Empat: Clear

1731 Kata
“Lo kenal sama dia Kak?” Pertanyaan Vinka berhasil menyadarkan Fandi dari lamunannya. Ia menoleh ke arah sang adik yang menatapnya penuh penasaran hingga tak menyadari kuah kacang di sudut bibir. Diraihnya selembar tisu di atas meja, lantas membersihkan noda kuah kacang di sudut bibir sang adik. Takkan ada yang menyangka perempuan yang sedang melahap sepiring besar gado-gado dengan bibir belepotan kuah kacang, ternyata model papan atas yang sedang dieluk-elukkan negara mereka. “Hanya bertemu dengan cara tidak baik,” ucap Fandi memasang senyum masam. “Dia pernah rebut taksi yang udah Kakak pesan.” “Don’t say it.” Vinka menelan suapan terakhir gado-gadonya, lantas menatap sang kakak dengan tatapan penuh prasangka. “You still mad about that?” “Nggak, cuman kalau diinget masih kesal aja.” Tatapan Fandi kembali tertuju ke arah perempuan yang mencuri taksinya tempo hari. Gadis itu nampak sibuk di ujung ruangan dengan HT di tangan. Menyadari kalau ia diamati, gadis itu menoleh ke arah Fandi. Ekspresinya langsung kaku, bergegas menutupi wajah dengan papan d**a lantas pergi ke bagian lain ruangan. “Loh kalian tamu disini?” Baik Fandi maupun Vinka sama-sama mengenali suara yang menyapa mereka. Vinka langsung bersorak, menghambur memeluk Ara disertai serentetan kalimat seberapa rindu ia kepada sosok Ara. Perempuan kecil itu tertawa ringan, lantas melakukan fist bump dengan Fandi. Senyumnya cerah, namun tak menampik ada segurat lelah yang tampak di wajah. “Selamat ulang tahun Ra,” ucap Fandi disertai kekehan ringan. Tak menyangka setelah bertahun-tahun sahabatnya terjun ke dunia bisnis pernikahan, baru kali ini Fandi bertemu dengan Ara sebagai panitia acara. “Nanti jadi makan-makan kan?” “Setelah acara ini selesai, kita makan-makan kok. Mantan suami gue udah mesan tempat,” ujar Ara penuh bangga. “Mantan suami apa yang masih merayakan tanggal-tanggal penting mantan istrinya?” tanya Fandi sarat akan sindiran. Senyum tipis diulasnya, menandakan seberapa ia merasa aneh dengan hubungan sang sahabat. “Gakpapa sih Kak, lucu tau.” Vinka berseru membela, tak lupa memukul pundak sang kakak cukup kencang. Ia lantas menatap Ara penuh pengharapan. “Aku boleh ikut kan Kak? Sekalian mau ngasih oleh-oleh.” “Kakak larang pun, kamu bakal tetap datang kan?” goda Ara bersamaan dengan panggilan masuk ke HT-nya meminta ia bergegas menghampiri keluarga pengantin yang membutuhkan bantuannya. “Gue permisi dulu ya,” pamitnya bergegas pergi ke area pelaminan yang masih dipenuhi para tamu yang hendak bersalaman. “Temen lo itu Kak, beneran gak ada niatan buat nikah lagi?” tanya Vinka dengan nada pelan namun cukup untuk di dengar Fandi. Menatap penuh penasaran sahabat sang kakak sejak masa putih abu itu. “How can they divorce, when falling in love with each other?” Fandi tak serta merta menjawab, memilih duduk kembali ke kursi lantas meneguk jus jeruknya. Ia lantas menatap Vinka dengan sorot penuh rahasia. “Mau tau sesuatu gak?” tanyanya yang berhasil memancing Vinka untuk mendekat, siap mendengar hal yang akan diucapkan sang kakak. “Nggak jadi, Kakak lupa mulut kamu ember bocor.” Setelahnya Fandi mengaduh keras, karena pukulan yang diberikan Vinka pada punggungnya terasa sangat keras. *** Ada banyak hal mengapa Dany bersikeras menyelesaikan pekerjaannya meski demam mulai melanda tubuhnya. Setiap pekerja yang turun langsung di hari pesta pernikahan, maka Hello Bride akan memberi upah lebih. Mirip seperti upah lembur namun jumlahnya lebih banyak. Upah ini dihitung dari berapa lama mereka menjadi panitia, jika setengah acara maka upah yang diberikan juga setengah. Itulah kenapa Dany bersikeras untuk menyelesaikan pekerjaannya hingga akhir meski teman-temannya mulai meminta ia untuk segera pulang. Dany butuh uang. Ia bukannya tak tau kalau banyak rekan kerjanya yang penasaran, mengapa Dany begitu perhitungan jika menyangkut tentang uang. Ada yang bilang ia terlilit utang, memenuhi gaya hidup, hingga spekulasi bahwa ia memang hobi mengumpulkan uang dalam rekeningnya. Dany tak mengelak maupun membenarkan setiap spekulasi itu. Bagi Dany apa yang terjadi di kehidupan pribadinya, tak sepantasnya menjadi konsumsi masyarakat umum. Khususnya di lingkaran rekan kerjanya. Meski pada kenyataannya, Dany termasuk golongan orang yang menikmati cerita kehidupan pribadi seseorang. Selepas acara tuntas, dan pihak vendor yang bertugas membongkar pelaminan datang. Dany bergegas pulang. Ia menitip tugas kepada salah satu rekannya untuk mengambil alih mengawasi pembersihan aula hotel tempat pesta terlaksana. Ia bergegas pergi ke Terminal Pasar Minggu, menolak tawaran Ara untuk menumpang mobilnya. Bukan menolak kebaikan, namun ia cukup tau diri kalau Ara pasti punya serangkai janji di malam ulang tahunnya. Tepat ketika dirinya duduk nyaman di kursi bis Jakarta-Bandung, semua rasa pegal yang tak dirasanya tadi mulai muncul. Ia membuka sepatunya, dan segera meluruskan kaki ke bangku kosong di sebelahnya. Sebuah keberuntungan mendapati kursi di sebelahnya kosong, sehingga Dany dapat meluruskan kaki pegalnya selama beberapa jam ke depan. Ia memegang dahinya, merasakan hangat di telapak tangannya. Dany memijat dahi, lantas menyandarkan kepala ke jendela bis. Berharap posisinya itu dapat meredakan sakit di kepalanya. Hampir saja ia jatuh tertidur, hingga ponselnya bergetar dari balik saku celana. TIM SESEPUH (7) Mbak Ara: Yang stand by di venue, Mas Tio ya jadinya? Bang Tio: Iya lah Ra, kasihan aku kalau Dany yang stand by. Gakpapa ketemu putri manisku sedikit ketunda. Idar: Punten, Haidar mau nanya uang lemburan turun kapan ya Mbak? Soalnya mau dipakai buat bayar uang kontrakan Gian: Memangnya uang gajimu kemana Haidar? Masa awal bulan udah habis? Idar: Uang buat bayar kontrakan, kepakai buat senang-senang Gi. Kak Rio: Senang-senang apa nih Dar? Bukan yang aneh kan hahaha Idar: Yee, bukan senang-senang kayak gitu Kak. Gue anak baik-baik nih. Kay: Anak baik-baik tapi deretan mantannya banyak ya Mas. Mbak Ara: Barusan dikirim ya uang lembur kalian, besok kita libur. Jadi istirahat ya semuanya. Apalagi Dany yang lagi sakit. Idar: Mantap bosku, cepat tanggap. Curiga lagi ngumpul sama bos-bos besar nih. Bang Tio: Ya iyalah Dar, kan Ara termasuk pelopor berdirinya WO kita. Temen deket bos besar pula. Mbak Ara: Sst, udah apa Mas Tio. Dany jangan lupa istirahat ya Dany: Iya Mbak, nanti kalau udah sampai rumah. Idar: Lah lo belum balik Dan? Lama banget, perasaan tadi jalan gak macet parah deh. Gian: Gak ada masalah di jalan kan Dany? Dany: Aku pulang ke Bandung Tepat setelah memberi tau tujuannya, Dany mengabaikan pesan yang masuk dari grup. Ia hanya tak mau dicecar banyak pertanyaan, mengapa tiba-tiba ia pulang ke Bandung setelah menjadi panitia acara selama seharian penuh. Apalagi Haidar yang sudah membombardirnya dengan sederet pertanyaan mengapa. Mungkin dari semua rekan kerjanya, Haidar mengetahui kehidupan pribadinya lebih banyak dari yang orang lain tau. Kecuali Ara, mengingat perempuan itu termasuk pelopor berdirinya wedding organizer tempatnya bekerja. Ia jelas tau alasan kenapa Dany bisa bergabung. Dany meraih ponselnya lagi, menelpon adik pertamanya. Di nada dering kedua, ia langsung mendengar suara khas sang adik. “Halo Teh?” “Teh Dany lagi jalan pulang ke Bandung. Nanti jemput Teteh ke stasiun ya.” Suara kertas yang dibolak-balik di ujung sana terhenti, tergantikan hening yang cukup lama. “Teh, kan kemarin Surya udah bilang kalau sibuk gak usah pulang.” “Apa sih? Teteh pulang bukan karena itu kali. Kangen sama Ibu.” Dari ujung sana terdengar suara helaan napas cukup panjang. Memang adiknya yang pertama ini, tidak mudah dibohongi. Ia terlalu paham akan pola pikir dan sifat semua anggota keluarganya. “Yaudah nanti kalau udah di gerbang tol Pasteur, kasih tau Surya ya Teh.” “Siap!” Dany langsung memutus panggilan telepon, dan kembali mengistirahatkan badannya yang terasa pegal. Sepertinya pulang nanti ia akan bersih-bersih ala kadarnya dan langsung pergi tidur. Perut Dany yang memang hanya terisi sedikit siang tadi mulai berbunyi. Dany menggaruk belakang tengkuknya salah tingkah, menatap penumpang lain yang jelas tak peduli sama sekali akan suara keras perut yang keroncongan. Ia meraih sebungkus makanan ringan dari dalam tas dan botol minumnya. Makanan ringan yang Dany beli karena sedang diskon besar-besaran. Jalanan Jakarta tak pernah sepi, apalagi di hari libur seperti ini. Tatapan Dany terfokus pada beberapa pengendara mobil dan motor yang mulai tak sabaran akan kemacetan yang dihadapi. Pandangan Dany kemudian teralih ke deretan gedung apartemen mewah yang berkelap-kelip keindahan. Memproyeksikan kemewahan dan kenyamanan, yang jelas tak bisa Dany gapai. “Gimana ya rasanya,” gumam Dany menatap gedung apartemen itu lekat-lekat, lantas memasukkan potongan lain makanan ringan ke mulut. “Ada di atas sana?” *** “Jadinya ikut nggak nih?” Kayla hampir saja melemparkan vas bunga kecil di atas meja, ketika Vinka mendadak muncul dari dalam kamar. Mungkin kalau bukan karena Kayla sedang menonton film horror, ia akan menertawai habis-habisan wajah Vinka yang terpoles masker wajah berwarna hitam. “Apanya yang ikut?” tanya Kayla dengan nada bingung, menerima sepotong melon yang diberikan Vinka padanya. Ia abaikan celotehan Vinka yang memintanya bergeser untuk memberinya ruang untuk duduk di sofa panjang. Sofa itu terisi oleh Kayla yang berbaring malas di atasnya semenjak tiba ke apartemen. “Reuni lah Kay. Besok loh acaranya,” ingat Vinka meraih remote tv dan menggantinya ke siaran k-drama. Sukses membuat Kayla menendangnya pelan, hingga ia yang duduk di ujung sofa jadi terjatuh ke atas karpet. “Ngapain lo ganti sih?!” murka Kayla hendak merebut remote namun Vinka bergerak cepat menekan kaki Kayla yang kesemutan, hingga gadis itu berteriak kesakitan. “Serius, lo ikut nggak besok?” tanya Vinka untuk kesekian kalinya. “Kalau lo ikut, nanti gue gak langsung dari tempat syuting. Bareng lo kesananya.” “Dih tumben banget, lo sudi bolak-balik tempat syuting ke apartemen demi jemput gue? Ada maksud apa lagi nih, selain jadiin gue supir?” Vinka tertawa riang, sudah menyangka kalau sahabatnya sejak SMA itu tau betul niat tersembunyinya. “Ya gue kan gak mau melewatkan ekspresi-ekspresi kaget teman angkatan, pas tau lo berubah banget dari jaman dulu.” “Berlebihan lo, anak kelas kan udah tau gue seberubah apa,” elak Kayla merentangkan tangannya untuk meraih potong melon lain di atas meja. Enggan beranjak dari sofa. “Dia beneran gak pernah datang reuni kan ya Vin?” “Yakin banget dia gak bakal datang. Terakhir kali gue denger infonya, dia stay di Inggris.” Pandangan Vinka tanpa sengaja jatuh ke sebuah pigura foto di lemari kaca dekat TV. Sebuah foto lama yang mengantarkan banyak kenangan manis putih abu ke dalam ingatan Vinka. Sadar arah pandangan Vinka ke mana, Kayla mengangguk paham. Ada sesuatu yang harus ia dan Vinka buktikan ke orang-orang. Bahwa mereka sudah jauh berubah dari diri mereka di masa lalu. “Ya udah gue ikut.” Kayla tak tau, takdir suka sekali bercanda dengan manusia. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN