10 Tahun Yang lalu
Tidak ada yang istimewa dariku, kecuali seorang pengangguran miskin yang bodoh, dan tidak terpakai. Setidaknya, itulah yang sering aku dengar dari orang-orang mengenai pendapat mereka, jika di tanya siapa itu Rinaldy.
“Aldy, kamu gak ketemuan sama Mawar?”
Harry yang kelihatannya baru selesai kuliah, datang dan menghampiriku. Senyuman cerahnya selalu saja sama, tidak berbeda sekalipun aku tahu dia sedang ada masalah sidang hari ini.
“Gak, paling-paling dia mau minta ditemani ke mall lagi, cewek kan gitu?”
Mendengar jawabanku yang mungkin selalu saja sama, membuat Harry terkekeh lebar. Tanganku berhasil menangkap minuman kaleng yang dari Harry.
“Thank’s, jadi gimana sidangmu, hancur lagi?”
“Jangan tanyakan hal itu, Dy. Aku bisa pusing jika kau mengungkit masalah itu, kau sendiri bagaimana? Sudah 1 tahun lulus, tapi tidak juga dapat kerja. Mau makan apa Mawar nanti?”
“Ayolah, Mawar punya pekerjaan, dan aku bisa bergantung hidup dengannya. Setidaknya, sampai nanti ada orang yang bersedia mempekerjakanku. Anyway, minggu depan ada turnamen gaming, apa kau ikut dengan teamku?”
“Seharusnya kau malu, Aldy. Aku yakin jika tidak lama lagi, Mawar akan datang dan mencampakanmu. Tidak ada gadis yang ingin pacarnya seorang pengangguran. Kau bisa melihatku, tidakkah cukup jelas kenapa Hanum memutuskanku? Jelas, karena aku tidak sekaya kekasihnya saat ini!”
“Hanum memutuskanmu? Bukankah gadis itu…kenapa kau tidak memberitahuku?”
Tidak ada jawaban lagi dari Harry. Temanku itu sudah terhanyut dalam gadget di tangannya, dan aku tahu, itu pertanda jika dia tidak lagi ingin di ganggu. Menatap jam di tembok, aku lekas beranjak dan mengambil jaket denim hitamku.
Hari ini aku sedikit senang, mengingat jika ini adalah hari yang istimewa, dan juga Mawar mengajakku bertemu.
“Kau mau pergi?”
“Ya, aku akan berkencan hari ini, jangan lupa untuk mengabari ibuku jika kirimannya sudah sampai.”
“Hey, dia ibumu, kenapa aku yang harus…Rinaldy. Dasar teman sialan, tidak tahu diri!”
Teriakan Harry masih terdengar hingga aku menghilang di balik pagar yang memisahkan kontrakan kami dengan jalan besar. Hari sudah mulai malam, dan jalanan seperti biasanya, dipenuhi dengan orang-orang yang baru pulang dari aktivitas mereka.
Jalan Veteran nomor 45, dekat dengan gerai fast food, dan seharusnya Mawar sudah tiba di sini. Aku sudah menunggu selama 30 menit, dan gadis itu tak kunjung datang. Hujan sepertinya tidak lama lagi akan datang.
Dan pesanku juga tidak di balas olehnya.
Ketika berbalik, aku tersenyum legah saat menatap siluet gadis dengan baju rapi sedang berjalan ke arahku dengan terburu-buru. Mawar kini berdiri tepat di depanku, namun tidak seperti biasa. Dia tidak tersenyum.
“Kau lelah? Ingin makan di restoran, atau makan di gerai fast food saja, War? Atau…”
“Aku tidak lapar, Aldy!”
Jawaban itu ketus. Aku berpikir-pikir lagi kesalahan apa yang aku perbuat kali ini. Tapi rasanya, 2 hari lalu, saat kami jalan bersama semua baik-baik saja. Tidak ada yang merasa kurang enak atau apapun itu, yang mengarah pada kondisi saat ini.
Atau, apa Mawar tengah datang bulan? Tapi kan aturannya dia datang bulan 1 minggu lagi, tidak hari ini. Apa mungkin dia adalah masalah di kantornya?”
Tanganku hampir saja meraih tangannya, namun Mawar lebih dulu mengacuhkannya. Kedua tangannya kini terlipat di depan d**a, dan seolah mengatakan dia tidak ingin disentuh olehku. Okey, ini mungkin terlihat serius dari apa yang aku pikirkan sebelumnya.
“Kenapa hmm? Apa kau ada masalah hari ini?”
“Aldy, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Ini serius, bukan main-main!”
Aku tersenyum, wajah Mawar sangat lucu. Membuatku ingin memeluk gadisku itu, dan berteriak sambil mengatakan pada orang-orang di sekitar jika gadis yang tengah berdiri di depanku ini adalah, milikku.
“Baiklah, jika kamu memang tidak ingin bercerita, apa yang ingin kau katakan padaku?”
Dua kali Mawar menolak aku untuk menggenggam tangannya. Wajahnya terlihat bersalah, dan penuh dengan keraguan. Kini, aku mulai merasa jika ada sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Mawar tidak pernah bertingkah aneh seperti ini, dan sekali dia melakukanya, aku benar-benar merasa kesal, dan bersiap untuk kemungkinan terburuk yang mungkin akan dia katakan.
“Aku…aku ingin bertanya, sampai kapan kamu akan menjadi pengangguran dan mengharapkan uang dari bermain gamemu itu, Aldy? Orang tuaku sudah mempertanyakan hal ini sebelumnya, dan aku malu mengakui jika pengangguran rendah sepertimu adalah pacarku. Aku tidak kuat terus di olok oleh saudaraku yang lain!”
Oh…alasan itu. Aku bisa mengerti maksud Mawar. Latar belakang kami yang beda jauh, aku bagaikan tanah, dan dia bagaikan langit yang hanya bisa di pandang. Mana mungkin aku yang tidak punya apa-apa ini berani untuk mendekati keluarganya?
“Aku tahu keresahanmu, Mawar. Tapi easy going saja, aku juga masih baru lulus kuliah, dan setidaknya, untuk saat ini, aku masih punya waktu mencari pekerjaan. Lagipula, aku tidak tertarik bekerja di kantor seperti yang biasa orang lakukan, aku hanya ingin membuat bisnisku sendiri!”
“Bisnis apa, Aldy? Sejak kita berpacaran hingga saat ini, kau selalu saja mengatakan hal yang sama. Aku sudah muak denganmu!”
“Muak? Apa karena aku tidak bisa membeli barang branded untukmu, Mawar? Yang benar saja, aku pasti bisa membeli tokonya sekalian jika aku sudah kaya nantinya!”
Wajah Mawar terlihat tidak terima dengan pembelaanku barusan. Tatapannya saat ini bahkan terkesan merendahkan. Aku berusaha untuk sabar, dan menahan rasa malu, sebab kami berdua sudah menjadi konsumsi publik. Bahkan, ada yang terang-terangan merekam kami berdua.
Persetan dengan mereka, aku hendak meraih tangan Mawar, dan lagi-lagi dia menepisnya. Kali ini, aku benar-benar tidak bisa menahan amarahku.
“Sebenarnya, apa yang kau inginkan, Mawar?”
“Aku ingin kita putus, aku tidak pantas untuk lelaki pengangguran sepertimu yang selalu membual dengan segala janji-janji palsumu. Lagipula, aku sudah 24 tahun, dan sudah selayaknya untuk menikah. Aku yakin jika kau tidak berniat untuk menikahiku nantinya!”
Mendengar kata menikah, mendadak membuatku terdiam. Aku tidak lagi berusaha untuk menahan Wulan atau semacamnya. Bahkan, jika bisa jujur, aku tidak terlalu terkejut saat dia mengatakan ingin putus dariku. Sebab, aku tahu, selama ini Mawar memiliki lelaki lain.
“Well…mungkin lelaki yang sedang duduk di mobil pajeromu itu siap untuk memberimu makan, Mawar!”
Mawar terkejut. Apa karena aku tahu dia berselingkuh, atau karena aku tidak terkejut atau memohon agar mempertahankan hubungan kami? What ever! Aku bahkan tidak peduli apapun yang dia pikirkan.
“Kamu gak memohon gitu?”
“Memohon? Apakah jika aku memohon akan mengubah keadaan, Mawar?”
“Ternyata benar kata orang tuaku selama ini, lelaki pengangguran sepertimu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan apapun. Aku akan pergi, dan ingat jika hubungan kita sudah sampai di sini, Adly. Kau akan selalu saja menjadi pengangguran bodoh yang hidup dalam bualanmu saja!”
Mawar mengenakan kacamatanya, lalu menaiki mobil lelaki itu. Aku tersenyum sumbang, dan tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Bahkan sampai saat Mawar dan lelakinya itu menghilang dari hadapanku, aku masih berdiri di tempat tadi.
Hujan mulai menetes, dan semua orang berlarian dari trotoar jalan, meneduh dan melindungi mereka dari hujan. Ini…adalah hari terburuk yang pernah aku lewati. Tepat saat umurku bertambah, dan tidak seorangpun yang memberiku sebuah ucapan.
***
Sehabis pulang, aku langsung memutuskan untuk memasuki ruangan kecil yang masih gelap. Setelah lulus kuliah beberapa bulan lalu, ruangan kamar kecil inilah yang selalu menjadi tempatku untuk berpulang.
“Kau sudah pulang? Aku membelimu kue tadi, selamat bertambah usia!”
Tersentak saat lampu tiba-tiba menyala, aku mengalihkan perhatian dan mendapati Harry yang duduk di kursi meja belajarku. Dan sepotong kue yang ada di tangannya.
“Kau mengingat hari ini?”
“Ayolah, ada apa dengan wajahmu itu? Itu bukan wajah-wajah senang sehabis pulang ngedate, saudara!”
“Sudahlah, lupakan masalah itu untuk hari ini. Aku ingin mendinginkan kepalaku dulu!”
“Tunggu dulu, setidaknya tiup lilinnya dulu, Aldy. Kau harus bersyukur dengan umurmu yang bertambah, bagaimana jika nyamuk mengambil nyawamu?”
Ucapan Harry selalu saja absurd, namun membuatku menarik kedua sudut bibirku. Malam itu, aku dan Harry seperti biasa, menghabiskan waktu dengan komputer yang setia menemani. Tentunya setelah acara perayaan ulang tahunku.
Kode-kode aljabar yang terus berjalan di layar komputerku sesekali membuat mata lelah juga. Tapi, melihat Harry yang juga berusaha untuk melakukan yang terbaik, membuatku tidak menyerah.
“Apa yang akan kita lakukan untuk mendesain gambarnya, Aldy? Kita membutuhkan seseorang untuk membuat visualnya!”
“Apa kau tidak mengenal siapapun? Aku tidak punya teman yang berbakat dalam hal itu!”
“Bagaimana jika kau membuka lowongan pekerjaan saja, aku yakin akan banyak yang berminat nantinya!”
“Itu artinya, kau harus rela makan satu kali sehari, Harry. Ayolah, aku akan mencoba untuk membuat visualnya, tidak perlu menggaji orang!”
“Itu tidak akan berhasil, kau tidak punya bakat untuk menggambar, Aldy!”
Tanganku berhenti mengetik toots-toots keyboard dan membalikkan kursi. Harry benar, aku tidak punya bakat untuk menggambar, terlebih menggunakan software yang sudah sangat canggih. Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, dan kami masih tetap bekerja di depan layar komputer.
Harry sesekali sudah menguap.
“Apa kau kuliah besok?”
“Tidak, aku akan melanjutkannya bulan depan. Kita harus fokus pada pengembangan game ini dulu, Aldy. Jika tidak, maka aku juga akan menjadi pengangguran, dan tidak bisa makan-makanan yang enak!”
“Kita tidak akan menjadi pengangguran. Asal kau tetap sabar untuk membantuku saja, Harry. Semuanya pasti akan berjalan dengan mudah, aku yakin hal itu!”
“Sudahlah, kembali bekerja agar semuanya tidak hanya menjadi angan-angan kita saja. Ngomong-ngomong, aku ada kenalan adik tingkat, paten dan mungkin bisa diajak kerjasama. Mungkin besok aku bakal ajakin dia ngomong dulu, Aldy, siapa tahu dia mau ikut tapi dengan gaji apa adanya!”
“Kalo dia mau, ajak aja gapapa!”