Cari Ribut

1675 Kata
Rida sudah menunggu cukup lama, tetapi pesanannya belum juga datang. Harus berapa lama lagi Rida menunggu dalam kecanggungan seperti ini? Hatinya mulai cemas. Dia takut akan ada orang yang sengaja memanfaatkan momen ini untuk menyebar gosip yang tidak-tidak mengenai dirinya. Setelah beberapa lama berteman dengan kebisuan, akhirnya Angga membuka percakapan. “Rida?” panggilnya. Laki-laki itu pusat menatap mata perempuan yang sudah berstatus sebagai istri orang itu. Tatapannya yang lembut, bisa membuat siapa pun terbuai. Namun, itu tidak berlaku bagi Rida. Perempuan yang masih waras itu mengalihkan perhatiannya pada objek lain. Dia tidak ingin membikin Angga menjadi gede rasa. “Ya, Pak,” balas Rida sembari celingak celinguk mengedarkan pandangannya pada sekitar. Berharap sang suami akan segera datang. Menjadi pahlawan untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya yang terpampang jelas di depan mata. Rida sungguh tidak tahan dengan situasi ini. Dia takut akan ada fitnah dan kesalahpahaman, sebab keadaan sulit ini. “Kalau bicara sama orang, tatap matanya, dong." Lancang Angga meraih tangan Rida, memegangnya lembut. Cepat, Rida menarik tangannya dari genggaman Angga. “Maaf, Pak, saya sudah punya suami. Tolong hargai saya.” Tak ragu Rida menegur sang dosen. Bukan tanpa alasan dia bersikap begitu, tetapi Angga memang sudah bersikap sangat kelewatan. Mungkin bagi wanita lain, dipegang tangan oleh lelaki yang bukan mahram itu merupakan hal yang wajar, tetapi bagi Rida, itu merupakan bentuk pelecehan. Dia tidak suka dipegang-pegang oleh orang yang bukan mahramnya. “Maaf, Maaf, saya nggak sengaja,” ucap Angga begitu enteng seraya tersenyum manis. Rida menyungging senyum masam kala mendengar kata maaf itu keluar dengan mudahnya dari mulut Angga. Tampak pria dewasa itu tidak menunjukan rasa bersalah. Jelas Angga sengaja memegang tangan Rida untuk menggodanya. Muak Rida harus selalu berurusan dengan orang-orang sepertinya. Dulu dia tak acuh, sebab masih sendiri. Namun, sekarang Rida sudah mempunyai pasangan yang harus dia jaga perasaannya. Rida tidak akan memberikan celah bagi orang ketiga yang tentunya akan merusak keharmonisan rumah tangganya. Tidak akan pernah. Rida pun kembali mengedarkan pandangan, berharap Ferdhy segera datang. Dia sudah tidak tahan duduk lebih lama lagi bersama laki-laki tidak tahu diri seperti Angga. Dalam hati Rida menggerutu, “Pendidikan bagus, pekerjaan dosen, tapi nggak punya etika. Percuma sekolah tinggi-tinggi, etika nol besar!” Rida tersenyum untuk menjaga sopan santun. “Iya, nggak apa-apa, Pak. Tolong jangan diulang lagi, ya. Saya nggak enak. Takutnya timbul Fitnah,” tegurnya supaya Angga tidak makin seenaknya. Angga sama sekali tidak merasa bersalah. Melihat Rida yang berani menegurnya sekeras ini membuat dia semakin merasa tertantang untuk menaklukannya. Siapapun tidak akan ada yang sanggup berpaling dari pesona Angga. Termasuk Rida sekalipun. Angga cukup percaya diri akan kelebihan dirinya. “Ekhem.” Dia menetralkan tenggorokan. Rida diam. Dia enggan membuka pembicaraan dengan Angga. Kalau ditanya, maka dia akan menjawab dan jika tidak, dia pun akan diam. “Rida sudah baca pesan saya, kan? Kok nggak dibalas?” tanya Angga tiba-tiba membuat Rida tak berkutik. Rida menarik napas meski rongga da danya sudah terasa penuh sesak. “Maaf, sebelumnya, Pak Angga. Bapak, dapat nomor saya dari siapa, ya? Sebelumnya, maaf banget. Bagi saya, nomor ponsel itu privasi. Saya tidak suka kalau nomor saya tersebar dan disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.” Dia mengumbar senyuman tipis meski sadar bila kata-kata yang keluar dari mulutnya itu cukup kejam. Rida tidak ingin menahannya di hati. Dia ingin menyadarkan Angga akan kelancangan pria itu. Semoga ini cukup untuk memberikan Angga peringatan bahwasanya apa yang dia lakukan itu salah. Rida tidak peduli kalau hal itu akan menyakiti hati Angga, sebab dia mempunyai alasan untuk marah kala privasinya diusik. Angga pula dapat merasakan efek dari ucapan Rida yang menancap hatinya. Dia tersenyum kaku. Angga cukup tersinggung dengan ucapan Rida. Namun, sebisa mungkin dia menyembunyikannya. “Maaf, kalau saya sudah lancang meminta nomor kamu dari salah satu teman sekelasmu. Saya sama sekali tidak punya pikiran buruk, apalagi berniat menyalahgunakan nomor kamu. Saya hanya ingin menawarkanmu untuk menjadi asisten dosen. Jika tidak keberatan, apa kamu mau menjadi asdos saya? Saya akan memberimu imbalan yang sesuai.” Rida menyunggingkan senyuman palsu sebagai bentuk hormatnya terhadap Angga. “Terima sudah menawarkan jabatan ini pada saya. Ini bukan hanya soal materi, Pak. Tapi saya merasa tidak pantas menjadi asisten, Bapak. Mungkin, Pak Angga bisa memberikan kesempatan itu kepada mahasiswa lain.” Angga menggeleng. Dia berusaha meyakinkan Rida kalau pilihannya tersebut objektif tidak mengandung niat terselubung apa pun. “Saya merasa kamu cukup kompeten dibanding anak-anak yang lain. Jika bersedia, dengan segala hormat saya minta kamu menjadi asisten dosen saya. Saya sangat butuh mahasiswa cerdas sepertimu untuk membantu saya. Jadi, saya mohon, agar kamu sudi hati untuk menerima tawaran saya.” Rida menggeleng tegas. “Tidak, Pak. Ada banyak teman-teman yang jauh lebih cakap dari saya. Hanya saja, Pak Angga belum tahu kemampuan hebat yang dimiliki mereka. Maaf, saya tidak bisa menerima tawaran, Bapak. Terlebih, selain menjadi mahasiswa, saya juga merangkap sebagai seorang istri. Tentu ada suami yang harus saya layani. Ada pekerjaan rumah yang harus saya urus. Saya tidak ingin tugas-tugas penting saya menjadi keteteran hanya, karena saya terlalu sibuk di kampus. Saya sarankan, Pak Angga mencari mahasiswa lain saja. Karena saya memang tidak bisa. Sekali lagi, saya minta maaf.” Teguh dia menolak meski Angga, dosennya sendiri. Namun, Rida harus berani menyuarakan hatinya. Bukan dia menantang atau mempermainkan kesabaran Angga, tetapi dirinya tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat bagaimana sikap Angga padanya, bukan tidak mungkin kalau itu akan memancing huru hara di antara Rida dan suaminya. Terlebih Ferdhy begitu mengambil berat hati akan sikap Angga. Rida tidak mau kalau harus selalu ribut dengan Ferdhy. Angga menatap Rida kecewa. Meski begitu, dia tidak bisa memaksa perempuan itu. Dirinya tidak ingin terlihat buruk di mata Rida yang telah berhasil mencuri hatinya. “Baiklah kalau itu mau kamu, saya tidak bisa memaksa. Tapi, tolong pikirkan sekali lagi. Kalau nanti kamu berubah pikiran. Kamu bisa kembali bicarakan ini dengan saya.” Dia hendak beranjak, tetapi tiba-tiba saja Ferdhy datang. Rida tersenyum senang kala mendapati kedatangan suaminya. “Assalamu’alaikum, Cantik,” sapa Ferdhy seraya tersenyum manis. Di tempat duduknya, hati Angga bergemuruh geram. Rasa panas segera menjalari hatinya, membuat dia merasa tersiksa. Meski begitu, Angga terus menahannya mati-matian. Dia sadar, jika dirinya tidak berhak cemburu. Namun, amat sulit menghadapi perasaannya yang rumit ini. Angga merasa gusar. “Waalaikumussalam.” Rida meraih tangan Ferdhy dan dicium dengan tulus. Ferdhy mencium kening sang istri, tetapi ekor matanya tersenyum melirik Angga. Puas. Lihat saja, sampai sejauh mana Angga nekat untuk mendekati istrinya? Seberapa kecil harga diri pria itu hingga tidak masalah menjatuhkan nilai dirinya sendiri begitu rendah? "Menyedihkan," batin Ferdhy. Dia bisa merasakan kilatan marah yang berkobar membara dari tatapan Angga. Ferdhy merasa begitu puas melihat orang tidak penting itu tersiksa. Siapa suruh mau merebut bini orang? Pakai akal-akalan dijadikan asisten dosen segala. Lagu lama. Ferdhy tidak akan lengah. “Udah makan, Sayang?” tanya Ferdhy perhatian. Dia pura-pura tidak menyadari keberadaan Angga. Angga makin dongkol, sebab merasa keberadaannya tak dianggap. Rasa ingin mencak-mencak, tetapi warasnya masih tersisa sedikit hingga dia masih memikirkan pandangan umum tentangnya. Terlebih, Rida. Angga tidak mau membuat Rida hilang respek padanya. Rida menggeleng. “Belum, Mas. Masih rame kayaknya. Dari tadi belum dapet giliran juga.” Ferdhy menyeret kursi di samping Rida lalu duduk. “Eh, Pak Angga, di sini juga?" Angga mengangguk seraya tersenyum kecut. "Pak Ferdhy," sapanya. "Pak Angga, terima kasih sudah menemani istri saya duduk di sini. Saya baru selesai ngajar soalnya, jadi nggak bisa nemenin tadi. Tapi sekarang kelas saya sudah selesai, kok. Kalo Pak Angga ada urusan lain, silakan. Istri saya, biar saya yang jaga,” tutur Ferdhy menyuruh Angga untuk segera enyah dari hadapannya. Angga memaksakan tersenyum. Muak sekali melihat wajah ramah Ferdhy yang amat berbanding terbalik dengan gaya bicaranya. Angga tidak boleh menunjukkan kebenciannya terhadap Ferdhy di hadapan mereka. “Santai saja, Pak Ferdhy. Ya udah, berhubung sudah ada, Bapak, saya permisi dulu. Saya tadi kebetulan lewat sini, terus tidak sengaja melihat istri Anda duduk sendirian. Kasihan kan, kalau perempuan baik-baik dibiarkan duduk sendirian? Takutnya ada yang berniat buruk. Makanya saya temani. Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.” Dia beranjak dari duduk dengan wajah yang berubah dingin. Ferdhy tersenyum kecut. "Waallaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Angga yang hendak pergi pun mematung di tempatnya kala Ferdhy berkata, "Pak Angga, hati orang itu amat sulit ditebak. Tiada yang mampu mengukur kedalaman hati manusia dan sebab dasarnya tidak diketahui, terkadang manusia sulit mengartikan hatinya hingga membuat banyak sekali kesalahan. Tapi semua itu dapat diimbangi dengan logika kita. Jadi, jangan selalu mengikuti kata hati, tetapi pikirkan juga apa yang kita lakukan ini benar atau salah." Angga mematung membelakangi Ferdhy. Dia mengepalkan tangannya geram. Ferdhy melihat kepalan tangan Angga dengan air muka dingin. Dia tidak segan-segan mempermalukan Angga bila pria itu kembali mengganggu istrinya. Angga pun pergi begitu saja membawa serta kemarahannya. Sepertinya Ferdhy sudah mengetahui perasaan Angga untuk istrinya dan hal itu berhasil membuat Angga amat kesal. Ferdhy begitu berani. "Enak aja! Siapa juga yang mau ditemani sama dia. Mana modus-modus lagi. Ngeselin banget!” Rida memberengut kesal. Ferdhy menoleh dengan mimik yang sudah kembali seperti sedia kala. “Dia modus apa sama kamu?” tanyanya. “Tadi dia pegang tangan aku,” adu Rida membuat tangan Ferdhy menggenggam kuat. Rahangnya mengeras menandakan amarah yang mulai memuncak. “Terus?” tuntut Ferdhy lagi. “Ya, aku tarik tanganku. Aku nggak mau kalau sampai ada yang berpikiran buruk tentang aku. Aku bilang kalau aku udah punya suami, jadi nggak pantas dia pegang-pegang tangan aku kayak gitu. Dia bener-bener nggak punya etika. Dia juga bujuk aku buat jadi asisten dosennya. Mana bujuknya maksa lagi. Tapi, aku tetap menolaknya. Untung saja kamu datang, kalau nggak, sudah mati kutu aku di sini." Rida memajukan bibirnya, cemberut. “Istri soleha. Aku bangga sama kamu." Ferdhy mengusap kepala Rida lembut. Namun, menelisik tindakan agresif Angga, dia tidak boleh tinggal diam. Lancang pria itu mendekati Rida padahal dia tahu kalau Rida sudah bersuami. Ferdhy benar-benar harus hati-hati sekarang. Dia harus waspada menjaga keutuhan rumah tangganya. Jangan sampai ada orang ketiga. Tidak boleh. "Mas." Rida memegang tangan Ferdhy. "Hmmm?" Sentuhan Rida membuyarkan lamunan Ferdhy. "Kok, melamun?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN