Konsultasi

1527 Kata
Tampak Rena mulai nyaman dengan mata yang mulai terpejam di dekapan Aliana. Sementara Rida asyik bercengkrama dengan Kiara. “Tante Rida sama Bunda udah temenan lama?” tanya Kiara yang tiduran di samping Rida. Rida yang masih duduk anteng di bibir ranjang pun turut merebahkan diri di sisi Kiara. “Geser dikit, Sayang. Biar Tante Rida nggak jatuh,” ujar Aliana yang tengah meninabobokan Rena kepada anak sulungnya. Kiara pun nurut, membuat Rida memiliki ruang lebih. "Lumayan lama, Sayang. Jadi Bundamu ini temen kuliah, Tante," jelas Rida. Kiara menganggup-anggip. "Tante tau, dong, cerita Bunda dan Abi." "Tentu. Tante ini saksi hidup kisah cinta Abi dan Bundamu, tau." Rida terlihat bangga. "Abi sama Bunda ketemu di mana, sih, Tan? Kenapa mereka bisa menikah?" Menanggapi pertanyaan Kiara mengakibatkan Rida menjadi pengarang dadakan. Tidak mungkin, dia mengatakan yang sejujurnya kepada Kiara yang masih kecil itu. Memberitahu kalau Aliana terpaksa menikah dengan Reyhan, karena Dira-kakak Aliana, sedang terdesak waktu. “Abi sama Bunda itu menikahnya dijodohin, Sayang. Karena Bunda Aliana nggak mau pacaran. Jadi, Bunda dijodohin, deh.” Kiara mengangguk paham. "Gitu ya, Tante? Kalau Kiara udah gede, Kiara juga nggak mau pacaran, ah. Kiara mau dijodohin aja.” Rida terkekeh. “Yakin, Kiara mau dijodohin? Dijodohin itu nggak enak, loh. Nggak bisa nyari yang sesuai pilihan hati Kiara.” Kiara mengangguk mantap. “Yakin,” jawabnya. “Kenapa?” tanya Rida. “Biar kayak Bunda sama Abi. Kiara juga mau punya suami yang baik kayak Abi,” balas Kiara polos. “Tuh, dengerin, Al. Anakmu minta dijodohin. Mau dicariin yang bener, yang agamanya bagus, dan akhlaknya baik kayak Abi Reyhan, katanya,” adu Rida pada ibu dari anak manis itu. Aliana menatap Rida. “Ya nanti lah, Rid. Masa iya, aku cariin jodoh buat Kiara yang masih 6 tahun? Yang bener aja!” gerutunya. Rida nyengir kuda tak merasa berdosa. “Ya, kali aja, persiapan.” Setelah tidak ada lagi obrolan berarti, tiba-tiba, Kiara menguap. Tampak anak itu menahan rasa kantuk yang mulai menyerang. “Kiara ngantuk, Nak?” tanya Rida yang melihat Kiara melenggut. Kiara menganggukan lemah. “Iya, Tante.” Rida tersenyum. Dipeluknya tubuh mungil kiara. “Dah, tidur. Tante Rida, kelonin.” Dia membelai rambut Kiara seraya menyenandungkan selawat. Kiara merasa begitu nyaman di rengkuhan Rida, hingga membuat kantuknya kian tak terkendali. Kiara pun mengeratkan pelukannya pada Rida, menjadikan tubuh ramping wanita muda itu sebagai guling. Lantunan selawat yang disenandungkan Rida, membuahkan alam mimpi lebih cepat menjamah Kiara. Tak lama, gadis kecil itu pun terlelap. “Kiara udah tidur?” tanya Aliana. Rida mengangguk. “Ho’oh.” Aliana usai menyu sui Rena, karena bayinya itu juga sudah tertidur nyenyak. Dia membelai lalu mencium wajah bayi mungil itu. Aliana tersenyum saat melihat wajah menggemaskan Rena. “Al,” panggil Rida. “Hemmm?” kemam Aliana seraya menoleh. “Lahiran sakit, gak? Mending normal apa cesar?” tanya Rida ragu-ragu. Aliana mengerutkan dahi kala mendapatkan pertanyaan yang dirasa aneh dari sahabatnya itu. Dia menatap Rida penasaran, seolah meminta penjelasan dari tanya Rida barusan. “Mau program hamil?” Rida menatap Aliana lama dengan air muka sendu. “Nggak tahu. Aku sih, sedikasihnya aja. Tapi Mas Ferdhy udah pengin banget punya baby.” "Hah? Di mana letak salahnya? Kenapa Rida terlihat khawatir? Toh, tidak ada yang perlu ditakutkan kalau dia hamil, karena ada Ferdhy-suaminya. Dia sudah menikah," batin Aliana yang terbengong-bengong. Kemudian ditatapnya wajah pilu Rida. “Terus, kenapa nggak coba program, Rid? Kamu, kan punya suami. Ada yang bakalan tanggung jawab kalo kamu hamil. Terus, kenapa kamu kelihatan gelisah gitu?” “Takut, Al. Kamu dulu lahiran gimana? Sakit, gak?” Rida meringis. Aliana terkekeh. “Jadi, yang bikin kamu takut hamil itu karena lahirannya?” Rida mengangguk malu. “Rida, ya Allah. Kamu itu calon dokter, loh. Masa takut lahiran? Kalau nggak berani normal, ya, ambil proses cesar aja.” Aliana mengusap wajahnya. Rida tampak mencebikkan bibirnya. “Enak mana, Al? Normal atau cesar?” “Semuanya nggak ada yang enak, Rida, karena orang melahirkan itu mempertaruhkan nyawa. Aku belum pernah lahiran normal. Waktu lahiran Baby Rena, aku kan, kecelakaan. Jadi, mau nggak mau, ya, harus cesar. Kalau boleh milih, sih, aku pengin normal. Tapi, baik normal maupun cesar, ada plus minusnya. Kalau normal, enaknya itu penyembuhannya cepat, jahitannya juga lekas kering. Untuk cesar, lumayan nyaman, sebab nggak perlu cape mengejan, tapi, ya, luka jahitannya sembuhnya lama. Akan tetapi apa pun itu, kodrat wanita adalah melahirkan seorang anak. Kamu nggak perlu takut, karena pada umumnya, semua perempuan akan menjadi seorang ibu.” Rida tersenyum kecut. “Iya, sih. Kamu benar. Thanks ya, Al. Nanti, deh, aku omongin ini sama Mas Ferdhy.” Aliana tersenyum. “Buruan, bikin adik buat Kiara. Tuh, dia udah berharap banget sama kamu, sampai tidur aja meluknya erat banget.” Dia melirik Kiara yang tidur begitu damai di pelukan Rida, tentram. “Kamu nggak mau nambah?” goda Rida. “Terus, ini si Rena siapa yang urus? Siapa yang susuin? Kamu!” sungut Aliana gregetan. Rida terkikik. “Ya, kali aja khilaf.” Aliana menimpuk Rida dengan guling kecil milik Rena. Lemparan itu berjaya mengenai muka Rida. "Ih, Al!" Dia membenarkan ujung depan kerudungnya yang agak mencong. Aliana hanya tertawa tanpa berniat menanggapi rengekan Rida. Rida pula memanyunkan tepi mulutnya. “Al, ngantuk.” Dia menguap membuat cairan bening menyembul dari matanya. “Ngantuk, ya tidur, Rida, malah curhat.” Aliana menahan tawa. Tanpa mempedulikan Aliana, Rida pun menutup matanya, menyusul Kiara yang telah lebih dulu menggapai loka delusi. Melihat Rida tertidur pulas, Aliana pula ikut mengantuk. Alhasil dia pun mengikuti keduanya membenamkan diri, meraih bunga tidur. Di tempat berbeda, Ferdhy tengah nyaman mengutarakan unek-unek di hatinya kepada Reyhan. “Rey, pagi-pagi kalau lo bangun tidur, ikut bangun juga, gak?” tanyanya. “Kalau bangun tidur, ya, jelas bangun, lah. Masa bangun tidur mata merem?” Reyhan belum terkoneksi. “Bukan bangun itu maksudnya, tapi bangun yang lain." Ferdhy memijat keningnya mendapati ketidakpekaan sang sahabat. “Oh, anu, maksudnya? Ya, bangun. Kesenggol dikit aja langsung mencak-mencak.” Ferdhy tertawa. “Terus, bini lo mau ngasih?” “Ya, kagak, tapi gue yang suka maksa. Tapi itu pas Aliana belum hamil. Pas udah hamil, terpaksa agak ditahan dikit.” “Lah, gue maksa si Rida malah ditendang. Asem, emang.” Mendengar itu, Reyhan pun terbahak. “Ya, lo maksanya tiap hari. Jelas kalo dia mau ngamuk! Apalagi si Rida itu jinak-jinak merpati. Dah, terima nasib. Ntar malem jumat, jangan kasih kendor. Pepet teros sampai dapet! Kalau perlu, sogok! Tanyain, skin care dah, habis, belum? Jatah bulanan masih ada, gak? Mau es krim, gak? Jajanin seblak, beliin bakso, ajak ke salon, di rumah, pijitin. Mbabu bentar nggak masalah. Penting jatah lancar. Bikinin adek buat Kiara.” “Yang udah pro emang beda, ya?” sindir Ferdhy seraya melirik Reyhan dengan seringai menyebalkan. Reyhan juga memalingkan wajah, tidak menggubris. *** Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang kala Rena menangis, mengusik pendengaran orang-orang di sekitarnya. Rida dan Kiara yang merasa terganggu pun mengerjapkan mata, bangun. Sementara Aliana langsung menggendong Rena. “Cup, cup, cup, Sayang.” Dia berusaha menenangkan putrinya. Rida melirik jam di dinding. "Udah jam 2 siang," gumamnya. Rida pun menguap diikuti Kiara. Melihat anak berumur enam tahun itu tertular, dia malah terkekeh. "Ketularan." Rida mengacak-acak rambut Kiara yang tengah nyengir padanya. Setelah Rena tenang, Aliana mengajak yang lain untuk turun ke lantai dasar menemui Ferdhy dan Reyhan. “Rida, turun, yuk!” ajaknya. Rida mengangguk. “Ayo!” Dia lantas menuntun Kiara. “Kok, pada muka bantal semua?” tanya Ferdhy saat mereka sudah berada di hadapannya “Bangun tidur,” ujar Rida dengan suara serak khas bangun tidur. “Duh, enak banget, ya, yang bisa tidur siang. Lakinya ditinggal tidur.” Kini giliran Reyhan yang julid. “Enak dong, bisa mimpi ketemu Jimin," canda Rida. Ferdhy langsung menatap Rida tak suka. “Siapa Jimin?” “Pacar baru. Eh, bukan. Calon suami.” Ferdhy kembali menatap sinis istrinya. “Berani selingkuh, tak suntik mati selingkuhanmu!” ancamnya tak main-main. Rida terkekeh dibuatnya. “Jimin itu, artis korea yang paling Rida idolakan. Mana mungkin aku bisa menggapai pacar haluku.” “Nggak ada halu-haluan! Syukuri yang ada di hadapanmu saat ini.” Rida pun mengalah. Dirinya menghembuskan napas berat. “Iya .... “ *** Hari sudah beranjak sore. Rida dan Ferdhy pun harus pamit. “Kiara, Tante Rida pulang dulu, ya? Kapan-kapan kita ketemu lagi,” pamit Rida pada gadis kecil yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Wajah Kiara berubah sendu. “Tante Rida jangan pulang, ya? Hari ini Tante Rida tidur di kamar Kiara, aja. Om Ferdhy pulang aja nggak apa-apa." “Lah, Om Ferdhy, diusir?” Ferdhy bengong. Reyhan menahan tawa kala melihat wajah bingung Ferdhy. Aliana menghampiri Kiara, lalu mencoba memberi pengertian padanya. “Kiara, Tante Rida harus pulang, Sayang. Kalau Tante Rida tidur sama Kiara, entar Om Ferdhy, nangis nggak ada temannya. Katanya, Kiara mau dedek bayi? Nanti dibuatin Om sama Tante.” “Beneran Om sama Tante mau bikin adik?” Kiara menatap Rida penuh pengharapan. Melihat puppy eyes Kiara yang menggemaskan, Rida pun mengiyakan. “Iya, Sayang.” Dalam hati, Ferdhy sudah bersorak sorai. “Yes, sunnah rosul!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN