Sayang Istri

1590 Kata
Pukul tiga pagi, Rida pun bangun. Dia meraih ponselnya di atas nakas untuk mematikan alarm. Rida menyiah selimut yang menutupi tubuh polosnya lalu turun perlahan dari tempat tidur. Rida tidak ingin mengganggu lelap suaminya. Namun, sepertinya pergerakan Rida telah mengusik ketenangan Ferdhy. Fedhy mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang menerobos netra. Dia merasa silau, karena lampu utama yang masih hidup, nyalang. Ferdhy melihat Rida berjalan mungut menuju kamar mandi. Rida tampak mengayuh langkahnya perlahan. Entah kenapa wanita itu masih saja merasa perih setiap kali selesai melakukan itu. Padahal ini sudah yang kesekian kalinya. “Kenapa jalannya gitu?” tanya Ferdhy yang keheranan. Rida terkinjat. “Astaghfirullah!” serunya seraya memegangi da da. “Kebiasaan, deh. Suka banget bikin orang jantungan?!” Rida tampak kesal. Dia tidak menyadari sebelumnya kalau sang suami juga ikut bangun. “Ya, maaf.” Ferdhy turun dari ranjang lalu menghampiri Rida. “Masih sakit?” tanyanya seraya menyibakkan surai legam sang istri. Rida mengangguk lemah. “Dikit.” Ferdhy mengukir senyuman sembari menatap Rida. Dia pun membopong tubuh wanita pendek itu tanpa aba-aba. Rida memekik tertahan saat Ferdhy tiba-tiba saja menggendongnya tanpa peringatan. “Mas!" Ferdhy hendak memompong Rida ke bilik air, karena tidak tega melihat istrinya itu kesulitan berjalan. "Mas, turunin aku," rengek Rida. "Mas, turunin Rida. Rida bisa jalan sendiri." "Udahlah. Biar aku membantu kamu. Aku nggak tega lihat kamu jalan kayak tadi. Pasti sakit, ya?" Ferdhy melihat istrinya prihatin. "Nggak, kok. Biasa aja. Aku jalan pelan kayak gitu, karena kuatir membangunkanmu." "Jangan bohong! Bohong dosa!" "Maaas." Rida merenyeh seperti anak kecil. Ingin hati memberontak, sebab tidak nyaman diperlakukan seperti bocah. Namun, dia tidak mau membuat kegaduhan di pagi-pagi buta begini. Rida khawatir akan membangunkan ayah dan ibu mertuanya. “Udah, diem aja. Nurut sama suami. Aku mau manjain kamu. Aku nggak tega lihat kamu jalan tertatih-tatih kayak gitu." Ferdhy merasa sedikit bersalah. "Maaf, ya. Gara-gara aku, kamu jadi kesakitan begini.” Dia tak tega melihat Rida seperti itu. Apa memang istrinya tersebut selalu seperti ini setiap kali selesai berhubungan? Sebab Ferdhy masih merasakan sensasi yang sama saat melakukan pe nya tuan. Rasanya masih sama seperti saat pertama kali mereka melakukannya. Rida tersenyum senang kala mendapatkan perhatian dari Ferdhy. Suaminya yang sensitif dan perhatian itu membuat Rida merasa istimewa. Ferdhy selalu berhasil menyenangkan hatinya. Pria itu seperti mengerti keinginan Rida. Dia selalu melakukan yang terbaik untuk membuat Rida bahagia. “Mas Ferdhy, nggak perlu minta maaf. Aku nggak apa-apa, kok. Hanya sakit sedikit aja. Emm, tapi makasih, ya, udah perhatian sama Rida. Maaf, Rida ngerepotin.” Ferdhy terkikih. “Kamu itu lucu, ya?” Rida mengernyit bingung. Apanya yang lucu? Perasaan dia tidak sedang melawak. “Apanya yang lucu?” herannya. Ferdhy menurunkan Rida di sisi bathtub. “Ya lucu aja. Orang kamu yang kesakitan, kok, kamu yang minta maaf?” Rida tak acuh. Dia sudah tidak sabar ingin segera berendam di air hangat. Rida pun langsung menyalakan keran air dan menuangkan sabun wewangian ke dalam bak. Setelah bathtub terisi penuh, Rida pula lekas memanjakan dirinya. Ia berendam dengan busa yang melimpah. Rida menatap heran Ferdhy yang masih berdiri mematung. “Kenapa masih di sini?” tanyanya. Tanpa menjawab sepatah katapun Ferdhy langsung melepas kolornya, membuat Rida membelalak kaget. “Mas, aku mau mandi, loh. Kamu ngapain lepas itu?” ujar Rida bergidik. Lelahnya setelah pergulatan semalam juga belum hilang. "Apakah dia ingin mengulanginya lagi?" batin Rida seraya mengernyit. Tubuh Rida masih terasa remuk redam akibat permainan yang suaminya lakukan. Dirinya tidak sanggup jika sekarang harus melakukannya lagi. Tanpa meminta persetujuan Rida, Ferdhy pun ikut berendam di sana. Rida beringsut menjauh dari Ferdhy, tetapi lelaki itu malah terus mengikis jarak di antara mereka. “Mas,” lirih Rida dengan raut wajah yang sukar. Ferdhy membelai rambut Rida yang setengah basah itu penuh sayang. Rida hanya diam pasrah. Dia tidak bisa menolak manakala Ferdhy benar-benar menginginkannya lagi, sebab Rida merasa kalau ini semua tanggung jawabnya. Ia hanya bisa berdoa, semoga Ferdhy berbaik hati untuk tidak melakukannya sekarang. Sungguh kini Rida sudah amat kelelahan. "Kamu kenapa kayak ketakutan gitu, sih? Lihat aku kayak lihat setan aja. Aku cuma mau kita mandi bareng. Aku mau manjain kamu. Jadi, sekalian aku bantu kamu mandi.” Rida menarik napas lega. Syukurlah, bila Ferdhy memahaminya. Rida beruntung memiliki suami sepertinya yang tahu bagaimana menyelami situasi. Namun, Rida merasa sedikit bingung. Apa maksud Ferdhy membantunya mandi? Kenapa pula harus dibantu? Toh, kedua tangan Rida masih berfungsi. “Maksud kamu apa, Mas? Bantuin Rida mandi? Kamu nggak perlu mencemaskanku. Aku nggak apa-apa, kok. Aku masih bisa mandi sendiri. Kamu nggak perlu bantuin aku,” jelas Rida. “Aku cuma mau manjain kamu, Sayang. Aku mau mandiin kamu. Udah kamu diem aja, ya. Kamu tinggal duduk manis, beres." Ferdhy memijat Rida lembut hingga otot-otot bahu wanita itu menjadi lebih rileks. Sementara Rida hanya bisa diam, tak lagi membantah, sebab rasa nikmat yang kini mendera tubuhnya. Lumayan, salon gratis. Halus, Ferdhy mere mas pundak Rida. Benar kata lelaki itu, Rida merasa enakan sekarang. Tubuhnya yang semula terasa awut-awutan, kini menjadi lebih lentur setelah dimanjakan pijatan Ferdhy dan air hangat. Kemudian dia menyipratkan air ke rambut Rida lalu memijat kepalanya. Tak lupa Ferdhy pula mengeramasinya. Dia sungguh memberikan servis spesial kepada Rida. “Angkat tangannya,” perintah Ferdhy. Seperti anak kecil yang patuh, Rida menuruti semua perintah Ferdhy. Diam dia merasai selesa yang tercipta akibat ulah suaminya itu. Menyenangkan. Tiba saat dua gundukan berisi itu tertangkup tangan besar Ferdhy. Hal itu berhasil membuat Rida memekik kegelian. “Aw!” “Sakit?” tanya Ferdhy merasa bersalah. Entah kenapa dia selalu lupa diri bila berhadapan dengan dua itu. "Tahan, Fer. Bini kamu masih sakit. Kamu cuma bantu mandiin dia, nggak lebih," batin Ferdhy menyugesti dirinya. Rida menggeleng pelan. “Nggak, tapi geli,” ujarnya jujur. “Gitu aja geli. Padahal, biasanya lebih dari ini,” canda Ferdhy. Plak! "Aduh!" Ferdhy mengusap pahanya yang barusan dipukul Rida. "Sakit, Yaang." Dia meringis. Rida memelotot. "Makanya jangan ngomong sembarangan," sungutnya. “Udah, cepetan bilas rambutku. Mataku udah perih, nih.” “Iya .... ” Fedhy menyalakan shower lalu menyemprotkan ke rambut Rida. Setelah tubuh Rida terbilas bersih, perempuan itu pun beranjak dari bathtub lalu mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambutnya. “Terima kasih, suamiku yang paling baik dan pengertian. Sering-sering ya, manjain istrinya. Dah, aku keluar duluan. Kamu cepetan mandinya, ya. Jangan lupa niatnya. Jangan lama-lama mandinya. Kita tahajud bareng. “Sayang,” panggil Ferdhy. Rida yang hendak menarik kenop pintu pun menoleh. “Iya?” “Nggak ada niatan buat mandiin aku balik, gitu?” Rida terkekeh. “Nggak mau. Badanku udah bersih.” Ferdhy pun menekuk wajahnya masam. “Curang kamu, Yaang! Awas aja!” Dia yang kesal pula menyipratkan busa ke arah Rida. Namun, kalah cepat, karena Rida sudah lebih dulu melesat keluar. "Dasar." Ferdhy tersenyum konyol lalu bergegas mempercepat mandinya. Selesai membersihkan diri, Ferdhy keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Dia tersenyum simpul saat melihat Rida yang sudah rapi dengan gamis kesayangannya. “Aku ambil wudu dulu. Habis itu kita tahajud bareng. Tunggu aku.” Rida beranjak menuju kamar Mandi. Ferdhy pun segera mengenakan sarung serta baju kokonya. Kemudian dia menyusul sang istri untuk bersuci. *** Setelah tahajud bersama, keduanya pula berzikir. Rida dan Ferdhy fokus mengucapkan puji-pujian kepada Allah seraya bertasbih. Cukup lama mereka berzikir hingga waktu salat subuh tiba dan mengusaikan kegiatan keduanya. Rida dan Ferdhy pun melaksanakan salat dengan penuh penyerahan. Mereka ruku lalu sujud dengan kebulatan hati. Baik Rida maupun Ferdhy tidak pernah meninggalkan kewajiban mereka. Keduanya selalu menyempatkan diri untuk melaksanakan lima waktu, meski kegiatan sehari-hari keduanya padat dan menuntut. “Assalamu’alaikum warahmatullah.” Selesai salat, keduanya pun menengadahkan tangan, bermunajat. Memohon keridaan Illahi dengan setulus hati. Tiada yang saling mengumbar doa. Hanya dalam hati keduanya memanjatkan pengharapan. Doa keduanya melangit. Tak ada yang mampu mendengar suara hati mereka, kecuali Tuhan. Dia yang maha tahu segala-galanya. Usai salat, Rida merapikan mukenanya kembali. Ting! Bunyi notifikasi dari ponsel Rida. “Siapa yang nge-chat di pagi-pagi buta begini? Nggak sopan!” tukas Ferdhy tidak suka. Rida menggedikkan sebelah bahunya acuh tak acuh. “Nggak tahu. Coba buka pesannya.” Dia mengizinkan sang suami untuk melihat isi pesan tersebut. 08136527xxxx: Selamat pagi, Rida. Ini saya Erlangga. Maaf, pagi-pagi sudah mengganggu waktunya. Nanti sepulang kuliah, kamu ada waktu luang, gak? Saya ada sedikit urusan sama kamu. Kalau kamu ngggak keberatan, nanti saya tunggu di kantin. Saya mau nawarin kamu buat jadi asisten dosen. Saya begitu terkesan dengan kemampuan kamu. Tolong balas segera. Saya tunggu jawabannya. Ferdhy membelalak geram saat membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal itu. Tangannya mengepal keras saat tahu siapa pengirimnya. “Kurang ajar!” Ferdhy gusar. “Eh, kenapa kamu, Mas? Siapa yang nge-WA? Kok, kayak bahagia banget gitu?” "Bahagia gundulmu!" seru Ferdhy marah. “Nih, baca sendiri." Dia menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya dengan perasaan jengkel yang sudah mengelumuni diri. Rida menerimanya lalu membaca isi pesan tersebut dengan teliti. "Dosen kamu nggak tahu diri banget! Dia mau ajak kamu ketemuan. Katanya mau nawarin kamu buat jadi asisten dosen. Hah! Alasan. Dasar cowok gatel!" gerutu Ferdhy gusar. "Nggak usah terima tawarannya. Aku nggak suka kalau dia deket-deketin kamu!” Entah kenapa wajah kesal Ferdhy terlihat begitu menggemaskan bagi Rida. Dia pun tertawa kecil. “Ogah banget. Jadi asisten kamu aja udah kerepotan. Belum lagi ngurusin tugas kampus dan jadi bendahara rumah. Mumet aku.” Ferdhy mengapit kepala Rida lalu menyembunyikannya di ketiaknya. “Urusan uang aja, cepet.” “Ya, iya lah. Realistis." Rida menyengir. "Iih, lepasin!” Dia memberontak meminta dilepaskan, tetapi Ferdhy tidak mengindahkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN