“Kayaknya pose saya aneh deh Mas, yang bener dong Mas ngarahinnya.”
Haidar tersenyum lebar, menahan diri untuk tidak memperlihatkan rasa kesalnya. Ini sudah kali kesekian ia memotret calon pengantin di depannya. Dia yakin sekali sudah mengarahkan gaya mereka dengan benar, bahkan berhasil meniru pose di foto-foto yang diajukan kliennya. Namun, tetap saja tak ada kata puas dari calon mempelainya.
“Oke kita foto ulang lagi ya Mbak,” ucap Haidar memberi tanda kepada rekan kerjanya untuk mengatur posisi para calon pengantin itu. Ia memeriksa hasil fotonya kembali, lantas menggaruk tengkuk. Kebingungan dari segi mana posisi pasangan itu terlihat aneh, padahal sudah persis dengan foto yang mereka jadikan acuan.
Suara pintu diketuk, mengalihkan atensi Haidar dari kameranya. Ia tersenyum kecil kepada kliennya sebelum membuka pintu studio, menemukan Danu sang pemilik studio yang juga temannya itu tersenyum canggung. “Maaf nih Dar, gue mau ngasih tau kalau waktu sewa lo udah habis.”
“Oh iya, maaf Bang. Gue minta waktu sekitar 10 menit lagi deh ya, belum selesai soalnya.” Haidar berucap pelan, lantas menoleh ke arah kliennya yang sudah memasang ekspresi keruh ketika mendengar perkataan Danu. “Bantuin gue ya Bang.”
Sebenarnya Danu sudah paham akan pekerjaan Haidar. Beberapa kali klien pria itu memang meminta difoto di studio miliknya, membuat Danu acap kali bertemu dengan klien yang begitu rewel akan hasil foto mereka. Jelas memberi tambahan waktu bukanlah masalah baginya, apalagi Haidar selalu membayar kelebihan waktu itu.
“Maaf banget nih Dan, tapi emang udah ada yang nyewa studio jauh hari sebelum klien lo ini. Jadi-“
“Bilangin tunggu dulu dong Mas, kita masih belum selesai disini,” sahut perempuan yang menjadi klien Haidar. Terlihat sekali ia kesal dan tak peduli akan kondisi yang disebabkan olehnya, sementara sang calon suami memilih diam saja. “Nanti kita juga bayar kok kelebihan waktunya, tenang aja.”
Danu mengusap kedua matanya, menahan diri untuk tidak melayangkan tatapan sinis ke klien Haidar yang menyebalkan itu. Tiba-tiba iba mengingat Haidar harus menghadapi kliennya selama berjam-jam. “Gue gak masalah Dar, tapi lo minta tolong ke pelanggan gue ya. Gimanapun juga, mereka udah sewa tempat jauh sebelum klien lo ini,” bisik Danu pelan.
“Oke, gue yang ngomong,” ujar Haidar setuju, meminta kliennya untuk menunggu sebentar sebelum ia mengatur permasalahan studio.
Ketika pintu studio tertutup, Haidar langsung menepuk pundak Danu seraya melemparkan senyum penuh minta maaf. Senyum yang untungnya dimengerti oleh Danu.
Langkah kakak kelasnya di SMA itu, mengantarkan Haidar ke bagian depan gedung studio. Terisi oleh banyaknya orang dan berbagai macam gaun pengantin. Dilihat dari barang dan orang-orang disana, sepertinya pengguna studio berikutnya adalah seorang model.
“Haidar, ini fotografer yang bakal pakai studio setelah lo. Namanya Pak Jaya” Danu memperkenalkan Haidar seorang bapak-bapak berkepala plontos dengan wajah ramah. Buru-buru Haidar menjabat tangan fotografer yang cukup dikenalinya sebagai fotografer handal. Diam-diam bangga pada dirinya karena bertemu sosok Pak Jaya.
“Halo, Haidar. Kamu udah selesai? Maaf kalau saya jadi minta Danu untuk cepat-cepat selesaiin kerjaan kamu,” ucap Pak Jaya, menunjukkan ekspresi sesal yang lebih cocok untuk Haidar saat ini.
“Ah iya Pak gak papa, saya yang salah juga kok.” Haidar menarik napas, seketika bingung ingin bagaimana menjelaskan kondisinya. “Begini Pak Jaya, saya boleh minta tambahan waktu selama 15 menit? Saya tau ini melanggar waktu penyewaan, tapi klien saya benar-benar susah untuk diajak kerja sama sekarang ini.”
“Waduh, gimana ya?” balas Pak Jaya sama bingungnya. Meleburkan atmosfer canggung di antara mereka dalam tawa ringan. Ia lantas memberi tanda kepada salah satu asistennya, dan berbisik sesuatu entah apa.
Asisten Pak Jaya terlihat mengangguk singkat, sebelum berlari kecil menuju sisi lain ruangan. Menghampiri deretan sofa yang Danu jadikan tempat menunggu para pelanggannya sebelum studio siap dipakai. Haidar baru menyadari ada seorang perempuan yang duduk di salah satu sofa, dengan wajah tertutupi majalah yang diangkat tinggi. Gaun modis bermotif floral yang dikenakan perempuan itu, mengingatkan Haidar akan musim semi di negara-negara 4 musim.
Meski posisinya membelakangi, Haidar dapat mendapati punggung gadis itu menjadi tegak setelah asisten Pak Jaya membelakanginya. Ia meringis, sudah dapat menerka kalau perempuan yang ia tebak adalah sang model akan keberatan untuk meluangkan waktunya sejenak. Maka ia mengalihkan wajah ke jendela besar studio. Tak sadar kalau ia melewatkan kesempatan melihat wajah sang model yang menoleh ke arahnya sekilas.
Tak lama asisten Pak Jaya kembali mendekat, dan lembar kertas yang sepertinya pembagian waktu untuk pemotretan. “Kalau 15 menit gapapa Pak, model kita juga setuju kok. Kebetulan dia nggak ada janji lain selain sama kita.”
Haidar mengepalkan tangannya, diam-diam merasa senang akan keberuntungan yang seolah memihaknya. Senyumnya lebar, lantas menjabat tangan Pak Jaya penuh rasa terima kasih. “Terima kasih Pak, saya janji 15 menit lagi kita selesai.”
Setelahnya Haidar bergegas naik menuju studionya. Meninggalkan Pak Jaya yang terkekeh pelan melihat ekspresi penuh syukur Haidar tadi. Fotografer senior itu lantas menoleh ke arah modelnya.
“Kamu beneran luang, atau mau bantuin aja?” tanya Pak Jaya, paham betul tabiat modelnya yang suka sekali bersimpati. Ia bisa mendengar suara tawa, dan lembar majalah yang dibalik.
“Dua-duanya Pak.”
***
“Yaampun capek banget.”
Kayla memasuki gedung apartemennya dengan wajah teramat lelah. Rapat terakhir sebelum acara memang selalu menguras tenaga dan pikirannya. Ia dan timnya harus memastikan tidak ada hal penting yang terlewat. Apalagi esoknya mereka harus datang paling pertama, untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Berhasil atau tidaknya pernikahan klien bergantung di tangan mereka.
Perut Kayla berbunyi, tepat setelah ia menekan tombol lift menuju lantai apartemennya. Baru sadar kalau ia belum makan, sejak jam 11 siang tadi. Itupun menyantap kue kering yang dibawa salah satu rekan kerjanya.
“Oh iya, gue belum belanja bahan makanan,” keluh Kayla, menepuk dahinya ketika menyadari kalau kulkasnya kosong. Ia hanya bisa berharap ada sebungkus mie instan di salah satu lemari penyimpanannya.
Tepat ketika pintu lift terbuka, Kayla meraih sepatu hak tinggi yang sudah ia lepaskan sejak menaiki lift. Kakinya terasa sekali pegal, karena bolak balik gedung acara dan kantor. Tolong ingatkan dia untuk mengenakan sepatu kets saja besok selama acara.
Ketika pintu unit apartemennya terbuka, Kayla disambut oleh lampu yang menyala terang serta bau khas daging yang dipanggang. Sontak tubuhnya menegak, bergegas melangkah menuju dapur. Ia langsung berseru girang, buru-buru memeluk sosok perempuan yang sedang memotong buah di konter dapurnya.
“Kay, jangan kenceng-kenceng.” Perempuan itu mengeluh, menepuk tangan Kayla yang memeluk lehernya begitu erat.
“Kok lo balik gak bilang gue sih Vin?” tanya Kayla langsung mencomot sepotong daging di piring, gerakannya sontak urung ketika tangan sang sahabat menepuk tangannya hingga potongan daging itu terlepas.
“Cuci tangan dulu.”
Omelan dari Vinka, sahabat sekaligus teman seapartemennya, membuat Kayla terkekeh pelan. Ia lantas mencuci tangannya , sebelum mencomot satu potong daging menggunakan garpu. Langsung berseru riang, karena lidahnya kembali termanjakan oleh lezatnya masakan sang sahabat. Apalagi ketika semangkuk nasi diletakkan oleh Vinka untuknya.
Vinka, sahabatnya sejak masa putih biru hingga usia Kayla menyentuh seperempat abad saat ini. Seorang model dan artis kebanggaan tanah air, setelah ia memenangkan kompetisi modelling tingkat dunia tahun lalu. Berhasil membuatnya menjadi sorotan hingga saat ini. Ia bahkan baru kembali dari sederet acara pagelaran busana yang membuat Kayla tidak melihatnya selama 3 bulan lamanya.
“Jujur sama gue, Kay. Makanan lo pasti gak sehat ya selama gue pergi?” tanya Vinka, menunjuk Kayla dengan garpu yang teracung. Kayla terkekeh pelan, lantas menggunakan sendoknya menurunkan garpu yang teracung itu. “Gimana ceritanya sih, itu kulkas kosong gak ada bahan makanan sama sekali? Emang lo gak masak?”
“Buat apa masak kalau pesan juga bisa?” gumam Kayla yang langsung menghindar dari tangan Vinka yang hendak menjitaknya.
“Sumpah, gue masih gak paham kenapa lo lulusan sekolah masak sampai sekarang?”
“Gue sibuk oke? Ngurusin nikahan orang nih,” ucap Kayla membela diri. Ia mendengus, lantas berbalik menatap lemari yang berisi koleksi miniatur, penghargaan dan ijazah mereka. Meski belakangan ini lemari itu mulai dipenuhi piagam dan penghargaan milik Vinka. “Kayaknya gue harus turunin ijazah itu, biar gak dibahas lo mulu.”
“Lagian ngurusin nikahan orang terus, yang elonya kapan?” ledek Vinka, membuat Kayla memutar bola matanya malas. Kini memasukkan sesendok penuh nasi ke dalam mulut, lantas membalas Vinka dengan tatapan sama mengejeknya.
“Lo duluan aja, pasti banyak tuh bule-bule yang tertarik sama lo.” Kayla membalas Vinka dengan ekspresi puas. Mereka sama-sama belum mau menikah, meski keluarga sudah memaksa mereka untuk bergegas mencari pasangan. Padahal usia mereka masih 25 tahun, namun keluarga sudah bertingkah seolah mereka akan menjadi perawan tua.
Tangan Kayla bergerak menarik lengan piama Vinka, menunjukkan sebuah gelang usang melingkar di sana. “Mau sampai kapan lo nyari cinta masa kecil lo,Vin?”
“Sampai ketemu,” balas Vinka tegas, kini menarik lengan piama kembali menutupi gelang kayunya. Berhasil membuat Kayla pecah dalam tawanya lagi.
“Oleh-oleh gue mana?” tanya Kayla mulai mengedarkan pandangannya ke penjuru apartemen. Matanya langsung berbinar menatap berbagai kantung di atas sofa, yang ia yakini oleh-oleh Vinka untuknya. “Itu buat gue kan?”
“Iya, buat tetangga- Eh, habisin dulu makanan lo.” Cepat-cepat tangan Vinka menahan Kayla yang sudah mau menerjang oleh-olehnya. Sahabatnya itu tertawa kecil, sebelum kembali mendudukkan diri ke kursi.
“Oh iya tadi gue buka kotak surat, ada undangan reuni SMA.” Vinka mengeluarkan dua buah undangan dari dalam saku celananya. “Lo mau dateng?”
“Reuni lagi? Perasaan dari habis lulus kuliah pasti ada undangan reuni tiap tahunnya.” Kayla menatap sepucuk undangan berwarna biru laut dengan nama angkatannya kala SMA tercetak jelas di depannya. Ia meletakkan sendok, jadi kehilangan nafsu makan.
“Kayaknya ini reuni resmi dari angkatan kita, kalau yang kemarin kan cuman reuni yang dibuat anak kelas kita,” jelas Vinka sudah membuka undangannya. “Kebetulan nih deket dari apartemen kita,” ujarnya membaca alamat yang tertera disana. “Datang yuk.”
“Lo aja, gue males datang kayak gitu,” tolak Kayla, menyingkirkan undangan reuni dari depan matanya. Berbeda dengannya, Vinka selalu mengikuti reuni tiap tahunnya sesibuk apapun ia.
“Mau sampai kapan sih lo ngehindarin dia?” tanya Vinka menunjukkan ekspresi lelah. Tau sekali ada orang yang dihindari sahabatnya hingga tak mau menghadiri reuni. “Anak kelas pada kangen sama lo tau, mereka nanyain lo mulu.”
“Ya mereka kalau ngajakin gue kumpul, gue tetap dateng kok,” balas Kayla membela diri. Jika beberapa teman sekelasnya mengajak berkumpul, ia akan datang. Hanya kala reuni saja, ia tak pernah menampakkan hidung.
“Beda lah Kay. Mereka pasti mau ketemu lo, secara pas SMA lo banyak tau kisah anak kelas. Pasti mereka kangen nostalgia sama lo,” ucap Vinka mengingat keluhan teman sekelasnya karena Kayla tak pernah menampakkan diri. Bahkan meminta bantuan agar Vinka menyeret Kayla menemui mereka.
“Besok gue ada acara, jadi kalau jam 5 gue gak bangun. Tolong bangunin ya.” Kayla mengalihkan pembicaraan, kini mengangkat mangkuk dan piringnya yang sudah kosong ke wastafel.
“Kalau lo takut dia bakal datang,” ucap Vinka kini memutar badannya ke arah Kayla yang mulai mencuci piring. Di kepalanya mulai merutuki sosok yang membuat Kayla begitu enggan datang ke setiap reuni.
“Tenang aja, dia gak pernah nampakkin diri juga kok selama ini.”
Seketika Kayla dibuat terdiam.
***
“Besok mau kuantar?”
Ara diam-diam tersenyum kecil, merasa hangat di d**a hanya karena suara laki-laki yang menelponnya. Di luar sana, mulai terdengar suara rintik hujan. Seolah memberi jawaban pasti alasan dari suhu dingin malam Jakarta yang berbeda dari biasanya.
“Gak usah, nanti nggak seru lagi kalau ketahuan mantan suamiku siapa,” tolak Ara, menggenggam pelan cangkir berisi tehnya. Menikmati hangat yang terasa di sisi kulitnya yang sempat mendingin. Di ujung sana terdengar tawa ringan sang mantan suami, yang membuat sudut bibir Ara terangkat. Padahal acara televisi di depannya, hanyalah bincang-bincang membosankan.
“Iseng banget, padahal anak kantor udah pada penasaran tau.”
“Biarin, seru tau dengerin tebakan mereka soal siapa mantan suamiku.” Ara kemudian melirik pigura besar di dekat televisi. Sebuah pigura yang menampilkan foto pernikahannya dengan sang mantan suami beberapa tahun lalu. “Katanya kamu ketemu Fandi hari ini? Gimana?”
“Lagi sial dia tadi, jadi marah-marah mulu selama ketemu. Besok dia ke kantor sih, setuju aja buat bantuin ngatur keuangan.”
“Besok? Yah gak ketemu dong,” ujar Ara merasa sedih. Padahal ia ingin sekali bertemu dengan Fandi, sahabatnya dan sang mantan suami.
“Yaudah selesai acara, aku jemput kamu biar kita makan bareng sama dia. Sekarang tidur sana biar gak kesiangan.”
“Oke, good night my ex husband.” Ara terkikik geli akan panggilan mereka sendiri. Di ujung sana ia bisa mendengar sang mantan suami tertawa pelan.
“Good night my ex wife.”