Chapter 2-The Scars

3826 Kata
Seharusnya, rute jalan yang diambil oleh Demon bukanlah rute jalan ini. Dia lebih suka melewati jalan kecil yang nantinya akan langsung tembus dengan jalan raya. Tapi, entah apa yang merasukinya hingga dia memutuskan untuk melewati perumahan penduduk ini, yang harus memakan waktu sepuluh menit sebelum akhirnya sampai di jalan raya. Seolah-olah Demon dibisiki oleh sesuatu untuk pulang melewati rute jalan ini. Dan keinginan itu sangatlah kuat. Maka dari itu, selesai mengadakan latihan dengan anak basket lainnya, Demon langsung tancap gas dengan motor ninja Kawasaki-nya dan pulang.             Tidak disangka, dia akan bertemu dengan Ever.             Dan Demon sangat tidak suka dengan kelakuan tiga berandal di depannya itu terhadap Ever. Meskipun dia sudah bersumpah tidak akan berhubungan atau berurusan dengan gadis itu, walau hanya sebatas hubungan pertemanan.             “Lo semua nggak malu? Berani nyakitin cewek di tempat terbuka kayak gini?” tanya Demon tajam. Dia turun dari motornya dan perlahan berjalan mendekati keempat orang itu.             Tiga laki-laki berseragam SMA yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol itu memasang sikap waspada.             “Elo nggak usah ganggu acara kita! Berani lo ganggu kita, gue abisin lo!” ancam salah satu dari mereka. Demon berhenti melangkah dan tersenyum dingin. Benar-benar dingin sampai-sampai Ever merinding melihatnya.             “Mau ngabisin gue?” tanya Demon mengejek. “Silahkan! Gue jadi pengin tau, sehebat apa sih lo sampai bisa ngomong kayak gitu ke gue ….”             Laki-laki yang mengancam Demon itu menggeram keras. “Kurang ajar!”             Dengan gerakan cepat, laki-laki itu maju ke arah Demon dan melayangkan botol minuman yang dipegangnya. Demon berkelit. Kemudian, dia menangkap tangan laki-laki itu dan memelintirnya ke belakang. Laki-laki itu berteriak kesakitan. Mendengar teriakan itu, bukannya melepas, Demon justru malah makin memelintir tangan laki-laki itu hingga terdengar bunyi seperti ranting yang patah.             Ever membelalakan matanya melihat kejadian itu. Gadis itu menatap Demon takut-takut. Wajah Demon sangat dingin, tidak terselip sama sekali rasa kasihan dengan keadaan laki-laki di depannya. Matanya menyorot tajam, dan senyumnya terlihat angkuh. Lagi-lagi, Ever merasakan aura itu. Aura gelap yang dirasakannya ketika dia pertama kali melihat Demon.             Tiba-tiba, Demon memandang dua teman si laki-laki yang tangannya sedang dipelintir olehnya. Matanya menatap ganas dan menakutkan. Tidak terlihat belas kasihan atau semacamnya.             “Elo berdua mau pergi dari sini atau ikut ngerasain apa yang temen lo rasain sekarang!?” seru Demon berang.             Demon kemudian melepaskan tangan laki-laki itu dan mendorongnya ke arah dua laki-laki yang lain. Kedua laki-laki itu segera melepaskan Ever dan mendorongnya ke arah Demon yang langsung dengan sigap menangkap tubuh gadis itu yang limbung. Ever yang jatuh dalam pelukan Demon bisa merasakan degupan keras dari jantung laki-laki itu. Juga semua otot-otot d**a bidangnya yang mengeras dan terasa kaku. Ever jadi mengerutkan kening. Siapa sebenanrya manusia yang bernama Demon ini? Benarkah dia manusia? Rasanya Ever baru pertama kali bertemu dengan orang yang memiliki sikap yang menakutkan seperti ini.             “Jangan sampai gue liat lo bertiga muncul di depan muka gue lagi! Inget, gue udah hapalin muka lo bertiga … sampai lo berani muncul depan gue, atau ngeganggu dia,” telunjuk Demon mengarah pada wajah Ever yang masih terlihat pucat, “jangan salahin gue kalau lo semua akan berkenalan dengan yang namanya neraka!”             Ketiga laki-laki itu menatap ngeri Demon. Kemudian, tanpa buang waktu lagi, mereka langsung angkat kaki dan pergi dari tempat itu. Tinggallah Ever dan Demon yang masih berada di sana, dan masih dengan posisi yang sama. Ever masih di dalam pelukan Demon, menyandarkan tubuhnya di sana, dan ketakutan.             “Elo mau sampai kapan meluk gue kayak gitu?”             Satu suara dingin Demon membuat bulu kuduk Ever meremang. Gadis itu cepat-cepat melepaskan diri dan menunduk. Sisa air mata yang masih ada langsung dihapus oleh gadis itu dengan punggung tangannya.             “Apa itu yang elo lakuin terhadap orang yang udah nolongin elo? Diam kayak patung tanpa ucapan terima kasih?” tanya Demon lagi. Ever tergeragap dan mengangkat kepalanya dengan ragu. Dengan seulas senyum yang agak dipaksakan, Ever berkata, “Makasih atas bantuannya.”             Demon mendengus kesal. “Jangan ge-er! Jangan dikira gue sudi nolongin lo, nggak sama sekali! Gue kan udah peringatin ke elo, jangan pernah ganggu gue atau hidup lo gue bikin kayak di neraka—“             “T—tapi kan, gue gak ngegangggu elo. Gue kan gak tau kalau ini bakalan kejadian … kalau elo merasa terganggu, kenapa lo nolongin gue? Kenapa elo gak pergi aja, dan ngebiarin gue ‘diabisin’ sama berandalan itu?” potong Ever cepat dan emosi. Kesal juga dia, dianggap udah mengganggu Demon padahal kan dia nggak ngapa-ngapain laki-laki itu.             Demon memajukan tubuhnya hingga tubuhnya yang tinggi menjulang menaungi Ever. Ever mengkeret ketakutan. Duh … dia bikin salah apa sih sampai bisa kena masalah sama Demon?             “A—apa? Mau apa lo? Mau main fisik? Silahkan, gue gak takut!” tantang Ever keras. Tapi, Demon bisa mendengar nada suara gadis itu gemetar.             Demon tersenyum sinis dan mengelus pipi Ever lembut. Gadis itu langsung terdiam. Kemudian, Demon menyentuh dagu Ever dan menarik wajah gadis itu ke depan wajahnya. Kedua mata elang Demon menancap lurus ke mata cokelat terang milik Ever. Menyelami kedua mata itu. Menembus kepribadian Ever.             “Gue gak doyan main fisik sama cewek! Apalagi cewek model elo gini. Bisanya cuman nyusahin orang lain. Gue lebih suka mainin sesuatu yang menantang. Horror! Biar gue bisa merasakan nikmatnya ketakutan dari lawan gue.” Demon mengusap bibir Ever dengan ibu jarinya. Gadis itu langsung menahan napas. Jantungnya berdegup kencang. Matanya balas menatap mata tajam Demon.             “Inget, Evera Gracia … elo udah merusak ketenangan dan ketentraman hidup gue. Dan gue gak akan biarin lo lolos gitu aja. Satu per satu akan gue buat hidup lo menderita dan penuh ketakutan. Bukan dengan sesuatu yang nyata, tapi dalam bentuk kata-kata atau sesuatu yang bisa membuat lo mengalami tekanan mental dan bathin! Inget itu … mungkin besok lo masih bisa bersantai ria, tapi setelah besok, lo harus siap-siap ….”             Demon melepaskan tangannya dari wajah Ever, lalu membungkuk dan mencium pipi gadis itu sekilas. Harusnya Ever marah-marah dan melancarkan makian untuk Demon. Tapi, entah kenapa laki-laki itu berhasil membuatnya bungkam dan menerima semua kata-kata menakutkan dan ancaman yang dikeluarkan oleh laki-laki itu. Bahkan dia tidak menampar Demon atas kelancangannya yang sudah mencium pipi Ever. Ya … ngamuk kek gitu seenggaknya, bukan cuman diam kayak arca dan menatap Demon dengan tatapan bloon. Sumpah … nggak banget!             Demon tersenyum sinis pada Ever dan berbisik, “Cewek macam apa lo? Terima aja pipinya dicium sama sembarang cowok. Apalagi cowok itu udah ngancem lo dan bikin lo takut ….”             Perkataan Demon itu seakan menampar Ever. Gadis itu tercengang dan langsun sadar akan ketololannya. Ever menatap tajam Demon dan mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.             “Mau marah sama gue?” tanya Demon angkuh. Laki-laki itu kemudian naik ke atas motornya dan memegang helm hitamnya. “Boleh … itu juga kalau lo berani. Dan kalau lo berani, itu artinya lo udah bosen hidup, Ev!”             Ever bergeming di tempatnya. Menatap ke satu titik. Demon! Tadinya Ever mulai memandang Demon dengan sudut pandang yang berbeda. Mungkin yang dikatakan Titan tadi siang benar, Demon sedang bete dan Ever malah mengajaknya mengobrol sehingga laki-laki itu kesal dan marah. Lalu pemikiran Ever itu didukung dengan kenyataan bahwa Demon menolongnya dari laki-laki kurang ajar yang ingin mengganggunya. Mungkin sebenarnya Demon itu baik. Tapi sekarang, melihat kelakuan dan tingkah Demon padanya, Ever jadi mengusir jauh-jauh semua pemikiran awalnya tentang ‘Demon yang sebenarnya baik’ jauh-jauh.             Demon memakai helm-nya dan mulai menyalakan mesin motor. Suara deru motor itu menggelegar. Kemudian, Demon mulai menjalankan motornya dan berhenti tepat di depan Ever yang masih memasang tampang garang.             Demon menaikan kaca helm-nya dan berkata, “Gue nolongin lo tadi itu cuman terpaksa. Ingat ya Ev, TER-PAK-SA! Jangan lo artikan lebih, karena gue sama sekali gak tertarik sama lo. Gue gak mau berurusan sama lo karena gue gak mau kenal apalagi berteman sama lo. Lo itu udah bikin hidup gue kacau. Gue nolongin lo karena gue gak suka ngeliat ada cewek dikasarin sama cowok. Dan jangan ngarep kalau gue bakalan nganterin lo pulang, oke?”             Selesai berkata demikian, Demon langsung menggas motornya gila-gilaan dan membelah keheningan malam dengan kendaraannya. Ever melongo ketika mendengar penuturan Demon apalagi laki-laki itu benar-benar meninggalkannya. Sama sekali tidak ada niat untuk mengantarnya pulang. Minimal sampai ke depan jalan raya gitu. Ini langsung aja ngeloyor pergi. Kalau dia sampai digangguin lagi sama orang-orang kayak tadi, gimana?             Emosi Ever langsung naik sampai ke ubun-ubun. Kepalan tangannya makin menguat. Gadis itu menyipitkan matanya menatap ke kejauhan, tempat dimana Demon baru saja menghilang dari balik tikungan dengan motor Kawasaki-nya.             “DASAR COWOK STRESS! GUE JUGA OGAH DIANTERIN SAMA LO! MENDING GUE NAIK BUAYA PULANG KE RUMAH DIBANDINGIN HARUS BONCENGAN SAMA LO DAN DUDUK DI ATAS MOTOR HIJAU LO ITU!!! DASAR IBLIS JELEEEEKK!!!” teriak Ever keras. Napasnya terengah-engah setelah mengatakan makian itu. “Emang di sini ada buaya yang bisa nganterin gue pulang ya?” tanyanya b**o pada diri sendiri setelah napasnya kembali normal.             Dan Ever langsung berlari meninggalkan perumahan itu ketika dia tidak sengaja mendengar bunyi kunci pintu yang diputar, tanda beberapa penghuni akan segera keluar rumah dan memarahinya karena terganggu dengan teriakannya barusan. *** Demon sebenarnya masih belum meninggalkan perumahan itu. Dia memarkir motornya di sebuah kedai makanan yang ada di tikungan jalan, dan kembali ke tempat yang tidak jauh dari tempatnya tadi mengatakan kata-kata tajam pada Ever. Dia berdiri di balik tiang listrik dan memandangi Ever yang sedang menjerit gila-gilaan. Jeritan gadis itu bahkan terdengar jelas di telinganya.             Perlahan, senyum Demon mulai mengembang. Bukan senyum sinis dan dingin seperti biasanya. Senyum ini terlihat lebih ringan dan rileks. Seolah semua beban yang harus ditanggungnya telah terangkat dan hilang entah kemana.             Demon buru-buru bersembunyi ketika dilihatnya Ever tengah berlari ke arahnya. Kemudian, gadis itu menghentikan taksi pertama yang lewat dan langsung masuk ke dalam kendaraan tersebut. Demon mendesah lega dalam hati dan keluar dari tempat persembunyiannya.             Demon berdiri mematung di tempatnya. Matanya tidak lepas dari tempat dimana beberapa saat lalu Ever menghilang. Laki-laki itu berkacak pinggang dan menunduk. Aneh. Ada sesuatu dalam hatinya yang terasa aneh. Hatinya terasa … hangat. Apa karena gadis itu? Apa karena Ever?             Apa kamu yang udah munculin Ever buat aku?             Detik berikutnya, Demon menggeleng keras. Nggak! Serunya dalam hati. Gadis yang bernama Ever itu tidak boleh melakukan sesuatu yang membuatnya kembali berani untuk berharap. Yang dia tahu, harapan itu hanyalah kepalsuan belaka. Harapan hanyalah sebuah penderitaan terbesar baginya. Dan dia tidak mau jatuh lagi karena sebuah harapan!             Demon tidak boleh dekat dengan Ever.             Dia harus mencari cara untuk membuat gadis itu benci padanya atau mencari kejelakan gadis itu agar dia benci pada Ever! *** “Jam berapa ini!?”             Demon mengacuhkan seruan keras itu dan tetap berjalan memasuki rumahnya. Demon hanya melirik sekilas ke arah papa dan mamanya yang sedang berdiri di ambang pintu rumahnya untuk menunggunya.             “Kenapa emang? Baru juga jam segini … apa urusannya sama Papa?” tanya Demon sinis. Laki-laki itu berhenti melangkah lalu memutar tubuhnya untuk menghadap papa dan mamanya.             “Kamu ….” Gunawan Abiyoso, direktur utama dari perusahaan Abiyoso Group International, sekaligus ayah dari Demon, menatap anaknya dengan penuh amarah. “Makin hari kamu semakin membangkang! Kamu mau membunuh Papa dan Mama secara perlahan dengan kelakuan kamu itu, iya!?”             Di sebelahnya, mama Demon sedang berusaha meredam amarah suaminya. Selalu seperti ini. Semenjak kejadian itu, suami dan anaknya selalu berseteru tanpa henti. Bahkan keduanya terlibat perang dingin.             Demon mencibir lalu tertawa sinis. Tawa yang sumbang dan hambar. Tawa yang menggambarkan kegelapan dan kekosongan hatinya. Kemudian, Demon menatap sinis ayahnya.             “Bukannya itu bakat yang diturunin Papa ke aku? Membunuh … iya kan!?”             Gunawan Abiyoso maju mendekati Demon dan langsung menampar keras wajah anaknya. Demon tersungkur dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Sementara itu, mama Demon hanya bisa menahan lengan suaminya agar tidak memukuli Demon lagi.             “Sudah, Pah … ingat, Demon anak kita!” tahan istrinya. Gunawan menoleh dan mendengus.             “Begini kamu bilang anak kita?” pria paruh baya itu menunjuk muka Demon lurus-lurus. “Liat saja tingkahnya. Membangkang! Tidak pernah menuruti kata orang tua, selalu cari masalah!”             Istrinya mulai menangis. Wanita itu tidak sanggup terus-menerus melihat kedua orang yang dicintainya bertengkar.             “Bukannya aku begini karena perbuatan Papa sendiri, HAH!?” suara Demon mulai meninggi. “APA PAPA INGAT APA YANG SUDAH PAPA LAKUKAN PADA DIA? APA PAPA INGAT!? SEMUA SEMANGAT HIDUP DAN APAPUN YANG ADA DALAM DIRI AKU DIRENGGUT DENGAN PAKSA OLEH PAPA! DAN PAPA MASIH BERANI BILANG KALAU AKU SELALU CARI MASALAH DAN TIDAK PERNAH MENURUTI KATA PAPA DAN MAMA!? BAHWA AKU INI ADALAH SEORANG PEMBANGKANG!? KALAU AKU SEORANG PEMBANGKANG, LANTAS PAPA SEORANG APA!? PEMBUNUH!? IYA!?”             Gunawan terdiam di tempatnya. Matanya memerah akibat menahan emosi. Laki-laki itu kemudian meninggalkan Demon yang masih menatapnya tajam dan perlahan mengeluarkan air mata. Rasa sesak dan sakit itu kembali menyerang. Luka itu kembali menganga lebar.             “Sayang … kamu nggak—“             “Jangan sentuh aku!” potong Demon cepat dan menepis tangan mamanya dengan kasar. Laki-laki itu kemudian berdiri dan meninggalkan mamanya yang masih menangis. *** Ever menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Gadis itu sudah memakai piyama dan berniat untuk tidur. Jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan diluar hujan turun dengan derasnya. Sama seperti malam kemarin. Bulan dan bintang enggan menampakan diri. Hembusan angin bergitu kencang hingga membuat bulu kuduk Ever meremang. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit dan tulang gadis itu. Ever menaikan selimutnya sampai ke d**a dan menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang.             Begitu banyak hal yang terjadi hari ini. Pertemuannya dengan Demon membuatnya lelah dan kehabisan tenaga. Ever kembali melayangkan pikirannya ke kejadian beberapa jam yang lalu. Saat Demon menolongnya dari gangguan anak-anak berandal.             Kelihatannya Demon benar-benar benci padanya. Tapi, apa yang sudah diperbuatnya sehingga laki-laki itu tidak suka padanya? Apa … dia mempunyai kelainan seksual? Homo?             Ever langsung menepis pikiran itu jauh-jauh dan menggeleng. Kalau Demon homo, harusnya kan gak perlu se-ekstrem itu sampai harus membenci dirinya. Lagipula, kalau diperhatikan, Demon hanya bersikap seperti ini padanya. Sementara pada Titan atau teman-teman perempuannya yang lain, Demon selalu bersikap ramah.             Jadi? Apa yang harus dilakukannya?             Ever menghembuskan napas panjang dan kesal. Dipeluknya guling dan dipejamkannya mata. Kalau Demon benci padanya, kenapa laki-laki itu menolongnya tadi? “Gue nolongin lo tadi itu cuman terpaksa. Ingat ya Ev, TER-PAK-SA! Jangan lo artikan lebih, karena gue sama sekali gak tertarik sama lo.” Ucapan Demon itu terngiang lagi dalam pikiran Ever. Ever mengerucutkan bibirnya dan memasang tampang cemberut. Dibukanya mata perlahan. “Apa gue tanya langsung aja sama orangnya, ya? Kenapa dia bisa benci banget sama gue, dan apa salah gue ke dia?” gumam Ever pada diri sendiri. “Mau marah sama gue? Boleh … itu juga kalau lo berani. Dan kalau lo berani, itu artinya lo udah bosen hidup, Ev!” Ever kembali menggeleng. Gadis itu kemudian bergidik ngeri dan menarik selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya. “Kalau lo lakuin itu, lo bisa mati konyol, Ev!” seru gadis itu pada diri sendiri lalu terlelap karena kecapekan.   Beberapa kilometer dari tempat Ever terlelap, Demon lagi-lagi memandang ke luar jendela. Menatap derasnya hujan dan embun yang membasahi kaca jendela kamarnya sehingga laki-laki itu tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Tangannya terkepal kuat. Dadanya naik-turun, berusaha meredam semua luapan amarah dan emosi yang tiba-tiba saja naik ke permukaan.             Dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Hidup dalam kekosongan dan kegelapan. Tidak mempunyai tujuan dan harapan apapun. Karena semua harapan dan tujuan hidupnya sudah musnah.             Lalu, dia harus bagaimana? Dia tidak sanggup menerima dan memikul semua beban bathin ini lebih lama lagi. Rasanya begitu menyesakan. Paru-parunya seakan tidak berfungsi dengan baik hingga dia sering kali kehabisan oksigen untuk bernapas.             Luka itu, kembali menganga lebar dalam hatinya. Luka yang selama ini telah berusaha ditutupnya dengan penuh perjuangan. Dan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, luka itu kembali terbuka. Menusuk telak rongga dadanya. Menghujam jantung dan hatinya.             Kalau saja Ever tahu ….             Tidak! Demon menggeleng keras. Gadis itu tidak boleh tahu mengenai apapun. Jangan sampai gadis itu mengetahui satu hal apapun mengenai dirinya. Dia tidak ingin gadis itu terluka!             Lantas, apa dengan begini semua akan baik-baik saja? Bukankah ini artinya dia akan semakin terluka lagi? Lebih dalam dari sebelumnya? Tenggelam dalam penderitaan dan tidak akan pernah menemui jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Atau dia harus mati saja sekarang? Bunuh diri?             Bukankah Demon membenci Ever? Bukankah laki-laki itu tidak mau berurusan dengan gadis itu? Lalu, apa pedulinya kalau Ever terluka karena mengetahui semua rahasianya? Rahasia dia membenci gadis itu. Bukankah dengan perlahan Ever akan menjauhinya dan membencinya? Bukankah itu yang dia inginkan?             Demon meninju meja belajar yang berada di depannya. Tidak dipedulikannya rasa sakit di tangannya. Laki-laki itu berusaha bernapas dengan normal, namun sia-sia. Setiap dia menghirup udara, dadanya semakin terasa sakit dan nyeri.             Tiba-tiba, Demon melihat sebuah kertas yang terselip diantara jejeran buku di atas meja belajar. Diambilnya kertas itu dan dibukanya. Matanya menyusuri setiap kalimat yang tertulis di sana. Selesai membaca, Demon mendengus keras dan tertawa hambar. Dibukanya kacamata dan dilemparkannya ke meja. Kemudian, dalam waktu satu detik, kertas itu sudah berubah menjadi serpihan kecil.             “Pembohong ….” Demon bergumam lirih dan melempar serpihan kertas-kertas kecil itu ke udara, hingga akhirnya jatuh berhamburan ke lantai kamarnya. Because you live and breathe Because you make me believe in myself, when nobody else can help Because you live, girl … my world Has twice as many stars in the sky …. (Jesse Mccartney-Because You Live) *** “Ev?”             Ever menoleh dan mendapati mamanya sedang berdiri di ambang pintu kamarnya sambil tersenyum. Ever melambaikan tangannya dan balas tersenyum. Mama Ever melangkahkan kakinya memasuki kamar anak gadisnya dan berdiri di belakang Ever yang sedang menyisir rambut panjangnya sambil menghiasi rambutnya dengan jepitan kecil.             “Kenapa, Mah?”             “Nanti pulang sekolah kamu ke tempat itu, ya?”             Ever mengerutkan kening dan menoleh. Tatapannya bertumbukan dengan tatapan lembut mamanya. “Ngapain, Mah?”             “Katanya dia bosan. Dia pengin kamu ke sana dan nemenin dia. Kamu juga kangen kan sama dia?”             Ever tersenyum dan mengangguk. “Ever selalu kangen sama dia setiap hari, Mah. Ya udah, nanti Ever ke sana sepulang sekolah.”             Mama Ever mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Kemudian, wanita paruh baya itu meninggalkan Ever yang masih sibuk mengurusi rambutnya.   “Lo mau ke sana sendirian?”             Ever mengangguk dan kembali melanjutkan acara makan rotinya. Tadi dia tidak sempat sarapan di rumah dan akhirnya memutuskan untuk membeli roti di kantin sekolah dan memakannya di kelas. Anak-anak penghuni kelasnya sendiri masih banyak yang belum datang. Ever melihat sekelilingnya. Baru ada dirinya, Titan, Lily, Rio, Dimas, Fajar, Anto, Micko, Siska, Sissy, Dida, Selvi dan … Demon!             Ih, nafsu makan Ever jadi hilang karena melihat laki-laki itu. Demon tampak sedang duduk sambil membaca buku. Ever memperhatikan judul buku yang dibaca Demon. Novel? Jadi laki-laki itu suka baca novel? Nggak nyangka.             Gaya duduknya Demon sama persis seperti kemarin. Bersandar di kursi, dengan sebelah tangan memegang buku dan kaki kanan yang disilangkan ke kaki kiri.             “Ever ….” Titan menyentuh siku Ever. Ever tersentak dan langsung menoleh ke arah Titan. “Apa?”             Titan mengulum senyum. “Apa? Gue kan lagi ngomong sama elo. Kenapa malah jadi merhatiin si Demon?”             Wajah Ever langsung berubah merah. “A—apa sih lo?”             “Sok ngelak deh ….” Titan tertawa. Ever langsung menunduk.             “Balik ke persoalan,” ucap Titan lagi. “Elo serius mau ke sana sendiri? Lo kan tau jalan ke sana itu rawan, Ev. Kita hari ini pulang sore banget karena katanya si Bryan mau briefing. Kalau lo kenapa-napa, gimana?”             Ever mengibaskan tangannya. “Elo berlebihan, Tan. Gue bakalan baik-baik aja kok.”             “Lo nggak inget waktu itu kita berdua pernah diganggu preman pas mau ke sana? Beruntung banget ada yang nolongin. Nah ini elo sendiri perginya … kalau lo diapa-apain sama preman waktu itu, gimana? Kalau gak ada yang nolongin lo, gimana?” tanya Titan. Nada suaranya terdengar sarat kecemasan dan kekhawatiran.             Ever diam merenungkan semua perkataan Titan. Iya juga, ya? Kalau ntar gue kenapa-napa, gimana? Ever menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jadi ketuleran khawatir kan dia gara-gara ucapan Titan barusan.             Sementara itu di tempatnya, Demon bisa mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh Ever dan Titan. Suasana yang belum ramai membuat Demon bisa mendengar suara mereka meskipun terbilang cukup pelan.             Demon menutup bukunya dan mengawasi Ever dari balik kacamata tipisnya. Raut wajah gadis itu tampak bingung dan khawatir. Demon menghela napas dan berdecak kesal.             Feeling gue gak enak! Demon membatin. Gue rasa si Ever bakalan ngerepotin gue lagi! *** Selama pelajaran berlangsung, Ever tidak bisa berkonsentrasi. Otaknya dipenuhi dengan kejadian-kejadian yang mungkin akan ditemuinya dalam perjalanannya ke tempat itu nanti. Kalau … kalau dia dijalan nanti terkena masalah, gimana?             Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Ever langsung merapihkan semua peralatan sekolahnya ke dalam tas. Di sebelahnya, Titan kembali memasang tampang khawatir.             “Udah napa, Tan. Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Lo ngeliatin gue seolah-olah gue bakalan mati hari ini, deh,” sungut Ever.             “Ya abis gimana, dong? Gue takut banget elo kenapa-napa ….” Titan memegang lengan Ever. Ever berdecak kesal dan menatap Titan tepat di manik mata. “Lo tenang aja, oke? Gue pasti bisa jaga diri.”             “Elo … udah izin ke Bryan gak ikut briefing hari ini?”             Ever mengangguk. “Udah. Sengaja gue gak ikut supaya gak kemalaman gue jalan ke sananya. Ini aja udah jam setengah tiga.”             Titan mengangguk. Kemudian gadis itu pamit duluan pada Ever untuk pergi ke tempat anak-anak ekskul voli berkumpul.             Ever menghela napas panjang. Aduh … kenapa gue jadi takut kayak gini, sih?             “Kenapa? Takut? Kalau takut mendingan nggak usah pergi aja, daripada ntar lo kenapa-napa. Gue juga yang repot ntar ….”             Ever menoleh dan mendapati Demon sedang berdiri di ambang pintu kelas. Saat ini, keadaan kelas sudah kosong melompong, hingga hanya terdapat mereka berdua. Ever mendengus kesal dan berkacak pinggang. Kedua matanya menantang mata elang milik Demon.             “Dih … apa urusannya sama elo kalau gue kenapa-napa? Kenapa juga lo harus repot? Bukannya lo bilang lo gak mau berurusan sama gue dan semua hal yang ada sangkut pautnya sama gue? Bukannya kata lo, gue gak boleh ganggu elo lagi, kalau nggak elo bakalan bikin hidup gue kayak di neraka? Kenapa sekarang justru gantian elo yang gangguin gue?”             Demon melangkah mendekati Ever dan berdiri tepat di depan gadis itu. Matanya mengawasi semua yang ada pada diri Ever. Sangat mirip. Benar-benar mirip. Tidak ada perbedaan sama sekali.             “Gue ngerasa ada yang nggak beres hari ini. Jadi, daripada nanti elo gak selamat di jalan, mending elo turutin apa perintah gue!”             “Denger ya Tuan Demon Jacob Abiyoso yang terhormat … jangan dikira karena elo anak seorang pengusaha terkenal yang kaya raya lantas elo bisa memperlakukan gue seperti ini. Gue gak akan ngebiarin hidup gue dikontrol sama orang model elo! Paham!?” seru Ever berang.             Dalam beberapa detik lamanya, yang dilakukan oleh Ever dan Demon hanyalah salin tatap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sampai akhirnya tiba-tiba Demon mengangguk dan menatap tegas ke dua bola mata cokelat Ever.             “Fine! Elo boleh pergi … tapi dengan satu syarat ….”             Ever memutar bola matanya kesal. Apa-apaan sih si Demon ini? Dia pikir, dia siapa? Bisa seenaknya gitu merintah-merintah Ever?             “Apa?” tanya Ever malas. Jarum jam semakin berputar dan hari sudah semakin sore.             Demon menyuruh Ever untuk mendekat ke arahnya dengan menggunakan jari telunjuknya. Dengan sikap waspada dan rasa malas yang mulai membuncah, gadis itu perlahan mendekati Demon. Bukan karena dia menuruti perintah laki-laki itu, tapi demi dirinya sendiri agar dia tidak terlambat pergi ke tempat tujuannya. Karena seperti kata Titan sebelumnya, jalan menuju ke sana sangatlah rawan akan bahaya.             Demon mendekatkan wajahnya ke wajah Ever hingga membuat gadis itu menahan napas saking terkejutnya. Kemudian, laki-laki itu membisikan sesuatu di telinga Ever. Ever melongo menatap wajah Demon yang sudah menjauh. Sedetik … dua detik … tiga detik … gadis itu hanya bisa terdiam di tempatnya dengan mulut ternganga, sampai akhirnya ….             “HAH!?” ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN