Ever menghembuskan napas panjang dan lelah. Beberapa saat yang lalu,Titan dan seorang laki-laki yang mengaku bernama Frazio sudah meninggalkan kamar inapnya. Kedua orangtuanya pun ikut pulang bersama Titan dan Frazio, setelah sebelumnya mereka berjanji akan kembali lagi ke rumah sakit besok untuk membawakan baju ganti untuk Ever. Keadaan kamarnya kini kosong. Sepi. Hampa. Entah mengapa, Ever merasa ada sesuatu dalam dirinya yang hilang. Sesuatu yang membuatnya terus berpikir, apakah hal tersebut penting untuk diingat atau tidak.
Dimana dia?
Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, Ever kembali menanyakan keberadaan laki-laki itu dalam benaknya. Laki-laki yang tadi datang bersama Titan dan Frazio. Laki-laki yang menatapnya tajam dan tegas. Laki-laki yang memiliki mata seperti elang. Laki-laki yang mempunyai aura gelap dan menyeramkan, namun anehnya tidak membuatnya takut sama sekali. Ever justru mendapati bahwa dirinya merasa tenang dan terlindungi ketika tatapannya bertumbukan dengan tatapan laki-laki itu.
Ever memejamkan mata sejenak dan merasakan hawa dingin menerpa wajahnya. Dia merasa tidak pernah kenal dan bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya. Tapi, mengapa hatinya berkata lain?
“Elo nggak apa-apa, kan?”
Satu suara bernada berat dan lelah itu mengejutkan Ever. Gadis itu langsung membuka matanya dan menoleh ke sumber suara.
Dia! Laki-laki itu ada di sana. Berdiri di depan matanya. Menatap langsung ke matanya. Masih dengan tatap tajam yang sama. Masih dengan aura gelap yang sama. Dan … masih memberikan ketenangan dan keamanan yang sama bagi gadis itu.
“Ya,” jawab Ever singkat. Gadis itu bingung bagaimana harus bersikap di depan laki-laki itu. Kini, laki-laki itu berjalan mendekat ke arahnya. Berdiri tepat di samping tempat tidurnya. Tersenyum ke arahnya, meskipun Ever melihat senyum itu terlihat penuh dengan luka.
“Gue ….”
Ever menunggu laki-laki itu untuk melanjutkan kata-katanya. Tapi, sudah lebih dari lima menit berlalu, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir laki-laki itu.
“Demon, bukan?” tanya gadis itu akhirnya. Ever ingat beberapa saat yang lalu, ketika Titan dan Frazio masuk ke kamarnya bersama dengan laki-laki yang berdiri di hadapannya ini, sahabatnya itu sempat menyebutkan nama Demon dan Frazio.
Demon mendongak dan menyipitkan matanya. Sebersit harapan mulai terbit di dalam dirinya. “Lo ingat sama gue?”
Ever menggeleng pelan dan tersenyum meminta maaf.
“Gue dengar tadi sewaktu Titan menyebutkan nama lo dan Frazio.” Ever menjawab pelan. “Maaf … gue ….”
“Nggak usah minta maaf. Gue maklum kok kalau lo nggak ingat siapa gue. Biar bagaimana pun juga, mungkin ini hukuman yang harus gue terima. Karena kebodohan dan ketololan gue, nggak menyadari apa yang sebenarnya gue rasain ….”
Ever mengerutkan keningnya. Heran.
“Maksudnya?”
Melihat kebingungan di wajah gadis itu, Demon cepat-cepat berkelit.
“Sebaiknya gue pulang sekarang,” kata laki-laki itu, “jaga diri lo. Gue akan datang lagi besok.”
Sepeninggal Demon, Ever merenung masih sambil menatap pintu yang baru saja menutup. Lagi-lagi hatinya berbisik. Mengingatkannya akan sesuatu yang hilang dalam dirinya. Sesuatu yang entah mengapa seperti telah mendarah daging dalam tubuhnya.
Ever menggelengkan kepalanya dan mengambil ancang-ancang untuk tidur.
Mungkin, sesuatu itu memang tidak layak untuk diingat.
***
Evelyn bergerak gelisah dalam posisinya yang tengah berbaring. Jarum jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun gadis itu tidak kunjung terlelap. Pikirannya melayang kepada Ever. Dua jam yang lalu, Demon meneleponnya dan mengabarkan semua yang tengah dialami oleh Ever. Tentang gadis itu yang sekarang tengah mengalami retrograde amnesia.
Evelyn bangkit dari posisinya berbaring dan duduk bertopang dagu. Dia merasa sangat bersalah pada Ever. Karena kehadirannya, hubungan Ever dan Demon menjadi hancur. Karena dirinya, Ever mengalami kecelakaan.
Tapi, bukankah Demon adalah miliknya? Sejak dahulu, Demon selalu mencintainya. Bahkan sampai sekarang. Laki-laki itu sendiri yang mengatakannya pada Evelyn. Jadi, bukan kesalahannya apabila Demon menjauhi Ever. Seharusnya gadis itu tahu diri dan tidak mendekati Demon.
Lagipula, selama ini dia sudah berkorban segalanya demi laki-laki itu. Berkorban perasaan. Rela dimaki-maki oleh ayah Demon yang menentang hubungan mereka. Bahkan menerima dengan ikhlas ketika ayah laki-laki itu membuatnya celaka bahkan nyaris pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Jadi, sudah sepantasnya pula Demon tetap berada di sisinya. Menemaninya, mencintainya sampai maut memisahkan mereka.
Katakan bahwa dirinya egois, tetapi dia tidak bisa menyerahkan laki-laki yang sangat dicintainya itu untuk orang lain. Sekalipun orang itu adalah Ever, orang yang sudah menolongnya dari maut.
Evelyn tersenyum kecil. Hilang ingatan yang dialami Ever sangat menguntungkan baginya. Dia bisa menjauhkan Ever dari Demon. Bukankah Demon berkata bahwa Ever hanya mengingat kejadian ketika gadis itu akan naik ke kelas tiga? Itu artinya, Ever masih bisa mengingat dirinya karena mereka bertemu setahun sebelum kejadian itu.
Seperti kata pepatah.
Segalanya sah dalam perang dan cinta.
***
Demon tidak bisa terlelap. Meskipun laki-laki itu sudah mencoba ratusan, bahkan ribuan kali untuk memejamkan matanya, namun tetap saja dia tidak bisa terlelap. Pikirannya terus-menerus hinggap pada Ever. Putus asa, Demon menendang selimutnya sampai terjatuh ke lantai, dan bangkit berdiri.
Demon mendekati jendela kamarnya dan memandang keadaan yang gelap di luar sana. Tidak ada bintang, tidak ada bulan. Yang ada hanya rintik-rintik hujan yang mulai turun beberapa saat yang lalu. Demon mendesah keras. Saat ini sudah pukul sebelas lewat lima belas menit. Sudah sangat larut malam untuk menelepon seseorang. Tetapi, dia tidak bisa menahan diri. Dia terus memikirkan keselamatan dan keamanan gadis itu.
Dan itulah yang dilakukannya sekarang.
Demon menekan angka satu yang akan langsung menghubungkannya dengan nomor ponsel Ever. Setelah menunggu beberapa menit, sambungan telepon itu tidak kunjung diangkat. Demon mengerutkan kening dan kembali mengulang panggilannya. Masih tetap sama. Sudah tidurkah?
Demon berusaha untuk berpikiran positif. Tetapi, bisikan-bisikan dalam hati dan benaknya terus menghantuinya. Selalu seperti itu kalau sudah berurusan dengan Ever. Seolah-olah ada magnet yang menghubungkannya dengan gadis itu.
Dan perasaan Demon semakin tidak enak ketika bisikan-bisikan di hati dan benaknya itu semakin terasa kuat.
Dia dalam bahaya!
Ever menghembuskan napas panjang. Kepalanya terasa sedikit pusing, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk berjalan. Gadis itu harus berusaha untuk tidak ketahuan oleh para perawat karena sudah melanggar peraturan. Seharusnya dia sekarang berada di dalam kamar, dan istirahat. Tapi, dia butuh udara segar. Dia butuh oksigen untuk menyegarkan pikirannya. Maka dari itu, meskipun kondisi tubuhnya masih lemah—ditambah dengan rasa pusing yang tiba-tiba saja menderanya—Ever nekat berjalan ke lantai delapan rumah sakit itu untuk menuju atap rumah sakit dan memandang keindahan alam di malam hari.
