Suamiku Dosen Galak

1345 Kata
Usai kelas berakhir, Rida pergi ke kantin. Sesuai perintah Ferdhy tadi, ia menunggu suaminya tersebut di sana sambil memakan sepiring siomay untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Sebelum bisa menyantap siomay Mang Ujang yang terkenal kelezatannya, Rida harus rela mengantri. Kebetulan sekarang sudah memasuki jam makan siang. Sesekali Rida akan melihat ponsel untuk mengecek pesan dan jam. Menunggu cukup lama, akhirnya tiba giliran Rida dilayani. “Mang Ujang, siomay satu porsi, ya? Minumnya, es teh manis sama air mineral aja.” Rida melirik menu lain yang bisa dijadikan camilan. Dirasa belum menemukan menu yang pas, ia pun mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Khawatir jika ia lupa membayar makanannya seperti dulu-dulu. “Siap, Non Rida. Tumben sendirian? Biasanya sama Pak Dosen?” tanya Mang Ujang. Pria paruh baya itu sudah tahu perihal pernikahan Rida dan Ferdhy. Bahkan, pernikahan dosen dan mahasiswi ini sempat viral di seantero kampus. Tak sedikit yang patah hati mendengar berita perkawinan mereka. “Hehe ... iya, Mang. Suami Rida masih ngajar. Ini disuruh nunggu di sini, sambil makan sekalian. Laper soalnya.” Rida cengengesan. “Ya sudah. Silakan tunggu saja di kursi pojok, ya, Non. Nanti Mang Ujang antar seperti biasa.” Mang Ujang tersenyum ramah. “Bayar dulu aja, Mang. Berapa semuanya?” tanya Rida seraya merogoh tas untuk mengambil dompet. “Nanti saja, Non. Gampang itu mah.” Melihat mendoan tempe yang baru diangkat dari penggorengan, Rida pun menelan ludah, tergoda. “Mang, mau nambah mendoannya tiga, sama apa itu namanya? Rida lupa.” Rida menunjuk pada tusukan sate yang tertutup tudung saji. Ia pun berusaha mengingat nama makanannya. “Sate jeroan. Gitu aja gak tahu,” timpal seseorang di belakang Rida. Sontak Rida pun memutar badan. Terlihat sosok laki-laki dengan tubuh atletisnya berdiri dengan seringai yang sulit diartikan. “Apaan, sih? Ikut-ikutan aja!” sewot Rida. Ia tidak suka kepada lelaki yang sok kenal, sok dekat itu. Kenal pun tidak. “Ya salah sendiri, lama. Lemot banget jadi cewek!” ujarnya tak kalah nyolot. "Lemes banget, sih, mulutnya. Kek cewek.” Rida meliriknya sinis. Kemudian ia kembali berbalik ke Mang Ujang. “Mang, Rida jadi pesan siomay satu porsi, es teh manis, air mineral satu botol, mendoan tempe tiga, sama sate jeroannya dua. Jadi berapa Mang totalnya?” “Tunggu, Mang. Biar saya saja yang bayar.” Lagi-lagi, laki-laki di belakang Rida menimpali. “Udah, Mang. Nggak usah diladenin. Jadi berapa, Mang?” tanya Rida lagi. Ia tidak meladeni kebaikan laki-laki itu. Pasti ada maksud yang tersembunyi. “Semuanya jadi dua puluh lima ribu, Non,” ujar Mang Ujang. Rida menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. “Ini, Mang. Kembaliannya ditinggal aja. Rida tunggu di bangku, ya, Mang?” Rida pun berlalu menuju meja yang dimaksud. Tak lama setelah Rida duduk, laki-laki tadi menghampirinya. Seenaknya, laki-laki itu menarik kursi lalu duduk tanpa izin Rida yang telah duduk lebih dulu. Rida menatapnya berang. “Ngapain kamu duduk di sini? Masih ada banyak bangku kosong, tuh. Pindah gih!” “Lah, ngatur-ngatur. Ini ‘kan, tempat umum. Siapapun berhak duduk di mana saja,” sangkalnya dengan gaya tengil. “Kan, saya duluan yang duduk di sini. Saya tidak nyaman sama kehadiran kamu. Bisa pindah, gak?” Rida mulai jengkel. “Buset, galak bener jadi cewek. Gue Fathur, mahasiswa kedokteran semester akhir,” ujar Fathur memperkenalkan diri. “Gak ada yang nanya!” ketus Rida yang kini kesal. “Kan, gue mau kenalan, doang. Boleh, nggak?” Fathur menggedikkan dagunya seraya menatap genit. Belum tahu saja, bagaimana galaknya satpam yang Rida punya. “Nggak usah modus! Satpam saya galak. Nanti kamu nangis,” peringat Rida saat melihat Ferdhy berjalan menghampirinya dari arah belakang Fathur. Melihat Rida yang duduk sebangku bersama seorang pemuda, Ferdhy pun makin mempercepat langkahnya. Ia tidak boleh membiarkan Rida terlalu dekat dengan teman lelakinya. Bisa-bisa Ferdhy kalah saing dan Rida tergoda dengan laki-laki yang lebih muda darinya. “Nggak takut! Segalak apa, sih, satpam lo? Mau segalak apa pun juga gue ladenin. Asal, bisa dapet nomer HP lo,” tantang Fathur. Pemuda itu belum menyadari Ferdhy yang sudah berada di belakang dengan satu tangan memegang sandaran kursinya. “Yakin, nggak takut?” tanya Rida sambil menahan tawanya karena melihat ekspresi Ferdhy yang terlihat begitu menggemaskan baginya “Yakin, lah. Ngapain gue bohong?” tukas Farthur dengan begitu yakin dan percaya diri. Ia tidak tahu kalau kini tengah memantik api cemburu Ferdhy. “Ehem ... apanya yang yakin?” tanya Ferdhy dengan intonasi datar. Fathur segera menoleh. Seketika dia langsung berdiri saat melihat dosennya menatap horor. “Selamat siang, Pak Ferdhy. Ada yang bisa dibantu?” Langsung nyali Fathur menciut. Di depan Rida saja, sok, jadi jagoan. Tapi di depan Ferdhy nyalinya langsung lembek seperti jelly. “Ngapain kamu modus-modusin istri saya? Mau jadi buaya? Kalau mau cari mangsa, jangan di kampus. Di laut sana, banyak ikan. Kuliah nggak lulus-lulus, sok-sokan jadi buaya. Belajar dulu yang bener, biar pinter, ilmunya berguna. Duit minta orang tua, bangga!” sinis Ferdhy dengan hati mendada timburu. “Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau dia istri, Pak Ferdhy. Ya, tapi jangan buka aib juga, dong, Pak. Kan malu, dibuka-buka. Di depan cewek lagi." Fathur menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Idih, apanya yang buka-bukaan? Mohon maaf, saya masih doyan istri saya. Lagian, itu juga bukan aib. Hampir semua orang di kampus ini juga tahu siapa kamu," sangkal Ferdhy. Rida melotot saat dirinya disebut-sebut. Tapi ia lebih kesal dengan cowok tengil di depannya ini. “Dibilangin, ngeyel sih! Kan saya sudah bilang, satpam saya itu galak, malah nantangin. Iya, gak, Mas?” Rida mencari dukungan dari Ferdhy. Namun, bukannya mendapat pembenaran, dia justri ikutan terkena semprot. “Siapa yang galak?!” sungut Ferdhy. “Ya kamu, siapa lagi.” Ferdhy mendelik. Sadar bila dirinya salah menjawab, Rida pun langsung meralat ucapannya. “Eh ... nggak. Mang Ujang … Mang Ujang, yang galak, iya kan, Mang?” Mang ujang yang mengantar pesanan Rida, hanya bisa terbengong lalu mengangguk, karena dia tidak tahu apa-apa. Rida langsung menghampiri Ferdhy dan menariknya untuk duduk di kursi. “Duduk dulu, Mas. Kita makan siomay, oke?” Melihat mahasiswa berlagu itu masih berdiri di dekat mereka, Rida pun langsung memelotot kepadanya. “Udah sana! Ngapain masih di sini? Buruan pergi sebelum satpam saya ngamuk lagi. Cepat!” usirnya. “Eh, i-iya. Saya akan pergi.” Fathur pun langsung beranjak dari sana, melesat. Daripada bermasalah dengan dosen lagi, lebih baik ia melepas perempuan yang sudah ditargetkan. Seperti habis jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah gagal modus. Eh, yang dimodusin istrinya dosen. Nasib Fathur memang kurang beruntung. Selesai Mang Ujang menaruh pesanannya, Rida pun mengucapkan terima kasih. “Makasih, Mang Ujang.” Dia tersenyum sederhana. “Sama-sama, Non. Kalau begitu, Mang Ujang permisi mau antar pesanan yang lain.” Ferdhy dan Rida mengangguk untuk kesopanan. “Silahkan, Mang.” Rida menahan tawa kala netranya menatap sang suami. Lucu, seperti ada yang menggelitik dadanya saat melihat air muka jengkel Ferdhy. Rida merasa sedikit terhibur. “Ngapain ketawa-ketawa?” Ferdhy merengut. “Nggak apa-apa. Biasa aja ekspresinya, Mas. Cemberut mulu, entar cepet tua, loh.” Rida menggoda suaminya. Ferdhy menatap Rida malas. “Emang udah tua! Kenapa? Mau cari yang muda? Sono cari. Cari brondong, noh! Banyak!” “Apa sih, apa? Udah, nggak usah cemberut gitu. Ayo makan siomay aja. Mas Ferdhy pasti laper, kan? Nggak baik nahan laper, nanti darah tinggi. Rida lagi yang kena omel," tukas Rida. “Hmm ... kalau kita di rumah, kamu yang aku makan.” Tampak emosi Ferdhy masih uring-uringan. Pun dia mencomot mendoan tempe yang ada di depannya. Rida diam tak acuh seraya menikmati siomaynya. “Gimana dosen baru kamu? Lebih ganteng dari aku, gak?” tanya Ferdhy tiba-tiba membuat Rida tersedak. Uhuk-Uhuk! Rida segera menyeruput es teh manisnya. Seketika, ia teringat dengan dosen baru yang menyeramkan itu. Dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikan dosen tersebut kepada Ferdhy. Apa yang harus Rida katakan tentang dosen itu? Ganteng sih, cuma gitu. Angga sama sekali bukan tipenya dan sampai kapanpun takkan pernah menjadi idamannya. Sebab hati Rida telah dipenuhi oleh Ferdhy. Hanya dia seorang dan takkan pernah ada lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN