Sunnah Rosul

1737 Kata
Isya pun usai. Ferdhy dan Rida baru saja selesai menunaikan kewajiban mereka. Tampak Rida melepas lalu melipat mukenanya. Sementara Ferdhy, mengambil ponsel lalu duduk di tepi ranjang dengan sarung yang masih terpasang. “Mas, jadi keluar?” tanya Rida memastikan. Ferdhy mengalihkan pandangan dari benda pipih yang sedari tadi jadi pusat perhatiannya. Dia pun menaruh telepon genggamnya itu di atas nakas lalu beralih pada sang istri yang tengah merapikan perangkat ibadahnya. “Aku ikut aja. Kamu maunya gimana? Tadi katanya pengin makan bakso? Kalau mau keluar, ya, ayo! Kalau nggak mau? Ya, udah di rumah aja. Rebus mie instan buat makan, beres. Aku manut sama Bu Bos. Aku kan, cuma sopir.” Rida mencebikkan bibirnya. Suaminya ini, memang sengaja menyindir atau bagaimana? "Punya suami, kok, pinter banget sarkasme. Dia ini dokter atau guru bahasa, sih?" batin Rida mengeluh. “Ya udah, kita keluar. Kasihan suamiku. Udah jadi sopir, makannya mie instan, lagi. Entar bu sung lapar. Rida nggak mau dibilang istri durjana.” Wajah Ferdhy tertekuk masam. Ia beranjak mengambil celana. “Dih, pencitraan,” ujar Ferdhy seraya memakai lancing pendeknya supaya lebih santai. “Dikit, doang,” jawab Rida seraya tersipu. Ferdhy mengacak-acak rambut Rida gemas. “Udah, buruan siap-siap. Entar warungnya keburu tutup. Entar kamu nangis lagi!” Rida menyunggingkan senyuman. Dia pun bergegas mengenakan pasminanya. Rida tersenyum puas kala melihat tampilannya di cermin. “Cantik." Namun, dia merasa masih ada yang kurang kala melihat pantulan wajahnya di kaca. Tepi mulut Rida tampak pucat. Dia pun meraih lip tint di meja rias. Ferdhy yang memperhatikannya pun langsung memprotes saat Rida hendak memoleskan gincu ke bibir. “Nggak usah dandan. Mau goda siapa kamu?” Ferdhy tidak mau Rida tampil memukau di hadapan pria lain, terlebih asing. Dia selalu merasa cemburu bila ada yang memperhatikan istrinya dengan tatapan memuja. Tanpa menoleh Rida berkata, “Bibirku kelihatan pucat ini, loh. Aku cuma mau oles lip tint dikit,” ujarnya seraya membuka tutup pelembab bibir itu. “Nggak usah oles-olesan. Udah malam. Nggak bakal ada yang ngelirik,” ketus Ferdhy. Dia tidak suka melihat Rida cantik di hadapan orang lain. Kecantikan istrinya itu hanya boleh dinikmati olehnya. “Dikit aja, ya?” Rida tetap kukuh. “Nggak! Ya, nggak!” Ferdhy tetap mempertahankan keputusannya. Bukan hanya masalah perasaannya saja, tetapi dia juga ingin menjaga sang istri dari pandangan lawan jenis yang bukan mahram. “Kenapa?” Ferdhy memutar bola matanya. “Nurut kata suami, karena itu yang terbaik buat kamu.” Rida menaruh kembali lip tint itu pada tempat semula. Ia mengalah, karena malas berdebat. “Halah, bilang aja cemburu. Pakai bilang yang terbaik buat Rida segala.” “Cemburu? Wajar karena aku suami kamu dan aku nggak suka kalo ada lelaki lain yang memandangi kamu berlebihan. Aku memerintahkan kamu jangan berdandan, sebab ingin melindungi kamu dari tatapan seperti itu," jelas Ferdhy bersungut-sungut. “Cemburuan banget, sih, suamiku?” Ferdhy melirik sinis. “Kalau nggak mau dicemburui, nikahnya jangan sama orang yang tulus mencintai kamu. Nikah aja sama orang yang nggak peduli sama apa pun yang kamu lakukan. Yang cuma jadiin kamu sebagai pemuas naf sunya saja. Mau kayak gitu?” Sifat jahil Rida tiba-tiba keluar. Ingin membuat suaminya semakin kesal, ia pun berceloteh, “Emmm ... udah terlanjur nikah sama kamu, sih. Nikah lagi boleh?” Ferdhy menghela napas panjang. “Cukup istriku saja, ya Robb. Jangan sampai ada Rida-rida yang lain di luar sana, karena tidak semua laki-laki memiliki tingkat kesabaran yang tinggi sepertiku.” Cup! Rida mendaratkan sebuah kecupan di pipi Ferdhy. “Udah, ah, jangan lebay. Ayo jalan sekarang. Entar keburu tutup kang baksonya." Dia menyambar tasnya, lalu menggandeng lengan sang suami. *** Ferdhy melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah. Tin! Bunyi klakson dan deru mobil saling berkolaborasi. Ferdhy sedikit membuka kaca jendela, lalu menyapa pak satpam yang dikenalnya sedari kecil. “Mari, pak,” ujar Ferdhy santun. “Hati-hati, Mas Ferdhy,” jawab Pak Satpam ramah seperti biasa. Saat mobil sudah sampai di jalan utama, Ferdhy pun menanyakan arah tujuannya. “Ini jadi ke tempat bakso beranak?” Rida mengangguk antusias. “Jadi, dong. Udah ngiler banget aku.” Ferdhy kembali memfokuskan pandangannya ke depan. “Mas,” panggil Rida. “Hemmm?" sahut Ferdhy. Dia melirik perempuan yang duduk di sampingnya sekilas. “Bakso beranak, hamilnya gimana, ya? Terus bapaknya siapa?” Kelakuan Rida yang iseng membuat Ferdhy menahan napas. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Berkali-kali Ferdhy mengucap istigfar. “Astaghfirullah. Lebihkan kesabaran hamba, ya, Allah.” Setelah rasa kesal Ferdhy mereda. Dia pula mengalihkan fokusnya sebentar. Ferdhy menoleh pada sang istri yang menatapnya dengan wajah tanpa dosa. “Ya, aku juga nggak tahu, Rida. Entar kamu tanyain aja sendiri sama penjualnya. 'Gimana cara menghamilinya?' Tanyain juga nama suami bakso beranak itu sekalian. Mungkin aja, si bapak penjual bakso itu suaminya. Kalau kamu tanya aku, ya, mana aku tahu? Aku bukan bapak dari anaknya bakso beranak. Yang pasti, bukan aku yang hamilin!” Seketika tawa Rida pun melolong. Dia tergelak renyah, terpingkal hingga membuat otot perutnya terasa ngilu. Rida terbahak tak terkendali seraya memegangi perut. “Hahaha ... haha ... ha ... duh, ampun. Parah kamu, Mas. Jawabnya serius banget sampe perut Rida sakit,” ucapnya dengan air mata berderai. “Lagian pertanyaannya ada-ada aja. Sekarang rasak no akibatnya. Berani mempermainkanku, ya, begitu. Makanya, jadi orang itu jangan usil. Kurang kerjaan banget nanya-nanya suaminya bakso beranak. Mending kamu yang aku bikin beranak!” Rida pun diam. Kalau diladeni, bukan tidak mungkin kalau pembahasan mereka akan melenceng ke arah erotis. *** Tak selang lama, keduanya pun sampai di kedai bakso. Lapak sederhana itu berada tepat di samping SPBU dan keadaannya pula tampak cukup ramai. Kedainya terlihat bersih dan rapi. Kursi dan mejanya mengkilat membuat siapapun nyaman menyantap bakso di tempat itu. Rida dan Ferdhy pun memilih meja paling ujung agar tidak terlalu bising. Dua porsi bakso beranak juga dipesan. "Mas, aku yakin pasti baksonya enak. Soalnya tempat ini, tuh, lagi viral," tutur Rida antusias. "Jangan berlebihan dulu. Ngerasain juga belum." Ferdhy tak acuh. Rida sungguh tidak sabar menanti bakso beranak dengan cabai pedas yang memanjakan lidah itu segera melewati kerongkongannya. Tak butuh waktu lama, pesanan mereka pun sampai. Rida segera mengeksekusinya dengan semangat. Saat Rida hendak mengambil wadah sambal, dengan gerakan cepat Ferdhy mendahului. Dia menuangkan satu sendok penyedap yang terbuat dari cabai itu ke mangkuk Rida. “Udah, segitu aja.” “Cuma satu sendok? Mana berasa, Mas? Aku tuh, pengen makan bakso yang pedes, yang seger, loh. Mana sini sambelnya?” Rida menengadahkan tangannya dengan raut wajah kesal. Ferdhy menggodek tegas. Ditampiknya tangan Rida. “Nggak ada yang namanya tambah sambel. Aku nggak mau kamu sakit perut, terus dijadikan alasan untuk menggagalkan kesepakatan kita. Aku tahu yang ada di pikiran kamu, ya? Jadi, jangan coba-coba menipuku! Udah, cepet makan. Entar keburu dingin, nggak enak.” Rida memutar bola matanya jengah. Meski begitu, dia tetap memakan bakso tersebut. Walaupun tingkat kepedasannya tidak sesuai ekspektasi, tetapi itu tidak terlalu buruk. Karena rasanya memang boleh diadu. Lahap, Rida menyantap bakso beranak yang selama ini selalu membuatnya ngiler itu. “Mau nambah?” tawar Ferdhy saat melihat Rida makan dengan begitu semangat. Rida hanya menggeleng sebagai jawaban, karena mulutnya sedang penuh. Pusat dia menikmati jajanan berat tersebut dengan raut wajah gembira. Sebagai penyuka bakso, baru kali ini Rida merasakan bakso seenak ini. Tidak salah dia datang ke tempat ini. Rasanya sungguh memanjakan lidah dan membuatnya susah berhenti. "Enak banget," monolognya. Setelah beberapa lama, bakso di mangkuk Rida pun tandas. “Alhamdulillah,” ucapnya kala bersendawa. “Udah kenyang?” Rida mengangguk sambil tersenyum lebar. “Udah.” “Ayo, pulang,” ajak Ferdhy. “Bayar dulu. Kamu atau aku yang bayar?” tanya Rida. Ferdhy menghela napas wegah. “Katanya kamu yang traktir? Aku nggak bawa dompet. Dompetnya aku tinggal di mobil.” Rida mengambil dompet di tasnya. Kemudian menyerahkan dompet kulit itu pada Ferdhy. “Bayarin, ya. Aku tunggu di mobil.” Berat hati, Ferdhy pun menurut. *** Setelah kencan ditemani dua porsi bakso beranak, mereka pun pulang. Rida bergegas masuk ke kamar sedangkan, Ferdhy tampak menyapa pak satpam dengan sopan. Sampai di bilik tidur, Rida pula berganti pakaian. Selesai, dia langsung menghamburkan diri ke atas pembaringan. Perut yang terisi penuh membuat Rida agak mengantuk. Dia pun menguap lalu merenggangkan tubuh. Rida memejamkan matanya. Namun, saat Ferdhy memasuki kamar, kantuknya tiba-tiba saja lenyap. Rida yang iseng pun bermaksud mengerjai Ferdhy. Ferdhy menghela napas kasar saat melihat istrinya tertidur dengan damai di atas katil. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ferdhy langsung menghampiri Rida lalu naik ke atas ranjang. Dia yang menyadari kepura-puraan istrinya pun menarik selimut, lalu menutupi tubuh wanita itu dan dirinya hingga udara di balik selimut menipis. Ferdhy juga mendekap Rida erat, hingga membuat perempuan itu tidak bisa bergerak. “Lepas, Mas. Aku nggak bisa napas. Engap, nih.” Rida memberontak dalam rengkuhan suaminya. Ferdhy pun menyingkapkan bed cover itu. “Makanya nggak usah acting!” Rida menyeringai malu-malu. “Udah. Bobok, yuk. Aku ngantuk.” Dia yang belum puas mengerjai Ferdhy pun pura-pura menguap. Ferdhy yang geram pula melempar selimut ke lantai lalu melepas piyama tidur Rida dengan tak sabaran. “Nggak! Tepati dulu janjimu! Aku udah nurutin mau kamu. Sekarang giliranku yang minta jatah. Kita harus sunnah rosul sekarang.” Rida memasang wajah memelas. “Perutku sakit, Mas.” "Nggak percaya!" tukas Ferdhy. “Badanku panas.” Rida bersandiwara. Kali ini Ferdhy tidak ingin egois. Kalau Rida benar sakit, terpaksa dia harus menahan diri. Namun, kalau Rida berbohong, siap-siap saja menerima hukumannya. Ferdhy pun mengecek suhu tubuh Rida dengan tangannya. “Apanya yang panas? Orang normal gini.” Rida mencoba bangkit. “Mau ke mana kamu?” cegah Ferdhy. “Mau pipis. Udah kebelet aku, Mas." Rida meringis. Ferdhy yang kadung tidak mempercayai Rida pun gegas menghimpitnya. Dia pun menanggalkan pakaian sang istri. Namun, saat ingin memasuki surganya, tiba-tiba saja lampu mati. “Rid, kok, nggak masuk-masuk, sih?” gerutu Ferdhy kesal. “Itu pusar, Mas,” jawab Rida terkekeh. Ferdhy jengkel. “Nggak usah ketawa!” Dia pun kembali mengambil ancang-ancang dengan fokus. “Yes, masuk!” seru Ferdhy kegirangan. “Itu tanganku, Mas. Kamu belum masuk." Rida menarik tangannya. “Allahu Akbar!” Ferdhy kian geram. “Kalo sampe gagal lagi, aku datengin PLN-nya!” cetusnya yang gusar. Rida pun tergelak mendengar keluhan suaminya. Ini menjadi hiburan tersendiri baginya. Ferdhy yang terburu-buru, sebab tidak sabaran tampak kesulitan. "Semangat, Mas!" "Diam kamu! Jangan ngeledek aku, ya!" Napas Ferdhy sudah memburu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN