Drama Buah Durian

1380 Kata
Selesai menuntaskan kewajiban mereka di kampus, Ferdhy dan Rida pun pulang. Ferdhy melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Roda empat tersebut menjadi saksi betapa lelahnya kedua sejoli itu. Ferdhy dan Rida sudah tak sabar ingin segera memanjakan diri di air hangat yang akan mengembalikan semangat yang telah terkuras habis. Tak sengaja netra Rida melihat kumpulan penjual durian di depan mereka. Dia yang menyukai buah berbau menyengat itu pula tergoda. “Mas, pengin durian,” ucap Rida dengan suara selembut mungkin. Dia amat berharap sang suami akan mengindahkan keinginannya. Ferdhy menjeling Rida sekilas. Keningnya berkerut dalam. “Kan, udah punya. Kok, mau lagi? Satu aja nggak cukup, emang?” Rida terheran-heran dengan jawaban suaminya. Dia tidak pernah membeli durian sebelumnya. Jadi, bagaimana Rida bisa punya durian? “Mana ada? Aku nggak pernah beli durian sebelumnya. Ini juga aku mau minta beliin sama kamu. Aku pengin banget. Berhenti, dong.” Rida membujuk Ferdhy untuk segera menghentikan laju mobilnya. Ferdhy pun menurut. Dia melambatkan kendaraannya lalu berhenti tepat di depan mobil pick up penjual durian tersebut. Tampak raja buah itu tertata rapi di bak roda empat itu. "Oke, aku beliin. Tapi, nanti malem aku mau durianmu, ya?” Rida makin tidak mengerti dengan arah obrolan Ferdhy. “Durian apa, sih, Mas? Kalau aku punya durian, nggak mungkin aku suruh kamu buat beli. Jangan bikin kesel, deh! Bisa nggak, sih, sehari aja nggak rese?” Rida mulai tersulut emosi. Suaminya ini memang paling jago kalau soal membuat aliran darahnya berpacu lebih cepat. “Itu yang di bawah,” tunjuk Ferdhy dengan dagu, matanya pula fokus menatap ke sana. Segera Rida memelotot tajam. Dia merasakan tubuhnya sudah memasap, sebab marah. “Ish! Ngeselin banget, sih?!” sungut Rida dengan daun telinga yang sudah memanas. Ferdhy terkikih. “Udah, jangan marah-marah terus. Entar cantiknya hilang.” “Kamu yang bikin kes …. “ Cup! Rida terpegan, karena Ferdhy mengecup bibirnya tanpa aba-aba. Dia mematung dengan mata memelotot. Ferdhy selalu saja berbuat seenaknya dan sialnya hal itu selalu berhasil membuat Rida tak berkutik. Wanita itu pun urung untuk mencerocos. Rida malah beringsut menjauh dari sang suami lalu berpaling keluar jendela seraya membungkam. Jantung Rida berdegup amat kencang. Perlakuan Ferdhy barusan berhasil membuat wanita lola itu gugup. Rida meremas jemarinya dengan gelisah. Ferdhy kira, Rida akan marah dengan kelakuan lancangnya itu. Namun nyatanya, dia salah. Sang istri malah diam membisu tanpa sudi melihatnya. “Kok, nggak dilanjutin ngomelnya?” Rida tidak menggubris. Ia terus fokus memandang keluar. Rida salah tingkah. “Yaang.” Rida tetap tidak memedulikan panggilan suaminya. “Sayang.” Ferdhy memalingkan kepala Rida padanya. Lebih baik istrinya itu menggerutu enggan berhenti ketimbang didiamkan seperti itu. Sungguh hal tersebut amat tidak nyaman dan menyiksa. Ferdhy tidak tahan. "Kamu kenapa?" Ditatapnya pusat manik legam Rida. “Sayang,” lirih Rida seraya menundukkan pandangannya. Dia masih terlalu malu untuk menatap mata suaminya. “Tatap mataku, Rida Arinda!” Ferdhy mulai geram dengan situasi ini. Lelaki itu bahkan memanggil Rida dengan nama lengkapnya. Rida pun menatap mata sang suami. “Apa?” tanyanya dengan suara pelan. Sungguh Rida sedih mendapati ketidakpekaan Ferdhy. Dia hanya ingin durian, bukan mobil. Namun, kenapa lelaki itu begitu sulit untuk mengabulkan keinginannya? Rida mulai lelah. “Kamu kenapa? Jangan diemin aku kayak gitu. Aku nggak bisa diginiin. Mending kamu memberengut seharian daripada diem gini. Aku nggak suka.” Ferdhy mengutarakan isi hatinya. “Aku kan, udah bilang baik-baik sama kamu. Aku mau durian itu. Kalau nggak mau beliin, ya udah. Ayo kita pulang aja.” Ferdhy menarik napas kasar. “Ya, udah. Kalau beneran mau beli, ayo turun! Kamu pilih, mana yang kamu suka. Mau yang ukuran besar, terserah kamu pilih sendiri. Mau jenis yang mana, kamu bisa minta sama abangnya. Aku nggak paham jenis-jenis durian gitu. Yang aku tahu cuma satu jenis durian, doang.” “Durian apa?” tanya Rida. “Durian punyamu,” ucap Ferdhy jujur. Rida pun bersenderut. Ia memukulkan lengan Ferdhy dengan tasnya. Tentu saja pukulan itu tidak memberikan efek berarti pada lelaki bertubuh kekar tersebut. “Iih, dasar! Rese banget!” seru Rida. “Heleh, emang nyatanya gitu. Aku lihat durian itu semua kelihatan sama. Bentuknya juga gitu-gitu aja, nggak ada yang beda. Bulat dan berduri, kecuali punya kamu, bulat dan halus.” Ferdhy tersenyum genit. Lelaki itu memang terlalu jujur dan tidak malu mengutarakan pendapatnya. Perkara itu membuat Rida makin salah tingkah. “Kamu ngeselin banget, Mas Ferdhy.” Rida menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia malu sendiri, sebab perkataan Ferdhy Ferdhy membuka sabuk pengamannya. Namun, dia mencuri cium kala melepas tali pengaman Rida. Cup! "Mas Ferdhy!" rengek Rida seraya memegangi pipi yang tadi dikecup Ferdhy. Ferdhy tertawa lalu turun dari mobilnya. “Udah, ayo turun!” Rida mengikuti lalu mengekori Ferdhy menghampiri penjual durian. “Duriannya, Mas. Dijamin manis dan berdaging tebal,” ujar Abang Durian menawarkan dagangannya. “Yang paling manis yang mana, Mas?” tanya Ferdhy pada penjual durian itu. “Itu, yang ada di belakang, Masnya. Bawa pulang saja,” canda Pedagang Durian berramah tamah. Ferdhy terkekeh. Boleh juga selera humor si penjual durian ini. Ferdhy membawa Rida ke dalam rangkulannya. “Ini istri saya, Bang. Sudah pasti saya bawa pulang.” Penjual durian itu tersenyum. "Silakan dipilih, Mas, duriannya. Mau yang mana?” Seketika Ferdhy pun bingung. Dirinya tidak tahu menahu tentang buah durian ini. Alhasil dia pun memasrahkan pilihan pada Rida yang merupakan pecinta buah tropis tersebut. “Kamu mau yang mana, Sayang? Aku nggak ngerti soal ginian. Kamu aja yang pilih.” Ferdhy mundur memberikan ruang untuk Rida mendekati bak berisi banyak durian itu. “Ini durian montong, ya, Bang?” tanya Rida sembari memegang tangkai durian besar yang beraroma legit. “Iya, Mbak. Itu durian montong. Rasanya manis, legit dan berdaging tebal.” Ada dua buah durian yang menjadi incaran Rida. Keduanya berbau sedap dan tampak menggoda. Dari segi tampilan juga sangat baik. “Mas, mau yang mana? Ini atau yang ini?” Rida meminta pendapat Ferdhy. “Ambil aja dua-duanya. Orang rumah juga pada suka durian.” Ferdhy tidak mau ambil pusing. Dia memilih mengangkut keduanya. Rida tersenyum gembira lalu mengacungkan kedua jempolnya. “Oke.” Dia pun beralih pada sang penjual. “Bang, saya mau dua-duanya.” Si abang manggut-manggut ramah. “Siap, Mbak.” Dia pun mengikat dua buah durian jumbo itu dengan tali plastik. “Mbak, ini saya kasih tambah yang kecil satu, ya?” “Wah! Terima kasih banyak, Bang.” Rida tersenyum lebar. Dia senang, karena diberi bonus satu durian oleh si penjual. “Totalnya dua ratus lima puluh ribu, Mbak,” kata si pedagang. Rida menoleh. “Mas, bayar.” Ferdhy pula mengeluarkan dompet lalu memberikan uang pas pada si penjual. “Ini, Bang." “Terima kasih, Mas.” Ferdhy pun menerima durian itu lalu meletakkannya di bagasi mobil. “Mari, Bang,” pamitnya untuk kesopanan. “Monggo, Mas, Mbak.” Pedagang itu tersenyum santun. Ferdhy pula melajukan mobilnya. “Makasih, Sayang.” Rida mencium pipi Ferdhy. Cup! Ferdhy melirik Rida hendak protes. “Kok, cuma satu, Yaang? Kurang, dong.” "Lah, terus harus berapa?" "Harga duriannya kan, dua ratus lima puluh ribu. Jadi, kamu harus cium pipiku dua ratus lima puluh kali, dong." Ferdhy melirik Rida. "What?! Dua ratus lima puluh kali?! Banyak amat!" Rida menganga. Ferdhy tersenyum penuh kemenangan. "Ya, kalo kamu nggak sanggup cium aku dua ratus lima puluh kali. Aku aja yang cium kamu, gimana?" Rida melirik suaminya sebal. "Argh! Ternyata ada udang dibalik peyek." Ferdhy tergelak. "Gimana? Mau kamu yang cium atau aku?" "Mas, kamu nyebelin!" Rida cemberut. Ferdhy terkikih. "Jadi gimana? Ayo jawab." "Sakarepmu, Mas. Ter se rah." Ingin rasa Rida mengubek-ubek kepala Ferdhy yang isinya selalu saja m***m bisa di dekatnya. Ferdhy pun memelankan mobilnya lalu menepi ke pinggir jalan. "Kok, berhenti, Mas?" bingung Rida. "Aku mau minta bayarannya sekarang." Ferdhy tersenyum jahil. "Ya Allah. Mas, kamu kan, bisa memintanya nanti di rumah. Ini di pinggir jalan, loh." Rida mulai dongkol. "Kita kan, di dalem mobil, Sayang. Lagian aku juga suamimu. Nggak masalah, dong." Rida menghela napas gusar. "Terserah, Mas. Terserah." Dia sungguh ingin menangis, sebab kesal yang sudah mencapai puncaknya. "Yes!" Ferdhy berseru merasa menang banyak. Dia tersenyum dengan gembira. Ferdhy pun melepaskan sabuk pengamannya lalu segera beraksi dengan hati senang. Rida pun tidak melawan. Dia membiarkan pipinya diserang bertubi-tubi oleh bibir na kal Ferdhy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN