Cemburu

1343 Kata
“Eh, ditanyain kok, malah bengong,” tegur Ferdhy membuat Rida tersadar dari lamunannya. “Eh, iya. Tanya apa tadi?” Rida seperti orang linglung. “Gimana dosen baru kamu?” ulang Ferdhy. Rida mencoba untuk terlihat tak acuh. “Ya biasa aja. Nggak gimana-gimana.” “Ganteng mana sama aku?” Ferdhy menatap Rida serius. Rida hanya bisa menghela napas lemas kala mendapati pertanyaan tidak penting Ferdhy. “Apa, Mas? Kok, nanyanya nggak penting banget. Kalau kamu nanya gitu ke aku, kamu udah tahu kok, jawabannya apa.” “Emang apa jawabannya?” Ferdhy melihat Rida penuh minat. “Harus dijawab banget, ya? Padahal kamu pasti udah tahu jawabannya loh, Mas. Kenapa masih nanya juga?” Rida berusaha menahan greget menghadapi sikap kekanakan Ferdhy. Meski di dalam hati ia sudah tidak tahan menekan jengkelnya. Apa maksud Ferdhy menanyakan hal tidak bermanfaat seperti itu? Menyebalkan. “Ya harus, lah. Di mana-mana, kalo orang nanya, ya, dijawab. Masak iya, orang nanya disorakin, dikasih tepuk tangan gitu? Aneh kamu!” “Ya ‘kan kamu udah tahu jawabannya.” Rida malas menghadapi Ferdhy. “Kan, beda kalau dengernya dari mulut istri sendiri.” Lelah memperdebatkan hal yang tidak penting, Rida pun mengalah. “Ya, gantengan suami Rida ke mana-mana lah. Ya kali, Rida bilang ganteng dosen baru itu. Entar Rida nggak dapet uang belanja, nggak bisa liburan gratis, nggak ada teman bobok, eh ... canda Pak Suami, canda, canda.” Rida meringis, menampilkan deretan giginya yang rapi. “Oh, jadi gitu? Oke, fix jatah bulanan aku potong setengahnya.” Ferdhy tersenyum licik. Rida mengarahkan jari telunjuknya ke Ferdhy. Ia menatap lelaki itu lekat-lekat. “Eh, mana bisa gitu?” Rida pun mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik ke telinga Ferdhy. “Berani potong jatah bulanan Rida, jatah nenen jadi seminggu sekali. Nggak ada tapi-tapi!” ancamnya. “E-eh, ng-nggak, nggak. Nggak jadi dipotong kalo gitu.” Ferdhy kikuk, khawatir "porsi makannya" dipangkas. Rida tersenyum puas seraya melenggut saat senjata pamungkasnya membuat Ferdhy tak berkutik. Melihat istrinya berbangga diri di atas awan, Ferdhy pun berujar, “Apa nambah bini satu lagi, ya? Kayaknya enak.” Manik jeli Rida memelotot menatap Ferdhy sinis. “Berani cari bini baru. Aku buka penangkaran buaya, kadal, biawak, onta. Lengkap pokoknya.” Bukannya takut, tatapan tajam Rida justru membuat Ferdhy gemas, sebab istrinya itu terlihat imut. “Sok-sokan jadi pawang. Dideketin satu buaya aja langsung kabur.” Ferdhy kembali mencomot mendoan tempe di hadapan. “Kalau buayanya menye-menye, ya, kabur. Tapi kalau buayanya cool seperti dosen baru mah, gampang.” Rida terkekeh ringan. Ferdhy langsung berhenti mengunyah. Ekspresi datar dan tatapan fokusnya berhasil membungkam tawa Rida. Khawatir, perempuan itu pun mengarahkan pandangannya ke arah lain, pura-pura lengah. “Ngomong apa kamu tadi?” tanya Ferdhy seraya menatap sinis. “Ng-ngak, nggak ngomong apa-apa.” Rida memegang kening. Dia pura-pura tidak tahu maksud Ferdhy. “Pendengaranku masih bagus, ya!” Ferdhy sembari menatap pusat istrinya. Rida memutar bola matanya, jengah. “Udah, ah. Jangan bahas itu lagi. Ayo pulang.” Ferdhy hanya diam. Ia tidak berniat menjawab ajakan Rida untuk pulang. Cemburu mode on. Rida pun beranjak dari duduknya lalu menarik tangan Ferdhy. “Ayo, Mas,” rengek Rida seperti anak kecil yang merayu mamanya untuk dibelikan permen. Ferdhy bergeming. Ia tidak memperdulikan ajakan Rida. “Mas, ayo!” Rida membujuk Ferdhy. Ia terus menarik-narik tangan Ferdhy agar mau berdiri. Ferdhy tetap tidak mau beranjak. Rida pun lelah dan pada akhirnya ia menyerah. Rida kembali duduk di kursinya semula lalu meminum air mineral kemasannya. Baru sekali teguk, Ferdhy langsung berdiri. “Ayo!” ucapnya dingin sambil memperhatikan Rida yang masih minum. Rida tidak menggubris. Ia tetap melanjutkan minumnya sambil melirik sinis suaminya. Bahkan, Rida pula sengaja berlama-lama menenggak air tersebut. Rida menikmati teguk demi teguk air yang terasa begitu segar kala melewati kerongkongannya yang kering. “Mau pulang, nggak?” tanya Ferdhy geram. Usai, Rida mengambil tutup di depannya, lalu menyumpal rapat botol air itu. “Pulang aja sendiri. Rida bisa naik taksi. Atau nggak ….“ “Atau nggak, apa?” sahut Ferdhy langsung. “Rida minta antar dosen baru,” ujar Rida enteng. “Nggak! Enak aja. Kamu itu punya suami. Ingat baik-baik kata aku, ya? Jagalah baik-baik pasanganmu. Jangan biarkan dia terbiasa tanpa dirimu. Jikalau itu sampai terjadi, maka ia tidak akan ragu untuk pergi meninggalkanmu. Ingat itu baik-baik. Jangan coba-coba untuk membuktikannya, karena ucapanku bisa saja salah. Muehehehe ....” Ferdhy tertawa dengan cengiran yang khas. Karena matanya sipit, dia pun tampak terpejam, sebab kelopak bawahnya terdorong otot pipi. Rida yang serius menyimak pun seketika kesal. "Ah ... sakit, Sayang,” adu Ferdhy saat cubitan pedas mendarat di pinggangnya. “Ngeselin banget, sih, jadi orang? Udah serius-serius juga, malah bercanda!” sungut Rida dongkol. “Ya, kan, biar kamu nggak ngambek terus. Udah, ayo pulang! Katanya mau pulang? Eh ... tapi kok aku jadi kangen Kiara sama Rena, ya? Mampir dulu, yuk, ke tempat Reyhan.” Mendengar nama Kiara dan Rena, Rida pun langsung semangat. Ia lupa, jika dirinya sekarang sedang merajuk. Rida meraih tasnya lalu bangkit. “Yuk!” Ferdhy dan Rida beranjak menuju parkiran. Di sana, tak sengaja netra Ferdhy melihat sosok dosen baru yang dicemburuinya. Ia pun langsung menarik pinggang Rida ke dalam rangkulannya. “Duh, duh. Kenapa sih, Mas? Tiba-tiba aneh gitu,” protes Rida saat ia merasakan kejanggalan pada suaminya. Tidak biasanya Ferdhy seperti ini, apalagi ini masih di area kampus. “Sttt ... diem!” Ferdhy menutup mulut Rida dengan jari telunjuknya. Sementara tangannya yang lain sibuk memeluk pinggang Rida posesif. Rida masih belum menyadari jika di depan mereka sudah ada Angga yang berdiri di samping pintu kemudi mobilnya. “Kenapa sih, kamu?” tanya Rida sedikit berbisik. Ia malu saat banyak pasang mata mengamati dirinya dan Ferdhy. “Udah, jalan aja dulu. Nggak usah banyak tanya.” Rida pun menuruti perintah Ferdhy. Ia berjalan dengan kepala tertunduk agar rasa malunya sedikit berkurang. “Selamat siang, Pak Angga,” sapa Ferdhy disengaja. Jadi, ini alasan Ferdhy memeluk Rida begitu posesif. Ferdhy sengaja, ingin mengakui kepemilikan Rida, sehingga Angga tidak mempunyai kesempatan untuk modus-modus pada istrinya. Saat Rida mendengar nama Angga disebut, spontan ia pun melenggak. “Si-siang, Pak Angga.” Rida tersenyum untuk kesopanan. Antara malu sebab sikap Ferdhy dan menjaga citra baik di depan dosen membuat Rida sedikit kikuk. “Siang,” balas Angga datar. Dia menautkan alis saat melihat seorang dosen merangkul mahasiswinya seintim itu. “Pak Ferdhy pacaran sama mahasisiwi sendiri?” Entah mengapa mulut Angga begitu lancang menanyakan yang tidak seharusnya. Di lubuk hati, dia sadar kalau itu merupakan privasi untuk Ferdhy dan Rida. Tapi, rasa penasaran yang teramat besar, mendorong Angga menjadi lebih berani. Ferdhy tersenyum ramah. “Ya, ini pacar saya. Lebih tepatnya, pacar halal saya. Namanya Rida Arinda, istri saya sekaligus mahasiswi di kampus ini.” Bangga, Ferdhy memperkenalkan Rida pada Angga. Ferdhy bisa melihat ketidaksukaan Angga atas pengakuannya. Ferdhy begitu paham akan makna tatapan Angga untuk istrinya. Perhatian memuja penuh kekaguman. Tatapan itu sama persis seperti yang ia lakukan pada Aliana dahulu. “Saya sudah kenal. Dia mahasiswi saya.” Lagi-lagi jawaban ketus yang Ferdhy terima. Angga terang-terangan berani menunjukkan rasa tidak sukanya. “Iya, Mas, kita udah saling kenal. Pak Angga ini dosen baru aku,” timpal Rida memperjelas jawaban Angga. “Oh, bagus lah, kalau udah saling kenal.” Ferdhy melirik Rida sekilas. Seperti tahu maksud dari tilikan itu, Rida memegang mesra lengan suaminya. “Mas, katanya mau ke tempat Aliana? Aku udah kangen banget sama Kiara. Jalan sekarang, yuk!” Ferdhy semakin mempererat kaitannya pada sang istri. Sepertinya, Ferdhy sengaja melakukan itu di depan Angga. “Iya, Sayang. Sabar. Ya, sudah, kita jalan sekarang.” Dia tersenyum manis kepada Rida lalu beralih pada Angga. “Pak Angga, kita duluan, ya? Ibu negara masih ada urusan." Angga hanya mengangguk mengiyakan. “Permisi, Pak Angga,” imbuh Rida seraya tersenyum untuk sopan santun. Angga menatap fokus kepergian sepasang suami istri itu dengan perasaan campur aduk. Nasibnya memang kurang beruntung. Sudah lama tidak bisa membuka hati. Eh, sekalinya terbuka, malah jatuh ke istri orang. Kecewanya terlalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN