Tiga: Meat and Meet

1693 Kata
“Nanti setiap tamu harus diperiksa ya Pak, untuk sekarang buat 2 sisi aja. Kalau nanti tamu yang masuk makin banyak, baru ditambahin 2 sisi lagi dari kita. Oke?” Arahan yang diberikan Dany langsung dibalas anggukan paham oleh rekannya yang bertugas di keamanan serta satpam hotel yang bekerja sama dengan mereka. Dany mengacungkan jempolnya, lantas bergegas ke tempat penerimaan tamu yang masih kosong. Belum ada tumpukan souvenir yang harusnya sudah ada di meja. “Ini souvenir nya kok belum keluar?” tanya Dany ke salah satu rekannya yang bertanggung jawab di bagian penerimaan tamu. Meja-meja di depan aula sudah dihias sedemikian rupa, namun hanya ada kotak untuk amplop. “Lagi diambil- Nah itu baru datang,” ucap rekan kerja Dany langsung menghampiri staf hotel yang turut membantu membawakan berkardus-kardus souvenir. Melarikan diri dari Dany yang hendak meluapkan amarahnya. Dany bergegas membantu staf hotel dan anggota timnya mengatur meja penerimaan. Benar-benar dikejar waktu karena para tamu akan segera berdatangan beberapa menit lagi. “Mas ini kita kemarin minta troli tapi belum ada, boleh tolong ditaruh sekarang? Buat tempat hadiah dari tamu,” pinta Dany ke salah satu staf hotel yang langsung mengangguk paham dan berlari pergi. “Dan, naik ke atas dong. Kasih arahan untuk pihak keluarga besar selain keluarga inti untuk masuk ke aula.” Tepat ketika Dany meletakkan kotak souvenir terakhir di atas meja, HT nya berbunyi. Suara Ara terdengar cepat, menandakan ia juga dikejar waktu saat ini. “Oke Mbak, aku kesana sekarang.” Mata Dany bergerak kesana kemari, mencoba mencari seseorang untuk melanjutkan tugasnya di bagian aula. Ia langsung memanggil Haidar yang baru saja selesai mengatur kameranya di bagian photobooth. Membuat pemuda tinggi itu bergegas datang. “Dar, tolong ke anak sound pastiin gak ada masalah di speaker sama layar ya. Gue harus ke atas jemput pihak keluarga,” jelas Dany langsung memaksa Haidar memegang lembaran kertas berisi hal yang harus ia periksa sekali lagi sebelum acara dimulai. “Oke, kain lo benerin dulu,” ucap Haidar menunjuk kain lilit Dany yang sedikit miring, sebelum masuk ke dalam aula. Dany berdecak, berjalan cepat menuju lift sembari membenahi penampilannya. Bagaimanapun ia harus berpenampilan rapi, sesibuk apapun tugasnya. Ia memegangi dahinya, seketika tertegun. Menyadari suhu tubuhnya yang menghangat, serta keringat dingin yang membasahi dahi. Pantas saja ia merasa pegal sekujur badan, ternyata dirinya mulai menampakkan tanda-tanda terserang demam. Pintu lift terbuka, menampakkan sosok Kayla yang sedang terburu-buru. “Mbak Dany!” panggil Kayla merasa begitu lega melihat rekan kerjanya itu. “Tolong dong itu pengantin pria belum sarapan sama sekali karena gugup. Aku bingung harus gimana,” “Coba kamu ke dapur, terus minta bubur atau buah. Jangan biarin perut pengantinnya kosong,” saran Dany memasuki lift, berganti tempat dengan Kayla yang keluar dari lift. “Cepat ya Kay,” teriak Dany agar Kayla yang sudah berlari menuju dapur mendengarnya. Ketika pintu lift tertutup, Dany mulai merasakan kepalanya pusing. Ia menepuk pipinya, mencoba menghilangkan rasa pening yang mendadak menderanya. “Gak Dany, jangan sakit sekarang. Ada yang harus lo kejar.” Dany mengusap keringatnya, lantas menegakkan badan. Meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Dia tak boleh sakit. Setidaknya sampai acara ini berakhir. *** “Kamu ngapain pagi-pagi di kantor kakak?” Vinka merubah ekspresinya menjadi keruh ketika reaksi sang kakak tidak sesuai harapnya. Ia berdecak, mendorong badan sang kakak untuk menepi agar ia bisa memasuki kantornya. “Serius deh, Kak. Senang dikit dong lihat adik kesayangan lo pulang,” Sang kakak mengernyitkan dahi, lantas menutup pintu kantornya. Menatap deretan kotak makan yang dikeluarkan Vinka dari kantong yang ia bawa. Ia duduk di sofa, tepat dihadapan Vinka yang membuka kotak berisi makanan hangat. “Kamu kapan sampai?” “Kemarin, nih gue sekalian bawain bekal buat Kak Fandi.” Vinka mengoper sendok ke Fandi yang menatap makanan yang ia bawa dengan mata kelaparan. “Bibi Eri bilang kalau kakak gak pulang dari kemarin, makanya gue sengaja ke sini. Kenapa deh gak pulang?” “Tuh, menurut kamu Kakak bisa pulang kalau ada kerjaan sebanyak itu?” tanya Fandi menunjuk tumpukan kertas di atas meja kerjanya. Ia melirik kotak makan sang adik yang berisi sayuran yang cukup banyak. “Kamu makan itu doang?” “Iya, masih harus jaga berat badan dulu selama seminggu,” jawab Vinka menatap makanannya tidak berselera. Ia menghela napas, lantas bersandar pada sofa. “Kenapa ya dulu gue mau masuk dunia ini?” “Katanya kamu capek lanjut karir kedokteran kan?.” Fandi menjawab tenang, kembali memasukkan potongan daging ayam ke dalam mulutnya. Ia lantas menatap sang adik yang mengangguk kecil, membenarkan ucapannya. “Habis ini kamu ada jadwal?” Pertanyaan Fandi, membuat Vinka bergegas mengecek jadwal di ponselnya. “Ada janji ke salon sih habis dari sini, kenapa?” “Bagus, temenin Kakak ke nikahan orang.” Sudut bibir Vinka terangkat, membentuk senyuman terpaksa. “Kak lo beneran gak ada cewek apa, sampai ngajak gue terus?” tanya Vinka merasa gemas karena sang kakak tak pernah mau datang ke pernikahan rekannya sendirian. Alasannya sih tak mau diledek karena tak punya pasangan, namun ia juga tak ada niat untuk mencari perempuan untuk dikencani. “Jujur, berapa banyak undangan yang gak lo datangi selama gue pergi?” “Dua.” “Loh tumben dikit-“ “Belas,” lanjut Fandi begitu tenang, mengabaikan ekspresi kaget sang adik. Ia buru-buru menghindar dari lemparan bantal sofa yang diarahkan Vinka padanya. “Jangan bilang ada undangan yang bisa buka kesempatan lo ngembangin firma lo ini?” Vinka menatap Fandi penuh harap, berharap dugaannya tak menjadi kenyataan. Namun model kelas dunia itu berseru kesal, seraya memegangi kepalanya yang mendadak pusing ketika Fandi mengangguk. Sudah dapat membayangkan berapa banyak kesempatan yang dilewatkan sang kakak. “Cari cewek lah Kak kalau gak mau pergi sendiri. Kalau gak ada ya tinggal pergi sendiri aja, jangan ngandelin gue deh.” “Kakak masih belum mau punya hubungan sama orang, selain itu kalau Kakak dateng sendiri orang-orang bakal banyak nawarin anak mereka untuk deket sama Kakak,” keluh Fandi kini meraih gelas berisi teh hangat yang dibawakan Vinka. “Mereka kira dengan jodohin anak mereka sama Kakak bisa mempermudah kerja sama, padahal mah nggak.” “Tetap aja Kak, berapa banyak kesempatan yang lo lewatin untuk ketemu lebih banyak orang yang berpengaruh?” Vinka berseru kesal. Meski ia cukup buta akan masalah bisnis, namun ia cukup paham kalau undangan pernikahan atau pesta yang diberikan kepada sang kakak bukan hanya undangan biasa. Setiap acara itu menjadi kesempatan Fandi untuk bertemu lebih banyak pengusaha dan orang berpengaruh yang akan mengembangkan firmanya. “Udahlah, intinya kamu temenin Kakak ke pesta nanti.” Fandi melirik jam dinding, lantas melahap makanannya dengan tempo lebih cepat. “Habis ini Kakak bakal pulang ke rumah dulu, terus ke kantor Hello,Wedding! sebelum jemput kamu.” “Hello, Wedding? Kok kakak tiba-tiba kerjasama dengan perusahaan wedding organizer?” tanya Vinka sedikit heran, ia tau betul nama perusahaan yang menaungi sang sahabat serta teman sang kakak. “Permintaan khusus ya?” Fandi hanya tersenyum. *** “Mas ini makan siangnya,” Haidar mengangguk ala kadarnya, ketika Kayla meletakkan kotak berisi jatah makanan untuk staf photobooth yang datang terlambat. Ia sedang sibuk mengabadikan foto para tamu yang terus berdatangan, tanpa henti.Acara yang digelar memang cukup besar, maklum karena yang menikah salah satu anak menteri. Jadinya Haidar beberapa kali mengenali wajah tak asing para publik figur yang mampir ke photobooth. “Dar, gue numpang makan disini ya.” Tiba-tiba Dany memasuki stan photobooth lantas menarik kursi untuk duduk di sana. Gadis itu terburu-buru membuka kotak makanannya, seraya melirik ke arah pintu masuk. “Roll paper nya masih banyak kan?” tanyanya ke staf photobooth yang bertugas mengeprint hasil foto. “Masih, udah lo makan aja,” balas Haidar masih fokus dengan kegiatan memotretnya. Ia tersenyum kepada tamu terakhir yang mendatangi stan nya, lantas meminta mereka untuk memeriksa hasil foto. Haidar bergegas meraih kotak makan, perutnya sudah lapar sekali. “Menunya apa?” tanya Haidar melirik kotak makan Dany dan menemukan berbagai menu yang menggugah selera makan. “Wah kali ini banyak varian dagingnya ya.” “Iya, banyak. Buruan makan, nanti gak sempat lagi,” ucap Dany melahap makanannya dengan tempo cepat. Terbiasa makan di tengah acara, membuat Dany dan Haidar terbiasa untuk mengunyah cepat tanpa tersedak. Diam-diam Haidar melirik tangan kiri Dany yang menggengam HT nya erat, seolah berharap tak ada panggilan yang mengintrupsi makannya. “Permisi.” Sontak kunyahan Haidar dan Dany berhenti, kompak mendongak dan mendapati dua orang yang berdiri di depan meja mereka. Haidar yang mengenali kalau dua orang di depan mereka adalah salah satu tamu, sontak berbalik sesaat untuk menelan makanannya sebelum tersenyum ramah. Berbanding terbalik dengan Dany yang menatap tamu di depannya dengan mata membulat. “Kita mau foto, bisa kan ya Mas? Maaf kalau ganggu waktu makannya,” ucap sang perempuan sedikit merasa tak enak karena mengintrupsi waktu makan Haidar. Tak menyadari kalau pria di sampingnya sedang melemparkan tatapan tajam kepada Dany. “Boleh Mbak, silahkan dipilih dulu latarnya,” ajak Haidar berjalan menuju layar laptop di sisi lain meja. Meninggalkan Dany yang jadi tersedak karena bertemu orang yang tak terduga. Dari sekian banyak manusia yang mungkin menjadi tamu kliennya, kenapa harus ada pria yang taksinya ia rebut kemarin? Pria itu pasti masih ingat jelas wajahnya. “Kamu yang kemarin kan?” tanya sang pria kini mengganti ekspresinya lebih tenang. “Kita ketemu lagi ternyata.” Alih-alih membalas, Dany hanya tertawa hambar. Pria di depannya itu nampak ingin menanyakan banyak hal, namun suara HT Dany menghentikannya. “Dan, tolong periksa persedian souvenir sama oper kado yang udah menuhin troli ke kamar ya.” “Oke Mbak,” jawab Dany cepat, langsung memasukkan potongan daging ke dalam mulut lantas menutup kotak makannya. Ia tak pernah merasa sesenang ini mendapat perintah dari Ara, yang menyelamatkannya dari situasi tak mengenakkan. Dany bergegas pergi ke arah meja penerimaan tamu seraya mengunyah dagingnya. Meninggalkan pria yang taksinya ia rebut, dengan kenyitan di dahi. “Kak Fandi, ayo pilih latarnya!” Panggilan itu berhasil mengalihkan pandangan sang pria. Fandi menatap punggung Dany yang mulai menjauh, lantas sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil. Merasa lucu akan keadaan mereka. Ada ada saja kebetulan di dunia ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN