Biar gue yang bawa Ever ….
Frazio mengangkat satu alisnya ketika mendengar ucapan Demon beberapa saat yang lalu. Mata tajam Frazio menatap ke arah tangan Demon yang menahan lengannya. Laki-laki itu kemudian mengangkat wajahnya dan kembali menatap Demon. Tepat di manik mata.
“Emang kenapa kalau gue yang bawa dia ke UKS?” tanya Frazio santai. Sebelah tangannya yang bebas, yang tidak dicekal Demon, masih dengan kuat menopang tubuh Ever yang sepenuhnya bersandar padanya. Frazio tentu saja tidak akan membiarkan gadis itu terluka atau semacamnya, kalau sampai dia melepaskan tangannya itu.
“Dia tanggung jawab gue,” ucap Demon dingin. Frazio mendengus.
“Tanggung jawab elo?” balas Frazio. “Sejak kapan? Emang dia siapanya elo, sih? Pacar? Tunangan? Atau ….” Frazio menggantung kalimatnya. Laki-laki itu sengaja melakukan hal itu untuk mengetahui reaksi Demon. Sementara itu, wali kelas mereka dan semua anak-anak di dalam kelas, termasuk Titan, memperhatikan kejadian itu dengan kening berkerut samar. Semua sibuk mempertanyakan, apa gerangan yang sedang terjadi pada Demon dan Frazio. Karena kalau dilihat dari kejadian yang sedang terjadi sekarang, sepertinya kedua laki-laki itu pernah bertemu sebelumnya dan keduanya saling tidak menyukai.
“Atau … dia calon isteri lo? Hmm?”
Demon tersentak. Dia tidak menyangka ternyata Frazio masih ingat dengan pertemuan mereka dahulu. Dia ternyata masih ingat padanya dan Ever!
Di lain pihak, Frazio sangat puas ketika dia melihat ekspresi di wajah Demon. Demon tampak terkejut dengan perkataannya barusan. Itu artinya, dugaannya waktu itu memang benar. Demon sengaja mengaku bahwa Ever adalah pacarnya, bahkan calon isterinya, hanya karena laki-laki itu ingin melindungi Ever. Demon mungkin menyangka bahwa dirinya adalah orang jahat yang ingin mengganggu, atau bahkan mencelakakan Ever.
Perlahan, namun tanpa kentara, seulas senyum kemenangan tercetak di bibir sexy Frazio. Tapi, ada satu yang mengganggu pikirannya saat ini. Kalau memang diantara Demon dan Ever tidak ada apa-apa, dan pengakuan Demon waktu itu hanya omong kosong belaka, lantas … kenapa waktu itu mereka berciuman?
“Minggir,” sentak Frazio tegas. Laki-laki itu mengenyahkan tangan Demon yang menahan lengannya. “Gue mau bawa dia ke UKS.”
Demon menatap kepergian Frazio dengan tatapan kesal. Melihat Ever berada dalam pelukan laki-laki itu, entah mengapa membuat dadanya bergemuruh hebat. Cemburu kah dirinya? Lalu … bagaimana dengan Ve? Bukankah dia mencintai gadis itu? Bukankah sewaktu dia bertemu kembali dengan Ve, dirinya begitu bahagia? Sampai-sampai tidak menyadari kepergian Ever? Wajar kah bila dia mencintai Ve, tapi masih merasakan perasaan cemburu ketika melihat Ever bersama Frazio? Disebut apakah keadaan ini? Lingkaran setan kah?
The trouble is I can’t get her out of my mind ….
When I close my eyes at night ….
Who’s gonna save me? Now she’s gone!
The trouble is there’s a part of me ….
That still can’t let go of her memory ….
And now I know, what it is ….
Love … is what the trouble is ….
(Backstreet Boys-Trouble Is)
***
Bel istirahat baru saja berbunyi nyaring. Semua anak-anak tampak bersemangat. Mereka bersiap-siap untuk mengisi perut di kantin, setelah selama kurang lebih dua jam mereka memeras otak untuk mengisi soal-soal ekonomi yang bisa membuat kepala mereka hampir pecah. Tidak terkecuali dengan Titan. Gadis itu akan pergi ke kantin sebentar, membeli makanan, dan membawanya ke UKS untuk diberikan kepada Ever. Sahabatnya itu pasti belum makan dari tadi.
Kelas sudah kosong, tapi Demon masih diam di tempat duduknya. Dia tidak menyangka akan serumit ini keadaannya. Masih sibuk memikirkan keadaan yang sedang menimpanya, mendadak dia mendengar suara berdeham yang cukup keras. Demon menoleh dan mendapati Frazio tengah menatapnya sinis. Laki-laki itu bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
“Gue yakin, lo pasti masih ingat sama gue.” Frazio mulai bersuara.
“Apa gue bisa lupa sama tampang lo itu?” tanya Demon sengit. “Lo kan, cowok yang waktu itu gangguin Ever?”
“Mengganggu?” ulang Frazio. Laki-laki itu mendecakan lidah beberapa kali, lalu menggelengkan kepalanya. “Mengganggu istilah yang terlalu berlebihan, Bung. Gue cuman ngajak kenalan. Apa itu salah?”
“Di gang sempit dan di waktu yang mencurigakan ….” Demon menyipitkan matanya. “Gue anggap perbuatan lo itu salah!”
Frazio melangkah maju. Ketika jaraknya sudah sangat dekat dengan Demon yang masih setia menduduki bangkunya, Frazio meneliti fisik laki-laki itu. Demon sama sekali tidak takut, dan tidak berdiri meskipun Frazio menjulangkan tubuhnya di depan wajahnya.
“Demon Jacob Abiyoso … putra tunggal dari pemilik Abiyoso Group International. Calon pewaris dari perusahaan terkenal di Jakarta. Memiliki cabang dan anak perusahaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kecelakaan tragis yang terjadi dua tahun yang lalu berhasil menyelamatkan nyawa nya, tetapi … membunuh kekasihnya!”
Demon terkejut. Laki-laki itu langsung berdiri dan berhadapan dengan Frazio yang menyunggingkan senyum dingin. Kedua tangan Demon terkepal kuat di sisi tubuhnya. Bagaimana bisa … Frazio ….
“Kenapa?” cibir Frazio santai. “Kaget karena gue tau kejadian itu? Hmm?”
Demon masih diam. Tatapannya sudah mengganas, namun Frazio sama sekali tidak terpengaruh.
“Lo pikir, gue anak orang miskin ya? Trus nggak tau tentang perkembangan ekonomi di Jakarta?” ledek Frazio lagi.
“Siapa lo?” tanya Demon dingin. Satu-satunya pikiran yang terlintas di benaknya sekarang adalah, siapa sebenarnya Frazio.
“Gue anak dari Hanz Fernando Putra!”
Demon mengernyitkan keningnya. Kepalanya tertunduk. Hanz? Hanz Fernando Putra? Kenapa rasanya nama itu tidak asing di telinga Demon? Sepertinya … sepertinya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dia yakin betul, dia pernah mendengar nama itu. Kalau tidak salah waktu itu … Demon memutar otaknya, berusaha mengingat-ingat dimana dia pernah mendengar nama itu. Hanz … Hanz … tunggu dulu! Hanz Fernando Putra? Putra!?
Demon melayangkan pandangannya kembali pada Frazio. Dia bisa melihat kilatan puas dalam mata Frazio.
“Elo … anak dari … Hanz Fernando Putra? Relasi bisnis ….”
“Bokap lo!” seru Frazio menyelesaikan kalimat Demon.
Demon menggeleng. “Tapi … elo … maksud gue, waktu itu elo ….”
“Ya, gue emang nggak suka memakai fasilitas yang dikasih sama orang tua gue,” sambar Frazio cepat. “Gue nggak tinggal serumah sama mereka. Gue nyewa rumah di dekat gang sempit waktu itu. Tempat pertama kali gue ketemu sama Ever dan juga elo. Gue yang hobi berantem, ngelakuin hal-hal yang nggak jelas memutuskan untuk tinggal sendiri supaya nggak bikin malu keluarga Putra! Termasuk masalah tawuran waktu itu, yang berakhir dengan dikeluarkannya gue dari SMA Kharisma Jaya, karena gue bikin salah satu murid SMA lawan masuk rumah sakit dan harus menjalani operasi.”
Demon masih tidak percaya dengan pendengarannya. Laki-laki di depannya ini adalah anak dari Hanz Fernando Putra? Relasi bisnis dari papanya?
“Denger tuan Abiyoso … gue gak akan main-main sama lo sekarang. Gue tau elo yang udah bikin nangis Ever malam itu. Meskipun gue gak punya bukti, tapi gue sangat yakin kalau itu karena elo! Dan gue gak bisa ngeliat dia nangis kayak gitu lagi. Jadi, kalau sampai elo berani bikin dia menitikan air matanya lagi, gue bersumpah, Mon, gue akan bikin lo nyesel pernah berurusan sama gue!”
“Lo suka sama dia?” tanya Demon.
“Jelas! Apa lo buta?”
Demon menghela napas panjang. “Kalau gitu … lo jaga dia baik-baik.”
Ganti Frazio yang mengernyitkan keningnya.
“Maksud lo apa? Bukannya lo suka juga sama dia? Lo mau nyerahin dia gitu aja ke gue, tanpa mau berusaha untuk mertahanin dia dulu? Lo gak mau saingan sama gue?”
“Bukan gitu ….” Demon berkata putus asa. Dia menoleh ke arah lain dan makin memperkuat kepalan di kedua tangannya. “Gue … gue cuman anggap dia teman, nggak lebih. Gue gak suka sama dia. Lagipula, gue udah punya Ve.”
“Ve? Cewek lo yang udah meninggal dalam kecelakaan itu?”
Demon menggeleng dan memaksakan seulas senyum. “Dia masih hidup.”
“Apa?”
“Ve masih hidup,” ulang Demon. “Ternyata dia tinggal nggak jauh dari gang kecil waktu lo, gue dan Ever pertama kali bertemu. Gue juga baru tau kalau ternyata Ever lah yang menolong Ve waktu itu.”
“Jadi?”
Demon menghembuskan napas panjang dan lelah. “Gue masih cinta sama Ve. Dari dulu, sekarang dan … selamanya ….”
Frazio tahu Demon sedang bimbang. Nada suara laki-laki itu membeberkan semuanya. Suaranya terdengar begitu jauh dan ragu-ragu.
“Sorry … gue … gue mau ngambil tas gue ….”
Demon dan Frazio serentak menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu, berdiri Ever dan Titan. Kedua gadis itu menatap mereka dengan ragu. Terlebih Ever. Demon bisa merasakan bahwa Ever sedang menahan tangis. Dia yakin, Ever sudah mendengar semuanya. Lagi-lagi dia menyakiti hati gadis itu. Demon mengatupkan bibir dan memejamkan matanya. Hatinya serasa ditusuk ribuan pisau. Melihat Ever seperti ini karena dirinya, membuat Demon ingin melukai dirinya sendiri.
Ever melangkah perlahan dan berjalan ke bangkunya untuk mengambil tas nya. Gadis itu berusaha mati-matian menahan agar air matanya tidak jatuh membasahi wajahnya. Dia mendengar semua ucapan Demon beberapa saat lalu. Dan hal itu sangat membuat hatinya sakit. Jadi … Demon hanya menganggapnya teman, tidak lebih. Bodoh! Dirinya benar-benar bodoh!
Ketika akan melangkah keluar dari dalam kelas, Demon mencekal lengannya. Ever menoleh dan melihat Demon masih memejamkan matanya. Sementara itu, Frazio menatap keduanya dengan kening berkerut, begitu juga dengan Titan yang masih berdiri di ambang pintu kelas.
“Maafin gue,” gumam Demon lirih. “Makasih buat semuanya. Tapi … kita selesai sampai di sini. Kita emang nggak bisa menjadi teman, Ev ….”
Ever mengangguk kaku, meskipun Demon tidak bisa melihatnya. Gadis itu menarik tangannya dan bergegas pergi sebelum air matanya benar-benar mengalir. Tapi, baru dua langkah diambilnya, satu cekalan keras di lengannya membuatnya berputar dan langsung mendarat dalam pelukan Demon! Demon memeluknya dengan keseluruhan jiwanya. Laki-laki itu tetap memejamkan matanya. Merasakan debaran jantungnya dan debaran jantung milik … Ever.
Ever tidak membalas pelukan Demon. Gadis itu mulai terisak. Matanya merebak. Dan perlahan, butiran kristal itu mengalir turun. Bersama dengan degup jantung Demon, Ever merasakan ketenangan yang amat sangat. Frazio berinisiatif meninggalkan kedua orang itu. Diajaknya Titan dan berkata pada gadis itu bahwa Demon dan Ever memerlukan waktu untuk menyelesaikan masalah mereka. Walaupun sebenarnya, Frazio tidak ingin meninggalkan Ever bersama dengan Demon.
Dalam hening, dengan Ever yang berada dalam pelukannya, Demon bertanya-tanya. Benarkah keputusan yang sudah dibuat dan diambilnya? Apakah … semuanya akan baik-baik saja kalau dia meninggalkan Ever? Apa … dia sanggup kalau seandainya Ever berdiri di samping Frazio, bukan di sampingnya?
If I could take it all back, I would now ….
I never meant to let you all down ….
Now I’ve got to try, to turn it all around ….
And figure out how to fix this, I know there’s a way so I promise ….
I’m gonna clean up the mess I made … maybe it’s not too late ….
Maybe it’s not too late ….
(Demi Lovato-It’s Not Too Late)
***
“Hai ….”
Evelyn mengerutkan keningnya sedikit, tetapi bibirnya tetap menunjukan seulas senyum. Di depannya, berdiri Demon dengan raut wajah yang lelah. Seolah-olah dia baru saja menghadapi permasalahan di seluruh dunia ini. Seolah-olah, di pundaknya terdapat beban yang sangat berat. Dan begitu melihat keberadaan Evelyn di depannya, hati Demon sedikit membaik. Sedikit. Seandainya saja Ever yang berdiri di depannya saat ini ….
Demon menundukan kepala dan menghela napas lelah. Lagi-lagi dia teringat akan Ever. Dia sudah membuat gadis itu menangis untuk yang kesekian kalinya hari ini. Dirinya memang benar-benar b******k! Bahkan gadis sebaik Ever pun disakitinya.
Apa Ever sekarang baik-baik saja? Apa Frazio sudah mengantar gadis itu dengan selamat sampai di rumah? Mengingat tadi Ever pulang bersama anak dari relasi bisnis papanya itu membuat darah Demon sedikit mendidih. Dia sangat tidak suka dengan kenyataan bahwa Frazio bisa memiliki Ever. Meskipun Demon belum yakin akan hal itu, karena sejauh ini, yang dia tahu, hanya Frazio yang suka pada Ever. Sementara perasaan gadis itu sendiri, Demon tidak mengetahuinya.
“Mon? Masuk, yuk?”
Demon mengangkat wajah ketika mendengar suara lembut Evelyn. Laki-laki itu tersenyum kecil dan mengangguk. Demon mengikuti Evelyn yang sudah terlebih dahulu memasuki rumahnya.
Evelyn mempersilahkan Demon untuk duduk, sementara gadis itu pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman. Tak berapa lama, Evelyn kembali dengan nampan berisi dua minuman dingin untuknya dan untuk Demon.
“Kamu kenapa?”
Demon menatap Evelyn dengan kening berkerut.
“Aku tau kamu lagi ada masalah, Mon ….”
Demon mendesah panjang dan menundukan kepala. Diremasnya dengan kuat rambutnya, lalu ketika dia mengangkat kepalanya lagi, Demon melepas kacamatanya.
“Aku … bikin Ever nangis tadi ….”
“Apa?” Evelyn mengangkat satu alisnya. “Kenapa?”
Lagi-lagi, Demon mendesah. “Dia denger percakapan antara aku sama Frazio. Aku bilang ke dia, kalau aku dan dia nggak mungkin menjadi teman.”
“Demon ….” Evelyn memanggil lirih. “Kamu nggak perlu sampai—“
“Kalau aku berteman sama dia, aku takut kebawa perasaan, Ve ...,” potong Demon cepat. Ditatapnya dua manik mata milik Evelyn. “Waktu pertama kali aku ketemu Ever, aku pikir gadis itu adalah seseorang yang kamu kirim buat aku untuk bikin aku terus merasa bersalah karena gak bisa melindungi kamu waktu itu. Aku terus-menerus menjauhi Ever, bahkan bertindak dingin dan sinis pada gadis itu, tapi pada akhirnya aku selalu luluh dan nggak bisa ngebiarin dia mendapat masalah. Lalu tadi, ketika ada anak baru—yang sebenarnya sudah aku kenal, begitu juga dengan Ever—bernama Frazio, aku langsung merasa … was-was. Aku takut kalau Frazio dan Ever akan menjadi dekat. Aku gak tau apa yang terjadi sama aku, tapi aku nggak suka kalau liat mereka berdua dekat.”
Evelyn menatap Demon tanpa berkedip. Sebenarnya hatinya sangat sakit ketika mendengar pengakuan Demon beberapa saat yang lalu. Evelyn tahu, Demon sudah mulai menyukai Ever. Hanya saja, laki-laki itu enggan mengakui. Enggan mengakui, atau tidak mau mengakui? Atau … laki-laki itu tidak ingin menyakiti hatinya?
“Aku cuman nggak mau membuat kamu sakit hati atau semacamnya, Ve. Aku juga bingung sama diri aku sendiri. Kamu tau kalau aku cinta sama kamu, sangat mencintai kamu. Tapi, aku juga gak bisa bohong, kalau ada sesuatu yang luruh saat Ever ada di dekat aku. Aku … aku ….”
“Demon ….” Evelyn menyela, “kamu bukannya bingung sama diri kamu sendiri. Kamu cuman nggak mau mengakui kalau kamu sebenarnya sudah jatuh cinta sama Ever …. Kamu cuman nggak mau jujur sama perasaan kamu sendiri.”
Demon tertegun ketika melihat Evelyn mengatakan hal itu sambil menangis. Tidak. Dia tidak boleh membuat gadis yang dicintainya menangis. Dengan pelan namun pasti, Demon mengulurkan tangannya dan merengkuh tubuh Evelyn. Membawa tubuh gadis itu dalam pelukannya.
“Ve … yang aku cintai itu cuman kamu. Aku nggak mungkin suka sama Ever. Aku ….”
Evelyn menggeleng. “Jangan ngomongin sesuatu yang kamu sendiri belum tau pasti, Mon. Lagipula, kisah cinta kita sudah berakhir semenjak kecelakaan itu terjadi. Apa kamu lupa? Papa kamu nggak setuju dengan hubungan kita. Bahkan dia sampai tega membuat kita celaka, membuat kamu yang anak kandungnya sendiri celaka, hanya untuk memisahkan kita ….”
Demon menguraikan pelukannya. “Ve … kamu ….”
“Mon …,” sela Evelyn cepat. “Aku nggak mau nyakitin hati Ever kalau emang ternyata dia juga suka sama kamu, seperti kamu suka sama dia. Ever gadis yang baik. Dia dan keluarganya yang sudah menolong aku saat aku hampir meregang nyawa waktu itu. Aku nggak akan bisa liat dia sakit lebih dari ini, Mon. Bahkan semenjak dia melihat kita berdua berpelukan dan bertemu lagi waktu itu, dia nggak mau berbicara sama aku, meskipun aku sudah berusaha menghubunginya ke rumah.”
Demon membisu. Dia bingung harus berkata apa. Dia hanya bisa melihat Evelyn tersenyum di sela-sela tangisnya. Tapi, Demon bisa melihat pancaran luka di kedua mata gadis itu.