“Hujan?” gumam gadis itu pelan. Ever melangkah menuju tepi atap dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Sebelah tangannya terangkat ke d**a untuk merapatkan jaket yang dikenakannya, sementara sebelah tangannya yang lain memegang tiang infus. Tidak dihiraukannya rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi wajah dan tubuhnya.
Perlahan, sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas. Senyum itu mengembang begitu saja, seolah-olah ikut menguap bersama kebingungan yang dia rasakan atas kehadiran seseorang. Seseorang yang bahkan tidak dikenalnya, namun sanggup memberinya ketenangan dan kenyamanan.
Aah … sedang apa laki-laki itu sekarang?
Sedang asyik berkecamuk dengan pikirannya sendiri, Ever tiba-tiba memutar kepalanya ke samping dan terpana.
***
Jangan tanya bagaimana perasaannya ketika dia tidak menemukan keberadaan gadis itu di dalam kamar inapnya.
Demon harus bisa menahan diri dan menormalkan debar jantungnya yang mulai meliar. Ketika laki-laki itu tidak bisa menghubungi ponsel Ever, Demon langsung menuju rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Sepanjang perjalanan, Demon berdo’a semoga Ever dalam keadaan baik-baik saja.
Namun, darahnya serasa terserap keluar dari tubuhnya saat menemukan kamar gadis itu yang kosong. Ponsel gadis itu tergeletak di atas meja di samping ranjang Ever. Sementara gadis itu sendiri tidak ada dimana-mana. Demon langsung bertingkah seperti orang yang kesetanan!
Laki-laki itu bergegas menghampiri para perawat dan hampir saja memaki mereka satu persatu saat mereka tidak mengetahui keberadaan Ever ketika Demon menanyakan perihal gadis itu. Tanpa membuang waktu, Demon langsung mencari gadis itu ke seluruh penjuru rumah sakit.
Tempat terakhir yang ditujunya adalah atap gedung. Meskipun Demon tidak menemukan alasan yang tepat mengapa dia harus memeriksa atap gedung—karena tidak mungkin gadis itu berada di sana—namun dia tetap menuruti kata hatinya.
Hatinya berkata padanya bahwa Ever ada di sana.
Dan rasa lega langsung menerjangnya ketika menemukan sosok gadis itu tengah berdiri di tepi atap.
Demon melangkah pelan ke arah Ever dan berdiri tepat di samping gadis itu. Laki-laki itu berdeham pelan namun sanggup mengusik ketenangan gadis yang berada di sampingnya, karena Ever langsung memutar kepalanya dan menatap laki-laki itu.
“Ngapain lo di sini?” tanya Demon.
Ever tidak langsung menjawab. Gadis itu seperti kehilangan kesadaran ketika bertemu mata dengan Demon. Kedua mata Demon seolah menyihirnya, membekukan otaknya. Kehadiran Demon seperti menghancurkan logikanya dan mengobrak-abrik alam bawah sadarnya.
Demon melepas jaketnya dan menutupi kepala gadis itu dengan jaketnya.
“Sekarang hujan,” kata Demon ketika melihat sorot kebingungan di kedua mata gadis itu atas perlakuannya, “lo nggak mau kan berlama-lama menetap di rumah sakit?”
Ever hanya bisa mengangguk. Kemudian, tatapannya kembali terarah ke langit gelap di atas sana.
Demon menyapukan pandangannya ke arah gadis yang tengah berdiri di sampingnya. Kenapa hanya dengan menatap Ever saja membuatnya merasa nyaman? Seberapa besarkah pengaruh gadis itu bagi dirinya? Padahal dulu Demon menganggap bahwa Ever tidak lebih dari sebuah parasit yang membuatnya mengingat dan membangkitkan kenangan kelamnya di masa lalu. Tapi sekarang? Ketika tadi dia tidak menemukan sosok Ever di dalam kamar inapnya saja sudah cukup membuat Demon nyaris gila!
“Apa lo tau gimana rasanya mencintai seseorang yang bahkan terlihat seperti fatamorgana?”
Ever menoleh dan mengerutkan kening.
“Maksud lo?” tanya gadis itu pelan.
Demon membetulkan letak kacamatanya dan menatap langit gelap di kejauhan.
“Seperti …. Yah, seseorang yang lo rasa ada di depan mata lo, tetapi sebenarnya nggak ada di depan mata lo ….”
“Seperti bayangan? Halusinasi? Angin?”
Demon menatap gadis itu dalam diam. Kemudian, senyum khas-nya mulai terbit. “Semacam itu ….”
Ever menggeleng.
“Gue nggak pernah nemuin masalah seperti itu dalam hidup gue selama ini,” kata gadis itu pelan, “tapi, menurut gue, setiap orang berhak untuk merasakan perasaan cinta. Meskipun orang itu menganggap seseorang yang dicintainya hanyalah seperti fatamorgana, atau seperti bayangan, halusinasi, bahkan angin. Selama rasa cinta itu ada dan kuat, selama itu juga lo akan bisa mendapatkan orang yang lo cintai. Karena, orang yang lo cintai itu akan sadar bahwa selama ini lo mencintainya … cepat atau lambat ….”
Demon terpana.
Bukan karena ucapan Ever barusan, melainkan karena senyum yang diberikan gadis itu untuknya. Senyum itu begitu lembut. Begitu menenangkan. Begitu menyejukan.
“Demon ….”
Laki-laki itu tersentak ketika mendengar namanya dipanggil. Ditatapnya Ever yang tengah menatapnya dengan sorot mata yang …. Mmm, entahlah. Seperti heran?
“Kenapa?”
Ever menoleh ke segala arah dengan tatapan aneh.
“Ada gempa, ya?”
Ganti Demon yang menatapnya heran.
Gempa? Demon memfokuskan diri. Tidak. Tidak ada gempa. Lantas, mengapa Ever ….
Belum sempat Demon mengutarakan apa yang ada di dalam benaknya, laki-laki itu langsung bergerak cepat ketika melihat tubuh Ever yang meluruh begitu saja dan nyaris jatuh dari tepi atap gedung, kalau Demon telat sedetik saja untuk menangkap tubuhnya.
***
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah ventilasi jendela kamar. Ever harus menyipitkan matanya dan mulai beradaptasi dengan keadaan. Setelah bisa menyesuaikan penglihatannya, Ever lantas melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
Ini dimana? Bukannya semalam gue ada di atap gedung? Kenapa sekarang ….
Pertanyaan dalam benaknya terhenti ketika dia merasakan sesuatu yang berat menindih lengannya. Gadis itu kemudian menoleh ke samping dan mendapati Demon tengah tertidur di atas tangannya. Tangan laki-laki itu bahkan menggenggam erat tangannya. Entah kenapa hal itu membuat jantung Ever berdegup kencang. Rasa nyaman langsung menyerbunya. Keberadaan laki-laki ini semakin lama membuat Ever semakin tenang.
“Demon …,” panggil gadis itu pelan. Diguncangnya tubuh Demon dengan sebelah tangannya yang bebas.
Demon mengerang kecil. Detik berikutnya, laki-laki itu langsung menegakan tubuh dan menatap Ever lekat-lekat.
“Apa!? Ada apa!?” serunya keras. Kepalanya berputar ke segala arah dengan waspada. “Lo nggak apa-apa, kan!?”
Ever tersenyum, nyaris tertawa melihat kelakuan Demon.
“Gue nggak pa-pa, kok,” jawab Ever langsung. Kemudian, wajahnya mulai merona. “Mmm, bisa nggak … lo lepasin tangan gue?” tanya gadis itu pelan.
Demon menaikan satu alisnya dan langsung mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ever. Dengan cepat, laki-laki itu langsung melepaskan genggamannya.
“Sorry …. Gue nggak sengaja,” ucap laki-laki itu sedikit grogi. Demon berdeham sejenak untuk menetralisir keadaan yang mulai terasa canggung. “Gimana keadaan lo pagi ini?”
“Baik,” balas gadis itu, “kenapa gue bisa di dalam kamar?”
Melihat senyum yang mulai terbit di bibir Demon, Ever tahu bahwa dia harus mengganti atau menambahkan sedikit kalimat yang diucapkannya barusan. “Maksud gue, semalam kan gue—kita—ada di atap gedung. Dan gue nggak ingat gue jalan ke sini ….”
“Lo pingsan semalam, nggak ingat?” tanya Demon.
Pingsan? Ever berpikir dan berusaha mengingat-ingat. Apa benar dia pingsan semalam? Sepertinya begitu, karena dia ingat sebelum Demon berdiri tepat di sampingnya, dia sudah merasa sedikit pusing.
Sebagai jawaban, Ever hanya mengangkat bahu tak acuh.
“Elo itu emang benar-benar udah mengganggu hidup gue … Evera Gracia …,” kata Demon lembut, “apa lo nggak tau seberapa cemasnya gue semalam ketika ngeliat lo jatuh pingsan?”
Baru saja Ever akan membuka mulut untuk membalas ucapan Demon, ketika tiba-tiba sesuatu berkelebat dengan cepat di otaknya. Ever terdiam. Sesuatu itu terus berlarian di dalam benaknya. Saling mengejar satu sama lain. Kali ini diikuti dengan berbagai macam suara. Suara-suara yang saling mendahului satu sama lain.
Elo itu emang benar-benar udah mengganggu hidup gue … Evera Gracia! Habis ini, gue harap elo siap menerima semua mimpi buruk lo. Hadiah spesial gue untuk lo, karena lo udah mengacaukan kehidupan gue!
Makasih atas bantuannya.
Jangan ge-er! Jangan dikira gue sudi nolongin lo, nggak sama sekali! Gue kan udah peringatin ke elo, jangan pernah ganggu gue atau hidup lo gue bikin kayak di neraka …
T—tapi kan, gue gak ngegangggu elo. Gue kan gak tau kalau ini bakalan kejadian … kalau elo merasa terganggu, kenapa lo nolongin gue? Kenapa elo gak pergi aja, dan ngebiarin gue ‘diabisin’ sama berandalan itu?
Ever merasa kepalanya terasa berat. Rasa sakit itu begitu hebat, sampai-sampai Ever harus meringis dan menahan tangis. Melihat itu, Demon mencengkram kedua bahu gadis itu dengan kuat.
“Ever? Lo kenapa?”
Tak ada sahutan. Gadis itu hanya tetap meremas kepalanya sambil mengerang pelan. Air mata bahkan kini sudah mengalir di wajah gadis itu.
“EVER!?” seru Demon keras sambil mengguncang bahu gadis itu, “ELO KENAPA!?”
Ever tersentak dan berhenti mengerang. Gadis itu menatap laki-laki itu dengan wajah yang pucat. Di depannya, Demon menatap sosok Ever dengan cemas.
Untuk beberapa saat yang lalu, Ever merasakan sakit yang luar biasa pada kepalanya. Dan ketika Demon mengguncang tubuhnya dan menyerukan namanya, Ever merasa tenang. Rasa sakit itu menguap entah kemana. Kehangatan menyeruak masuk dalam tubuhnya.
Aneh …. Ini benar-benar aneh!
“Lo nggak pa-pa?” tanya laki-laki itu sekali lagi. Kali ini nada suaranya lebih terkontrol dan lebih tenang.
Ever mengangguk kecil. Baru saja Demon akan mengulurkan tangan untuk memeluk gadis itu, mendadak pintu kamar Ever terbuka. Di sana muncul sosok Titan dan Frazio yang melongo ketika melihat perlakuan Demon pada Ever.
“Demon! Lo curang banget sih nyolong-nyolong start!” seru Frazio berang yang hanya dibalas dengan senyuman khas milik Demon.
***
Hari ini, tepat tiga hari semenjak Ever keluar dari rumah sakit dan kembali kepada aktivitas gadis itu sehari-hari. Titan, Frazio dan Demon berusaha memberi tahu teman-teman sekelas mereka dan guru-guru tentang keadaan yang sedang dialami oleh Ever. Mereka semua memaklumi dan berjanji untuk membantu gadis itu sebisa mungkin.
Ever sendiri merasa senang dengan perlakuan teman-temannya yang sangat memperhatikan dirinya.
Namun … ada yang mengusik pikirannya.
Selama di sekolah, Demon tidak henti-hentinya mengawasi dirinya. Ever bisa merasakan ketika laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Bagaimana gerak-geriknya diawasi oleh laki-laki itu.
“Akhirnyaaaa …. Bel sekolah bunyi juga,” ucap Titan senang. Ever hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah sahabatnya itu. “Pulang bareng, Ev?”
Ever menggeleng. “Gue mau pergi dulu, ada urusan ….”
Raut wajah Titan kontan berubah cemas. “Ev, lo kan masih ….”
“Gue nggak pa-pa kok, Tan,” potong Ever cepat. “Gue bisa jaga diri, lo tenang aja ….”
Titan tidak membalas ucapan Ever. Gadis itu hanya mengangguk pelan. Dia yakin sahabatnya itu pasti bisa menjaga diri, seperti ucapannya barusan.
Ever dan Titan berpisah di gerbang sekolah. Ever sendiri tidak tahu kemana pastinya tempat yang akan ditujunya. Dia hanya mengikuti kata hati dan langkah kakinya saja.
Baru beberapa meter gadis itu berjalan, Ever merasa ada yang mengikuti. Gadis itu berusaha menajamkan telinganya. Benar! Ada yang mengikutinya!
Ever mulai was-was. Gadis itu mulai mempercepat laju langkah kakinya. Sesekali dia melirik ke belakang untuk mengetahui siapa orang yang sedang berjalan di belakangnya, namun tidak berhasil. Ever menelan ludah dengan susah payah. Rasa takut mulai menghinggapinya.
Langkah Ever kini sudah setengah berlari. Peluh mulai menetes di dahi dan pelipisnya. Ketika kemudian dia akan berbelok ke kanan, lengan gadis itu ditarik dengan kencang dan detik itu juga Ever menjerit tertahan.
“Ini gue!”
Satu suara bernada tegas itu membuat Ever terkejut. Gadis itu membuka matanya yang dia pejamkan beberapa saat lalu, dan terperangah.
“Demon?”
Demon mendesah keras dan melepaskan cengkraman tangannya di lengan gadis itu.
“Lo ngapain di sini?” tanya Ever kesal. Gadis itu mengelus-elus dadanya yang bergemuruh hebat.
“Lo sendiri ngapain di sini?” Demon balas bertanya. “Kenapa lo nggak langsung pulang ke rumah? Lo kan belum sehat betul!”
Ever mendengus.
“Kenapa sih lo ngurusin gue? Bokap-nyokap gue aja nggak sampai kayak tingkah lo gini. Sampai nguntit gue segala! Dengar ya Demon, gue bukan anak kecil dan lo juga bukan siapa-siapanya gue! Lo nggak berhak ngatur gue dan ngawasin gue seolah-olah gue ini buronan polisi! Gue capek ya diperlakukan seperti ini terus-menerus! Jangan dikira gue nggak tau kalau selama di sekolah lo selalu ngawasin gue!”
Ever mengatur napasnya yang tidak terkontrol karena kehabisan napas setelah tadi berseru gila-gilaan untuk mengeluarkan semua unek-uneknya mengenai tingkah Demon beberapa hari terakhir ini. Sementara itu, Demon hanya tersenyum kecil, senyum yang sudah menjadi senyum khas-nya, kemudian melangkah mendekati Ever.
Ever yang melihat itu, langsung mengambil langkah mundur. Namun sayang, langkah gadis itu harus terhenti akibat berdirinya dinding kokoh di belakangnya. Sebenarnya dia bisa saja berlari ke samping, namun gerakan Demon lebih cepat lagi. Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya, mengurung tubuh Ever dengan tubuhnya.
Ever berusaha menentang Demon. Tatap mata laki-laki itu menyorotkan ketegasan dan ketajaman, namun juga menyiratkan rasa rindu dan kelembutan serta kehangatan. Ever bisa merasakan hal itu. Dan itu yang membuat jantung Ever mendadak berdegup lebih cepat dari yang seharusnya.
“Evera Gracia … lo udah bermain dengan orang yang salah!”
Ever mengerutkan keningnya. Gadis itu menahan napas ketika melihat Demon memajukan wajahnya sehingga gadis itu sekarang bisa merasakan hangat napas laki-laki itu.
“Ma … maksud lo apa?”
“Gue akan buat lo jatuh cinta lagi sama gue untuk yang kedua kalinya! Dan kali ini, lo nggak akan bisa menghindar dan gue nggak akan melepaskan elo lagi untuk selamanya!”
***