Enam: Reuni Luka

2025 Kata
Arsenio Akbar. Sosok teman sekelas, sahabat, teman seekskul, penghibur, pendukung setia, cinta pertama, sekaligus patah hati pertama Kayla. Pemuda yang ia ingat selalu anti mengenakan kacamata, karena tak mau terlihat mirip dengan saudaranya. Namun, kini ia muncul di hadapan Kayla dengan sebuah kacamata yang tak membuat penampilannya jauh berbeda. Ia tetap terlihat sama. Entah karena Arsen benar-benar tidak berubah setelah bertahun-tahun minggat ke negara orang, atau Kayla yang tetap melihat Arsen dengan cara yang sama. Sosok pria dengan berjuta mimpi dalam sorot matanya. Kehadiran Arsen, jelas hal yang tidak terduga. Bukan hanya Kayla yang terkejut, semua teman sekelasnya jelas tak bisa menyembunyikan antusias kala Arsen datang. Dari cara teman sekelasnya langsung menarik Arsen ke tengah-tengah deretan kursi lantas membombardir pemuda itu dengan sederet pertanyaan dari penting hingga konyol. Tak sadar kalau Arsen tadi membantu Kayla membawakan minumannya. Seolah lupa kalau dua orang itu mendadak menjauh setelah acara kelulusan. “Barusan Vinka pamit, ada jadwal mendadak katanya. Jadi lo pulang bareng gue ya,” ucap Yudith menyadarkan Kayla dari lamunan. Baru saja menuntaskan panggilan dari rumah sakit tempat ia bekerja. Tangan Yudith meraih sepotong tempura di atas piring Kayla, sebelum tersedak sendiri melihat sosok Arsen. Sepertinya ketika pemuda itu datang, Yudith masih menanggapi panggilan dari rumah sakit. Suara batuk Yudith yang cukup keras, membuat teman-temannya yang semula fokus ke Arsen jadi memusatkan pandang padanya. “Wah udah balik lo Dit? Nih, temen baik lo pulang. Kangen kan lo sama Arsen?” sahut salah satu teman sekelasnya menyahut. Tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk pundak Arsen yang jadi terdiam. Yudith hanya tertawa kecil, sebelum mengalihkan pandangan ke Kayla kembali. Tak berniat sedikitpun mendekat. Kalau saja mereka memperhatikan Yudith lebih teliti, mereka akan memahami kalau pria itu memasang senyumnya dengan terpaksa. Hanya Arsen, Yudith, Vinka, serta Kayla yang paham alasan mereka sama-sama bersikap dingin. Bertahun-tahun terlewat, jelas tak membuat sebuah kesalahan menjadi termaafkan. “Gue ke kamar mandi sebentar ya,” pamit Kayla menepuk pundak Yudith yang menghela napas lelah ketika telpon dari rumah sakit kembali datang. Gadis itu meraih tasnya, lantas bergegas menuju ke toilet. Ia butuh menjernihkan kepalanya dulu, sekaligus menghubungi Vinka yang pergi tanpa mengabarinya sedikitpun. *** Untuk kesekian kalinya, Vinka menghembuskan napas lelah. Ia menatap manajernya yang fokus menelpon dengan wajah menahan kesal. Sadar kalau artisnya sedang berekspresi sebal, manajernya itu malah semakin menjauh. Tak ingin menjadi sasaran amarah Vinka, yang mau tak mau meninggalkan acara reuni. Bagaimana bisa manajernya lupa untuk mengosongkan jadwalnya di hari reuni, ketika ia sudah mengingatkan dari jauh hari. Apalagi manajernya itu baru ingat di malam hari, mungkin kalau jadwalnya masih sekitaran Jakarta, Vinka takkan sekesal ini. Sayangnya, jadwal yang harus ia lakukan adalah pemotretan di Surabaya selama 4 hari pula. “Maaf deh, Mbak lupa ingetin dari pihak kantornya. Taunya mereka malah terima job, maaf ya.” Laras, manajernya itu meminta maaf setelah mengakhiri sambungan telponnya. Ia memberi tiket kepada artisnya dengan senyum lebar. “Nih tiketnya, karena belinya juga dadakan jadi kita pisah.” “Loh aku nggak sama Mbak?” tanya Vinka tak percaya. Bagus sekali malam ini, keberangkatannya mendadak, tidak membawa baju, dan sekarang harus terpisah dari sang manajer. Kalau bukan karena ia datang ke reuni, mungkin Laras akan menyeretnya dengan kondisi lebih menyedihkan. Tidak akan sempat berdandan seperti saat ini. “Iya, lumayan jauh tempat duduk kita tapi, amanlah ya. Kan sebelum jadi artis, kamu atlet taekwondo.” Vinka menipiskan bibir, setelah sekian lama kemampuannya di bidang bela diri itu diungkit lagi. Ia mengangguk paham, lantas mengikuti langkah Laras ketika panggilan penerbangan mereka mulai terdengar. Sebelum berpisah tempat duduk, manajernya itu kembali mengingatkannya untuk tidak sembarangan berbicara dengan orang asing. Bukan apa-apa, menjadi publik figur membuat Vinka sadar ada orang-orang aneh yang bisa saja nekat mencelakainya. Memang dia bisa saja membela diri, namun urusannya akan panjang kalau terjadi di keramaian. Karirnya bisa dipertaruhkan. Vinka menghela napas, lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia meraih ponsel di dalam tas kecilnya, berniat untuk mematikan ponsel sebelum sebuah pesan masuk. Ada pesan dari Kayla yang terus masuk melalui pesan singkat. Awalnya ia kira, sahabatnya itu akan memarahinya karena pergi tanpa pamit. Sayangnya ia salah, pesan bahwa Kayla bertemu Arsen sukses membuat kedua mata Vinka melebar. Vinka: Gimana? Ini maksud lo Arsenio Akbar kan? Kay: Anak sekolah kita yang namanya Arsen siapa lagi sih? Kay: Yes, it’s really him Baru saja Vinka hendak mengetikkan jawaban, seorang pramugari sudah menghampiri dan memintanya untuk mematikan ponsel. Tepat ketika ia meletakkan ponselnya ke dalam tas, seorang pria mendatangi tempat duduknya. Pria itu tersenyum kepada pramugari yang baru saja mengantarkannya ke tempat duduk, sebelum mendudukan diri di samping Vinka. “Oh, kita ketemu lagi?” sapa Vinka mengenali sosok pria di sebelahnya, adalah sang fotografer yang ada di photobooth kemarin. Alih-alih ikut terkejut, sang pria justru mengerutkan dahi bingung meski bibirnya membentuk senyum. “Maaf, kita pernah bertemu?” tanya sang pria sopan, ada ekspresi tak enak tertera jelas di wajahnya. Jelas canggung ketika seseorang mengenalinya, sedangkan ia tidak kenal sama sekali. Salahkan Vinka yang melupakan fakta, walau menjadi artis belum tentu semua orang mengenalinya. “Saya yang waktu itu foto di photobooth nikahan anak menteri kemarin? Saya yang minta foto waktu Mas lagi makan siang,” jelas Vinka tersenyum ramah, pria di sampingnya itu terdiam sebentar sebelum mengangguk kecil. Sepertinya berhasil mengingat sosok Vinka yang ia temui kemarin. Setelahnya tak ada lagi perbincangan di antara mereka, bertepatan dengan suara pramugari yang mulai terdengar menghimbau para penumpang mengenakan sabuk pengaman mereka. Vinka yang sudah memakai sabuk, lantas menyamankan posisi duduknya hingga tanpa sengaja melihat sesuatu di genggaman tangan pria di sampingnya. Sebuah stress ball berwarna hijau tua, yang dimainkan pemuda itu berulang kali. Vinka juga menyadari, pria di sampingnya itu mencoba menenangkan deru napasnya yang sedikit lebih kecil. Beberapa kali ia berbisik pelan, seolah meyakinkan dirinya semua akan baik-baik saja. Pria ini sedang gugup? *** “Kayla, boleh kita bicara?” Langkah Kayla sontak terhenti, ketika sebuah suara memanggilnya. Sebuah suara yang sialnya begitu ia kenali, meski ia sudah tak pernah mendengarnya bertahun-tahun lalu. Sebuah suara yang hanya terdengar sedikit lebih berat dari yang ia ingat sebelumnya. Ketika Kayla membalikkan badan, ia tak terkejut lagi menemukan sosok Arsen yang bersandar pada tembok. Untung saja lorong yang mereka tempati, adalah lorong dari area toilet menuju ke aula utama. Cukup sepi, hanya ada beberapa pelayan yang beberapa kali bolak-balik. Acara inti sudah dimulai, tak heran tak banyak para tamu yang berlalu lalang di tempat mereka berdiri saat ini. Tempat yang pas jika mereka ingin berbicara. “Boleh, tapi kalau lo mau bahas soal hari itu? Maaf, gue masih belum nyaman,” ucap Kayla menarik senyum tipis, sangat tipis. Mungkin jika Arsen tidak mengamati Kayla begitu intens, ia takkan menyadari pergerakan sudut bibir Kayla yang terangkat. “Gue turut berduka soal Erika.” Arsen menarik napas dalam, banyak hal yang ingin ia bahas namun tatapan Kayla menahan semuanya. Ia tau, segala pembelaan yang akan ia ucap takkan diterima gadis itu. Biarlah ia menyelesaikan permasalahan mereka secara perlahan. “Kalau misalnya gue tau kalau dia-“ “Kejadiannya udah lewat kan?” potong Kayla membuat Arsen bungkam kembali. “Buat apa bahas sesuatu yang udah lewat. Memangnya kalau kita berandai kayak gini, Erika bakal balik?” “Kay, gue cuman mau nyelesaiin semua salah paham antara gue, lo, Vinka dan Yudith. Gue mau semuanya jelas.” “Udah basi gak sih?” balas Kayla sedikit tertawa getir. Ia menunduk, memperhatikan kakinya yang mengetuk-ngetuk lantai. “5 tahun udah lewat dari Erika pergi. Kalau lo mau membela diri, kenapa gak dari dulu aja?” Ucapan Kayla sukses membuat Arsen diam. Gadis itu memijat keningnya yang mulai terasa pening. Emosi yang berusaha ia pendam, terlalu melelahkan. Ia hanya tak ingin meledak di hadapan Arsen, seperti 5 tahun lalu. “Beberapa jam ke depan, gue gak masalah bersikap seolah kita gak ada masalah. Anak kelas nggak perlu tau masalah kita, dan gue juga nggak mau buat jelasinnya.” Arsen menatap Kayla lekat, mendapati matanya menunjukkan perasaan tak nyaman. “Tapi tolong, jangan berusaha ngajak gue bersikap kita sama seperti dulu. Gue datang ke sini buat nunjukin ke anak kelas, ‘kita’ baik-baik saja setelah Erika pergi.” Kata ‘kita’ yang sedikit ditekankan Kayla, membuat Arsen paham apa maksudnya. Jika mereka masih sama seperti dulu, ia tetap termasuk ke dalam konteks ‘kita’ itu. Sayangnya ia paham yang dimaksudkan Kayla adalah ia, Vinka dan Yudith. “Kalau gue tau lo dateng, mungkin kita nggak perlu ketemu kayak gini. Maaf bikin lo jadi teringat sama hal-hal buruk di masa SMA,” ujar Kayla menarik senyum tipis, sebelum beranjak pergi menuju aula utama. Meninggalkan Arsen yang menatap perginya dengan sorot luka yang sama. “Kapan lo mau percaya, semua masa-masa gue di SMA semuanya indah. Terutama yang ada lo di dalamnya Kayla.” *** “Ayo, Mbak udah capek banget nih.” Laras memasang wajah lelah, dari penampilannya terlihat jelas ibu dari satu anak itu sempat tertidur selama penerbangan tadi. Lucu rasanya mengingat mereka yang pergi tiba-tiba, namun Laras tetap menyempatkan diri membawa bantal leher andalannya. Ia memperhatikan Vinka yang mengecek kembali barangnya agar tidak ada yang tertinggal. Pria yang duduk di sampingnya tadi sudah keluar lebih dulu, seolah diburu-buru sesuatu. “Yang jemput siapa Mbak?” tanya Vinka seraya memasang maskernya, menutupi riasannya yang sudah berantakan karena ia sempat jatuh tertidur tadi. Jujur saja, ia sebenarnya memang lelah akibat jadwal syutingnya tadi sore. “Suamiku kebetulan lagi dinas di sini juga dia.” Laras membenarkan letak tasnya, lantas menyadari bahwa mereka adalah penumpang terakhir di dalam pesawat. Memang penumpang pesawat tadi memang sedikit, wajar jika dalam waktu singkat pesawat sudah kosong. “Cepat dong Vin.” Ia hendak bangkit, hingga menyadari sebuah bola berwarna hijau tua di bangku kosong sebelahnya. Stress ball milik fotografer tadi. “Mbak, yang duduk sama aku tadi udah keluar duluan?” tanya Vinka jadi terburu-buru keluar pesawat. Laras yang kaget akan gerakan tiba-tiba artisnya itu, sontak kewalahan mengejar. “Iya, tadi dia udah keluar. VIN!” Teriakan dari manajernya itu, diabaikan Vinka. Ia bergegas menuruni anak tangga ketika menyadari kalau pria yang duduk di sebelahnya tadi sudah berjarak cukup jauh. Entahlah, melihat pria itu begitu gugup menaiki pesawat tadi. Jelas membuat ia sadar kalau stress ball di tangannya teramat penting bagi pria itu. “Kamu tuh kenapa tiba-tiba lari sih?” omel Laras sedikit ngos-ngosan. Untung saja mereka tak menyimpan barang di bagasi, jadi Laras mudah mengejar artisnya yang sudah berlari menuju pintu keluar. Ia bisa melihat suaminya yang berdiri tak jauh dari mereka, mulai mendekat. Namun baru saja ia mau menarik Vinka, artisnya itu sudah berjalan lebih dulu ke arah lain. “Tolonglah Dan, izinin gue selama 3 hari. Ini juga dadakan.” Sayup-sayup Vinka bisa mendengar suara sang fotografer yang nampaknya sedang menelpon seseorang dengan dahi berkerut. Vinka berdiri diam, tanpa sadar memperhatikan pria itu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Lebih tepatnya terkejut akan kendaraan yang menjemput sang fotografer, dan ia meyakini kalau itu kendaraan miliknya. Terbukti dari seorang bapak-bapak yang mengenakan batik, menanyakan tujuan sebelum masuk ke dalam mobil. Ia bisa mendengar bapak itu memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Haidar’. “Iya nanti gue bawain, terima kasih ya Dan,” ucap Haidar untuk terakhir kalinya sebelum mematikan sambungan telpon. Pemuda itu baru menyadari Vinka yang berdiri di dekatnya menunggu. “Ada apa ya Mbak?” “Ini Mas, saya mau balikin ini. Ketinggalan di dalam pesawat tadi,” ujar Vinka segera mengembalikan stress ball di tangannya. “Tadi saya lihat, Mas megangin ini terus selama take off ataupun landing. Jadi saya kira ini penting, makanya saya balikin.” Ekspresi Haidar sedikit terkejut, meraba kantung celananya sebelum tersenyum lega. “Terima kasih, Mbak?” “Vinka, nama saya Vinka.” Vinka menyempatkan diri menurunkan maskernya untuk memberikan senyum. “Lain kali hati-hati ya Mas.” “Iya, terima kasih sekali lagi Mbak Vinka.” Haidar tersenyum sopan, sementara Vinka menaikkan maskernya lagi dan bergegas menghampiri sang manajer. Diam-diam, Vinka jadi penasaran akan sosok pria tadi. Sahabatnya itu bilang, gaji di Hello Wedding tak bisa dibilang cukup besar. Namun, melihat Haidar dijemput seorang supir dan mobilnya yang bisa dikategorikan sangat mahal. Ia jelas dibuat penasaran. Ingatkan Vinka untuk menanyai Kayla, setibanya ia di Jakarta. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN