Malam itu, Demon benar-benar terpuruk. Laki-laki itu kembali jatuh dalam lubang penderitaan yang selama ini sudah dia tutup dengan penuh perjuangan. Kejadian tragis itu kembali terekam dalam ingatan. Bagaimana dia mengingat semua peristiwa itu … peristiwa yang berhubungan langsung dengan ayah kandungnya sendiri. Bagaimana kekecewaan serta amarahnya bangkit ketika mengetahui dalang dibalik peristiwa itu adalah ayahnya sendiri. Dia benci ayahnya. Dia sangat membenci ayahnya! Tapi, kebencian seperti apapun pada ayahnya, tidak akan sanggup membuat semuanya kembali seperti semula. Seperti dulu lagi. Tidak akan pernah membuat gadis itu kembali lagi ke sisinya. Tidak akan pernah bisa membuat gadis yang dicintainya kembali hidup.
Setelah puas melampiaskan semua emosinya, mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya, Demon jatuh terduduk di sudut kamarnya. Napasnya masih terlihat memburu. Digenggamannya terlihat sebuah kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan. Matanya menatap jauh ke arah pintu kamarnya. Menerawang. Bahkan dalam kegelapan malam serta kegelapan kamarnya pun, bekas air mata di wajah Demon masih bisa terlihat.
Kemudian, laki-laki itu membuka gumpalan kertas yang berada dalam genggamannya. Diperhatikan lagi seluruh kalimat dari tulisannya sendiri. Begitu tajam, begitu fokus.
“Elo yang buat gue memilih jalan ini, Ev ….” Demon berkata lirih. Suaranya begitu rapuh, serapuh hatinya saat ini. Kalau saja saat itu dirinya juga ikut pergi meninggalkan dunia ini, seperti dia ….
“Ve … gue butuh elo … kenapa elo justru mengirimkan seseorang yang sangat mirip sama lo ke kehidupan gue? Apa ini hukuman buat gue karena perbuatan bokap gue ke lo? Kenapa gak lo ambil aja nyawa gue? Gue justru tersiksa dan mati secara perlahan kalau seperti ini terus!”
Butiran kristal itu kembali turun. Itulah suara dan jeritan penderitaan Demon. Mengalir turun bersama air matanya. Laki-laki memang tidak boleh menangis. Sekuat dan sekeras apapun masalah yang dia hadapi. Tapi, jika beban yang ditanggung mereka sudah begitu besar, begitu menghimpit, begitu sesak … tidak ada yang salah kalau mereka menangis. Menangis itu manusiawi. Terkadang kata-kata yang tidak sanggup kita ucapkan akan terbaca lewat tetesan air mata yang turun dari mata.
“Ve ….” Demon kembali menggumamkan nama gadis itu dengan lirih. Ve. Cahaya kehidupannya. Cinta pertamanya. Gadis yang sangat peduli terhadapnya. Gadis yang mengajarkan kasih sayang dan cinta dalam hidupnya. Gadis yang selalu ada untuknya apabila dia merasa kesepian dan membutuhkan pertolongan. Gadis yang rela mengorbankan apa saja untuk Demon, termasuk jiwa dan raganya.
Demon sudah berusaha keras melupakan Ve dan juga kenangan buruk itu. Usaha itu hampir berhasil, kalau saja dia tidak bertemu dengan Ever. Ever dan Ve. Gadis yang mempunyai wajah yang hampir sama, tinggi yang sama, mata yang sama, hidung dan lainnya. Hanya potongan rambut dan sikap mereka yang berbeda. Kalau Ever memiliki sikap tubuh yang ceria, Ve justru memiliki sikap yang berbeda. Ve terkesan pendiam dan dari matanya terpancar kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Dan semua itu karena dirinya dan juga ayahnya.
“Ve … kenapa lo harus hantuin gue dengan rasa bersalah ini? Kenapa?” tanya Demon dengan suara serak.
Demon tahu Ever tidak seharusnya mendapat perlakuan kasar dan dingin darinya. Tapi, Demon tidak bisa menghentikan sikapnya itu. Demon takut. Laki-laki itu takut kalau dia bersikap ramah dan bersahabat dengan Ever, Demon akan mulai memiliki perasaan pada gadis itu. Dan itu tentu saja bukanlah rasa suka yang tulus. Itu hanyalah sebuah pelampiasan. Karena Ever mengingatkannya pada Ve.
“AAARRRGGGGHHH! SIALAAAANN!!”
Diiringi dengan teriakannya yang menggelegar, Demon melempar vas bunga yang ada di atas meja kecil di sampingnya, hingga pecahannya tersebar kemana-mana.
Berpuluh-puluh kilometer dari tempat Demon, Frazio menatap langit-langit kamarnya dengan senyum yang terukir di wajahnya. Frazio tidur dengan posisi terlentang dan kedua tangan dilipat di depan dadanya. Laki-laki itu sudah mengenakan pakaian santai dan celana pendek selutut, bersiap untuk tidur. Tapi ternyata, Frazio malah teringat lagi akan pertemuannya dengan Ever beberapa jam yang lalu. Frazio memang sempat mendengar ketika Demon menyebutkan nama Ever, saat laki-laki itu menginterogasi Ever.
“Hmm … kebetulan? Atau … takdir?” gumamnya pelan. Lalu matanya menatap fokus ke arah seragam sekolah yang tergantung di pintu lemari pakaiannya. Seragam sekolahnya yang baru. Karena Frazio termasuk salah satu anak bermasalah di sekolahnya yang lama, dan kesalahan terakhirnya sama sekali tidak bisa ditolerir lagi, maka kepala sekolah mengeluarkan laki-laki itu kemarin. Frazio hanya menerima semua itu dengan santai dan cengiran lebar di bibirnya. Sama sekali tidak terkejut atau memohon agar tidak dikeluarkan, seperti perkiraan awal dari kepala sekolahnya. Orang tua laki-laki itu juga sepertinya sudah pasrah dengan kelakuan anak bungsu mereka. Maka dari itu, tanpa banyak bicara, kedua orang tua Frazio mencarikan sekolah baru untuknya.
Frazio bangkit dari posisi tidurnya dan melangkah menuju lemari pakaiannya. Diraihnya seragam sekolah barunya, dan diusapnya badge seragamnya itu dengan lembut.
“Belum pernah gue ketemu sama cewek secantik dia,” ucap Frazio disela-sela senyumannya. “Berarti dia takdir gue!”
Frazio kembali menggantung seragam sekolah barunya itu. Dia kemudian melangkah lagi ke tempat tidur dan mulai menarik selimut hingga menutupi perutnya. Masih dengan senyum yang terukir di wajahnya, Frazio mulai memejamkan mata dan akhirnya terlelap dalam hitungan menit.
Hembusan angin yang kencang dari kipas angin di kamarnya, membuat seragam sekolah baru milik Frazio jatuh ke lantai. Dengan melalui cahaya bulan yang masuk lewat jendela kamarnya, terlihat jelas apa yang tertulis di badge seragam Frazio. Nama sekolah baru yang akan dimasukinya dua hari dari sekarang.
SMA Pelita!
***
Pagi-pagi sekali, Ever sudah berangkat ke sekolah. Gadis itu lupa mengerjakan tugas ekonominya karena pulang malam sehabis berkunjung ke tempat Evelyn. Dalam perjalanannya menuju sekolah, Ever tiba-tiba memikirkan Evelyn. Ever sebenarnya tidak mengenal gadis manis itu. Setidaknya, dua tahun yang lalu, sampai akhirnya Ever dan keluarganya menemukan Evelyn di semak-semak dalam keadaan terluka parah. Seluruh tubuh gadis itu berlumuran darah. Hanya gerakan dadanya yang naik-turunlah yang memberi tahu Ever dan keluarganya bahwa gadis itu masih hidup.
Saat itu juga, Evelyn dilarikan ke rumah sakit terdekat dan mendapat perawatan selama dua minggu. Selama dua minggu itu pula, Evelyn tidak sadarkan diri.
Begitu tersadar, hal yang pertama dilakukan oleh Evelyn adalah menangis. Gadis itu menangis tersedu-sedu, bahkan ketika Ever dan keluarganya datang menjenguk. Namun, Evelyn sama sekali tidak mau menceritakan apa penyebab dia sampai terluka parah dan berlumuran darah. Sampai sekarang.
“Lah? Gue udah di sekolah aja,” ucap Ever pelan sambil celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Gadis itu menghembuskan napas panjang dan melangkah dalam keheningan koridor sekolah yang lengang. Langkah kakinya berbunyi, karena suasana yang kosong tersebut. Waktu memang masih menunjukan pukul enam lewat lima belas menit ketika Ever sampai di sekolah. Dia akan menunggu Titan yang biasanya datang pukul setengah tujuh tepat.
Begitu pintu kelas terbuka, Ever kontan menghentikan langkahnya. Hampir saja dia menjerit, kalau saja dia tidak segera mengenali sosok yang sedang duduk di lantai dengan menyandarkan dirinya di dinding kelas. Kepalanya menunduk, dan napasnya terlihat berat. Ever segera menghampiri sosok itu.
“Demon?”
Demon bergeming. Laki-laki itu hanya diam dan tetap menunduk, menatap lantai di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Demon terlihat sangat pucat. Wajahnya juga terlihat kusut.
“Demon … elo kenapa? Sakit?” tanya Ever khawatir. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh kening Demon sekilas. Ever terperanjat ketika merasakan panas di telapak tangannya.
“Demon … elo demam!”
Demon tidak menggubris seruan Ever dan menepis tangan gadis itu dari keningnya. Laki-laki itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke arah bangkunya. Ever mengerutkan keningnya ketika melihat Demon mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Gadis itu tersentak hebat ketika melihat Demon menggenggam sebuah cutter di tangan kanannya. Seketika itu juga, Ever menjadi pucat. Tubuhnya perlahan gemetar. Apalagi sekarang dilihatnya Demon menatap ke arahnya. Bukan tatapan tajam, dingin maupun sinis yang biasa laki-laki itu berikan padanya. Tatapan itu berbeda sekarang. Tatapan itu … tatapan yang penuh dengan … luka?
“Lo tau gak Ev, apa yang ada dipikiran gue saat ini?” tanya Demon lirih. Ever bahkan hampir tidak bisa mendengar suara Demon kalau saja keadaan saat ini tidak sepi karena kelas mereka memang masih kosong.
Ever sama sekali tidak bisa mengeluarkan suaranya. Seluruh gerakan tubuhnya pun kaku. Tidak mau bergerak sama sekali. Dia bahkan berusaha untuk tetap berdiri tegak, mengingat lututnya sangat lemas karena ketakutan. Demon juga tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu hanya berdiri di dekat bangkunya sambil menatap Ever dengan tatapan penuh luka. Dibiarkannya gadis itu melihat semua penderitaan yang sudah dia hadapi selama ini. Dibeberkannya semua luka hatinya dihadapan Ever melalui pancaran matanya. Sementara tangan kanan Demon mulai mengarahkan benda tajam itu ke hadapan Ever.
“Tadinya gue mau bunuh lo sekarang juga ….”
Hentakan napas Ever bisa tertangkap jelas di telinga Demon. Laki-laki itu sangat tahu bahwa saat ini Ever pasti sedang ketakutan setengah mati.
“Lo tau kenapa gue mau ngebunuh lo?”
Secara refleks, Ever menggeleng. Peluh mulai terlihat di pelipis gadis itu. Sementara itu, Demon tersenyum kecil dan tetap bersikap tenang di tempatnya berdiri.
“Karena lo udah nyakitin gue ….”
“A—apa maksud lo?” tanya Ever gemetar.
Demon maju perlahan mendekati Ever. Melihat itu, Ever kontan melangkahkan kakinya ke belakang. Usaha gadis itu akhirnya patah ketika tubuhnya bersentuhan langsung dengan dinding kokoh yang ada di belakangnya. Detik itu juga, Demon menghentikan langkahnya. Jarak mereka kini hanya beberapa senti saja.
“Gue peringatin ke lo, Mon. Kalau lo berani macam-macam sama benda tajam itu ke gue, gue bakalan teriak!” ancam Ever.
“Silahkan ….” Demon membalas ancaman Ever. “ Nggak akan ada yang denger.”
Hening.
Baik Ever maupun Demon sama-sama tidak ada yang mengeluarkan kata-kata lagi. Napas Ever terasa berhenti di tenggorokan ketika gadis itu melihat cutter yang diacungkan oleh Demon ke arahnya berubah. Benda tajam itu kini terarah ke leher Demon!
“Demon! Elo udah gila!? Elo mau ngapain!?” seru Ever keras. Dia berusaha merebut benda tajam itu dengan cara maju perlahan. Melihat itu, Demon justru mundur.
“Elo berhenti di sana!”
Otomatis, langkah Ever terhenti. Gadis itu panik bukan main. Apa Demon berniat untuk bunuh diri?
“Ya!”
Ever menatap Demon dengan tatapan bingung. Demon mengangguk tegas dan sekali lagi berkata, “Ya! Gue emang mau bunuh diri! Gue mau mengakhiri hidup gue, seperti apa yang ada dipikiran lo saat ini.”
Ever yang terkejut sontak mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi mulutnya. Dia tidak menyangka Demon mempunyai pikiran seperti itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Demon?
“Kenapa?” tanya Ever pelan. Gadis itu berusaha bersikap setenang mungkin.
“Karena gue nggak bisa bunuh elo, Ev. Maka dari itu, gue pilih jalan yang kedua. Bunuh diri.”
“Tapi kenapa elo mau bunuh gue?”
“Karena elo udah nyakitin gue! Karena elo udah bikin hidup gue berantakan! Karena elo udah bikin gue berharap lagi! Karena elo udah bangkitin kenangan buruk gue!!!”
Ever terdiam. Belum pernah dia melihat seseorang berteriak frustasi seperti ini sebelumnya. Kelihatannya, Demon benar-benar sedang terpuruk. Jatuh ke dalam lubang hitam yang menyesatkan pikirannya. Mengenyahkan semua pikiran jernih dalam benaknya.
Tapi … apa yang sudah dilakukannya hingga membuat Demon jadi seperti ini?
Ever meringis ketika melihat Demon sedikit-sedikit makin menekankan cutter-nya. Tatapan laki-laki itu ke arahnya masih sama. Penuh luka dan kepedihan.
“Demon … semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Semua pasti bisa diselesaikan asalkan elo mau berpikir jernih.” Ever mencoba menenangkan Demon. Dan itu butuh kekuatan penuh. Jantung gadis itu sudah berdetak dengan cepat dari tadi, sehingga Ever merasakan sedikit sesak ketika dia menarik napas.
Demon tersenyum sinis ketika mendengar kata-kata Ever.
“Jalan keluar!? Jalan keluar elo bilang!?” seru Demon keras. “LO GAK PERNAH NGERASAIN KEHILANGAN SEPERTI YANG GUE RASAKAN, EVER!!!”
Ever terperangah. Kehilangan? Kehilangan seperti apa hingga sanggup membuat Demon ingin mengakhiri hidupnya?
“Kenapa elo harus hadir di depan gue, Ev? Kenapa? Disaat gue udah mulai melupakan kenangan buruk itu … disaat gue udah mulai melupakan Ve … elo justru muncul di depan gue. Ngebangkitin harapan gue lagi. Berharap suatu saat Ve akan muncul di depan gue. Dengan senyumnya yang biasa. Dengan pancaran matanya yang biasa. Tapi gue sadar hal itu nggak akan pernah terjadi ….” Demon membiarkan air matanya mengalir turun di hadapan Ever yang tengah menatapnya dengan tertegun. “KARENA VE UDAH MATI! VE UDAH NINGGALIN GUE! DAN DIA NGEHANTUIN GUE DENGAN RASA BERSALAH INI DAN DENGAN MEMUNCULKAN ELO!!!”
Demon melepaskan benda tajam itu dengan lemas. Kepalanya tertunduk. Isak tangisnya mulai terdengar. Laki-laki itu kemudian jatuh terduduk, dengan beralaskan kedua lututnya. Dengan mengeluarkan semua kesedihannya, penderitaannya, lukanya, Demon menangis dengan sangat mengibakan di hadapan Ever.
Ever terpana. Dia tidak menyangka akan melihat sisi rapuh dari Demon. Selama ini Ever selalu mengira Demon adalah laki-laki yang tidak punya perasaan. Selalu bersikap dingin terhadapnya. Dan ternyata, dibalik sikapnya yang dingin dan sinis itu, Demon justru menyimpan ribuan luka dalam hatinya. Yang tidak mampu dikeluarkannya. Yang hanya bisa dipendamnya, hingga akhirnya berniat untuk bunuh diri agar bisa melenyapkan rasa sakit itu sebagai puncaknya.
Ever melangkah pelan menghampiri Demon. Gadis itu kemudian ikut berlutut di depan Demon. Gadis itu diam-diam ikut merasakan kepedihan yang dialami Demon. Mencoba mengerti. Mencoba memahami. Mencoba merasakan dan masuk dalam pusaran badai di hati Demon.
Kedua tangan Ever perlahan terulur. Gadis itu merengkuh tubuh Demon yang bergetar dalam pelukannya. Tidak ada penolakan. Tidak ada pemberontakan. Demon justru balas memeluk Ever. Mengerahkan seluruh tenaganya. Mengalirkan seluruh rasa sakit itu pada Ever. Agar gadis itu mengerti.
Ever bisa merasakan tubuh Demon bergetar hebat dalam pelukannya. Rasa sakit laki-laki itu bahkan sekarang bisa dirasakannya. Mengalir dalam tubuhnya. Ikut berdetak dalam jantungnya. Dan Ever membiarkan laki-laki itu memeluknya dengan erat. Tanpa mengeluh, meskipun gadis itu mulai merasakan sedikit rasa sakit akibat pelukan kuat dari Demon.
Ever tahu, saat ini Demon membutuhkan kehangatan untuk hatinya yang dingin dan beku akibat kenangan buruknya.
Dan pelukan ini adalah salah satu caranya.
It feels like nothing really matters anymore
When you’re gone, I can’t breathe
And I know, you never meant to make me feel this way
This can’t be happening ….
Now I see … now I see ….
Everybody hurts somedays
It’s okay to be afraid
Everyobody hurts … everybody screams ….
Everybody feels this way and it’s okay ….
(Avril Lavigne-Everyobody hurts)
***
Setelah mengalami kejadian tadi pagi, kini Ever duduk merenung di tempatnya. Dengan bertopang dagu, gadis itu mulai memikirkan kata-kata Demon. Siapa gadis yang bernama Ve itu? Apa penyebab gadis itu meninggal? Sedekat apa hubungan Demon dengan Ve? Pacar? Tunangan? Lalu, apa maksud Demon yang mengatakan bahwa dirinya menyakiti Demon? Juga bagian ketika laki-laki itu bilang bahwa Ve memunculkan dirinya untuk menghantui Demon. Apa itu artinya … gadis yang bernama Ve itu mirip dengannya?
“Si Demon nggak masuk ya?”
Ever tersentak dan menoleh ke arah Titan. Gadis berlesung pipit itu menatapnya dengan kening berkerut. Ever menghebuskan napasnya dan menggeleng.
“Demon masuk. Cuman lagi di UKS. Sakit.”
Mendengar itu, Titan mengangkat satu alisnya. “Kok elo tau Demon sakit?”
“Tadi pagi gue yang nemuin dia di sini. Badannya panas. Jadi gue bawa dia ke UKS.”
Titan membulatkan mulutnya membentuk huruf ‘o’ sambil manggut-manggut nggak jelas. Kemudian tatapan gadis itu kembali terfokus pada Bu Rasya yang sedang menjelaskan pelajaran sosiologi di depan.
“Oke anak-anak. Jadi, hari ini Ibu akan membagikan kelompok bagi kalian. Satu kelompok terdiri dari dua orang. Kalian akan Ibu tugaskan untuk pergi ke tempat-tempat rekreasi dan mencari tahu alasan dari para pengunjung mengapa mereka memilih tempat rekreasi tersebut.” Bu Rasya mulai menyebutkan nama-nama kelompok dari kelas tersebut. “Rio sama Nila. Titan sama Thowi. Riana sama Fajar ….”
Ever tidak mendengarkan lagi ucapan Bu Rasya di depan. Pikirannya sekarang hanya berisi tentang masa lalu Demon. Masa lalu kelam dari laki-laki itu yang bisa membuatnya menjadi pribadi yang seperti sekarang.
“Yuli sama Ryan dan yang terakhir Demon sama Ever.”
Titan tersentak dan langsung menepuk pundak Ever dengan menggebu-gebu. Ever menoleh dengan malas dan berdecak kesal. “Apaan sih, Tan?”
“Elo sekelompok sama Demon!”
“Hah?”
“Ck! Elo sih bengong mulu dari tadi.” Titan mendengus. “Elo sekelompok sama Demon. Tugas kelompok ini dikumpulin minggu depan!”
Ever hanya bisa tertegun. Dia sekelompok dengan Demon? Setelah kejadian tadi, Ever merasa tidak bisa bertemu dulu dengan laki-laki. Selain untuk menenangkan diri, juga untuk menormalkan hatinya yang entah kenapa mulai terasa deg-degan kalau dia mengingat laki-laki itu.
***
“Jadi gue sam lo sekelompok?”
Ever mengangguk pelan. Sepulang sekolah, Ever langsung menuju ke UKS untuk menemui Demon dan menjelaskan tugas kelompok sosiologi pada laki-laki itu.
“Iya. Tugasnya dikumpulin minggu depan, jadi hari Minggu ini kita mesti pergi ke tempat rekreasi buat observasi. Punya usul?”
Selama berbicara dengan Demon, Ever sibuk menghindari kontak mata dengan laki-laki itu. Ever tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan Demon. Dia masih canggung.
“Gimana kalau besok? Ke Dufan?”
Mendengar itu, Ever kontan menatap Demon. Tepat di manik mata laki-laki itu. Demon tampak sudah lebih baikan dari pada tadi pagi. Wajahnya sudah tidak pucat dan kata dokter di UKS, demam laki-laki itu sudah turun.
“Besok? Bolos?”
Demon mengangguk.
Ever terlihat sedang berpikir keras. Selama ini dia tidak pernah membolos. Dia selalu menjadi murid yang rajin. Tapi … bolos sehari tidak apa-apa, kan? Hanya sekali ini, seumur hidupnya.
“Boleh.”
Demon tersenyum. Senyum yang tulus dan lembut. Senyum pertama yang dilihat Ever tanpa ada kesan dingin ataupun sinis. Dan hanya dengan melihat senyum Demon itu, tanpa sadar, Ever juga mulai tersenyum.
Keesokan harinya, Ever pamit pada orang tuanya. Pamitnya sih memang akan berangkat ke sekolah, karena gadis itu juga memakai seragam sekolahnya. Tapi sebenarnya, gadis itu akan pergi ke Dufan, bersama Demon. Mereka janji bertemu di toko buku dekat sekolah jam delapan.
Sesampainya di toko buku yang dimaksud, Ever langsung ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Seragam sekolahnya diganti dengan kaus lengan panjang bergambar Hello Kitty berwarna pink, dipadu dengan celana jeans warna biru gelap. Gadis itu kemudian memulas bedak tipis di wajahnya dan memakai sedikit lipgloss. Rambutnya dibiarkan tergerai, menutupi punggungnya.
Setelah dirasa cukup, Ever kemudian kembali ke toko buku tersebut. Gadis itu mencari-cari sosok Demon. Sepuluh menit kemudian, Ever melihat sosok Demon tengah membaca sebuah novel. Laki-laki itu juga mengenakan kaus lengan panjang bergaris-garis hitam putih, celana jeans warna hitam dan topi. Kacamata tipisnya masih setia bertengger di matanya. Untuk sesaat, Ever terpana. Demon tampak keren dalam balutan pakaian yang dikenakannya. Tanpa bisa dicegah, jantung Ever melompat-lompat.
Aduh … kenapa gue jadi deg-degan gini, sih!? Tenang Ever, tenang … dia itu Demon, si iblis ngeselin yang udah bikin lo jengkel terus tiap hari. Ever membatin.
Ever menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras untuk menutupi kegugupannya. Kemudian, gadis itu mulai mendekat ke arah Demon dan menepuk pundak laki-laki itu.
Demon menoleh ke belakang dan langsung bertatapan dengan Ever yang sedang berusaha tersenyum normal. Demon balas tersenyum dan menutup novelnya.
“Udah dari tadi?” tanya Demon. Ever menggeleng.
“Baru kok.”
“Jalan sekarang?”
Ever mengangguk. Kemudian, gadis itu dibuat tercengang dengan mobil Demon. Mobil sedan berwarna hitam. Mobil yang pastinya sangat mahal, mengingat betapa kaya rayanya laki-laki satu ini.
“Motor lo?”
Demon membukakan pintu penumpang untuk Ever dan mempersilahkan gadis itu masuk. “Gue sengaja bawa mobil.”
Demon memutari mobilnya dan membuka pintu pengemudi. Laki-laki itu kemudian memasukan anak kunci, dan mulai menyalakan mesin mobilnya. Kedua remaja itu pun sekarang sedang membelah jalanan di kota Jakarta.
Ever dan Demon sampai di Dufan sekitar pukul sepuluh karena keadaan jalan yang macet. Keduanya harus mengantri untuk masuk selama kurang lebih lima belas menit. Lalu, Ever dan Demon mulai menanyai beberapa pengunjung tentang alasan mereka memilih Dufan sebagai tempat rekreasi.
“Ev … gak mau sekalian naik wahana yang ada di sini?” tanya Demon. Ever terkejut dan mengerutkan kening mendengar pertanyaan laki-laki itu.
“Kita kan di sini buat ngerjain tugas, Mon, bukan buat main.”
Demon mengangkat bahu tak acuh. “Nggak ada salahnya, kan? Lagian ini udah jam setengah dua belas lebih. Dari tadi kita udah nanya-nanya ke semua pengunjung. Data yang kita butuhin udah banyak. Jadi sekarang, saatnya kita senang-senang!”
Tanpa menunggu jawaban Ever, Demon menarik pergelangan tangan gadis itu dan membawanya ke wahana pertama. Tornado.
Keduanya terlihat sangat bergembira. Demon bahkan bisa merasakan tubuhnya terasa ringan, seolah semua bebannya terangkat. Tapi, laki-laki itu tahu bahwa ini hanya untuk sementara. Setelah pulang dari sini, perasaan bersalah dan luka itu akan kembali menyerang.
Breakdown ….
All the pressure that surrounds you
Allow it all to fade away
We can move on ….
Looking in the rear view mirror
Wave goodbye
C'mon we're leaving everything behind
You know that sun is shining
We'll keep driving
Doesn't matter where
'Cause we got that open highway
Leading our way
As long as you are there
We can go anywhere
We're gonna be so far gone
Some place we ain't never been before
Find a new favourite song
We'll end up right where we belong ….
(Jesse Mccartney-We Can Go Anywhere)
Wahana terakhir yang mereka coba adalah Hysteria. Ever dan Demon berteriak sekencang mungkin ketika mereka dibawa naik ke angkasa oleh alat raksasa itu, lalu diempaskan begitu saja ke bawah. Rasanya seperti terbang. Begitu mereka turun, Ever merasa sebagian roh-nya bahkan belum kembali ke tubuhnya.
“Kenapa?” tanya Demon pelan. Ever menggeleng lesu.
Demon mengangkat satu alisnya, lalu melirik jam tangannya. Sudah pukul lima sore. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini Demon akan kembali menghadapi kenyataan.
“Sebelum pulang, gimana kalau kita ke pantai dulu?”
Ever memandang Demon dengan ragu. Tatapan mata Demon begitu serius. Akhirnya, gadis itu mengangguk dan membiarkan Demon membawanya ke pantai.
Masih terlihat banyak pengunjung ketika Ever dan Demon tiba di pantai. Mereka sengaja memilih tempat yang sepi dan agak jauh dari kerumunan pengunjung. Deru ombak dan hembusan angin terdengar sangat menenangkan di telinga Ever dan Demon. Ever memejamkan mata dan merasakan ketenangan itu.
“Gue boleh minta sesuatu nggak, Ev?”
Ever membuka matanya perlahan dan memandang Demon. Laki-laki itu terlihat fokus menatap lembayung matahari yang sebentar lagi akan tidur dalam peraduannya. Tenggelam di balik lautan dan akan berganti dengan bulan. Ever sama sekali tidak menjawab pertanyaan Demon itu, karena gadis itu yakin, Demon masih akan melanjutkan kata-katanya.
“Untuk hari ini aja, lo habisin waktu bareng gue. Sampai malam. Sampai kita capek dan nggak bisa buat ngapa-ngapain lagi. Karena jujur, setelah kejadian kemarin pagi di sekolah, gue sadar kalau elo bisa merasakan sisi gelap gue. Elo bisa nenangin gue ketika gue terpuruk. Just like Ve did. Tapi, gue gak mau kebawa perasaan. Gue gak mau ada perasaan lebih ke lo, karena itu akan nyakitin lo. Karena itu hanyalah sebuah pelampiasan. Karena sampai sekarang, Ve masih ada di hati gue. Dan lo … lo hanyalah cewek yang mirip dengan Ve dan membangkitkan kenangan-kenangan gue sama Ve dulu ….”
Ever tetap diam. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya sedikit sakit mendengar pengakuan itu. Karena gadis itu mulai menyadari satu hal ….
Dia menyukai Demon!
Hanya saja, dirinya dianggap sebagai salah satu penyebab kenangan terbesar Demon kembali muncul ke permukaan. Laki-laki itu hanya melihat gadis yang bernama Ve dalam dirinya.
Ever merasa matanya mulai panas. Air mulai menggenang di pelupuk matanya. Ever segera memalingkan wajahnya. Jangan menangis … jangan menangis ….
“Oke! Kalau gitu, ayo kita main lagi sampai puas!” seru Ever keras.
Ketika gadis itu membalikan tubuhnya, tiba-tiba saja, dengan gerakan yang tidak terduga, Demon menarik lengan Ever dengan keras. Tubuh gadis itu berputar dengan cepat dan langsung mendarat dalam pelukan Demon. Ever tercengang. Gadis itu berusaha mengatur deru napasnya yang mulai tidak beraturan. Dadanya bergemuruh hebat. Dia bisa merasakan hangat tubuh Demon dalam tubuhnya. Pelukan Demon amat erat dan terasa menenangkan bagi Ever.
Ever tidak membalas pelukan Demon. Gadis itu hanya diam, dan perlahan mulai menjatuhkan air matanya. Diusapnya air mata itu dengan cepat menggunakan punggung tangannya. Tapi, tanpa Ever sadari, Demon mengetahui bahwa gadis itu tengah menangis.
“Untuk kali ini saja, untuk hari ini saja … biarin gue meluk elo. Biarin gue ngerasin detak jantung lo dalam tubuh gue, Ever.” Demon berbisik dengan nada suara yang lirih. Demon memejamkan matanya dan makin mempererat pelukannya. “Just for now … stay close, don’t go!”
***