Anak Kandung VS Anak Mantu

1245 Kata
Mobil pun menepi di pelataran rumah Ferdhy. Suami istri itu pula turun dari kendaraan mereka. Segera kedatangan keduanya disambut Rika yang sedang asyik menyiram bunga-bunga hias kesayangannya. “Assalamu’alaikum.” Wajah Rida sumringah menyapa Rika dengan senyum manisnya. “Wa’alaikumussalam, Sayang,” jawab wanita paruh baya itu sambil menyimpan selang air yang sudah selesai digunakan. Rida menghampiri Rika lalu meraih tangan wanita paruh baya itu kemudian menciumnya dengan sopan. Rika pula memberikan pelukan hangat pada sang menantu. Tak lupa dia mendaratkan kecupan singkat pada kedua pipi dan kening Rida. Rika begitu menyayangi Rida dan menganggapnya seperti putri kandung sendiri. Kasih sayang Rika untuk Rida, sama besarnya dengan kasih sayangnya untuk Ferdhy-anak kandungnya. Rika tidak akan rela jika ada yang berani menyakiti menantunya tersebut. Biarpun Ferdhy sendiri yang membuat Rida sakit hati, Rika tidak akan segan untuk menegurnya. Rida merangkul bahu Rika lalu menggiringnya masuk ke rumah. “Ayo masuk, Ma. Rida beli durian montong yang besar-besar. Mama suka, kan?” Rika mengangguk antusias. Senyumnya mengembang lebar, menampilkan deretan gigi yang putih dan rapi. “Suka, dong. Apalagi kalau mantu Mama yang beliin. Tapi Mama udah nggak bisa makan banyak, takut kolesterol.” Rida pun terkikik. “Rida beli dua, Ma.” “Oh, ya? Mantep, dong. Itu kesukaan Papa kamu juga, Rid.” Rida mengangguk. “Hmm hmm, Ma.” “Ngaku-ngaku! Orang bayarnya pake duitku,” sahut Ferdhy dari belakang. Dia tampak kesulitan menenteng dua buah durian besar itu, karena khawatir akan menyenggol kakinya. Rida menghentikan langkah lalu berbalik. Dia menatap Ferdhy sinis. Rika pun ikut berputar haluan seperti Rida. “Kasih paham, Ma,” kata Rida pada Rika. Rika paham dengan maksud sang menantu. “Ekhem.” Dia mendehem bersiap menjadi Mamah Dedeh dadakan. “Jelasin, Ma. Biar Mas Ferdhy, ngerti.” Rida melipat kedua tangannya di d**a sambil berdiri angkuh. Rika melirik Rida seraya menyunggingkan senyuman. “Tenang, Sayang." Dia pun beralih menatap Ferdhy tajam. “Ferdhy, dengerin Mama. Suami itu punya kewajiban untuk menafkahi lahir maupun batin istrinya. Suami harus melakukan yang terbaik untuk memenuhi keinginan istrinya, karena itu merupakan keharusan. Dilaksanakan mendapatkan pahala dan bila tidak, berdosa. Kamu meminta Rida dari orang tuanya, maka kamu harus siap dengan segala konsekuensinya. Membesarkan seorang anak itu tidak mudah. Kamu nggak tau gimana perjuangan orang tua Rida merawat dan menyekolahkannya. Tugas kamu sekarang lebih gampang dari mereka. Jangan sampai kamu memintanya, tapi malah menyengsarakannya. Rida ini gadis yang baik dan harus diperlakukan baik pula." “Dia bukan gadis lagi, Ma,” sahut Ferdhy memprotes. “Iya, Mama tahu. Dia istri kamu. Tapi, bisa nggak, sih, kalau Mama lagi ngomong itu jangan dipotong? Mama jadi tambah kesel, nih,” sungut Rika gregetan. Rida membekap mulutnya menahan tawa. Melihat Ferdhy diomeli Rika memberikan kelucuan tersendiri baginya. Ferdhy benar-benar tidak berkutik, tetapi kadar menyebalkannya masih tetap sama. Sungguh kalau urusan ngeselin dan rese, Ferdhy teramat patut diacungi jempol. Tiada lawannya. Dia nomor. “Ya udah. Lanjutin lagi, Ma.” Ferdhy pun mengalah. Bisa makin Ribet urusannya kalau dia berani melawan wanita. “Sampai mana, ya? Tuh, kan, Mama jadi lupa. Kamu, sih, main motong aja!” seru Rika kesal. Lagi-lagi Ferdhy yang disalahkan. Melawan wanita memang tidak membutuhkan tenaga tetapi, harus menambah stok kesabaran ekstra. “Sampai gadis, Ma,” ujar Ferdhy mengingatkan. “Oh, iya. Pokoknya kalau Rida minta apa pun, turutin aja selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena harta kamu adalah harta istrimu juga. Istrimu berhak menggunakannya. Kalau uang istri, ya, tetap uang istri, sebab istri tidak wajib nafkah. Jadi, biarin dia membeli apa pun yang dia mau. Kamu nggak tahu, seberapa besar usaha yang orang tuanya lakukan untuk bisa membahagiakannya, menjadikannya anak kesayangan mereka. Kalau kamu sudah berani meminta Rida dari orang tuanya, kamu berkewajiban menjamin kebahagiaannya. Itu harus. Oke?” Ferdhy hanya bisa mengangguk patuh. Lagian, yang Rika katakan memang benar. Segala kebutuhan dan kebahagiaan Rida saat ini sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Perempuan memang begitu dimuliakan dalam Islam. Pun perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Sebelum menikah, segala kebutuhannya akan ditanggung ayahnya, tetapi setelah menikah, tanggung jawab itu akan beralih ke pundak suaminya. Suami harus bisa menjamin segala kebutuhannya, baik mental maupun fisik istrinya. Ferdhy pula tidak akan membiarkan Rida hidup dalam kesengsaraan dan kehampaan. Namun, dia juga tidak akan membiarkan Rida terlena dalam kemewahan. Ferdhy ingin istrinya hidup dan berpenampilan sesederhana mungkin, meski dirinya mampu memberikan segalanya. “Iya, Ma. Ferdhy akan bertanggung jawab dengan semua yang sudah menjadi pilihan Ferdhy. Termasuk bertanggung jawab untuk menjamin kebahagiaan Rida serta anak-anak Ferdhy nanti. Tapi Rida juga harus ingat dengan tugas dan kewajibannya. Jadi istri yang taat, nurut sama suami, menjadi istri yang salihah, mendidik dan mengajar mujahid mujahidahnya nanti dengan naungan agama, menjadi ibu yang diidolakan anak-anaknya.” Tanpa sadar, seutas senyum membentuk lengkung sabit tersungging manis di bibir Rida. “Amiin,” ujarnya. “Satu lagi yang paling penting,” ucap Ferdhy serius. Rika mengerutkan keningnya. "Apa?" Rasa penasaran juga terlihat di balik kerutan wajahnya yang mengkerut. Rida juga sama, menunggu jawaban dari Ferdhy dengan garis wajah sungguh-sungguh. “Kalau suami minta jatahnya, ya, harus dikasih.” Ferdhy tersenyum miring seraya menggerakan sebelah alisnya. Rika yang geram pun langsung melempar Ferdhy dengan sandal jepitnya. Ferdhy menatap mamanya heran. “Kok, ditumpuk, Ma? Salah Ferdhy di mana? Dari tadi Rida mulu yang dibela. Sebenarnya anak kandung Mama itu, Ferdhy atau Rida? Tega bener sama anak sendiri. Menantunya mulu yang disayang-sayang. Harusnya Mama itu belain Ferdhy, dukung Ferdhy. Katanya, pengin cucu yang lucu.” Dia merajuk. Rida menutup mulutnya menahan tawa, karena melihat Ferdhy yang begitu tak punya malu meminta dukungan mama mertuanya. “Apa ketawa-ketawa? Puas kamu!” sergah Ferdhy pada sang istri. Rika memijat keningnya. “Hadeuh! Kamu sama papa kamu itu, sama. Nafsunya sama-sama gede. Mana ada yang mau ngasih jatah tiap hari? Istri juga sama kayak kamu, sama-sama manusia yang bisa lelah dan bad mood. Mama kayak Rida juga ogah! Keramas tiap hari juga wegah! Mama bela Rida, karena Mama tahu gimana rasanya di posisi seperti dia. Kamu jangan egois lah. Memang urusan ranjang itu merupakan salah satu kewajiban istri, tapi suami tidak berhak memaksa, karena kegiatan ranjang bukan hanya tindakan fisik untuk memuaskan nafsu, tetapi lebih ke faktor emosional. Keduanya harus sama-sama ikhlas dan lapang d**a supaya tercipta kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah." Ferdhy memutar bola matanya. “Nggih, Ma, nggih. Lagian, wajar kalau Ferdhy sama kayak papa. Orang Ferdhy produk unggulannya papa. Kalau Ferdhy sama kayak tetangga, itu baru serem. Bisa-bisa Mama digorok sama papa.” Rika melotot. Ia merasa kesal dengan anaknya yang teramat sangat menyebalkan itu. “Dahlah! Mama masuk dulu! Pusing Mama debat sama kamu! Ngeselin!” “Musuh wanita, sih, susah. Ngambekkan!” Ferdhy pura-pura berbicara dengan pohon cemara di sampingnya. Rika yang masih berada di ambang pintu pun langsung menghentikan langkah yang setengah pincang karena hanya memakai satu sandal. Rika berbalik dan kembali melempar satu sandal yang tersisa. Puk! “Aduh!” seru Ferdhy sembari memegang keningnya yang terkena timpukan ajaib dari sang mama. “Ya Allah, kena timpuk lagi,” keluhnya. “Abang, ngeselin!” teriak Rika dari dalam. Melihat itu, Rida sudah tidak bisa menahan tawanya lagi. “Hahaha ... haha ... huh ... ha ... aduh, perut Rida sakit.” Dia terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya yang terasa keram, karena kesulitan menghentikan gelaknya. “Ngapain ketawa? Puas banget kamu. Awas aja!” Ferdhy pun berlalu masuk ke rumah. Sementara Rida memungut sandal jepit yang menjadi senjata pamungkas sang mama mertua. Kemudian menyusul suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN