Mobil Ferdhy menepi di parkiran kampus. Dia asyik berbincang santai dengan sang istri hingga tiba saat Rida berkata, “Mas, Rida ke kelas duluan, ya? Soalnya hari ini mau ada kuis. Lumayan setengah jam buat baca-baca biar jawabnya lancar.” Dia melihat jam di ponsel.
Rida meminta izin pada Ferdhy untuk masuk ke kelas lebih dulu. Sesi pagi sebentar lagi akan dimulai. Rida tidak ingin menyia-nyiakan waktu.
Ferdhy mengangguk lemah. Mau tidak mau, dirinya harus mengiyakan. Bagaimanapun juga, Rida merupakan mahasiswi di kampus ini. Ferdhy ingin istrinya itu bisa lulus dengan predikat terbaik. "Iya. Awas, belajar yang bener, konsentrasi. Jangan bercanda. Kalau sampai nilai IPK turun, aku hukum 9 ronde,” ancamnya, tetapi tidak serius.
“Hmm ... doain aja semoga istrimu ini nggak malas belajar.” Rida mengangguk dengan raut wajah tegas, serius.
“Amiin,” jawab Ferdhy.
“Rajin membaca.”
“Amiin.”
“Semoga ilmu yang diajarkan dosen bisa bermanfaat bagiku dan banyak orang."
"Amiin."
"Semoga dosen yang ngajar aku hari ini ganteng-ganteng semua.”
“Am … eh, nggak! Apaan?! Awas aja, kalau sampai cari-cari kesempatan! Jangan macam-macam kamu, ya. Aku bisa kirim mata-mata buat awasin kamu sepanjang waktu. Waspada dan jangan coba-coba berbuat curang," sergah Ferdhy yang seketika panas hati.
Rida tertawa. “Nggak, Mas. Rida cuma bercanda. Dah ah, Rida ke kelas dulu. Assalamu’alaikum.” Jejak tawa masih tampak terukir di wajahnya.
“Sayang,” panggil Ferdhy.
Rida yang hendak beranjak pula kembali berbalik mengindahkan panggilan suaminya. “Iya. Apa lagi, Mas?” tanyanya lembut.
Ferdhy menarik tangan Rida hingga terhuyung dan jatuh ke pelukannya. “Aduh! Ini kenapa lagi sih?!” Dia sewot.
Ferdhy mengulurkan tangan membuat perempuan itu mengernyit kebingungan. “Buruan!” perintah Ferdhy mengakibatkan sang istri semakin tidak paham. Rida pun hanya diam dengan ribuan tanya. Apa yang sebenarnya laki-laki ini inginkan? Rasa penasaran seketika hinggap dalam benaknya.
“Apanya?” Tatapan Rida tajam dengan kening berkerut.
“Salim dulu sama suami,” ucap Ferdhy santai.
Rida pun membelalak tak percaya. Keusilan Ferdhy memang tiada duanya. Rasa hati ingin mengumpat berteriak sekeras mungkin, tetapi urung, sebab dia masih mempunyai rasa malu. Rida memegangi da danya. “Sabar, Rida, sabar. Kalem, Rid. Ini di kampus. Marah-marahnya entar di rumah aja,” gumamnya menenangkan diri.
Cup!
Satu kecupan mendarat di pipi Rida yang gembil. Perlakuan itu membuat dia mematung, sebab heran dengan tingkah Ferdhy. Mereka berdua berada di kampus, tetapi Ferdhy berani melakukan itu di depan umum. Bagaimana kalau sampai ada yang melihat?
“Masih pagi. Jangan ngegerutu mulu. Entar cantiknya hilang. Kalau mau perang, entar malem aja. Aku ladenin sampai lelah.” Ferdhy tersenyum jahil.
Rida menarik napanya dalam-dalam. Diraihnya tangan Ferdhy lalu menciumnya dengan cepat. “Rida ke kelas dulu,” pamit Rida.
“Iya.”
Tiba-tiba sekelompok mahasiswa datang. Salah satu dari mereka mengulurkan tangannya, berniat untuk menyalami sang dosen. Kebetulan, mereka semua adalah teman-teman seangkatan Rida. Rida pun kenal dengan keempat lelaki sok tampan itu.
“Mau apa kamu?” tanya Ferdhy jutek.
“Mau salim, Pak,” ujar laki-laki yang mengulurkan tangan paling awal.
Ferdhy mengernyit bingung. “Salim buat apa?”
“Ya, kan, tadi Rida salim sama Bapak. Ya, kita juga ikut, Pak. Biar sopan.”
Rida membekap mulutnya menahan tawa.
“Nggak usah ketawa kamu!” sinis Ferdhy seraya melirik Rida geram. Seketika semua perhatian tertuju pada Rida dan berhasil membuat wanita itu menjadi salah tingkah.
“Kalian nggak usah salim, ya? Langsung cabut aja. Ini berlaku khusus untuk Rida, karena dia istri saya. Karena mencium tangan suami itu hukumnya wajib. Sudah, kembali ke kelas.” Ferdhy mengusir para mahasiswa itu.
“Ayo, Rid, ke kelas bareng,” tawar seseorang yang paling akrab dengan Rida.
Ferdhy mencegah. “Eh, nggak, nggak! Kalian pergi duluan saja. Biar Rida sama saya. Udah, jalan sana!”
Mereka pun memilih untuk segera pergi dari pada harus bermasalah dengan Ferdhy yang terkenal dengan sebutan dosen galak level Paqui.
Rida terkekeh geli melihat kecemburuan Ferdhy yang tinggi. “Pak Dosen, galak bener, sih? Masa mahasiswanya mau salim, nggak dikasih. Sensian banget, kek cewek PMS."
“Daripada istri kabur digondol orang,” ujar Ferdhy ketus.
Tawa Rida kian menjadi. Ia sudah tidak bisa menahan lagi.
Ferdhy menekuk wajahnya kesal semakin dalam. Diliriknya sang istri dengan sinis. “Gak usah ketawa kamu! Ayo aku antar masuk kelas.”
Rida menggeleng kepala pelan. “Nggak usah. Rida nggak mau ngerepotin, Mas Ferdhy. Rida bisa ke kelas sendiri. Tenang aja, Rida hafal jalannya. Jadi, nggak bakalan nyasar.” Menghadapi Ferdhy yang keras kepala dan jahil naudzubillah memang membutuhkan kesabaran yang super ekstra.
Ferdhy memutar bola matanya jengah. “Mending aku yang repot, daripada saingan banyak. Kalau dibiarkan jalan sendiri, bisa bahaya.”
Tanpa menunggu persetujuan dari Rida, Ferdhy langsung menarik tangan perempuan itu supaya mengikuti langkahnya.
"Mas, jangan ditarik gini, dong. Malu dilihatin mahasiswa lain." Rida melihat sekeliling yang mulai terlihat ramai.
"Kenapa harus malu? Aku suamimu dan halal untuk kamu sentuh. Malu, itu kalo kamu gandengan sama cowok yang bukan mahram."
Rida menunduk untuk menghindari tatapan teman-teman mahasiswa yang tengah memandanginya dan Ferdhy.
***
Selesai kelas, Rida segera menuju ke kantin Mang Ujang. Dia ingin mengisi perut sembari menunggu Ferdhy yang masih mengajar. Menunggu 2 jam, teramat membosankan. Namun, Rida merasa senang, karena sang suami sudah berpesan padanya, kalau mau jajan apa pun, tinggal ambil saja.
Sembari menunggu pesanan datang, Rida duduk manis di pojok sendirian. Meja paling ujung adalah tempat favoritnya bersama Aliana. Namun, sekarang, dirinya harus duduk di sana sendirian sambil menikmati sepiring siomay. Aliana masih belum bisa masuk kuliah, membuat Rida jadi rindu dengan sahabat terbaiknya itu.
“Permisi.” Seseorang menyapanya.
“Iya?” Mata Rida membulat sempurna tatkala melihat Angga berdiri tegap di hadapannya.
“Boleh aku duduk sini?”
Tak punya kuasa untuk menolak, Rida pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ingin menolak, tetapi dia segan karena Angga merupakan dosennya.
Dosen baru yang menaruh simpati besar pada Rida. Meski Angga tahu jika mahasiswanya itu sudah bersuami, tetapi Angga tidak punya rasa segan untuk mengakrabkan diri dengan Rida.
“Silakan, Pak,” jawab Rida ramah. Meski dalam hatinya dia sudah ketar-ketir.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Rida, Angga pun duduk. “Udah pesan makan?” tanyanya perhatian.
Rida tersenyum untuk kesopanan. Bagaimanapun lelaki yang berada di hadapannya ini adalah dosen yang wajib dihormati. “Sudah, Pak.”
Rida merasa begitu canggung. Ia sadar diri dengan posisinya sebagai seorang istri. Apalagi, suaminya adalah seorang dosen yang berstatus sama dengan Angga. Rida pula tak nyaman dengan tatapan teman satu fakultasnya kala melihat Angga duduk satu meja dengannya.
Tidak ingin menjadikan ini salah paham, Rida langsung melapor pada sang suami. Toh, ini juga perintah Ferdhy yang wajib dipatuhi. Rida merogoh ponsel di tasnya. Kemudian mengetik pesan yang lalu dikirimkan kepada Ferdhy.
Ferdhy baru selesai mengajar. Dia segera mengecek telepon genggemnya kala mendengar notifikasi pesan masuk. Manik Ferdhy membulat sempurna saat membaca isi pesan teks itu.
My Wife: Mas, Pak angga nyamperin aku di kanting Mang Ujang. Aku duduk di meja pojok biasa. Kamu bisa nyusul ke sini, gak? Aku nggak enak kalau harus berduaan sama, Pak Angga. Apalagi sampe dilihat orang-orang yang sudah tahu tentang pernikahan kita. Entar, takutnya ada gosip tak sedap.
Setelah membaca pesan itu, tangan Ferdhy mengepal keras. “Kurang ajar!” umpatnya geram. Gejolak api amarah pun membara di dalam hatinya. Ternyata, Angga masih belum menyerah juga. Sekukuh apa dia? Angga benar-benar tidak mempunyai harga diri. Ferdhy tidak boleh menyepelekan Angga jika tidak ingin kecolongan. Angga, bre ngsek! Dia tetap nekat mendekati Rida, meski dia sudah tahu kalau wanita itu sudah bersuami. Dasar pebinor!
Tanpa menunggu waktu lama, Fedhy langsung bergegas menuju kantin kampus untuk menyelamatkan harga dirinya dan sang istri.