Nyaman. Satu kata itu yang bisa menggambarkan perasaan Ever saat ini. Pelukan Demon membuatnya hilang kendali atas dirinya sendiri. Ever merasa dirinya terhanyut akan perlakuan laki-laki itu. Dibawah lembayung senja, dan juga desiran ombak yang menenangkan jiwa, Ever merasa pelukan Demon makin menguat.
“Mon?”
Demon hanya menggumam pelan, sambil tetap memejamkan matanya.
“Apa gue sebegitu berpengaruh terhadap kenangan yang nggak mau lo ingat?”
Ever bisa merasakan Demon menghembuskan napasnya keras, lalu perlahan pelukan laki-laki itu mulai terurai. Ever memperhatikan wajah Demon. Wajah itu begitu rapuh, sama sekali tidak ada yang ditutupi oleh Demon. Laki-laki itu dengan jelas mempertontonkan perasaannya yang penuh dengan luka.
Demon membuka matanya perlahan dan menatap Ever tepat di manik mata gadis itu. Begitu dalam. Begitu fokus. Menyelami kedua bola mata cokelat Ever, berusaha menembus dan menerobos sampai ke dasar jiwa Ever. Agar gadis itu ikut merasakan rasa sakit yang dialaminya.
“Sangat berpengaruh!”
Ever menelan ludah susah payah dan berusaha mengenyahkan air yang sebentar lagi akan jatuh. “Ke … napa?”
Tanpa mengalihkan tatapannya dari mata Ever, Demon menjawab, “Karena lo dan Ve memiliki kemiripan yang luar biasa. Selama ini yang gue tau, Ve nggak punya saudara. Tapi, begitu melihat kemunculan lo pertama kali di kelas, gue kaget. Wajah lo sangat mirip sama Ve. Dan sejak saat itu, semua kenangan buruk yang sudah gue kubur, perlahan mulai naik ke permukaan. And it’s killing me slowly, Ev!”
Ever menunduk, lalu mengangkat tangannya untuk mengusap wajah. Demon tahu gadis itu mulai menitikan air mata. Kemudian, laki-laki itu melihat Ever menghembuskan napas panjang dan mengangkat kepalanya lagi. Gadis itu terlihat biasa saja, bahkan tersenyum. namun Demon tahu pasti, senyuman itu hanya dipaksakan. Penuh dengan kepalsuan. Dia tahu dia sangat jahat, tapi tidak ada cara lain selain membuat Ever terluka lalu membencinya secara perlahan. Dia tidak bisa membunuh Ever. Dan dia juga tidak bisa untuk mengakhiri hidupnya.
“Ayo!”
Demon mengangkat satu alisnya. “Apa?”
“Ayo ….” Ever menarik tangan Demon, dan membawa laki-laki itu kembali ke wahana permainan. “Kita lupain dulu semuanya. Apapun itu … yang mengganjal di hati kita. Kita hilangin semua beban. Kita senang-senang. Habisin waktu hari ini sampai puas, seperti yang lo bilang tadi!”
Demon mengerutkan kening. Perubahan gadis itu terlalu drastis. Ini terlalu berlebihan. Demon menghentikan langkah kakinya, sehingga Ever yang masih menggenggam tangan Demon, ikut berhenti.
“Kenapa?” tanya Ever pelan. Gadis itu heran dengan Demon yang kini menatapnya dengan tatapan tajam dan kening berkerut tidak senang.
“Lo gak perlu berpura-pura kalau lo gak terluka, Ev. Gue gak buta, gue gak t***l! Gue tau lo terluka sama perkataan gue barusan ….”
Ever melepaskan genggaman tangannya dan mendesah. “Trus … lo maunya gue kayak gimana? Marah-marah sama lo? Maki-maki lo? Nangis di depan lo? Meraung-raung?” Ever bertanya dengan nada suara yang bergetar. Demon tertegun ketika mendapati air mata jatuh dari kedua mata gadis itu yang langsung dihapus dengan punggung tangan Ever. “Percuma, Mon. Nggak akan merubah kenyataan sekalipun gue ngebunuh lo dengan tangan gue sendiri ….”
“Tapi lo bisa keluarin semuanya, Ev! Gue yakin lo pasti menjerit dalam hati lo karena kata-kata gue! Apa lo gak marah gue bilang lo mirip dengan seseorang dari masa lalu gue yang sudah nggak ada lagi? Apa bahkan lo nggak ngebenci gue karena gue udah bilang lo sebagai pembangkit kenangan buruk gue?”
Ever terkekeh pelan. Diangkatnya kepala dan memandang langit berwarna jingga di atas sana. Menjerit, katanya? Ya! Itulah yang ingin dilakukan oleh Ever saat ini. Menjerit sepuasnya. Sampai semua sesak yang tiba-tiba menghimpitnya bisa hilang.
Ever menurunkan lagi kepalanya dan menatap Demon sambil tersenyum. Senyum yang penuh dengan kegetiran. Senyum yang penuh dengan kepahitan.
“Gue nggak bisa benci lo, Mon. Mana mungkin gue bisa membenci seseorang hanya karena masalah sepele kayak gini? Kekanakan, tau gak?”
Karena gue suka sama lo. Karena gue sayang sama lo. Karena lo udah berhasil merebut hati gue. Karena hal itu, gue gak bisa membenci lo. Ever membatin. Dan kata-katanya di dalam hati itu mulai memancing lagi emosinya, memaksanya memalingkan wajah untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca.
“Ev … gue ….”
Kata-kata Demon itu terhenti ketika dia mendengar sebuah suara teredam. Kemudian dilihatnya Ever merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Didekatkannya ponsel itu ke telinganya.
“Halo? Lyn? Ada apa?” tanya Ever. Di seberang sana, Ever bisa mendengar suara Evelyn yang berat dan terdengar putus-putus.
“Ev … bisa … ke … sini …?” tanya Evelyn sejelas mungkin. Ever mulai cemas dan wajahnya mulai memucat.
“Kamu kenapa, Lyn?”
Terputus!
Ever langsung berseru keras, memanggil nama Evelyn, namun gadis itu tidak menjawab. Ever mencoba mengontak balik Evelyn, namun gagal. Ponsel Evelyn mati.
“Demon! Bisa tolong lo anterin gue ke suatu tempat?” pinta Ever cepat. Gadis itu sudah benar-benar khawatir akan keadaan Evelyn. Demon yang masih terlihat bingung, hanya bisa mengangguk. Tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibir keduanya, Ever dan Demon menuju ke tempat Evelyn.
***
Evelyn berusaha bernapas secara normal. Entah apa penyebabnya, tapi setiap kali dia mengambil napas, dadanya terasa berat dan sakit. Tadi dia sudah menelepon Ever, dan meminta gadis itu untuk segera datang ke tempatnya. Sialnya, ketika akan menjelaskan situasi yang dialaminya sekarang, ponselnya jatuh ke lantai dan membuat benda itu mati total.
Evelyn mencoba mengambil napas secara perlahan, tapi rasa sakit itu masih tetap terasa. Waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam, tapi Ever belum juga terlihat. Apa gadis itu tidak bisa datang ke sini?
Sedang berkecamuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Evelyn mendengar suara mesin mobil yang dimatikan. Dengan senyum kecil, Evelyn berjalan perlahan ke arah pintu rumahnya. Begitu pintu itu terbuka, Evelyn hampir saja kehilangan keseimbangan tubuhnya dan jatuh akibat pelukan Ever yang tiba-tiba.
“Lyn! Kamu nggak pa-pa, kan? Ada apa?” tanya Ever panik. Evelyn tersenyum menenangkan. “Aku nggak pa-pa, Ev. Cuman, tiap kali aku ngambil napas, aku ngerasa—“
“Ve …?”
Kalimat Evelyn terpenggal oleh sebuah suara berat yang menyebutkan nama kecilnya. Nama itu, sudah lama dia tidak memakai nama itu. Dan kini, nama itu kembali didengarnya, dengan suara yang juga familiar di telinganya. Evelyn mengangkat kepalanya dan memandang seseorang yang berdiri di belakang Ever. Orang itu sangat terkejut dan seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
“De … mon?” panggil Evelyn lirih.
Tinggal Ever yang diam memandangi keganjilan yang terpampang di depan wajahnya. Evelyn dan Demon saling mengenal? Bagaimana bisa? Ever berpikir keras. Ditatapnya Evelyn dan Demon secara bergantian. Tunggu dulu! Tadi, Demon memanggil Evelyn dengan sebutan … Ve? Ve, gadis masa lalu Demon yang sudah meninggal? Gadis yang katanya mirip dengannya, sehingga membuat Demon selalu tersiksa kalau melihatnya?
Ever menatap Evelyn dalam diam. Diperhatikannya dengan seksama seluruh lekuk tubuh dan wajah Evelyn. Gadis itu memang mirip dengannya. Kedua orang tuanya pernah mengatakan hal itu, begitu juga dengan kak Miko. Tapi, kalau benar Evelyn adalah Ve, maka ….
“Kamu … pacar Demon?” tanya Ever pelan.
Evelyn tersentak dan langsung memandang Ever setelah sebelumnya perhatiannya hanya terfokus pada Demon. Laki-laki itu juga memandang Ever. Terbaca jelas di mata Ever bahwa Demon terlihat sangat kaget dengan keberadaan Evelyn. Ever bisa melihat bahwa laki-laki itu terjebak antara realita dan fatamorgana. Ingin mempercayai apa yang ada di depan mata, tapi juga ingat tentang kenyataan yang diterimanya beberapa tahun lalu. Ketika laki-laki itu mendapat kabar kalau gadis yang dicintainya, Ve, sudah meninggal dunia.
“Kamu kenal sama Demon?” alih-alih menjawab pertanyaan Ever sebelumnya, Evelyn justru melontarkan pertanyaan lain.
“Ve? Kamu masih hidup?” tanya Demon antusias. Laki-laki itu mengambil satu langkah mendekati Evelyn. Ever hanya bisa membeku di tempat, menyaksikan pertemuan yang sentimental ini dengan keadaan yang jauh dari kata normal. Tubuh gadis itu membeku. Suaranya tercekat di tenggorokan. Pikirannya berkecamuk. Jadi … gadis yang dicintai Demon adalah Evelyn. Gadis yang katanya sudah meninggal dunia itu ternyata Evelyn.
Ever kini melihat Evelyn mengangguk pelan dengan mata yang berair dan langsung dipeluk oleh Demon. Cara Demon memeluk Evelyn, seolah laki-laki itu tidak akan pernah melepaskan Evelyn lagi, apapun yang akan terjadi nantinya.
Demon menguraikan pelukannya sejenak, agar bisa melihat wajah Evelyn. Raut wajah Demon begitu terharu, sekaligus senang. “Kamu … kamu beneran Ve? Ve aku? Gimana caranya kamu bisa selamat? Maksud aku, yang aku dengar, kamu sudah meninggal dalam kecelakaan itu.”
Evelyn menggeleng pelan. Meskipun sudah ditahan mati-matian, akhirnya butiran kristal itu mengalir juga. Demon yang melihat itu langsung memeluk tubuh Evelyn lagi. Membenamkan wajah gadis itu dalam dadanya. Merasakan ketegangan dari tubuh Evelyn. Berusaha menenangkan hati gadis itu. Dan Demon seakan tidak menyadari kehadiran Ever di sana! Dia tidak menyadari bahwa gadis itu sedang menahan sakit di hatinya. Dia tidak tahu bahwa gadis itu sedang melawan pikirannya sendiri. Dan dia tidak tahu bahwa Ever sudah benar-benar menangis sekarang. Demon seakan mematikan fungsi telinganya, hingga dia tidak mendengar suara isak tangis Ever. Yang ada di kepalanya hanyalah Evelyn.
Demon bahkan tidak menyadari bahwa Ever berlari keluar rumah, meninggalkannya bersama Evelyn. Ever bahkan tidak tahu kemana dia berlari. Gadis itu hanya mengikuti langkah kakinya. Dia hanya ingin rasa sesak ini hilang secepatnya. Dia tidak tahan. Dia tidak bisa menerima bahwa gadis yang begitu dicintai oleh Demon adalah Evelyn, orang yang sudah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri. Seandainya Ever tidak mengenal Evelyn, mungkin gadis itu masih bisa menerimanya.
Ever tidak tahu sudah sejauh mana dia berlari, sampai akhirnya dia bertabrakan dengan seseorang. Begitu tubuhnya limbung ke belakang, gadis itu langsung mendapatkan keseimbangannya kembali akibat sikunya ditahan oleh orang yang ditabraknya. Ever menunduk. Masih terisak-isak. Perih itu masih menghujam hatinya, meninggalkan bongkahan luka yang besar. Semua itu karena dia menyukai Demon.
“Loh? Elo kan cewek cakep yang waktu itu.” Suara berat itu menyentakan Ever ke realita. Ever mengangkat kepalanya dan matanya langsung bertumbukan dengan seseorang. Ya, Ever ingat orang itu. Dia yang waktu itu ingin berkenalan dengan Ever.
“Iya … bener elo! Yang waktu itu cowok lo juga ada, kan? Mmm … siapa ya nama lo?” orang itu tampak mengerutkan keningnya, berusaha mengingat. “Oh iya, Ever! Iya kan? Nama lo Ever, kan? Gue Frazio! Seneng deh bisa ketemu lo lagi. Oh iya, mulai besok gue sekolah di SMA yang sama kayak lo, loh! Eit, tapi lo jangan mikir yang nggak-nggak loh ya. Gue nggak nge-stalk elo kok. Gue baru tau hal ini waktu gue pulang pas nggak sengaja ketemu sama lo dan cowok lo waktu itu. Itu artinya kita—“
Belum sempat Frazio melanjutkan aksi nyerocosnya, tiba-tiba saja Ever memeluk Frazio. Gadis itu menangis dalam pelukan Frazio. Dipeluknya tubuh laki-laki itu dengan sangat erat, menumpahkan semua tangisnya pada d**a bidang Frazio yang masih terdiam dan menegang. Frazio tidak pernah menyangka bahwa Ever akan memeluknya, bahkan dalam keadaan menangis tersedu-sedan seperti ini.
“Takdir ….” Frazio melanjutkan kalimatnya yang sempat terpenggal karena kaget akan pelukan tiba-tiba yang diterimanya. Perlahan, kedua tangan Frazio terangkat, merengkuh punggung Ever dan membalas pelukan gadis itu. Dibiarkannya Ever menangis dengan sangat kencang. Entah kenapa, hati Frazio ikut merasa sesak ketika mendengar isak tangis Ever. Seolah-olah sebagian dari dirinya juga ikut merasakan sakit yang dialami gadis itu.
Ever masih menangis. Bahkan dalam keadaan menangis pun, benak gadis itu masih dipenuhi oleh Demon. Laki-laki yang sudah berhasil menembus hatinya, tetapi juga berhasil menjatuhkan hatinya detik itu juga.
Naneun andweneun goni? Jongmal andweneun goni?
Maeil neoreul utge haltende …
Majimak geunalkkaji neoye gyoteul jikyojul dan han saram …
Geu sarangi nail sun omneun goni …
Can’t I be the one? Really can’t I be the one?
I would make you smile everyday …
The one who will watch over you until the end …
Can’t be that person is me?
(Tim-Can’t It Be Me)
***
“Udah baikan?”
Ever mengangguk pelan dan kembali menyesap teh hangatnya. Matanya terlihat sangat sembap dan memerah. Sesekali isak tangis itu masih terdengar oleh Frazio dan juga beberapa pengunjung yang mendatangi kedai makanan kecil itu. Frazio menghela napas dan mencoba tersenyum. “Lo kenapa nangis?”
Ever meletakan cangkir teh-nya dan menatap meja di hadapannya dengan tatapan menerawang. Pikirannya kembali melayang kepada Demon dan Evelyn. Dua remaja itu telah berhasil dipertemukan kembali. Keduanya terlihat begitu bahagia, dan saling mencintai satu sama lain. Dan entah kenapa, hal itu kembali membuat hati Ever berdenyut lagi.
“Ya udah … kalau nggak mau cerita juga nggak pa-pa ….” Frazio memaklumi keadaan Ever. Laki-laki itu kemudian melirik arlojinya dan menghembuskan napas panjang. “Ini udah malam, Ev, udah jam tujuh lewat. Rumah lo dimana? Biar gue anter lo balik.”
Ever menggeleng lemah. “Nggak usah. Bisa tolong lo cariin gue taksi?” tanya gadis itu lirih. Frazio mengerutkan keningnya, tanda dia tidak menyetujui permintaan gadis itu. Kemudian, laki-laki itu menggeleng tegas.
“Nggak, Ev. Ini udah malem, dan gue akan nganterin lo pulang. Gue gak mungkin ngebiarin lo pulang dalam keadaan kayak gini.”
Ever memalingkan wajahnya dan menatap Frazio.
“Please … gue mohon, biarin gue pulang sendiri. Gue butuh waktu untuk sendiri. Gue mohon banget sama elo ….”
Frazio diam. Ditatapnya Ever yang menatapnya dengan pandangan iba dan memohon. Setelah beberapa detik bertarung dengan dirinya sendiri, akhirnya Frazio menyerah dan mendesah.
“Apa boleh buat,” ucap laki-laki itu. “Sebentar … gue cariin taksi.”
Frazio beranjak dari duduknya, dan pergi keluar kedai. Sementara itu, Ever kembali merenungkan kejadian beberapa saat yang lalu. Meskipun Ever tidak ingin mengingat hal itu lagi, tapi pikiran itu selalu datang dengan sendirinya. Seolah dia ingin menyakiti Ever jauh lebih dari pada ini.
Tak berapa lama, Frazio datang dengan wajah tersenyum. Begitu dilihatnya Ever kembali murung, seketika senyum di wajah Frazio memudar. Laki-laki itu jadi ingin tahu, apa penyebab Ever menjadi seperti ini.
Frazio melangkah perlahan dan menepuk pelan pundak Ever. Gadis itu tersentah dan langsung memutar kepalanya. Dilihatnya Frazio tengah tersenyum kepadanya. Senyum yang begitu tulus. Senyum yang menenangkan. Tanpa disangka, Ever jadi ikut tersenyum, dan itu malah membuat Frazio tertegun.
Gila! Nih cewek kalau senyum manis banget. Tambah cantik!
“Mmm … taksinya udah nunggu di depan.” Frazio berkata dengan nada gugup. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari batas normal. Dan ini sangat jarang terjadi. Ever mengangguk dan bangkit dari duduknya.
“Makasih ya.” Ever mengucapkan kalimat itu masih dengan nada lirih yang sama.
Frazio mengantar Ever sampai ke depan taksi. Laki-laki itu membuka pintu belakang, dan mempersilahkan Ever untuk masuk. Tepat ketika Ever akan melangkah memasuki taksi, gadis itu menoleh dan sekali lagi tersenyum kepada Frazio.
“Nama lo tadi … Frazio, ya?”
Frazio mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Makasih buat semuanya ya, Yo. Sampai ketemu besok di sekolah, murid baru ….”
Frazio menatap kepergian taksi yang ditumpangi oleh Ever itu. Begitu taksi itu berbelok di tikungan jalan dan hilang dari pandangan mata Frazio, laki-laki itu pun pergi meninggalkan tempat itu.
“Nggak aktif!”
