Pertanyaan Jebakan

1709 Kata
Reyhan dan Aliana begitupun dengan Ferdhy dan Rida, tampak antusias mendengarkan cerita Kiara mengenai kegiatan di sekolah sembari meratah cokelat. Semua perhatian fokus pada anak mungil tersebut. Kiara juga tampak bersemangat menjelaskan apa yang diajarkan bu guru padanya di lembaga belajar itu. Aliana sendiri harus membagi fokusnya pada Kiara dan Baby Rena. Pusat dia mendengarkan anak sulungnya aktif bercerita, tetapi tangan Aliana juga sibuk membelai lembut kepala Rena agar bayi itu segera terlelap. “Tadi di sekolah, Bu Guru bilang, kalau kita semua harus sayang sama keluarga,” tutur Kiara menyampaikan pesan dari gurunya. “Tuh, dengerin, Mas, kata Kiara. Harus sayang sama keluarga. Nggak boleh marah-marah terus,” timpal Rida seraya melirik sang suami. Ferdhy mengerling sinis. “Nggak kebalik ngomong, gitu? Bukannya kamu yang suka ngambek?” Tak merasa, Rida pun tak memusingkan ujaran kebencian Ferdhy padanya. “Terus, Nak. Apa lagi yang Bu Guru ajarin?” tanya Aliana seolah begitu antusias mendengar cerita Kiara. Anak seusia Kiara memang membutuhkan perhatian lebih. Saat anak berani bercerita, orang tua tidak boleh abai agar anak merasa nyaman untuk menceritakan hal apa pun yang dirinya alami. Hal ini akan membuat anak terbiasa untuk selalu terbuka pada kedua orang tuanya tanpa ada rahasia apa pun yang ditutup-tutupi. Hal kecil yang terlihat sepele ini, sebenarnya bisa membentuk karakter seorang anak. Karakter positif ini, biasanya akan anak bawa sampai ia tumbuh dewasa. Kejujuran dan keterbukaan adalah kunci sebuah keharmonisan antara anak dan orang tua. Dengan begitu, anak bisa menemukan kenyamanan dan bahagianya di rumah, tanpa harus mencarinya di luar. Kiara kembali melanjutkan ceritanya. “Terus, Bu Guru nanya, ‘Siapa yang di rumah punya adik?’ waktu Bu Guru tanya, Kiara langsung angkat tangan." Dia memperagakan apa yang dilakukan di kelas. "Bu Guru tanya lagi, Bun. Bu guru tanya nama adik Kiara. Terus Kiara jawab, ‘Namanya Dedek Rena, Bu.’ Bu Guru bilang, nama adik Kiara bagus. Bu Guru juga berpesan sama Kiara, kalau Kiara harus sayang sama Dedek Rena. Kiara harus jadi kakak yang baik dan nggak boleh bikin Dedek, nangis.” “Wah, Kiara, pinter. Anak Abi, hebat.” Reyhan memuji Kiara dengan mengacungkan kedua jempolnya. Gadis kecil itu tersenyum manis. “Terima kasih, Abi.” Reyhan mencium singkat puncak kepala Kiara. “Sama-sama, Sayang.” Kiara menghampiri Aliana yang berada tak jauh darinya. “Bunda, Kiara mau jadi kakak yang baik buat Dedek Rena,” jelasnya sembari mencium pipi gembil Rena yang tertidur pulas di pangkuan Aliana. Mendengar itu, senyum Aliana seketika mengembang. Dia pun mengusap pipi Kiara dan menciumnya dengan lembut. Aliana pula mengesun sisi muka Rena dengan hati-hati agar tidak menganggu tidur bayi mungilnya itu. “Duduk di samping Bunda, Sayang.” Aliana menepuk sofa di sebelahnya lalu sedikit menggeser supaya Kiara bisa duduk di sana. “Bunda, dedek bayi itu datangnya dari mana, sih?” tanya Kiara polos. Aliana mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan anaknya. Siapa yang mengajari Kiara? Atau memang, otak gadis kecil itu terlalu cerdas? Aliana pula langsung menyenggol Reyhan untuk membantu menjawab pertanyaan putrinya itu. Karena dirinya takut salah bicara. “Dedek bayi itu, datangnya dari Allah, Sayang. Allah ngasih kepercayaan Abi, buat bikin dedek bayi di perut Bunda.” Kiara tampak manggut-manggut. “Berarti, Allah nyuruh Abi bikin dedek bayi di perut Bunda?” timpalnya. Kiara tidak akan berhenti bertanya sebelum rasa penasarannya hilang. “Benar sekali. Anak Bunda pintar,” puji Aliana. "Semoga saja nggak ada pertanyaan lanjutan mengenai ini," batinnya cemas. Kiara tampak berpikir. Entah kenapa, jawaban Abi dan Bundanya belum membuat Kiara merasa puas. Ia pun memikirkan sesuatu yang masih mengganjal pikirannya. Aliana sendiri merasa ketar-ketir saat melihat ekspresi Kiara yang menunjukkan penuh rasa penasaran, menimbulkan tanya yang masih mengawang. “Kalau Abi yang bikin dedek bayi. Kok, dedek bayinya keluar dari perut Bunda?” Kiara terlihat berpikir keras. Ketakutan Aliana terjadi. Ia pun hanya bisa memegang pelipisnya. Reyhan tampak kebingungan. Sementara Ferdhy dan Rida terdengar jelas cekikian. "Dasar sahabat durjana!" batin Reyhan. Dia melihat judes keduanya lalu kembali pusat pada sang anak. “Abi titipin di perut Bunda, Sayang. Soalnya Abi nggak sekuat Bunda. Abi nggak bisa bawa dedek bayinya sendirian. Jadi, Abi titipin, deh, sama Bunda.” Reyhan menarik napasnya. Semoga saja Kiara puas dengan jawabannya. “Cara titipin di perut Bundanya, gimana, Abi? Kiara juga mau bikin dedek bayi, terus Kiara titipin di perut Bunda. Kan kata Abi, Bunda kuat.” Reyhan menggaruk kepalanya frustrasi. Anaknya itu terlalu cerdas. Bagaimana cara menjelaskan ini pada Kiara? Melihat Reyhan yang kebingungan dengan pertanyaan Kiara, Ferdhy pun tertawa puas. “Sabar, Rey, sabar. Jelasin tuh, sama Kiara. Jangan cuma bisa bikinnya, doang!” ejeknya. Reyhan mendelik tajam pada Ferdhy yang tidak berakhlak itu. “Kiara belum bisa bikin dedek bayi, Sayang. Kalau Kiara mau bikin dedek bayi, Kiara harus sebesar Bunda dan Tante Rida dulu.” Aliana mengusap rambut Kiara halus. Reyhan menarik napas lega, beruntung ada Aliana yang mau membantunya. Kiara menatap kecewa ibunya. Aliana yang mendapati pandangan itu pula jadi merasa bersalah. “Kok, Kiara sedih? Kan, udah ada Dedek Rena,” tutur Reyhan pada putrinya. “Kiara mau punya satu dedek lagi. Biar rame. Punya banyak saudara biar kalo main nggak sendirian lagi,” ucap Kiara tak semangat. Reyhan yang melihat Kiara loyo pun ikut sedih. “Kiara yakin, mau adek lagi?” tanyanya sekali lagi. Kiara mengangguk gembira. “Mau.” Aliana menatap Reyhan penuh tanya. “Mau bikin lagi?” Belum mendapat jawaban dari Reyhan, Aliana sudah menarik napas wegah. Usia Rena saja belum genap 3 bulan, masa mau bikin lagi? Reyhan tersenyum kikuk tanpa berniat menjawab pertanyaan Aliana. Kini, kedua bola mata pria dewasa itu beralih pada pasangan suami istri yang berada di hadapannya. “Kiara, minta dedeknya sama Om Ferdhy dan Tante Rida aja, ya? Entar dibikinin yang lucu sama mereka.” Ferdhy yang lagi keasyikkan mengunyah coklat pun dibuat tersedak oleh ucapan Reyhan. Ia pula langsung meraih gelas minum yang sudah disediakan Bi Asih. Setelah meneguk hingga tandas, Ferdhy langsung protes. “Lah, kok, aku?” Reyhan nyengir kuda. “Sebagai Om yang baik, masa nggak mau ngabulin keinginan Kiara?” Ferdhy mendelik tajam. “Apa kabar dengan Anda sendiri? Sebagai Abi yang baik, masa nggak mau bikin dedek lagi buat Kiara?” Dia membalikkan perkataan Reyhan. Reyhan menyeringai. “Kan, udah ada Rena. Kalau kamu kan, belum. Bikinin, ya?” Dia merayu Ferdhy sembari memasang wajah imut yang dipaksakan. "Bisa, gak, jangan gitu mukanya? Serem. Horor." Ferdhy merinding. Reyhan memelotot kesal lalu kembali beralih pada anaknya. "Kalo mau bikin dedek bayi kan, tubuhnya harus kuat seperti Abi, Sayang. Kayaknya Om Ferdhy belum sekuat Abi. Jadi, belum bisa kasih sekarang." Segera ucapannya itu berhadiah tumbukan bantal sofa dari Ferdhy. "Sembarangan! Aku ini kuat, malahan lebih kuat dari kamu. Jangan mancing emosi, ya." Ferdhy berkacak pinggang. "Kalo gitu, buktikan dong, Om. Bikinin Kiara dedek bayi." Reyhan tampak santai merapikan rambutnya yang agak berantakan akibat ulah Ferdhy. “Aku, sih, oke-oke aja. Mau bikin 10 juga, gas terus! Masalahnya, ini, nih, ngasih izin, gak?” Ferdhy melirik Rida. Rida pura-pura tidak mendengar perbincangan dua lelaki dewasa itu. Dia tampak tak acuh sembari mengunyah coklatnya. “Kiara, minta adik sama Tante Rida, Nak,” ujar Aliana pada sang putri. Ferdhy tersenyum puas ketika Aliana juga mau mendukungnya. Sementara Rida yang merasa namanya dipanggil pula langsung menoleh. Dia melongo ketika Kiara turun dari sofa lalu menghampirinya. “Tante Rida, mau, ya? Bikin adek buat Kiara?” Kiara merayu. Kemudian gadis kecil itu memeluk Rida lalu menyembunyikan kepalanya di perut rata wanita dewasa itu. “Hah?” Rida kehabisan kata-kata. “Kasih, ya, Sayang. Tega kamu lihat Kiara yang menggemaskan itu berharap banget sama kamu?” tutur Ferdhy mendukung Kiara. “Tante Rida,” panggil Kiara. Anak mungil itu memperlihatkan puppy eyes seraya mengerucutkan bibir. "Ya Allah, nggemesin banget. Mana tega nolak Kiara," batin Rida tergugah. “Iya, Sayang. Kiara berdoa aja sama Allah. Minta sama Allah biar dikasih adek.” Rida menangkup kedua pipi gadis kecil itu sembari menahan gemas. Bukan hanya Kiara yang senang. Ferdhy pun kegirangan. Semangat, lelaki dewasa itu berdiri dan mengentakkan tangannya ke udara. “Yes! Gas, malam jumat!” Reyhan melempar Ferdhy dengan bungkus coklat. “Masih siang, woi!” “Apaan, sih? Sewot aja. Nggak bisa gitu, ya, liat temennya bahagia?” rutuk Ferdhy geram. Rida melirik Ferdhy dengan tatapan sulit diartikan. “Gak ada malam jumat! Kemarin udah. Jatahmu habis sekarang.” Ferdhy melongo di tempatnya. “Lah, terus bikin dedek buat Kiara, gimana, Yaang?” “Alasan.” Segera tawa Reyhan dan Aliana menggema, membuat Rena terbangun. Bayi itu pun menangis kencang. “Hust ... hust ... hust ....” Aliana mencoba menenangkan Rena, tetapi bayi itu tak mau diam. Akhirnya, Aliana pun pamit ke dalam untuk menyu sui Rena. “Aku tinggal ke dalam dulu, ya? Kayaknya si Baby haus, deh.” Reyhan mengangguk. “Ya udah, kasih nenen dulu, biar tenang.” Melihat Aliana bangkit dari duduknya, Rida juga ikut berdiri. “Aku ikut, Al,” ujarnya cepat. “Ya udah. Ayo ke atas.” Aliana mengayuh langkah. “Kiara mau ikut Bunda sama Tante Rida ke atas, gak?” tanya Rida pada gadis yang berdiri mematung di sebelahnya. “Ikut, Tante,” jawab Kiara semangat. Wajah polos Kiara membuat Rida makin geregetan. Dia pun menggandeng tangan Kiara, lalu mengekori Aliana yang sudah berjalan lebih dulu. “Udah pantes, Rid. Buruan kasih adik buat Kiara,” goda Reyhan. “Hadeuh,” Rida memijat keningnya. “Aku bantuin, Yaang, kalo mau bikin," tambah Ferdhy cepat. “Rida nggak denger! Rida nggak denger!” Rida mempercepat langkahnya ingin segera menjauh dari dua lelaki jahil itu. Reyhan tersenyum tipis. “Binimu, Fer. Yang sabar, ngadepin yang jinak-jinak merpati gitu. Tapi seru, sih, kayaknya. Kalau ribut, wajan, sutil, sendok, garpu pindah ke kamar. Ranjang patah jadi lima, siram siraman minyak di wajan. Boleh dicoba, pasti uwu.” Membayangkannya, Reyhan jadi terkekeh. “Seru gundulmu!” seru Ferdhy kesal. Reyhan malah tergelak hingga terpingkal-pingkal. Menggoda Ferdhy adalah salah satu aktifitas paling menyenangkan baginya. Air muka masam sahabatnya itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Ferdhy yang geram pun langsung menyumpal mulut Reyhan dengan cokelat. "Makan, nih." Hap! Seketika tawa itu pula Reyhan berhenti dengan mulut yang sudah penuh oleh cemilan manis tersebut. Matanya memelotot seolah ingin membunuh seseorang yang berdiri tepat di hadapannya kini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN