Kedua orang tua Ririn mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan oleh putri mereka. Berkali-kali emosi papa Ririn hampir meledak, tetapi sang istri selalu menahan agar suaminya itu tak menyakiti Ririn lebih dalam lagi. Terlebih, saat ini ada janin seorang bayi di dalam Rahim putri mereka.
Ririn pun menceritakan semua hal yang dapat diingatnya, tanpa ada yang terlupakan. Tangisan tak luput dari kedua ujung matanya yang indah. Isakannya berkali-kali menjeda kalimat yang meluncur dari bibirnya. Satu hal yang sangat ia sesali, kalau saja orang yang menemaninya ke pesta malam itu adalah kakaknya, Dimas, besar kemungkinan hal buruk itu tidak akan terjadi padanya. Namun, apa boleh buat, Ririn hanya bisa menyesal karena semua sudah terjadi.
“Mengapa kamu tidak cerita kepada Mama, Rin? Mengapa kamu diam saja?” tanya mama Ririn sedikit kesal.
Ririn diam sebentar lalu menjawab, “Ririn … Ririn takut, Ma.”
“Kalau kamu bicara sama Mama semua tidak akan jadi seperti ini, Nak,” sahut mama Ririn frustasi. Ia menyandarkan tubuh di sofa dan tak melanjutkan lagi kalimatnya.
“Lalu sekarang harus bagaimana? Untuk mencari pelakunya sudah sangat terlambat.” Papa Ririn tak kalah frustasi.
“Ma-maaf, Ma, Pa,” ucap Ririn pelan. Ia tak tahu kata-kata apa lagi yang harus diucapkannya.
Suasana di ruangan itu hening. Semua penghuninya sibuk memutar otak untuk mencari jalan keluar dari persoalan pelik yang kali ini harus mereka hadapi.
“Pa, kira-kira siapa yang melakukan ini kepada Ririn?” tanya mama Ririn sambil menengok kepada sang suami.
Papa Ririn menggeleng. Pria itu menarik napasnya dan mengembuskannya kasar. “Entahlah, Ma.”
“Kita harus lapor polisi, Pa,” ucap mama Ririn yang sontak membuat Ririn membulatkan matanya.
“Ma, jangan lapor ke polisi. Ririn tidak mau semua ini sampai diketahui oleh umum.” Ririn buru-buru menolak niat mamanya.
“Papa juga tidak setuju kalau kasus ini dilaporkan ke polisi.” Suara papa Ririn terdengar berat.
“Tapi, Pa, kita harus tahu siapa pelakunya,” sahut mama Ririn.
Ririn hanya diam sambil melihat papa dan mamanya secara bergantian. Di satu sisi, ia ingin tahu siapa yang melakukan hal itu kepadanya. Namun, di sisi lain, ia tak mau kasus ini dihadapkan ke meja hijau. Ia khawatir hal itu akan membuat namanya dan keluarganya tercoreng.
“Ma, Papa tidak mau nama baik kita dan Ririn tercoreng. Mama tidak malu kalau apa yang dihadapi Ririn diketahui banyak orang?” tanya papa Ririn dengan nada tinggi.
Mama Ririn terdiam, ia mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh sang suami. Tubuh mama Ririn seketika melemas. Ia mengusap wajahnya frustasi.
Papa Ririn masih diam. Ia tak lagi berkata-kata. Pria itu kemudian mengambil ponsel dari saku celananya. Cepat ia mencari nama seseorang dari daftar kontak yang ada di sana, kemudian melakukan panggilan. Dalam keheningan, suara dari ponsel papa Ririn dapat terdengar walaupun speaker-nya tidak diaktifkan.
“Cepat datang kemari, ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” perintah papa Ririn kepada seseorang yang dihubunginya. Ia lalu mengakhiri panggilan dan kembali meletakkan ponsel ke dalam saku celananya.
Ruangan kembali hening, tanpa ada yang melontarkan sepatah kata pun. Dalam hati, Ririn bertanya-tanya siapa yang baru saja dihubungi oleh papanya dan apa hubungannya dengan permasalahan yang sedang ia hadapi.
Lima belas menit berlalu, seorang pria muda melangkah terburu-buru memasuki ruang tamu. Suara langkahnya terdengar memecahkan keheningan. Ririn mengernyitkan dahinya, tak mengerti mengapa pria itu dipanggil papanya untuk datang ke rumah.
“Hai, Om, Tante,” sapa pemuda yang baru saja masuk.
“Hai, Rin,” sapa pemuda itu lalu duduk di sebelah Ririn. Senyuman yang sejak tadi merekah di bibirnya perlahan menghilang. Ia mengamati Ririn serta kedua orang tua gadis itu secara bergantian.
“Bram, kamu tahu ‘kan apa tugasmu?” tanya papa Ririn kepada Bram.
“Ya, Om, tugas Bram adalah mengantar jemput Ririn,” sahut Bram pasti, ia tahu betul apa tugasnya.
“Satu lagi, tugasmu adalah menjaga Ririn.” Papa Ririn coba mengingatkan Bram akan tugasnya.
Bram mengangguk pasti. Bagaimana mungkin ia lupa? Tidak hanya papa Ririn, Mama Ririn dan Dimas juga memercayakan Bram untuk menjaga Ririn.
“Ya, Om, tugasku yang sebenarnya adalah menjaga Ririn.” Bram mengoreksi kesalahannya.
