Bekerja menjadi seorang perancang pernikahan, membuat Ara paham bahwa ia punya tugas yang cukup berat. Melalui dirinya, berhasil atau tidaknya sebuah perayaan pernikahan ditentukan. Ia harus bisa menyatukan ide yang bukan hanya berasal dari calon pengantin, tapi keluarga kedua belah pihak. Terkadang ia juga harus bisa memancing ide-ide dari pihak pengantin, ketika pengaturan acara terlalu didominasi oleh orang tua mereka.
Pernikahan. Sebuah momen sakral nan suci yang menyatukan 2 insan dalam janji sehidup semati. Momen yang umumnya diharapkan terjadi sekali dalam seumur hidup, walau faktanya makna pernikahan semakin bias seiring berjalannya waktu. Lucunya, pernikahan yang pernah Ara jalani satu dari sekian banyak pernikahan yang mengingkari makna sucinya.
Bertahun-tahun Ara terjebak dengan sederet ekspetasi tinggi yang ditujukan padanya. Tinggal di lingkungan kelas ‘atas’ membuatnya paham semua garis hidupnya sudah ditentukan sejak lahir. Mulai hal remeh tentang lingkar pertemanannya hingga dengan siapa ia harus melabuhkan janji sehidup semati itu. Hubungan itu kandas namun tidak dengan perasaan yang konyolnya tumbuh diantara keduanya.
“Kenapa melamun?”
Ara tersentak ketika secangkir teh kayu manis disodorkan padanya. Tepat di depannya berdiri sang mantan suami yang menatapnya dengan seulas senyum kecil. Tubuh tingginya membuat celemek kebesaran Ara terlihat begitu kecil. Sebuah pemandangan yang cukup menggelitik, hingga Ara berusaha keras menahan tawanya.
“Ya, aku tau kamu pasti ketawa liat penampilanku sekarang.” Sang mantan suami menipiskan bibir, kini menatap dirinya sendiri yang memang terlihat menggelikan. Bahkan ia tidak bisa mengikat tali celemek ke bagian belakang tubuhnya, membuat celemek bercorak bunga sakura itu hanya tergantung di leher.
“Kamu nginep?” tanya Ara seraya memperhatikan gerak-gerik sang mantan suami yang kini melepas celemeknya. Lantas duduk di kursi lain minibar dapur apartemennya. Selanjutnya yang Ara bisa rasakan, adalah jemarinya yang dipijat lembut oleh laki-laki di depannya ini.
“Sebentar lagi aku harus jemput Mama di Bandara,” jawab sang mantan suami kini beralih memijat pelan sisi kepala Ara. Ia paham perempuan di hadapannya ini jelas masih lelah setelah menjadi panita sebuah pernikahan selama seharian penuh.
“Mama ke Jakarta?” Pertanyaan Ara dibalas anggukan pelan oleh mantan suaminya. “Kok gak bilang aku, Mama mau kesini?”
“Ra, aku nggak mau Mama nyakitin kamu lagi.” Ara tersentak, seketika sadar salah satu alasan mereka berpisah meski rasa itu muncul tanpa di sadari. Pria itu menghela napas ketika mata mantan istrinya mulai berkaca-kaca. Ia tertawa pelan, lantas menarik Ara dalam satu pelukan hangat.
“Selamat ulang tahun Ara, ayo kita jemput kebahagiaan kita pelan-pelan. Tanpa paksaan, tanpa perintah orang tua. Benar-benar dengan langkah kita sendiri.”
Mungkin bertemu dengan pria di depannya ini, menjadi satu-satunya hal yang Ara syukuri akan garis takdir yang ditentukan keluarganya.
***
Ada banyak alasan, mengapa Kayla enggan sekali menunjukkan batang hidungnya di acara reuni. Bukan hanya karena sosok di masa lalu yang terus ia hindari, namun juga penilaian orang-orang akan perubahannya. Ia tak bisa menampik bahwa Kayla di masa putih abu, berbeda 180 derajat dengan dirinya saat ini.
Dulu Kayla adalah perempuan bertubuh gempal, yang seperti biasa dijadikan bahan candaan. Alih-alih marah atau merasa terhina, ia begitu santai menghadapi sederet ledekkan ataupun julukan yang ditujukan padanya. Ia benar-benar tidak mempermasalahkan semua ledekkan itu selama masih batas wajar. Hal yang menjadi pedang bermata dua untuknya, karena batasan ledekan itu menjadi kabur.
Lucunya di masa putih abu, Kayla selalu hadir di momen penuh ‘skandal’ ala anak sekolahan. Ia bisa saja tanpa sengaja melihat kakak kelasnya yang populer putus dengan pacarnya, hingga memergoki secret admirer seseorang. Membuat Kayla menjadi pemegang rahasia terbesar hampir semua murid sekolahnya.
Kayla cukup populer dan punya segudang teman, namun hanya ada 3 orang yang ia akui sebagai sahabat dekat. Vinka, Erika, serta Yudith. Ketiganya lah yang menjadi tempat Kayla berkeluh kesah. Vinka si tomboy, Erika sang malaikat, serta Yudith si bawel. Meski seiring berjalannya waktu, hanya menyisakan Vinka yang masih melekat padanya hingga sekarang.
“Gugup beneran lo, mau dateng ke reuni?”
Suara seruan Vinka, berhasil menyadarkan Kayla dari lamunan. Ia tak sadar jadi melamun menatap restoran besar tempat reuni diadakan. Sadar kalau sahabatnya gugup bertemu teman-teman yang sudah lama tak ia temui, Vinka mengelus pundak Kayla menenangkan.
“Hey, santai oke. Teman-teman kita masih tetap sama kok, lo liat kan di grup kelas sebahagia apa mereka tau lo dateng?” Vinka mengamit lengan sahabatnya itu, lantas menariknya memasuki restoran.
Ketika memasuki restoran, setelah mengisi daftar tamu, Kayla tau bahwa ia tak seharusnya menghindari acara reuni. Ia terpaku sesaat, ketika mendapati layar besar di dekat panggung memutarkan deretan foto-foto dari tiap kelas. Ada berpuluh-puluh meja panjang yang memenuhi restoran yang begitu luas itu. Tak lupa sebuah papan tanda, bertuliskan kelas dan nama tiap angkatan. Kayla baru menyadari bahwa reuni yang ia datangi ini, mengikutsertakan 3 angkatan di atasnya.
Kayla hampir saja mengumpat, ketika seseorang tiba-tiba mengetuk kepalanya cukup keras. Ia menoleh, lantas menemukan seorang pemuda dengan kemeja biru tua menatapnya meledek. Kacamata yang bertengger di hidungnya, tak membuat Kayla bingung siapa ia. “Bisa gak nyapa gue dengan cara manusiawi, Yudith?”
“Duh maaf ya, tapi kalau ke kalian berdua gue malas bersikap baik.” Yudith tersenyum meledek, namun segera memekik kesakitan ketika Vinka mencubit lengannya begitu kencang. “Sakit, Vinka!”
“Bawel, ayo ke anak kelas yang lain.”
Tanpa menunggu kedua temannya, Vinka berjalan lebih dulu ke meja tempat teman-teman mereka berada. Menyisakan Yudith dan Kayla yang tersenyum karena sikap galak Vinka yang tak pernah berubah.
“Gue senang liat lo dateng, Kay,” ucap Yudith kini merangkul sahabatnya itu dengan senyum lebar. Meski mereka sering bertemu, namun Yudith begitu senang melihat sahabatnya ikut hadir ke acara reuni setelah sekian lama. “Anak kelas pada kangen tau sama lo.”
“Tau, Vinka cerita.” Kayla kini melirik layar besar kembali, menampilkan sebuah foto dimana ia, Vinka, Erika dan Yudith berada di dalamnya. Tanpa sadar ia menahan napas melihat potret penuh kebahagiaan itu. Sukses membuatnya menghentikan langkah dan terpaku.
“Gue jadi kangen Erika” bisik Yudith, menatap foto yang ditampilkan itu dengan perasaan campur aduk. “Coba kalau waktu-“
“Udahlah.” Dengan cepat Kayla memberi tanda agar sahabatnya itu tak melanjutkan kata-katanya. “Kita bertiga datang kesini, sekalian buat nunjukkin kita baik-baik aja loh. Erika gak suka kalau kita terus sedih.”
Ucapan Kayla, sukses membuat Yudith mengangguk setuju. “Oke, no more sadness to us. C’mon let’s meet our friends” Pemuda itu lantas mengarahkan Kayla menuju meja mereka.
Tak menyadari ada seseorang yang baru saja melewati mereka. Seseorang yang akan mengubah malam ini, terutama bagi Kayla.
***
“Teh, kita mau ngomong.”
Dany yang sedang asyik menonton televisi, sontak menoleh. Mendapati ketiga adiknya saling memberi kode, sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan. Dany melirik jam dinding, menunjukkan malam yang sudah larut. Sepertinya ketiga adiknya itu memilih waktu untuk berbicara dengannya setelah sang ibu masuk ke dalam kamar.
“Kalau kalian mau diskusiin, soal omongan Om Bayu tadi. Teteh gak mau,” balas Dany tenang. Ia kembali menempatkan fokus ke televisi, lebih tepatnya mengalihkan perasaan emosi yang kembali menggerogotinya setelah pertemuan keluarga tadi.
“Teh Dany, aku nggakpapa kalau kerja sambil kuliah. Usulan Om Bayu benar kok, Teteh gak bisa ambil beban keuangan keluarga sendirian.” Surya cepat-cepat duduk di hadapan kakaknya itu. “Aku udah cukup dewasa Teh, untuk bantu.”
“Nggak, Teteh nggak mau fokus kalian pecah.” Dany bersidekap menatap ketiga adiknya penuh ketegasan. “Sekarang kalian fokus aja buat sekolah. Teteh gak mau kalian berhenti cuman karena biaya, Teteh mampu kok.”
“Teh, sebenarnya kami bertiga udah diskusi.” Adik keduanya, Gilang, mulai bersuara. Dia melirik kedua saudaranya yang lain, meminta dukungan ketika tatapan Dany terkesan tidak ramah akan apapun keputusan mereka. “Kami mutusin, buat Aa Surya kuliah dulu selama 2 tahun. Baru dilanjut aku, nanti kita berdua sambil kerja. Dua tahun berikutnya, baru Adek.”
“Sebenarnya Teh, Adek gak mau kuliah.” Kinan, adik bungsunya berucap takut-takut. Ucapannya sontak membuat Dany mengerutkan dahi tak mengerti. “Aku mau urus Ibu aja di Bandung, mungkin sambil jualan lukisanku.”
Ucapan ketiga adiknya, membuat Dany menarik napas semakin dalam. Ia memijat dahinya merasa pening. Ketiga adiknya ini, punya perbedaan umur setahun saja. Surya baru saja lulus dan sedang mempersiapkan ujian masuk universitas, Gilang akan naik ke kelas 12, sementara si bungsu Kinan akan naik ke kelas 11. Siapapun tau, seberapa berat biaya yang harus ditanggung Dany beberapa tahun ke depan. Ditambah hanya Dany lah yang mencari nafkah di keluarga mereka, setelah sang ayah tiada.
“Teteh mampu biayain kalian kuliah, apapun kata-kata saudara Ayah gak usah didengerin,” ucap Dany berusaha tidak tersulut emosi. “Mereka cuman takut, kita minta bantuan ke mereka soal biaya nanti. Tenang aja, selama ada Teteh kalian gak perlu takut. Kalian cukup belajar yang bener, jadi anak yang pinter kalau kalian merasa bersalah Teteh kerja sendiri.”
Tatapan Dany lantas teralih ke adik bungsunya. “Apalagi kamu Kinan, Teteh gak mau kamu berakhir kayak Teh Dany. Berhenti kuliah, cuman karena saudara ayah pikir Teteh gak bisa bayar uang kuliah.”
“Belajar yang tinggi, jadi orang sukses, biar anggapan jelek mereka soal keluarga kita salah semua.”
Ia lantas bangkit, mengacak rambut ketiga adiknya sebelum masuk ke dalam kamar. Sebelum menutup pintu, ia bisa mendengar suara isakan yang mulai pecah dari adik bungsunya. Tepat ketika pintu tertutup, Dany terduduk di lantai. Menyadari sebesar apa beban yang ada di pundaknya. Ia lantas menatap potret ia dan sang ayah di atas nakas dengan mata mulai berlinang air mata.
“Pah, Dany ngelakuin hal benar kan ya?”
***
“Loh kok manajer gue nelpon?”
Seruan pelan dari Vinka di belakangnya, membuat Kayla menoleh. Ia ikut mengernyitkan dahi bingung, penasaran juga alasan manajer sahabatnya itu menelpon. Biasanya saat reuni, Vinka selalu mengosongkan semua jadwalnya dan mewanti-wanti manajernya untuk tak menelpon kecuali karena hal penting. Sahabatnya itu berpamitan untuk mengangkat telpon, lantas meninggalkan Kayla sendiri di depan meja prasmanan.
Ia mengambil beberapa tempura, sebelum menyadari bahwa piringnya sudah penuh. Jangan salah paham, isi piringnya dibagi dua. Makanan milik Vinka juga bergabung ke dalam piringnya, seperti salad dan beberapa potong teriyaki. Untungnya restoran yang menjadi tempat reuni ini, salah satu rekanan dari Hello Wedding. Beberapa kali ia mengatur pernikahan di tempat ini, sehingga sudah tau makanan apa saja yang enak. Memudahkannya memilih makanan.
Tangan Kayla baru mau meraih semangkuk es buah, sebelum seseorang yang menelpon di depan meja minuman ikut meraih mangkuknya. Ia baru saja mau protes, hingga menyadari siapa yang ada di depannya. Ia tercekat, menatap sosok di depannya dengan mata membulat penuh keterkejutan.
Dari sekian banyak reuni, mengapa sosok yang ia hindari justru ikut hadir bersamaan dengannya.
“Nanti gue telpon lagi ya,” ucap sosok itu sebelum menutup sambungan telponnya. Sosok pria di depannya juga cukup terkejut, sebelum menyapa dengan kikuk. “Hai Kayla.”
Susah payah, Kayla meneguk ludahnya. Tiba-tiba kehilangan kata-kata. Ia tak menduga akan pertemuan ini. “Halo Arsen.”
Dia Arsen. Cinta sekaligus patah hati pertama Kayla.
TBC