“Gue yang nganter elo!”
Ever nyaris tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari bisikan Demon barusan. Demon berniat untuk mengantarnya ke tempat tujuannya? Ha! Yang benar saja. Ada angin apa sampai-sampai si laki-laki dingin ini berkata seperti itu? Apa ini salah satu triknya untuk memulai ancamannya kemarin?
“Gimana?” tanya Demon. Seperti biasa, nada suaranya terdengar ketus dan dingin di telinga Ever.
Ever berdecak kesal dan menunjuk wajah Demon lurus-lurus.
“Apa tujuan elo?” tanya Ever sinis. Demon menaikan satu alisnya dan bersedekap. Tubuhnya disenderkan ke meja yang ada di belakangnya.
“Apa tujuan gue?”
Ever mengangguk tegas.
Demon tersenyum kecil, lalu perlahan tertawa. Ever tertegun. Ini tawa pertama yang didengar Ever dari mulut Demon. Kalau biasanya senyum Demon menggambarkan kebengisan, kesinisan, dan kedinginan pemiliknya, sekarang Ever bisa merasakan suara tawa Demon yang penuh dengan keramahan dan kehangatan. Kening Ever kontan kribo. Si Demon ini punya double personality kali ya?
Tawa Demon berhenti ketika menyadari tatapan aneh yang dilayangkan Ever padanya. Kontan laki-laki itu langsung berdeham pelan dan kembali memasang tampangnya yang biasa. Wajah dingin dan sinis setiap kali laki-laki itu bertemu dengan Ever.
“Kenapa lo? Ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Demon ketus. “Lo naksir sama gue? Duibuqi, tapi gue gak suka sama lo. Gue malah muak banget sama elo!”
Ever mencibir. Tuh kan, balik lagi ke sikapnya yang biasa kalau ketemu gue! Kemana sikapnya yang ramah dan hangat tadi? Hilang!?
“Wo lai wan le! (gue terlambat!) jadi mending sekarang lo biarin gue pergi, oke?” balas Ever sengit. “Dan apa lo bilang barusan? Gue suka sama lo? Duibuqi juga ya Yang Mulia Demon! Gue juga muak tuh sama lo … dan jangan ngomong pake bahasa mandarin deh sama gue, itu makanan gue sehari-hari, araseo!?”
Ever melenggang pergi meninggalkan Demon yang masih terdiam di tempatnya. Selangkah lagi Ever keluar melewati pintu kelasnya, mendadak pintu itu terbanting tepat di depan wajahnya. Ever kontan terkejut dan menjerit. Jantungnya berdetak cepat karena kaget. Diusapnya dadanya untuk mengurangi kekagetan yang baru saja diterimanya. Kening Ever langsung berkerut ketika mendapati pintu kelasnya tidak bisa terbuka alias terkunci dari luar. Siapa yang melakukan hal ini?
“Gue bisa ngelakuin apa aja untuk ngedapatin apa yang gue mau, Ev. Gak ada satu orang pun yang bisa merusak keinginan atau kemauan gue! Semua kemauan dan perintah gue harus terpenuhi, termasuk nganterin elo. Lo boleh nolak, tapi itu artinya elo bersedia mengurung diri lo di kelas ini sama gue.” Demon maju mendekati Ever dan berdiri persis di depan gadis itu hingga Ever bisa merasakan ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu Demon. Hembusan napas laki-laki itu juga terasa olehnya. “Semalaman suntuk!” bisik Demon tepat di telinga Ever.
Ever kontan melongo. Ini dia kena kutukan dari siapa sih?
“Jangan main-main lo!” seru gadis itu keras.
Demon mengangkat bahu dan memandang sekelilingnya. “Apa gue keliatan lagi main-main, Ev? Apa lo lupa ancaman gue kemarin? Gue akan bikin hidup lo serasa di neraka.”
Ever menyipitkan matanya. Diliriknya jam dinding yang ada di kelasnya. Sudah pukul tiga tepat. Itu artinya dia sudah setengah jam menghabiskan waktu untuk berdebat dengan si iblis ini! Semakin lama Ever berangkat, akan semakin menambah masalah untuknya.
“Dan ini cara lo bikin hidup gue kayak di neraka?” tanya Ever pelan.
“Exactly!”
Ever tertawa mencemooh. “Heh! Lo b**o atau t***l? Atau gabungan diantara keduanya? Kalau cuman kekunci bareng elo di kelas ini semalaman suntuk, apa yang dimaksud dengan ‘gue bakal bikin hidup elo kayak di neraka’?” tanya Ever semangat. “Kalau cuman kekurung doang sih, gue udah biasa. Dari kecil kalau gue bikin salah, gue pasti dikunci di gudang sama bokap! Udah kebal.”
Demon menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum. Senyum yang penuh dengan misteri. Melihat itu, sikap tubuh Ever langsung berubah waspada. Jangan sampai gue salah ngomong barusan, batin gadis itu.
“Tahap nerakanya bukan ada di situ, Ev. Gue gak sebego itu. Kalau cuman kekurung doang sih, emang nggak ada kesan menakutkan yang bisa membuat lo berpikir kalau lo udah hidup di neraka. Apa lo lupa kalau lo kekurung sama gue? Gue ini laki-laki normal loh, Ev. Dan lo pasti tau dong apa yang bakal terjadi kalau dalam satu ruangan terkunci terdapat laki-laki normal berduaan sama gadis normal? Lo udah siap?”
Ever membeku di tempat. Wajahnya pucat. Dia sama sekali tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir Demon. Demon memang terlihat sangat membencinya, tapi Ever tidak menduga bahwa Demon juga bisa berpikir seperti itu.
“Gimana?” tanya Demon menghentikan serentetan gagasan yang mulai muncul dalam benak Ever. “Pilihan lo cuman dua. Lo biarin gue buat nganterin lo ke tempat tujuan lo itu, atau … lo siap gue apa-apain!”
Aduh … ini sih namanya sudah jatuh ketimpa tangga pula. Pilihan Demon nggak ada yang enak semua!
Sebenarnya Demon sengaja memilih peredebatan ini diperpanjang agar Ever tidak jadi ke tempat tujuannya yang entah dimana itu. Mendengar ucapan Titan tadi pagi bahwa jalan menuju tempat yang akan dituju Ever itu sangat rawan akan bahaya, entah kenapa membuat Demon kepikiran. Ditambah lagi bisikan-bisikan di telinganya yang mengatakan bahwa Ever akan mendapat masalah kalau dia pergi ke tempat itu terus menghantuinya.
Ini tidak wajar! Harusnya dia membenci Ever. Karena bagaimanapun juga, gadis itu membuatnya kembali merasakan apa yang seharusnya tidak boleh dia rasakan lagi. Merasakan sesuatu yang harusnya sudah lama dibunuhnya dan dimusnahkannya.
“Gue pulang!”
“Apa?”
Ever mendongak untuk menatap Demon. Tatapan gadis itu tajam dan penuh penentangan. “Gue mau pulang! Gue nggak jadi pergi. Dan karena gue nggak jadi pergi, gue harap lo puas dan nggan usah pake acara buat nganterin gue pulang segala karena gue bisa sendiri!”
Demon memandangi gadis di depannya ini dengan alis terangkat satu. Ternyata, semudah itu membuat Ever menyerah. Kedua pilihan yang diberikannya pada Ever ternyata ditolak oleh gadis itu. Demon memang sudah memprediksinya dari awal, karena dia memang sengaja memberikan pilihan-pilihan itu. Dia yakin Ever tidak mau diantar olehnya dan gadis itu juga lebih memilih mati ketimbang harus menyerahkan sesuatu yang dianggapnya paling berharga kepada Demon.
“Oke … lo boleh pulang.”
Satu siulan panjang dari Demon membuat pintu kelas itu terbuka kembali. Ever bernapas lega. Setelah menghujami Demon dengan wajah yang cemberut, bibir mengerucut, mata menyipit dan kening berkerut tidak senang, Ever melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Demon berdecak keras dan meninju dinding di sebelah pintu kelasnya.
“SIAL!” umpatnya. Ditatapnya punggung Ever yang semakin menjauh dan menghilang dari balik tangga. “Cewek keras kepala!”
***
Ever membereskan piring di meja makan dan membawanya ke tempat cuci piring. Gadis itu kemudian mulai membersihkan satu persatu alat makan yang sudah kotor dan menyimpannya dengan rapih di rak piring. Ever terlihat sangat gelisah. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia masih berada di tempat ini.
“Kamu pulangnya nanti gimana?”
Ever menyeringai geli. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa.
“Dijemput sama Kak Micky?”
“Hah? Nggak kok. Aku pulang sendiri nanti naik kendaraan umum.”
Ever merutuki dirinya sendiri. Harusnya tadi dia menerima saja tawaran Demon untuk mengantarnya ke sini. Tapi, dia tidak mau lagi berurusan dengan laki-laki itu. Dia sengaja berbohong dan berkata pada Demon bahwa dia tidak jadi pergi dan akan pulang. Dengan bodohnya, Demon percaya dan melepaskannya.
Inilah yang semakin membuat Ever kebingungan. Kalau laki-laki itu membencinya, kenapa dia selalu menolong Ever dan khawatir terhadapnya? Atau … itu hanya perasaannya sendiri?
“Ev?”
Ever tersentak dan memandang gadis di depannya. “Apa, Lyn?”
Gadis di depan Ever tersenyum. “Makasih ya udah dateng ke sini. Aku senang loh kamu dateng. Aku kangen banget sama kamu, sama Mama kamu, sama Papa kamu juga sama Kak Micky, sepupu kamu. Aku beruntung banget bisa ditolong sama keluarga kalian dua tahun yang lalu.”
Ever tertawa renyah. “Udahlah Evelyn, kita ikhlas kok nolongin kamu. Mmm … Lyn, aku boleh tanya sesuatu, nggak?”
Gadis bernama Evelyn itu mengangguk dan tersenyum. “Boleh kok.”
“Kejadian dua tahun lalu, sewaktu kamu ditolong sama aku dan keluargaku, itu sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jadi seperti itu? Selama ini kamu nggak pernah cerita tentang masalah itu ke kami ….”
Evelyn terdiam. Wajahnya mengelam dan tampak sekali di mata gadis itu bahwa dia menyimpan sejuta kesedihan dan penderitaan.
“Maaf Ev … aku … aku belum siap buat ceritain hal itu. Aku takut , aku bakalan jatuh lagi ke lubang kesedihan dan kepedihan itu. Aku janji, aku akan cerita ke kamu kalau waktunya sudah tepat.”
Ever mengangguk maklum. “it’s ok kalau kamu belum siap buat cerita. Aku cuman khawatir sama kamu. Mama sama Papa juga.” Ever melihat jam dinding dan mendesah pelan. “Udah malam, Lyn … aku pulang dulu, ya? Nanti pasti aku ke sini lagi.”
“Hati-hati Ever ….”
Evelyn dan Ever saling melambaikan tangan. Kadang Evelyn berpikir apakah Ever ditakdirkan untuk datang kepadanya? Menjadi seorang sahabat sekaligus pelindungnya? Juga sebagai seorang saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya? Karena kalau dilihat sekilas, Ever sangat mirip dengannya.
Evelyn mendesah keras dan bersandar di pintu rumahnya. Pandangannya menerawang jauh ke langit hitam di atas sana yang ditaburi oleh ribuan bintang. Tanpa bisa dicegah, air matanya bergulir turun. Namun, Evelyn sama sekali tidak berniat untuk menghapusnya.
Sungguh kusesali …
Nyata cintamu kasih
Tak sempat terbaca hatiku
Malah terabai olehku …
Ingin kusembunyi … tutupi maksud hati …
Yang justru hidup karenamu … dan bisa mati tanpamu …
(Tangga-Kesempatan Kedua)
***
“Eh … ada cewek cakep!”
Ever terbelalak dan langsung menatap tajam si pemilik suara berat yang baru saja menyapanya dengan kurang ajar itu. Ada seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan jacket jeans menutupi tubuhnya. Rambutnya bergaya spike dengan alis tebal yang menaungi dua matanya yang tersenyum genit. Tubuhnya disandarkan di salah satu tiang listrik yang ada, dengan kedua tangan yang dimasukan kedalam celana panjangnya. Di bibirnya terselip sebatang rokok dan bibirnya juga melengkung ke sisi atas kanan mulutnya.
Ever langsung berdecak kesal.
Kayaknya gue emang kena kutukan beneran! Kutukan dari Yang Mulia Demon Jacob Abiyoso yang menyebalkan!
“Sorry, gue mau lewat ….” Ever berkata dengan nada tenang namun tegas dan langsung berjalan melewati laki-laki itu. Tanpa diduga, ternyata laki-laki itu mencekal lengan Ever dan memutar paksa tubuh gadis itu agar menghadap ke arahnya. Ever nyaris saja jatuh karena kehilangan keseimbangan. Gadis itu kemudian berusaha mengenyahkan tangan si laki-laki itu dengan sekuat tenaga.
“Lepasin, nggak!?” seru Ever berang. “Atau lo mau gue—“
“Teriak?” tanya laki-laki itu pelan. “Elo mau teriak, iya?”
Ever bungkam. Gadis itu merasa tubuhnya mulai menggigil. Ketakutan mulai merasuki tubuhnya. Di sini sepi dan tidak ada yang bisa dia mintai pertolongan.
“Silahkan aja kalau lo mau teriak. Tapi percuma!” laki-laki itu terkekeh pelan. “Tempat ini jarang ada orang lewat. Lo gak akan bisa minta tolong ke siapapun. Udahlah, gue cuman mau ngajak kenalan aja kok. Gue Frazio, elo?”
Ever menelan ludah susah payah. Kenapa malah ngajak kenalan coba?
“Evera Gracia! Udah gue bilang jangan pergi ke sini sendirian, tapi elo masih ngeyel juga!”
Ever mengerang dalam hati. Aiih, gara-gara terlalu berurusan sama si iblis itu, gue jadi berhalusinasi denger suara dia, kan? Udah dah, resmi gue dihantuin sama si Demon. Abis dah masa-masa remaja gue yang indah. Goodbye my wonderful life and welcome my nightmare! I’m yours now ….
“Dia siapa? Cowok lo?”
Ever kontan mengerutkan kening ketika laki-laki bernama Frazio di depannya ini menatap sesuatu yang berada di belakangnya dengan tatapan tajam dan alis terangkat satu. Ever menghembuskan napas keras. Jangan-jangan ….
“De … mon?” Ever menyebutkan nama laki-laki itu dengan terbata ketika dia memutar kepalanya untuk menoleh ke belakang dan mendapati Demon sudah berdiri dengan tangan bersedekap dan kening berkerut tidak senang di sana. Laki-laki itu kemudian maju dengan langkah cepat dan langsung menarik lengan Ever yang dicekal oleh Frazio.
“Dia siapa?” tanya Demon dingin. Ever menoleh menatap Frazio dan kembali menatap Demon sambil menggeleng.
“Gue … gue gak tau. Gue dicegat tadi pas mau pulang.”
Demon menghela napas panjang. “Trus kenapa lo masih ke tempat ini? Bukannya tadi lo bilang lo mau pulang? Hmm?”
Nada suara Demon memang berubah menjadi lembut ketika mengucapkan kalimatnya barusan. Tapi, Ever merasa nada itu bukanlah nada suara Demon yang sesungguhnya. Ever sangat yakin, habis ini Demon pasti akan langsung berubah menjadi sinis lagi. PASTI!
“Elo cowoknya?” tanya Frazio dingin. Demon menoleh dan saling bertatapan dengan Frazio.
“Kalau iya kenapa, kalau bukan juga kenapa?” balas Demon. “Kayaknya nggak ada urusannya sama lo deh kalau gue bilang dia cewek gue atau bukan.”
“Kalau dia bukan cewek lo, bisa lo pergi dari sini? Gue mau kenalan sama cewek cantik itu ….” Frazio menatap Ever yang bersembunyi di balik punggung Demon. Gadis itu memegang lengan Demon dan merapat pada tubuh laki-laki itu.
“Dia emang bukan cewek gue ….” Demon menjawab dengan pelan. Ketika dilihatnya Frazio sudah akan membuka mulut untuk mendahului ucapan Demon, Demon kembali berkata, “Tapi dia calon isteri gue!”
“HAH!?”
“HE!?”
Ever dan Frazio sama-sama berteriak histeris saking kagetnya dengan ucapan Demon. Sementara itu, Demon hanya diam dan membetulkan letak kacamatanya yang mulai terasa tidak nyaman.
“Bohong lo!” tukas Frazio langsung. “Lo berdua kan masih SMA, nggak mungkin udah mau nikah!” Frazio memperhatikan seragam SMA yang masih melekat pada tubuh Ever dan Demon. Laki-laki itu kemudian membaca nama sekolah Ever dan Demon yang tertera pada badge keduanya.
“Kenapa liat-liat badge seragam gue? Mau nanya ke sana apa betul gue sama dia udah nikah?” tantang Demon. “Silahkan aja. Atau … lo mau bukti sekarang?”
Frazio menyipitkan matanya. “Apa buktinya?”
Demon tersenyum kecil dan menarik Ever yang bersembunyi di balik punggungnya. Kemudian, dia menghadapkan tubuh Ever ke arahnya. Ever mengerutkan kening dan agak sedikit terkejut dengan perlakuan Demon yang tiba-tiba itu. Ketika Ever akan membuka mulut untuk bertanya apa maksud tindakan Demon, laki-laki itu malah tersenyum makin lebar—dengan ciri khasnya: dingin dan sinis—menatap Frazio yang dibelakangi oleh Ever, dan berkata, “Watch carefully, Man!”
Dengan satu gerakan cepat, bahkan sebelum Ever sempat menyadari apa yang terjadi, Demon menarik Ever hingga tubuh gadis itu berada dalam pelukannya, dan langsung melumat bibir mungil gadis itu!
Ever terbelalak. Dia ingin berteriak tapi tidak bisa. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia bergerak-gerak liar untuk melepaskan diri, tapi tenaga Demon lebih kuat.
Sementara itu, Frazio menyaksikan semuanya dengan mulut ternganga. Ternyata tantangannya malah direalisasikan dengan gampangnya oleh laki-laki itu. Setelah mendengus dan menendang kerikil dengan kesal, Frazio melenggang pergi meninggalkan tempat itu.
“Silahkan bersenang-senang deh! Gue gak mau ikut campur urusan dua sejoli yang sebentar lagi bakalan melangkah ke pelaminan!” tegas Frazio.
Sepeninggal Frazio, Demon melepaskan Ever dan gadis itu langsung melotot ke arahnya.
“ELO UDAH GILA YA, MON!?” seru Ever langsung. Demon refleks menutup kedua telinganya.
“Apaan sih lo, Ev? Orang elo nggak gue cium beneran juga! Tangan kanan gue kan jadi penghalang mulut lo sama mulut gue!” sungut Demon. Ever mencibir keras.
“Gue nggak bisa napas, tau! Lo mau bikin gue mati, hah!?”
Demon melirik Ever sebal. “Tahap pertama ngebuat hidup lo berasa dalam neraka, got it?”
Ever cemberut dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Heran banget dia sama kelakuan Demon. Kenapa laki-laki satu itu selalu menolongnya sih? Dan selalu tepat waktu! Apa laki-laki itu menguntitnya?
Demon menepuk-nepuk seragamnya, seolah terdapat banyak debu yang menempel di sana. Tanpa memandang Ever, dia berkata, “Elo kenapa gak nurutin perintah gue? Kenapa bohongin gue? Pengin cepet mati, ya?”
Tuh kan, suaranya sinis lagi!
“Suka-suka gue! Hidup-hidup gue, kenapa elo yang sewot?”
Ever melenggang pergi meninggalkan Demon namun dihadang dengan cepat oleh laki-laki itu. “Mau kemana lo?”
“Pulang! Mau kemana lagi emangnya?”
“Gue anter! Ini udah malem dan gue gak mau elo kenapa-napa! Gue bisa repot ntar!”
Demon menarik pergelangan tangan Ever dan membawa gadis itu ke tempat dimana dia memarkir motornya. Selama ditarik Demon, Ever terus berpikir. Lagi-lagi, Demon bersikap seperti ini. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki itu? Kenapa Ever merasa ada yang disembunyikan oleh Demon?
***
“Makasih ….”
Ever mengucapkan satu kalimat itu dengan kikuk. Reaksi Demon juga biasa saja. Hanya mengangguk dan mulai menyalakan lagi mesin motornya.
“Tidur yang nyenyak ya ….”
“Hah?”
Demon menarik napas panjang dan menatap gadis itu. “Gue bilang tidur yang nyenyak. Besok lo akan mulai ngejalanin masa-masa neraka lo!”
“Cih ….” Ever menggumam tidak jelas. Kemudian, gadis itu menatap kepergian Demon dengan tatapan lembut.
“Coba Demon itu ramah, baik dan lembut sama gue … pasti gue bakalan seneng banget karena udah dianter sama dia. Lagian kalau diliat-liat, Demon itu ganteng banget. Sayang kelakuannya kayak gitu ….”
Demon sampai di rumahnya satu jam kemudian. Laki-laki itu langsung menerobos masuk begitu saja ke dalam rumah, sama sekali tidak menyapa kedua orang tuanya yang berada di ruang tengah. Mama Demon memandang anak semata wayangnya dengan tatapan nanar. Wanita itu tidak bisa melakukan sesuatu untuk memulihkan luka yang dialami oleh Demon. Semua kendali ada di tangan suaminya.
Demon membanting pintu kamarnya dengan keras. Laki-laki itu sudah tahu sejak awal bahwa Ever akan nekat pergi ke sana. Dia sudah tahu bahwa Ever berbohong dengan mengatakan kalau gadis itu akan pulang ke rumah. Maka dari itu, dia menyuruh salah satu teman dekatnya yang ada di kelas IPA untuk mengikuti Ever dan memberi tahu dirinya alamat lengkap dari tempat yang dituju Ever sehingga dia bisa menjemput gadis itu ketika dia akan pulang.
Sejak awal mendengar percakapan Ever-Titan, Demon sudah merasa gelisah. Laki-laki itu sangat yakin bahwa Ever akan mengalami masalah di perjalanannya nanti. Dan benar saja dugaannya. Gadis itu memang mendapat masalah. Dia diganggu oleh seorang laki-laki yang mungkin sebaya dengan mereka berdua.
Demon tahu ini tidak boleh. Dia tidak boleh jatuh dan ikut campur dalam urusan Ever terlalu jauh. Tapi, dia tidak bisa mengontrol diri, otak dan hatinya untuk menolong gadis itu. Setiap kali dia mendapat perasaan tidak enak mengenai Ever, maka detik itu juga pikiran dan hatinya akan menyuruhnya untuk menolong dan menyelamatkan gadis itu.
“DAMN!”
Satu makian dan satu pukulan keras dari tangan terkepal Demon mendarat di dinding kamarnya. Napasnya terengah-engah. Rasa sesak dan sakit itu kembali menerjang. Ever sudah membawa pengaruh yang lebih buruk bagi dirinya!
I shouldn’t love you but I want to
I just can’t turn away
I shouldn’t see you but I can’t move
I can’t look away …
Demon menjatuhkan semua buku yang ada di atas meja belajarnya dengan satu dorongan keras. Buku-buku itu jatuh berdebam di atas lantai kamarnya. Kemudian, Demon melempar kursi meja belajarnya hingga terlempar ke arah pintu kamarnya.
And I don’t know how to be fine when I’m not
Cause I don’t know how to make this feeling stop …
Just so you know, this feeling taking control of me
And I can’t help it
I won’t sit around, I can’t let him win now
Thought you should know
I’ve tried my best to let go of you
But I don’t want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know …
Demon menarik buku yang masih terselamatkan dari amukannya dan merobek salah satu kertasnya. Laki-laki itu kemudian mengambil pulpen dan menulis sesuatu di sana dengan ukuran besar.
It’s getting hard to be around you
There’s so much I can say
Do you want me to hide this feelings?
And look to the other way …
And I don’t know how to be fine when I’m not
Cause I don’t know how to make this feeling stop …
(Jesse Mccartney-Just So You Know)
EVER HARUS MATI!
ATAU
GUE YANG MATI!
CUMAN ADA DUA PILIHAN ITU…
BUNUH DIA ATAU GUE BUNUH DIRI!!
***