Papa Ririn menatap Bram tajam, membuat Bram heran sekaligus khawatir. Tak biasa papa Ririn bersikap seperti itu kepadanya.
“Lalu mengapa kau tidak menjalankan tugasmu dengan baik?” tanya papa Ririn.
Bram tak mengerti apa maksud pembicaraan papa Ririn. Ia menoleh ke arah Ririn yang sedari tadi diam dan menunduk. Bram mulai merasa tak enak hati karena semua orang yang ada bersamanya saat ini memasang wajah tegang.
“Maaf, Om, Bram tidak mengerti. Apa ada yang salah?” Bram tak kuat menahan rasa penasarannya dan bertanya secara to the point.
“Mengapa kamu tidak menjaga Ririn saat pesta ulang tahun temannya? Mengapa kamu membiarkan Ririn minum minuman keras?” Mama Ririn memberondong Bram dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengganjal di hatinya.
Bram semakin tidak mengerti. Ia tak paham ke mana arah tujuan pembicaraan mama Ririn. “Maaf, Tante, Bram benar-benar tidak paham. Ada apa sebenarnya, Tante?” Bukannya menjawab, Bram malah balik bertanya.
“Seseorang memanfaatkan kondisinya yang mabuk saat itu. Hhhh … aku tak tahu lagi harus berkata apa.” Mama Ririn tak sanggup mengatakan yang sebenarnya kepada Bram.
Bram semakin penasaran. Ia kembali mencoba mengingat acara ulang tahun Manda malam itu. Namun, ia tak tahu bagian mana yang sedang menjadi pokok persoalannya.
Seolah mengetahui kebingungan Bram, papa Ririn akhirnya membuka mulutnya. “Ririn hamil dan itu akbibat dari kejadian di malam pada saat kalian menghadiri pesta ulang tahun temannya Ririn.”
“Apa? Ririn hamil?” tanya Bram sambil menarik tubuhnya yang sejak tadi masih bisa duduk bersandar.
“Rin, apa yang sudah terjadi?” tanya Bram bingung.
Ririn perlahan menceritakan apa yang sudah terjadi walaupun dirinya merasa sangat malu kepada Bram. Walau bagaimana pun, Bram adalah pria yang ia cintai.
Bram pun mengepalkan tangan kanannya lalu memukul pahanya kesal. “Harusnya Cindy menemanimu ke toilet saat itu, Rin.” Bram marah kepada dirinya sendiri.
“Ini bukan salah Kak Bram,” ucap Ririn berusaha menenangkan Bram.
“Tapi, Rin, malam itu aku mencarimu kemana-mana, tetapi aku malah mendapatkan pesan dari nomor ponselmu. Di pesan itu kamu bilang kamu sudah pulang, jadi aku berhenti mencarimu.” Bram menjelaskan apa yang terjadi malam itu.
“Ya, Mama juga dapat pesan dari ponselmu, Rin. Kamu bilang kamu tidak bisa pulang karena Manda sudah menyediakan kamar untuk tempat kalian menginap,” timpal mama Ririn.
“Berarti pelakunya adalah orang yang mengenal kita, tapi siapa?” tanya papa Ririn penasaran.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Pa?” tanya mama Ririn.
Papa Ririn akhirnya menjawab dengan berat hati, “Bayi itu tidak bisa dilahirkan.”
“Apa?” sahut Ririn dan mamanya secara bersamaan.
“Ya, keputusan Papa sudah bulat. Papa tidak mau orang-orang sampai tahu kalau Ririn hamil tanpa suami. Papa juga tidak bisa bayangkan bagaimana kalau anak itu lahir tanpa seorang ayah.” Papa Ririn mengungkapkan alasannya.
“Tapi, Pa, Ririn tidak mau menggugurkan kandungan Ririn,” tolak Ririn sambil memegangi perutnya yang masih rata.
“Ririn, apa yang dikatakan Papamu itu benar. Mama juga tidak mau kalau kamu mempunyai anak tanpa memiliki suami. Mau ditaruh di mana muka Mama dan Papamu?” timpal mama Ririn menyetujui perkataan suaminya.
Tubuh Ririn melemas, ia tak tega kalau harus mengorbankan bayi yang ada di kandungannya. “Ma, Ririn tidak bisa,” tolak Ririn lagi.
“Ririn, kali ini jangan membantah!” hardik papa Ririn kesal.
Ririn pun kembali menangis. Apa yang diminta oleh kedua orang tuanya sangat berlawanan dengan keinginannya. Selama ini, ia memang penurut, tetapi ia tak bisa mengiyakan permintaan kedua orang tuanya itu untuk menggugurkan kandungannya.
Bram yang sedari tadi duduk dan hanya menjadi penonton, bangkit berdiri. “Aku akan menikahi Ririn,” ucap Bram tegas membuat semua mata sontak memandang ke arahnya.
“Kak Bram, jangan bertindak bodoh,” ucap Ririn. Ia tahu betapa Bram dan Cindy saling mencintai. Tak mungkin ia menjadikan kehamilannya sebagai ajang untuk memiliki Bram seutuhnya.
“Rin, Kakak hanya ingin menolongmu. Kakak akan menikahimu agar bayi itu memiliki ayah.” Bram mengulangi niatnya. Papa dan Mama Ririn seketika menatap Bram tajam seolah ingin menilai keseriusan ucapan pemuda itu.
“Aku akan menjadi ayah dari bayi itu,” ucap Bram lagi.