Demon berdecak kesal dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah Evelyn. Dia baru menyadari ketololannya atas tindakannya terhadap Ever ketika gadis itu sudah menghilang dari rumah Evelyn. Evelyn juga terlihat sangat cemas. Sebentar-sebentar, gadis itu menelepon ke rumah Ever untuk menanyakan apakah gadis itu ada di rumah atau tidak. Dan jawaban yang diterima oleh Evelyn makin memperparah kecemasannya saat ini. Apalagi ketika Demon juga terus-terusan menghubungi ponsel Ever tapi benda tersebut masih saja tidak aktif.
“g****k! g****k! g****k!”
Lagi-lagi, Demon memaki dirinya sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Ever, Demon bersumpah tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
“Ini semua salah aku ….”
Demon menoleh dan langsung melangkah mendekati Evelyn yang sedang duduk di sofa dengan wajah pucat. Digenggamnya tangan Evelyn dengan kuat.
“Ini bukan salah kamu, Ve … ini semua salah aku! Harusnya aku sadar kalau masih ada Ever tadi. Tapi … aku terlalu bahagia karena bisa ketemu lagi sama kamu. Aku nggak bisa konsen ke hal yang lain, termasuk Ever.”
Evelyn mendesah panjang. “Gimana kalau terjadi sesuatu pada Ever? Gimana kalau gadis itu ….”
“Ssst ….” Demon meletakan telunjuknya di bibir Evelyn. “Jangan mikir yang nggak-nggak. Aku yang bakal pastiin keselamatan Ever buat kamu. Aku janji.”
Evelyn menatap Demon tepat di manik mata dan menemukan kesungguhan di kedua mata tajam itu. Evelyn mengangguk dan memeluk Demon.
“Aku kangen banget sama kamu … jangan pernah tinggalin aku lagi, Mon ….”
Demon mengetatkan pelukannya pada tubuh Evelyn. “I promise!”
***
Pagi-pagi sekali, Ever sudah berangkat ke sekolah. Semalaman suntuk dia tidak bisa tidur dan setiap kali mengingat peristiwa yang terjadi di rumah Evelyn, Ever selalu tidak bisa menahan air matanya. Akibatnya, pagi ini matanya terlihat sembap, disampin terdapat lingkaran hitam di bawah kelopak matanya.
Lima belas menit kemudian, tepat pukul enam pagi, Ever sudah sampai di sekolah. Gadis itu menuju kelasnya dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk. Begitu Ever sampai di depan kelasnya dan mengangkat kepalanya, kontan langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Di sana, membelakangi dirinya, menatap indahnya langit biru dari jendela, berdiri sosok Demon! Dan Ever langsung merasa napasnya tercekat di tenggorokan kala dia melihat punggung laki-laki itu.
Baboya saranghandan mallya …
Naldugo tteonamyeon eotteokhani …
Maeil hansumman neoui geurimjareul …
Chajahemaeltende …
You fool, I love you …
How can you leave me behind?
I will sigh everyday …
And look for your shadow everyday …
(Postmen-It’s A Fool)
Ever hendak pergi meninggalkan kelas itu karena gadis itu sudah tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Kalau dia tetap berada di situ, gadis itu takut, air matanya akan kembali tumpah, dan akan terdengar oleh Demon. Namun, baru saja Ever membalikan tubuhnya untuk pergi, suara Demon yang terdengar berat menghentikan langkahnya.
“Mau menghindar dari gue?”
Ever memejamkan matanya. Dan sialnya, hal itu malah membuat air matanya turun. Cepat-cepat Ever menghapusnya karena gadis itu mendengar langkah kaki Demon yang mendekat.
Ever langsung mengambil tindakan ketika langkah kaki Demon sudah semakin terdengar. Gadis itu kemudian memaksa kedua kakinya agar melangkah menjauhi kelas, tapi mendadak sikunya dicengkram dengan kuat, dan tubuhnya diputar dengan paksa. Kini Ever mau tidak mau harus menatap Demon.
“Kemana lo semalam? Kenapa pergi begitu aja? Lo gak tau gimana cemasnya gue sama Ve? Hah!?” seru Demon. Ever mendengus kencang dan tertawa hambar. Demon tercengang ketika mendengar tawa itu. Disipitkannya mata ketika dia menatap keanehan Ever pagi ini.
“Elo? Cemas sama gue? Emang gue ini siapanya elo sih sampai elo harus cemas segala sama gue?” tanya Ever dingin.
“Ever … elo ….”
“Kenapa?” potong Ever cepat. “Elo kaget karena gue bisa bersikap sedingin ini? Jangan dikira elo doang yang bisa bersikap kayak gini, Mon! Gue … juga … bisa …!” seru Ever penuh penekanan. Cengkraman Demon pada siku Ever makin menguat.
“Elo kenapa, Ev? Kenapa lo jadi berubah kayak gini!?”
Ever berusaha melepaskan tangan Demon pada sikunya. Usaha yang sia-sia karena laki-laki itu tidak membiarkannya begitu saja. Ever menyerah dan menatap tajam Demon. Laki-laki itu bahkan bisa melihat dengan jelas bara api yang terpancar dari kedua mata cokelat Ever. Dan Demon tertegun ketika melihat tetesan air mata dari kedua mata gadis itu mengalir.
Demon hendak menghapus air mata itu dengan sebelah tangannya yang bebas, namun Ever menepisnya dengan kasar.
“Ever! Elo kenapa, sih!?”
“KENAPA!? ELO MASIH TANYA GUE KENAPA!?” teriak Ever. Beruntung sekolah masih sangat sepi, karena waktu masih menunjukan pukul enam lewat sedikit.
Mendengar teriakan Ever, Demon membeku. Gadis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, tapi Demon tidak mengizinkannya.
“ELO YANG UDAH BUAT GUE KAYAK GINI, MON! ELO!! ELO UDAH MENYUSUP KE DALAM HATI GUE, DAN ELO HANCURIN HATI GUE BEGITU SAJA! ELO JAHAT! ELO BENER-BENER JAHAT!!!”
Demon menyaksikan bagaimana Ever menangis di depannya. Gadis itu masih tetap meronta-ronta, berusaha mengenyahkan tangan Demon dari sikunya, tapi masih saja gagal. Demon menelan ludah dengan susah payah. Jadi … Ever menyukai dirinya?
“Lepas! Lepas! LEPAAAAS!!!”
Demon menarik Ever dengan gerakan cepat ke dalam pelukannya. Gadis itu makin meronta sejadi-jadinya, tapi dengan gigih, Demon tetap menahan Ever dalam pelukannya. Akhirnya, Ever menyerah dan berhenti memberontak. Dia membiarkan Demon memeluknya dengan erat. Dan dengan begini, Ever tahu, dia akan semakin susah untuk melepaskan Demon.
Nae nuneul bogo malhaeyo … dwidora uljin marayo …
Honjaseoman apahaetsseotdeon geudae gyeote ijen naega itjanha …
Nunmuri gyesok chaoreulttaemyeon gogae dolliji malgo …
Naege angyeoseo nae pum gadeukhi ureodo deondago …
Look into my eyes and speak … don’t turn around and cry …
You were suffering alone in pain … but you have me by your side now …
When tears continue to flow … don’t turn away …
Hug me … cry as much as you want in my arms …
(Kim Jae Suk-Only You Can Hear)
***
Ever merasa kepalanya sangat berat. Semua yang dilihatnya berputar-putar. Dicobanya untuk menarik napas dan membuangnya perlahan, namun keadaan masih sama. Apa mungkin, ini karena dia tidak bisa tidur semalaman suntuk? Ditambah dengan menangis?
Kejadian tadi pagi pun masih segar terekam dalam ingatan. Bagaimana Demon memeluknya, hingga membuatnya tenang dan berhenti menangis. Setelah itu, tidak ada yang terjadi. Demon memang ingin berbicara dengan Ever, tapi gadis itu menolak dan menghilang ke kamar mandi sampai bel masuk berbunyi.
“Lo sakit? Muka lo pucat banget, Ev.”
Ever menoleh dan mendapati wajah khawatir Titan. Gadis itu kemudian tersenyum dan menggeleng lemah. “Gue nggak pa-pa. Cuman sedikit pusing.”
“Yakin?” tanya Titan lagi. Ever mengangguk pelan.
Ever memijat-mijat pelipisnya, bermaksud mengurangi rasa pusing di kepalanya. Tiba-tiba, saku rok abu-abunya bergetar pendek. Ever mengambil ponselnya dan melihat layarnya. Ada satu SMS masuk.
Elo sakit?
Muka lo pucat bgt. Mending elo ke UKS ….
Perlu gue anter?
From: Demon
Ever mendesah dan memasukan benda itu kembali dalam saku rok-nya. Untuk apa Demon masih memperhatikannya? Masih ingin menyakiti hatinya lebih dari ini?
Tak berapa lama, wali kelas Ever memasuki ruangan bersama seorang laki-laki. Ever sudah tahu kalau laki-laki itu adalah Frazio. Ketika Frazio memasuki kelas dan tidak sengaja bertatapan dengan Ever, Frazio dan Ever sama-sama tersenyum. Di tempatnya, Demon menatap Frazio dengan kening berkerut.
“Loh … itu cowok bukannya yang waktu itu gangguin Ever, ya?” gumam Demon pelan sambil mengamati Frazio dengan seksama.
Wali kelas Ever menyuruh Frazio untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dengan patuh, laki-laki itu mulai menyebutkan identitas dirinya. Frazio sendiri tidak menyangka bahwa dia akan sekelas dengan Ever.
“Kenalin … nama gue Frazio Fernando Putra. Gue pindahan dari SMA Kharisma Jaya. Mohon bantuan lo semua ….”
Semua penghuni kelas Ever sibuk berkasak-kusuk mengenai penampilan Frazio. Laki-laki itu begitu mempesona di mata semua murid perempuan. Termasuk Titan. Dengan semangatnya, Titan mengguncang lengan Ever, membuat gadis itu mengerang pelan.
“Taaaan … jangan giniin gue! Kepala gue makin pusing.” Ever mengeluh. Titan langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Ever.
“Mending lo ke UKS, deh, Ev.”
Ever memejamkan matanya dan menghela napas. Mungkin dia memang sebaiknya menuruti saran Titan.
Ever bangkit berdiri, dan dia merasa kelasnya berputar dengan hebat. Gadis itu berusaha menahan keseimbangan tubuhnya kalau dia tidak mau sampai pingsan di sini. Dia meminta izin kepada wali kelas untuk ke UKS dan langsung melangkah ke pintu kelas. Ketika melewati Frazio, laki-laki itu kontan menahan lengan Ever hingga membuat langkah gadis itu terhenti.
“Lo nggak pa-pa?” tanya Frazio khawatir. Ever mencoba tersenyum dan menggeleng.
“Gue baik-baik saja. Selamat bergabung di kelas gue, ya ….”
Ever menarik lengannya dengan pelan. Ketika dia akan melangkah lagi, tiba-tiba saja matanya berkunang-kunang. Gadis itu memegang kepalanya yang terasa sakit, dan detik itu juga pandangannya mendadak gelap.
Frazio buru-buru menangkap tubuh Ever yang jatuh begitu saja, sebelum mencium kerasnya lantai. Dalam rengkuhannya, Frazio bisa merasakan suhu tubuh Ever yang panas. Semua kelas menatap Ever dengan cemas, termasuk Titan. Sahabat Ever itu langsung berdiri dari duduknya.
“Frazio … tolong kamu bawa Ever ke UKS, ya!” perintah wali kelas mereka. Frazio mengangguk tegas.
Ketika Frazio hendak mengangkat tubuh Ever untuk menggendongnya, mendadak laki-laki itu merasa lengannya ditahan dengan kuat. Frazio menoleh dan bertemu pandang dengan tatapan tajam yang dilayangkan Demon padanya.
“Biar gue yang bawa Ever!”
***