Masalah apa?" Cindy melihat dengan penasaran.
Ara meminum jusnya dan menegakkan punggung. "Aku kerja di cafe. Terus nggak sengaja Taufik sama istri barunya makan di sana." Aralin menghela nafas pelan. "Mereka buat ulah sampai akhirnya aku dipecat."
Cindy memejamkan mata menahan emosi.
"Kamu ada lowongan nggak di kantor kamu, Cin?"
"Kalo di kantor kurang tahu, coba nanti gue cek ya. Kalau ada langsung gue kabari." Cindy mengangsurkan ponselnya. "Tulis nomor lo biar gampang gue hubungi."
Aralin meraih ponsel itu dan segera memasukkan sederet nomor ke dalamnya. Lalu menyerahkan pada Cindy kembali.
"Makasih ya, Cin." Aralin tersenyum.
"Ya elah, kayak sama siapa aja. Kali ini biar gue yang traktir. Kan sekarang lo belum kerja."
Saat dia melihat Ara hendak protes, buru-buru dia menambahkan. "Besok kalau lo udah dapat gaji pertama, lo gantian yang traktir gue. Oke?"
Aralin tersenyum dan mengangguk. Cindy memang selalu baik. Mungkin ini memang rezekinya bertemu sahabat lamanya. Yah, semoga saja dia bisa cepat mendapatkan kerja dan balik mentraktir Cindy.
***