“Kamu cuman belum sadar, Mon. Hati kamu buat aku sebenarnya sudah lama mati. Di tengah-tengah kekosongan hati kamu waktu itu, yang menganggap aku sudah meninggal, datanglah Ever. Gadis itu yang membuat kegelapan dalam hati kamu sirna. Gadis itu yang membuat hati kamu bercahaya kembali. Kamu sebenarnya sudah jatuh cinta pada Ever. Hanya saja, rasa bersalah kamu ke aku waktu itu masih menuntut kamu untuk tetap mempertahankan nama aku di hati kamu ….”
***
Kata orang, cinta itu indah ….
Indah? Dilihat dari sisi mananya? Bukankah cinta itu abstrak?
Kata orang, cinta itu menyembuhkan. Benarkah? Benarkah cinta bisa menyembuhkan kita? Lantas, kenapa hati ini rasanya begitu perih? Begitu sesak? Begitu sakit? Padahal, sudah jelas yang sedang dirasakannya adalah perasaan cinta.
Cinta …. Apa itu cinta? Apakah hanya sebuah kata? Apakah hanya sebuah perumpamaan? Bermakna kah? Denotatif, atau … konotatif?
Cinta …. Katanya cinta bisa membuat orang yang putus asa menjadi bersemangat. Katanya cinta bisa membuat orang yang lemah menjadi kuat. Tapi, baginya, cinta hanya membuatnya tersiksa. Menderita. Penuh dengan sesak dan luka.
Apa sebenarnya makna dari cinta? Apakah cinta itu memang benar-benar ada?
Kalau cinta itu memang ada …. Apakah dia bisa mendapatkannya? Merasakan keindahannya, seperti yang orang-orang bilang?
Kalau cinta itu memang ada …. Apakah akan ada seseorang yang mengajarinya tentang cinta? Mengajarinya bagaimana mencintai dan dicintai?
Ever melangkah dengan pelan menuju rumahnya. Sepulang sekolah tadi, dibawah tatap tajam Demon, Ever bersedia untuk diantar pulang oleh Frazio. Di bawah tatap tajam Demon, Ever naik ke atas motor Frazio dan meninggalkan SMA Pelita. Tapi, saat tatap tajam Demon tidak lagi terlihat, Ever menepuk pundak Frazio dan meminta laki-laki itu untuk menghentikan motornya.
“Kenapa, Ev?” tanya Frazio saat itu. Ever tersenyum dan melepas helm yang dikenakannya. Gadis itu melompat turun dan menyerahkan benda pelindung kepala itu kepada Frazio.
“Gue mau pulang sendiri aja,” ucap Ever pelan, diiringi senyum tipis di bibirnya. Frazio bahkan bisa melihat bahwa senyum di bibir mungil Ever itu hanyalah senyum palsu yang dipaksakan.
“Kenapa?” tanya Frazio lagi.
“Gue cuman butuh waktu untuk sendiri, nggak pa-pa, kan?”
Frazio terdiam. Setelah berpikir sebentar, laki-laki itu akhirnya mengangguk juga. Dia tahu Ever memang membutuhkan waktu sendiri untuk berpikir.
“Oke. Tapi, kalau ada apa-apa langsung telepon gue, ya? Udah punya nomor ponsel gue, kan?”
Ever mengangguk dan tersenyum lagi. Namun, kali ini Frazio bisa merasakan senyum Ever itu tulus dan tidak dipaksakan. Setelah saling mengucapkan selamat tinggal, Ever membiarkan Frazio pergi meninggalkannya di jalan.
Dan di sinilah gadis itu sekarang. Berjalan menyusuri jalan raya yang lengang, menuju kompleks perumahannya. Entah sudah berapa lama waktu yang ditempuhnya, namun gadis itu belum juga sampai ke rumah. Ever berjalan sambil menunduk dan sesekali kakinya menendang kerikil-kerikil kecil yang bertebaran di jalan.
Tiba-tiba, pikirannya melayang pada Demon. Bagaimana ketika di kelas tadi, laki-laki itu memeluknya dengan erat, seolah tidak berniat untuk melepaskan diri. Bagaimana dia bisa mendengar detak jantung Demon yang mampu membuat tubuhnya aman dan nyaman. Bagaimana dia bisa ikut merasakan emosi dalam diri Demon, ketika tubuhnya bersatu dengan tubuh laki-laki itu. Dan ketika pelukan itu akhirnya terurai, Ever merasa keseimbangan tubuhnya hilang seketika. Dia merasa dunianya gelap. Dia merasa kehilangan arah.
Salahkah perasaan yang dirasakannya sekarang? Bukankah rasa cinta itu adalah hak bagi setiap insan? Tapi, apakah dia boleh memiliki rasa cinta ini untuk Demon? Biar bagaimanapun, Demon ternyata adalah pacar dari Evelyn, orang yang sudah ditolongnya dari kecelakaan dua tahun lalu, dan sudah dianggapnya sebagai saudara!
Lalu, apa yang harus dia lakukan? Bahkan ketika Demon melepaskan pelukannya tadi pun, Ever membatalkan niatnya untuk pulang ke rumah saat jam istirahat. Gadis itu lebih memilih bersembunyi di UKS dan menangis sejadi-jadinya di ruangan itu, ditemani oleh Titan. Titan sendiri yang tidak tahu apa yang sedang terjadi, hanya bisa tertegun dan memeluk sahabatnya. Gadis itu tidak ingin memaksa Ever untuk bercerita, karena dia yakin Ever akan menceritakannya.
Asyik dengan pikirannya sendiri, Ever tidak sadar bahwa sesuatu tengah menunggunya dari balik tikungan jalan. Sesuatu yang tidak pernah diduganya. Yang akan mengubah dunianya. Sesuatu yang akan menjatuhkannya ke lembah kesesatan. Tanpa arah. Tanpa cahaya. Tanpa kehidupan. Dan sesuatu itu melakukan tugasnya dengan sempurna ….
PRAAANG!!!
Evelyn menoleh dan mendapati Demon sedang berdiri kaku di tempatnya. Matanya menatap pecahan beling yang berserakan di lantai. Evelyn yang cemas, langsung menghampiri Demon.
“Kenapa, Mon?”
Demon bergeming. Perasaannya campur aduk. Hatinya sesak. Jantungnya berdebar keras. Darah membeku di tubuhnya. Otaknya mendadak berhenti berfungsi. Rasa cemas itu langsung menyeruak masuk dalam tubuhnya. Rasa dingin itu menguasai raganya. Ketakutan itu menghimpitnya, nyaris membuatnya sulit bernapas.
“Demon? Kamu kenapa?” tanya Evelyn lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih keras dan gadis itu mengguncang lengan Demon. Demon tersadar. Dia menoleh dan tatapannya bertumbukan dengan tatapan Evelyn. Detik berikutnya, Demon kembali menatap pecahan gelas yang ada di lantai.
“Ever ….” Demon menyebut nama gadis itu dengan lirih. Seolah-olah ada magnet yang menuntunnya untuk segera pergi ke tempat Ever dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Sial! Kenapa rasanya dia seperti kehilangan separuh kesadarannya?
“Ever? Ever kenapa?” tanya Evelyn. Keningnya berkerut samar.
“Aku … aku juga nggak tau, Ve. Tadi aku lagi minum, dan tau-tau aku kepikiran Ever. Setelah itu, gelas yang aku pegang jatuh dan pecah. Aku … aku tau ini konyol, tapi … tapi, aku ….”
Evelyn mengerti akan kecemasan yang dialami oleh Demon. Gadis itu menyentuh lengan Demon.
“Coba kamu telepon dia ….”
Tanpa buang waktu, Demon langsung menekan angka satu dalam ponselnya, yang akan langsung menghubungkannya dengan nomor ponsel Ever. Tapi, beberapa kali mencoba menghubungi gadis itu, sambungannya selalu mengatakan bahwa ponsel Ever tidak aktif. Dan kekalutan dalam diri Demon semakin menjadi. Dia benar-benar takut. Dia bisa merasakan hawa itu. Hawa yang selalu dirasakannya kalau Ever mendapat masalah. Dan sekarang, dia mendengar bisikan itu. Bisikan-bisikan yang selalu memberitahunya kalau sedang terjadi sesuatu pada diri Ever.
Gadis itu dalam bahaya …. Ever sedang dalam bahaya!
Demi Tuhan, dia bisa gila!
Ketika Demon akan menghubungi Frazio—beruntung sewaktu di sekolah tadi, sebelum mengantar Ever pulang, Demon berinisiatif meminta nomor ponsel laki-laki itu—dering ponselnya berbunyi. Demon mengerutkan kening ketika membaca nama yang tertera dalam layar ponselnya. Titan.
“Titan?” sapa Demon ragu. Ini pertama kalinya Titan meneleponnya. Dan Demon bisa mendengar suara gadis itu bergetar.
“Demon ….”
“Tan? Elo kenapa?” tanya Demon tegas. Kini ketakutan, kekalutan dan kesesakan sudah menguasai raganya.
“Ever … kecelakaan ….”
Demon membeku di tempat. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela rumah Evelyn. Tanpa membalas ucapan Titan, laki-laki itu langsung berlari ke luar rumah, menghidupkan mesin motornya dan bergegas pergi ke rumah sakit. Meninggalkan Evelyn yang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan sebelah tangan terangkat ke atas d**a. Sakit.
***
Demon sampai di rumah sakit Cempaka dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Laki-laki itu mengendarai ninja nya dengan kecepatan penuh. Meliuk-liuk di tengah padatnya jalan. Tidak dihiraukannya makian yang keluar dari beberapa pengendara mobil ataupun motor. Yang dia inginkan adalah sampai di rumah sakit secepat mungkin dan memastikan bahwa Ever baik-baik saja. Bahkan, Demon sempat menelepon Titan untuk menanyakan alamat rumah sakit tempat Ever dirawat sambil mengendarai motornya. Tidak peduli dengan resiko bahwa dia bisa saja celaka karena mengemudi sambil menelepon.
Demon berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Ketika sepuluh menit mencari ruang UGD, Demon akhirnya melihat Titan sedang bersandar di dinding sambil menunduk. Di sebelahnya, berdiri Frazio. Melihat laki-laki itu, kontan darah dalam tubuh Demon naik sampai puncaknya. Demon melangkahkan kakinya dengan cepat, dan kini dia sudah berdiri di depan Frazio.
“b******k!” maki Demon keras. Ditariknya kerah baju Frazio, lalu melayangkan kepalan tangannya ke wajah laki-laki itu. Frazio jatuh tersungkur di lantai sementara Titan menjerit tertahan sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Demon menarik Frazio sampai berdiri, lalu melayangkan tinjunya lagi ke wajah laki-laki itu. Ketika Demon akan memukul Frazio untuk yang ketiga kalinya, barulah Titan menengahi. Gadis itu memasang tubuhnya diantara Demon dan Frazio.
“Cukup, Mon!” seru Titan keras.
Demon terengah-engah, begitu juga dengan Frazio. Melihat Titan masih memasang tubuhnya diantara dirinya dan Frazio, membuat Demon membatalkan niatnya untuk menghajar laki-laki itu lagi.
“Bukannya gue udah suruh lo antar dia sampai di rumah dengan selamat, hah!?” teriak Demon menggelegar. Tidak peduli bahwa tempat itu adalah rumah sakit.
Baru saja Frazio akan menjawab, tiba-tiba saja ruang UGD terbuka. Seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah warna putih keluar dari ruangan tersebut. Dengan cepat, Demon, Titan dan Frazio menghampiri dokter tersebut.
“Gimana keadaan Ever, dok?” tanya Demon cemas. Dokter itu menatap satu per satu wajah ketiga remaja di depannya.
“Kalian, keluarganya?” tanya dokter itu. Titan menggeleng pelan.
“Orang tuanya sedang dalam perjalanan menuju ke sini, dok. Kami teman-temannya.”
Dokter itu mengangguk dan tersenyum.
“Nona Evera Gracia sudah sadar. Keadaannya stabil dan dia baik-baik saja. Tapi ….”
“Tapi?” ulang Demon cepat. Perasaannya benar-benar mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang sedang terjadi di sini.
“Mari ikut saya ke dalam,” ucap dokter itu. Demon, Titan dan Frazio saling pandang sesaat, lalu mengikuti dokter itu ke dalam ruang UGD.
Bau yang tidak asing langsung menerpa hidung Demon. Dia benci rumah sakit. Semenjak kecelakaan dua tahun yang lalu, Demon selalu merasa trauma apabila masuk ke dalam bangunan ini.
Sesampainya di depan sebuah ranjang, Titan langsung menyerbu Ever. Gadis itu menangis dan memeluk sahabatnya kuat-kuat. Ever hanya bisa diam dan menatap Titan dengan mata yang juga mulai basah.
“Ev, jangan pernah bikin gue takut kayak gini lagi!” seru Titan. Ever mengangguk pelan.
Demon merasa lega ketika melihat Ever baik-baik saja. Kepala dan lengan gadis itu diperban. Tapi, selebihnya, gadis itu terlihat sehat dan stabil, seperti kata dokter yang berdiri di sampingnya beberapa saat lalu.
“Hai, Ev ….”
Ever menoleh ketika mendengar suara Frazio. Gadis itu kontan mengerutkan keningnya. Lalu, tatapannya jatuh pada Demon yang berdiri di samping Frazio. Ever mendadak terpaku. Dua mata tajam Demon berhasil mengunci sebagian dirinya. Mata itu seakan tak mau melepaskannya. Ada aura gelap di sekeliling laki-laki itu yang bisa dirasakan oleh Ever, melalui tatapan matanya. Jauh dari aura gelap yang terpancar itu, tersirat kerapuhan yang sangat. Tapi, entah mengapa, Ever tidak takut sama sekali. Dia justru merasa aman, nyaman, tenang dan … terlindungi.
Demon tersenyum kecil dan menatap Ever dengan lembut.
“Lagi-lagi lo menyusahkan gue, Ev. Lo tau seberapa khawatirnya gue sama lo?” tanya Demon pelan.
Frazio menoleh dan mendengus kecil. Katanya nggak suka, tapi kok perhatian banget? batin laki-laki itu kesal.
“Titan … mereka berdua, siapa?”
Ucapan Ever itu berhasil membuat Demon, Frazio dan Titan tersentak hebat. Ketiga remaja itu saling pandang dalam diam. Kemudian, Titan kembali memusatkan perhatiannya pada Ever. Sambil tersenyum ragu, dia berkata, “Apa maksud lo ‘mereka berdua siapa’ Ev? Mereka kan Demon sama Frazio.”
Ever menyipitkan mata dan mengerutkan kening. “Demon? Frazio? Mereka teman kita?”
Titan makin bingung, begitu juga dengan Demon dan Frazio.
“Mmm … Ev … lo inget kan gue siapa?” tanya Titan ragu-ragu. Ever mengangguk mantap.
“Elo Titan Maharani, sahabat gue.”
Titan menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. “Lo inget nggak lo lahir kapan?”
Ever mengangguk lagi. “Tanggal tujuh belas November tahun sembilan lima. Kenapa sih nanyain kayak gitu?”
“Mmm ….” Titan mencoba mengeluarkan pertanyaan lagi. Masalahnya, lucu dong Ever ingat padanya, tapi tidak mengenal Demon dan Frazio. Sementara itu, Demon dan Frazio berdiri kaku di tempatnya. Terlebih Demon. Laki-laki itu mulai merasa menggigil kedinginan. Lagi-lagi sesuatu dalam hatinya berbisik tegas.
Ever dalam bahaya …. Ever dalam bahaya!
“Ev … lo inget nggak sekarang tahun berapa?” tanya Titan hati-hati. Ever kelihatan heran dengan pertanyaan-pertanyaan ajaib Titan, tapi gadis itu tetap menganggukan kepalanya.
“Tahun dua ribu sebelas.”
Titan terperangah, begitu juga dengan Demon dan Frazio. Ever bilang saat ini tahun dua ribu sebelas?
“Ev … sekarang tahun dua ribu … dua belas ….” Titan bersuara dengan nada gemetar. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Mendengar itu, Ever kontan menggelengkan kepalanya.
“Titan, elo ngaco deh. Sekarang itu tahun dua ribu sebelas. Bulan Mei. Bentar lagi kan ulang tahun lo, tanggal lima belas. Sebentar lagi juga kita bakalan ujian kenaikan kelas. Kita bakalan jadi murid kelas tiga, kelas tertinggi di sekolah.”
Titan menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Air matanya bergulir turun. Di tempatnya, Demon mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tidak bisa memercayai pendengarannya sendiri. Apa yang sedang terjadi? Apa yang terjadi pada Ever?
Frazio melangkah mendekati dokter yang sedang berdiri di samping Demon dan menatap Ever dengan tatapan iba dan kasihan.
“Dokter, sebenarnya teman saya ini kenapa?” tanya Frazio mendesak. Dokter itu menoleh dan menghembuskan napas panjang.
“Sebenarnya, nona Evera ini mengalami ….”
Demon menatap Ever dengan sorot mata penuh luka. Sesak mulai menghimpit rongga dadanya, menghalangi usaha Demon untuk bernapas dengan normal. Di depannya, Ever terlihat kebingungan menghadapi Titan yang sudah menangis.
Here I am, this is me ….
And I’m stronger than you ever thought I’d be ….
Are you shock? Are you mad?
That you missing out on who I really am ….
Now it looks like a jokes on you … cause the girl that you thought you knew ….
She’s so gone … that’s so over now!
She’s so gone … you won’t find her around ….
You can look but you won’t see, the girl I used to be ….
Cause she … she’s so gone … away … like history ….
She’s so gone ….
Baby this is me … yeah ….
(Lemonade Mouth-She’s So Gone)
“ …. Retrograde amnesia,” lanjut Sang dokter. Serentak, Demon, Frazio dan Titan menatap dokter itu dengan tatapan tidak mengerti.
“Begini … retrograde amnesia itu adalah jenis amnesia dimana si penderita hanya mengingat sebagian memori nya saja. Untuk kasus nona Evera, dia hanya mengingat kejadian pada bulan Mei tahun dua ribu sebelas ke belakang. Untuk kejadian sesudahnya, termasuk kejadian yang mungkin baru saja terjadi belakangan ini, nona Evera tidak akan bisa mengingatnya.”
Titan makin menangis, sedangkan Demon dan Frazio mematung di tempat.
“Apa kalian berdua baru saja mengenal nona Evera?” tanya dokter itu simpatik pada Demon dan juga Frazio. Karena Demon hanya diam, maka Frazio mengangguk.
“Ya, saya baru saja mengenalnya belum lama ini.”
“Saya juga,” ucap Demon lirih. Bahkan suaranya terdengar sangat jauh. Demon berbicara dengan Sang dokter, tapi pandangannya tetap mengarah pada Ever.
“Kalau begitu maaf, sepertinya nona Evera tidak bisa mengingat anda berdua ….” Dokter itu berkata dengan nada menyesal. “Maaf, saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa, silahkan langsung memanggil saya.”
Sepeninggal Sang dokter, Frazio melangkah maju mendekati Ever. Demon bisa melihat laki-laki itu terlihat canggung saat berkenalan lagi dengan Ever. Demon tidak sanggup. Dia tidak bisa melihat Ever seperti ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ever … tidak mengingatnya! Bahwa Ever melupakannya!
Karena, apa yang dikatakan Evelyn memang benar.
Dia, Demon Jacob Abiyoso sudah jatuh cinta pada Evera Gracia!
Demon melangkah keluar dari ruang UGD dengan perasaan terluka yang amat sangat. Dia menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi panjang yang tersedia. Demon menundukan kepalanya dan meremas rambutnya dengan kedua tangan.
Kali ini, dia mendengarkan bisikan dalam hatinya dengan seksama.
Ever dalam bahaya …. Ever dalam bahaya! Dia akan ninggalin lo! Dia akan melupakan lo, karena lo sudah terlalu sering menyakiti perasaannya! Dia akan melupakan lo untuk selamanya!
Demon memejamkan matanya erat-erat.
Sepertinya, memang itulah yang akan terjadi.
***