Chapter 1

2533 Kata
Keberadan virus mahkota terus menghantui selama 2 tahun belakangan, terus memakan korban tanpa melihat umur dan status. Pasukan garda terdepan bekerja sekuat tenaga, meninggalkan keluarga dan rumah yang nyaman. Demi melawan virus yang semakin lama semakin merajalela. Pasien datang silih berganti, ada yang berhasil pulang ke rumah, ada yang tidak. Keadaan dunia kacau balau. Virus ini datang begitu tiba- tiba, menyebar dengan sangat cepat dan memakan korban dengan cepat pula. Kadang, virus ini tidak bisa di deteksi dengan kasat mata, yang menyebabkan semakin cepatnya penyebaran. Setahun setelah virus ini melanda, akhirnya para ilmuwan berhasil menciptakan vaksin untuk menangkal virus. Vaksin- vaksin ini di sebarkan ke seluruh dunia, diberikan secara gratis kepada para penduduk. Vaksin terus berjalan selama hampir satu tahun, hingga di penghujung tahun 2021, setelah lockdown di adakan serentak di seluruh kota, pemerintah mulai mengumumkan sesuatu. ".... Dengan ini, kami menyatakan bahwa pasien terakhir virus mahkota berhasil sembuh dan pulang ke rumah. Indonesia sudah bebas dari virus mahkota ...." Sorak sorai terdengar di seluruh penjuru. Mereka melepaskan masker yang mereka pakai dan melemparnya ke langit. Semua bahagia. Akhirnya, tidak ada lagi virus berbahaya yang menghantui! Kita bebas! *** Sudah 20 tahun berlalu sejak pandemi virus mahkota. Ekonomi dunia perlahan mulai bangkit, begitu pula ekonomi Indonesia. Semakin lama semakin membaik. Sedikit demi sedikit warga mulai memiliki kesadaran untuk mendorong pemerintah menjadi lebih maju, sehingga kasus korupsi perlahan mulai semakin menurun. Hal yang dulu hanya di anggap mimpi oleh bangsa ini, akhirnya bisa terwujud. Kau tahu, kini Indonesia berhasil menjadi salah satu Negara berkembang yang sudah maju. Maju dalam banyak hal, tentunya. Pendidikan sudah mulai merata di berbagai daerah. Semua sekolah menjadi sekolah negeri, kecuali sekolah internasional yang di buat oleh yayasan asing. Tapi kini semua sekolah mewajibkan system English day dan tidak ada lagi sistem pendidikan yang monoton. Mereka bisa memilih mapel kesukaan, hampir sama dengan sistem perkuliahan. Kini juga semua universitas negeri gratis, dengan seleksi yang semakin ketat tentunya. ".... Sebentar lagi saatnya kita merayakan 'nyepian mahkota'. Arus mudik di jalan tol semakin ramai dengan para pemudik yang hendak pulang ke kampung halaman, merayakan hari nyepi ini bersama keluarga di rumah ..." Tv board di jalan raya menayangkan berita tentang lalu lintas. Kau tahu tidak, sebentar lagi kami akan merayakan nyepi. Nyepi yang akan di rayakan oleh seluruh umat agama. Nyepi apa itu? Itu adalah nyepian mahkota, yaitu hari untuk merayakan bebasnya kami dari virus mahkota yang melanda dunia 20 tahun lalu. Sebenarnya perayaan ini di rayakan di seluruh dunia, sesuai dengan hari dimana mereka bebas dari virus itu. Untuk di Indonesia sendiri, perayaan ini diadakan 2 minggu terakhir di bulan Desember. Dua hari sebelum perayaan, seluruh instansi dan sekolah di liburkan dan mereka di haruskan untuk berkumpul di rumah bersama keluarga besar. Saat hari nyepian mahkota, ya mereka harus menyepi. Seperti perayaan nyepi pada umumnya, berdiam diri di rumah dengan listrik mati. Damai. Tidak ada satu pun yang boleh keluar rumah. Hal ini di lakukan untuk mengingat masa dimana awal virus melanda, dimana semuanya berada di rumah dan masih takut untuk keluar rumah. Mengingat masa lockdown. Barulah saat malam hari, semuanya keluar dari rumah dan menyalakan kembang api, lalu berpesta bersama para tetangga. Pesta ini bisa di adakan selama berhari- hari, bahkan hingga seminggu. Seminggu setelah itu, mereka kembali ke tempat perantauan masing- masing dan kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Aku mengayuh sepeda listriknya lebih kencang. Sebentar lagi bimbel di sekolah akan di mulai. Sudah 2x aku bolos bimbel, kalau ketiga kalinya dia absen, maka orangtuanya akan di panggil ke sekolah. Ini gawat, kalau sampai papa tahu. Aku melesat di antara mobil- mobil dan motor yang ada. Ia menyalip sebisanya. Suara klakson terdengar silih berganti. Berbagai macam sumpah serapah keluar dari para pengemudi, membentak Thea. "Woi gila lu ya?!" "Woi selow lah!" Berbagai anjing babi juga keluar dari mulut mereka. Aku tidak peduli, ia langsung melesat dengan kencang. Akhirnya ia melihat pintu gerbang sekolahnya. Pintu gerbangnya perlahan tertutup otomatis. "JANGAN TUTUP DULUU!!" Aku berteriak. Tapi, terlambat! Pintu gerbang tertutup dan terkunci begitu saja. Sekolah sudah menggunakan pintu gerbang otomatis, yang akan langsung menutup begitu jam belajar mulai. Untuk membuka pintu, siswa dan para guru perlu ID card untuk membukanya. Nah masalahnya, ID card ini mencatat seberapa lama dan seberapa sering kamu terlambat, beserta hukuman apa yang bisa di berikan. Aku tidak ingin menggunakan ID Card ini. Sepertinya sudah lebih 3x aku menggunakan ID card, tinggal menunggu saja pak Mun, guru BP melihat laporan pintu gerbang dan memanggilku. Aku celingak- celinguk kesana kemari. Ia mengendarai sepeda keliling sekolah. "Kalau gak salah, sebelah sini ada ..." Aku melihat sekelilingnya. Tentu saja pagar sekolahnya bukan tipe yang bisa di panjat begitu saja, karena selalu ada perangkap untuk mereka yang telat. Karena itu, Aku berusaha mutar otak untuk bisa masuk kelas tanpa terlihat ia terlambat. Aku berusaha menghubungi Sheila, sahabatnya, dengan communicator. Belum tampak ada balasan dari Sheila. "Sheila mana lu iih, bales napa sih, butuh ini!" Aku menggerutu. Akhirnya, sebuah notif masuk. Pesan dari Sheila. Aku langsung membuka dan tampaklah hologram Sheila di sana. "Teh, lu dimana? Ini bimbel belum mulai, pak Deno katanya telat karena ada urusan di kantor kepsek. Ih lu buruan masuk!" "Heh b**o! Ini juga lagi usaha masuk, tapi kejebak nih. Pintu gerbang keburu di tutup. Mana katanya yang bisa masuk ke dalem ga pakek kenapa jebakan betmen yang lu bilang?" Aku memperlihatkan sekitarnya. Tidak ada sesuatu yang tampak mencurigakan di sini ... "Itu Teh! Kamu liat tanaman rambat di dinding sana? Nah itu! Di balik itu ada pintu kecil, bisalah masuknya merayap" Sheila menunjuk ke depan, tepat di tanaman rambat yang menutupi dinding. Aku mendekati dinding itu dan menyibak tanaman rambat yang ada. Oh, benar. Ternyata ada sebuah pintu kecil, amat kecil hingga harus merangkak untuk masuknya. "Oke Shei, thank you. Tunggu aku di kelas ya!" Aku langsung memasukkan communicator yang kecil itu ke dalam kantong roknya. Aku melipat sepeda listrik hingga menjadi ransel, lalu masuk melalui pintu kecil itu. Itu mudah saja, dengan badannya yang langsing. Aku mengeluarkan sepedanya, lalu menatap jamnya. "Oke Buddy, parkir!" Otomatis, sepedaku langsung jalan menuju parkiran. Sepeda ini sudah di rancang khusus untuk bisa di lipat menjadi ransel, dan fitur tambahan untuk parkir sendiri. Aku buru- buru masuk ke dalam lift untuk pergi ke kelasnya. Aku masuk ke kelas melalui jendela, akan berabe jika masuk lewat pintu depan, karena pintu kelas juga membutuhkan ID Card untuk membukanya. "Akhirnya, sampai juga lu,"sapa Sheila. Aku langsung menaruh tas di kursi sebelah Sheila. Napasku engap, mengingat aku lari dari lapangan sampai ke lift dan kelas. "Untung aja pak Deno belum masuk. Kebiasaan sih lu bolos, nanti ketauan papa nangis,"ejek Sheila. Aku menatap Sheila tajam. Sheila nyengir. "Sori deh, lu haus kan? Masih ada sisa air dikit nih, mau?"Tawar Sheila. Aku mengangguk. Sheila mengeluarkan sebuah kotak dan memberikan edible water kepadaku. Edible water adalah air yang terbungksu dalam edible film, tampak seperti tetesan embun yang besar. Edible film ini adalah bungkusan yang bisa di konsumsi. Dulu, hal ini masih sangat tabu. Tapi setelah masyarakat mulai sadar akan bahayanya sampah plastik, jadilah edible film ini mulai banyak di kembangkan. Aku mengambil water edible yang paling besar dan langsung menelannya bulat- bulat. Water edible ini langsung pecah begitu aku memasukannya ke dalam mulut. Aku terbatuk karena jumlah air yang masuk begitu banyak. "Ih, pelan- pelan makanya. Untung gak muncrat kan". Sheila menepuk- nepuk punggungku pelan. "Udah? Gak apa?" Aku mengangguk. "It's okay Shei, it's okay,"ujarku. "Selamat pagi anak- anak!"Sapa pak Deno di depan kelas. Sheila langsung duduk kembali ke bangkunya. Pak Deno mengedarkan pandangannya ke seisi kelas, lalu mengangguk. "Bagus, sepertinya hari ini yang bolos juga masuk. Emang harus di laporin dulu,"sindir pak Deno. Aku mengernyitkan mata. Dih, emang deh pak Deno ini, cepu banget. "Oke kalau begitu mari kita cek absen dulu ya..." Pak Deno mengecek tabletnya. Mampus. Ketahuan deh kalau aku telat nih. Absen ini di cek dari ID card, dan aku tidak masuk lewat pintu dan menempelkan ID card. "Karenina ..." Karenina mengangkat tangannya. "Geisha ..." Satu persatu anak- anak mulai di panggil oleh pak Deno. Aku menggaruk- garuk kepalaku yang tak gatal. Duh, mampus deh. Pak Deno menaruh kembali tabletnya di meja. "Sepertinya ada anak yang telat jadi nggak terdaftar di absen ini yaa..."Ujar pak Deno. Ia melirikku. Aku memalingkan muka. Haduh, mampus deh. "Althea."Panggil beliau. Aku nyengir. "Iya pak?" Pak Deno menghela napas. Ia mengelengkan kepalanya. "Sudah ya, kamu tahu kan salahmu apa? Sekarang kamu bisa keluar dan pergi ke ruang Kepala Sekolah,"perintah beliau. Aku mengangguk. Aku bangkit dan segera keluar kelas. *** Aku berdiri di depan kantor Kepala Sekolah. Aku tidak takut. Kayaknya ini sudah ketiga kalinya aku ke ruang Kepala Sekolah. Kedua kali karena bermasalah, menghack akses komputer di sekolah dan ketahuan bolos. Sekalinya juga sempat masuk karena mengambil piagam penghargaan sebagai first winner coding teens international. Ah, padahal baru bulan lalu di puji oleh pak Kepala Sekolah. "Sedang apa kamu di sana?"Tanya seseorang di belakangku. Suaranya amat familiar. Aku menengok ke belakang dan melihat papa yang melipat tangannya di d**a. Wajahnya mungkin tersenyum, tapi aura marah mulai menyebar dari dalam tubuhnya. Aku nyengir lebar melihat papa. "Hehe, hehe pa hehe ..." Aku nyengir lebar. Papa menatapku lamat- lamat. "Apalagi sekarang?"Tanya papa. "Cuma nggak absen kok pah, hehe ..." "Kok bisa nggak absen tapi kamu ada di kelas?" "Eng .... Teh ... Teh tadi lewat jendela ..." Papa menghela napas. Kayaknya papa udah capek melihat anaknya. "Apa perlu nanti papa pasang juga kunci ID di jendela?"Gumam papa. Aku langsung mengeleng kencang. "Jangan pa, nanti semisal ada kebakaran di sekolah gimana? Kami bisa kabur lewat mana, kan aliran listrik pasti putus kan? Papa mau kami semua terjebak di dalam?" Aku memberikan statment ngawur. Papa geleng-geleng kepala. "Padahal papa kemari karena ada perlu lain dengan pak Aqsha, eh malah jadi ngurus kesalahanmu juga,"ujar papa. "Oh, Pak Dion sudah datang! Selamat datang pak, Mari masuk!" Pak Aqsha menyambut papa ramah. " loh, nak Althea sedang apa di sini?" Pak Aqsha bertanya. " Terima kasih Pak. Anak saya ada disini karena diminta untuk menemui bapak. Ya ketahuan terlambat dan masuk lewat jendela." Papa menjelaskan. Aku menyikut papa. " ada-ada saja kelakuan anak muda. Ya sudah, kamu kembali saja dulu ke kelas. Saya masih ada perlu dengan papamu," perintah Pak Aksa. Aku bernafas lega. Yah, seenggaknya untuk saat ini masih aman. " Baik Pak. Saya pamit dulu. Mari Pak." Aku pamit dan langsung menuju kelas. **** Siapa bilang aku balik ke kelas? Ternyata kantin lebih menggoda. Akhirnya, aku mampir dulu ke kantin. Menikmati segelas es teh manis dan sepiring siomay. "Mbak Teh minum teh,"goda buk Sum, penjual di kantin. Aku tertawa kecil. "Mbak gak masuk ke kelas? Kan ini jam pelajaran,"tanya buk Sum. "Bentar buk, isi tenaga dulu. Kalau perut keroncongan mana konsen belajarnya,"jawabku ngeles. Buk Sum geleng-geleng kepala. Aku selonjoran di kantin, menikmati angin sepoi-sepoi. Tapi aku langsung bangkit begitu melihat pak Deno dari kejauhan. "Buk Sum, Teh bayarnya kayak biasa ya. Tolong di beresin ya buk, nanti saya ketauan ke kantin sama pak Deno. Makasih buk Sum." Aku pamit dan langsung mengambil langkah seribu menuju kelas. "Lu di omelin ya sama pak Aqsha? Lama bener masuk ke kelasnya,"tanya Sheila. "Kagak. Malah di suruh balik kelas duluan. Tapi biasalah, ngetem dulu di kantin,"jawabku santai. Sheila geleng-geleng kepala. "Tadi aku lihat papamu lewat. Papamu beneran di panggil?"Tanyanya lagi. "Oh, papa sih katanya emang lagi ada urusan sama pak Aqsha. Kebetulan itu,"jawabku. Baru saja aku selonjoran di kursi, pintu kelas terbuka. Pak Aqsha nampak di muka pintu. "Althea, kita masih ada urusan. Temui bapak sekarang di kantor." **** Aku menggerutu sebal. Tadi pak Aqsha menceramahinya panjang lebar di depan papa. "Maaf pak Dion. Walaupun bapak donatur tertinggu di sekolah ini, bukan berarti saya tidak memberi hukuman pada anak bapak. Sebagai kepala sekolah saya tidak boleh pandang bulu, yang salah tetaplah salah,"ujar pak Aqsha. "Oh ya tidak apa pak. Beri saja anak saya ini hukuman. Sesekali perlu di hukum memang biar jera,"jawab papa. Jawaban papa membawaku kemari, ke halaman belakang sekolah. Aku mendapatkan hukuman kerja bakti membersihkan halaman belakang sekolah. Aku menyapu halaman belakang yang penuh dengan daun kering. "Ih papa nih, bukannya belain anaknya malah mau anaknya dapat hukuman!"Gerutuku sebal. "Ini juga sampah daun kenapa banyak banget. Kenapa ni pohon kagak di tebang aja sih, kan kalo daunnya berguguran gini bikin jorok!" "Mana bisa begitu." Terdengar suara seseorang. Aku menoleh. Pak Deno berjalan mendekatiku. "Harusnya kamu berterima kasih, kalau gaada pohon kita susah dapat oksigen,"lanjut beliau. "Udah, gausah menggerutu begitu. Kerjakan saja sampai selesai." "Iya pak,"jawabku malas. "Makanya lain kali jangan bolos." Pak Deno pergi meninggalkanku. Setelah pak Deno menjauh, aku melempar sapu. Menyebalkan! "Dih kenapa harus sapu manual sih? Kenapa ga pakai vacuum daun saja?" Aku mengomel sambil menyapu daun-daun kering ini. Sejam kemudian, semua telah rapi. Aku selesai menyapu halaman sekolah dan sudah membumi hanguskan tumpukan daun-daun kering itu. Aku berteduh di bawah pohon sambil mengibaskan baju. Matahari sangat terik siang hari ini. "Udah selesai?"Tanya pak Deno. Ia memperhatikan sekeliling dan mangut-mangut. "Baik, bagus. Sekarang kamu udah boleh balik ke kelas. Jam pelajaran udah mulai. Langsung masuk ke kelas, jangan mampir ke kantin,"perintah pak Deno. Sial, tau aja kalau aku mau mampir ke kantin. "Baik pak." **** "Udah selesai?"Tanya Shei. Aku tidak menjawab. Terlalu lelah. Aku berselonjor di kursi. "Capek? Lapar? Udah makan?"Tanya Shei beruntun. Aku mengeleng. "Nih." Shei mengeluarkan tempat bekal. Aku membukanya. Isinya seporsi nasi goreng sosis tampak menggiurkan. "Makan gih, tadi aku beli lebih. Sengaja buat kamu,"jelas Shei. Aku memeluk Shei erat. "Makasih Shei! Makasih! Lu emang paling pengertian!" "Iih udah ah, lu bauk keringat Teh! Jangan meluk-meluk gue!" Shei mendorongku. Aku melepas pelukan dan nyengir. "Udah deh buruan makan sana, sebelum guru masuk,"perintah Shei. Aku memakan nasi goreng itu dengan lahap. Akhirnya, masalah perut kosong teratasi. **** Aku tiba di rumah saat matahari mau menenggelamkan dirinya. Aku menenteng sepeda listrik dan masuk ke rumah. "Teh udah pulang,"salamku sambil melepas sepatu. "Selamat datang Althea!"Sapa sebuah suara. Aku menoleh. "Ya ampun nenek!" Aku langsung memeluk nenek. "Ya ampun! Kapan nenek sampai?"Tanyaku antusias. "Nenek tadi siang sampai kemari,"jawab mama dari dalam. "Teh, mandi terus sana. Jangan peluk nenek dulu, kamu bau keringat,"perintah mama. "Ah enggak kok, cucuku ini selalu wangi kok." Nenek mencium puncak kepalaku. "Iya ma. Teh mandi dulu ya nek, lengket banget nih." Aku menaruh tasku di sofa ruang keluarga dan mengambil handuk. "TEH TASNYA!" **** Selesai mandi, aku langsung ke ruang keluarga. Sudah ada mama dan nenek di sana. "Nenek, Teh kangen!" Aku memeluk nenek. Nenek mengelus pelan rambutku. "Apalagi nenek. Makanya nenek cepet kemari, kangen sama cucu nenek." Nenek membalas pelukan. "Oh ya, itu nenek ada bawain banyak oleh-oleh. Ada di meja dapur,"ujar nenek. Aku langsung melipir ke meja dapur. Benar saja, sudah ada berbagai macam kue dan jajanan di sana. Nenek hobi masak kue, jadi beliau selalu membawa cukup banyak kue saat mampir. Apalagi saat lebaran dan natal, nenek membuat banyak kue untuk di bagikan ke tetangga sekitar dan orang di kampungnya. "Nenek memang terbaik!" Aku segera mengambil pisau dan memotong kue bolu gulung keju, lalu memakannya bulat-bulat. Tanganku menari-nari kesenangan. Hem, paling enak memang kue bolu gulung buatan nenek! Aku bukan tipe orang yang suka makan kue, tapi kalau kue buatan nenek terlalu susah untuk menolaknya. "Nek, nenek tinggal sini aja ya! Biar Teh bisa makan kue sepuasnya!" ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN