Ketulusan Bram

1107 Kata
Ruang tamu yang menjadi tempat berkumpulnya keluarga Ririn dan Bram masih diselimuti suasana yang menegangkan. Kedua orang tua Ririn sempat tak percaya mendengarkan apa yang dikatakan Bram. Mereka berdua terdiam dan saling berpandangan, mencerna tawaran yang diberikan oleh anak supir yang sudah setia menemani mereka. “Om, Tante, Bram sudah melakukan kesalahan. Jika diizinkan, biarlah Bram yang bertanggung jawab.” Bram berkata dengan nada lugas sambil menatap kedua orang tua Ririn. “Kak Bram …,” ucap Ririn lemah. Ia memegang lengan Bram pelan. Ririn tak habis pikir mengapa Bram rela mengorbankan masa depannya dan menawarkan pernikahan dengannya. “Ririn, duduklah.” Bram mengusap pundak Ririn dan meminta gadis itu untuk duduk di sofa yang ada di dekat mereka. Ririn pun tak menolak. Pikiran yang kalut membuat tubuhnya terasa lemah. Darmawan dan Elvina, kedua orang tua Ririn pun kembali duduk. Suasana yang sebelumnya tegang perlahan mulai mencair. Kemarahan yang menimbun di hati keduanya menjadi berkurang karena tawaran Bram yang dirasa menjanjikan. “Bram, apakah kamu serius dengan perkataanmu tadi?” Darmawan menginterogasi Bram. “Ya, Om, aku serius,” jawab Bram sambil mengangguk pasti. Pandangannya kemudian beralih pada Ririn yang masih menunduk sambil memegang perutnya. “Bram, Om dan Tante sangat senang kalau kamu berniat membantu kami. Namun, kamu harus berpikir panjang. Pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup. Apakah kamu yakin bisa menjalani ini bersama Ririn?” timpal Elvina, mama Ririn. “Ya, Tante, aku akan berusaha semampuku. Aku akan mengungkapkan kepada semua orang bahwa bayi itu adalah bayi kandungku.” Bram menatap kedua orang tua Ririn secara bergantian. Ririn semakin terhenyak mendengar apa yang dikatakan Bram. Dalam hati, ia menjadi merasa bersalah. Ia menyesal karena sudah bertindak bodoh dengan meminum minuman keras yang sama sekali tak pernah disentuhnya sebelumnya. Ia menyesal karena keteledorannya sendiri, Bram harus ikut menanggung malu. Terlebih lagi, Bram berjanji untuk seumur hidup mendampinginya. Itu berarti Bram akan kehilangan Cindy. Ririn tak lagi bersuara. Ia tak menolak dan juga tak menerima. Ririn tak mau lagi memancing kemarahan kedua orang tuanya. Suara sepatu yang bertemu dengan lantai keramik terdengar memecah keheningan. Dimas baru saja memasuki ruang tamu dan segera menghampiri keempat orang yang duduk di sofa. “Ma, Pa,” sapa Dimas. Ia mendekati Darmawan dan Elvina lalu menyalami mencium tangan kedua orang tuanya tersebut. “Sudah pulang kamu, Dim,” sahut Elvina. “Ya, Ma,” jawab Dimas pendek. Ia mengamati keempat orang yang ada di ruang itu. Dimas yang tadinya hendak berjalan ke kamar untuk berganti pakaian mengurungkan niatnya. Ia duduk di salah satu sofa yang kosong sambil meletakkan tas kerjanya. “Kamu habis nangis, Rin?” tanya Dimas sambil mengamati wajah Ririn yang sembab. “Ada apa ini? Apa sedang ada masalah?” selidik Dimas. Ia bergantian melihat kedua orang tuanya, Ririn, dan Bram. Ketika tak ada jawaban dari keempat orang tersebut, Dimas menjadi sangat yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. “Ma, Pa, apa yang sedang terjadi di sini? Tolong jelaskan kepada Dimas,” ucap Dimas kepada papa dan mamanya. Ia melepaskan jas yang masih melekat di tubuhnya. Ia juga melepaskan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Dimas semakin mengerutkan dahinya karena tak satu pun yang menjawab pertanyaannya. “Ada apa, Pa? Mengapa ruang tamu ini terlihat kusut sama seperti wajah Papa, Mama, Ririn, dan Bram?” Dimas kembali bertanya dengan serius. Ruang tamu itu memang belum sempat dibereskan setelah kemarahan Darmawan yang sempat meledak. “Ririn hamil.” Darmawan menjawab pendek. Dimas tercengang mendengar dua kata yang meluncur dari mulut papanya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa itu adalah jawaban untuk pertanyaannya. “Apa? Ririn hamil?” Dimas mengulangi apa yang dikatakan papanya. Ia tak percaya dan ingin memastikan lagi jawaban yang ia dengar. “Ya, adikmu hamil, Dim.” Kini Elvina yang menjawab karena Darmawan sudah kembali membisu. Dimas mengalihkan pandangannya kepada Ririn yang masih menunduk. Ia menelan ludah saat melihat kedua tangan Ririn berada di perut ratanya, seolah ingin melindungi janin yang ada di dalamnya. “Ririn, apa yang sudah terjadi? Mengapa kamu tak pernah bicara sama Kakak?” tanya Dimas pelan. Ia tak tega memarahi Ririn. Ririn tak menjawab pertanyaan kakaknya. Air mata yang sempat berhenti kembali mengalir. Ia merasa bersalah karena sudah melukai orang-orang yang dicintainya. “Dim, aku akan bertanggung jawab. Aku akan segera menikahi Ririn.” Bram menatap Dimas yang masih mengarahkan pandangannya pada Ririn. Jawaban dari Bram mengejutkan Dimas. Ia segera mengalihkan pandangannya kepada Bram dan menatap pemuda itu tajam. Dimas naik pitam. Ia mengira bahwa Bram sudah melakukan hal yang tidak senonoh kepada adiknya. Dimas cepat berdiri dan melangkah lebar mendekati Bram. Kedua tangan kokoh Dimas mencengkeram kerah baju Bram, memaksa temannya itu untuk ikut berdiri. Ia mengeratkan rahangnya menahan amarah yang sudah memuncak. “Dasar laki-laki kurang ajar!” gertak Dimas. Satu tangannya memukul keras perut Bram sementara satu tangan yang lain masih mencengkeram kerah baju pemuda itu. “Kak Dimas!” seru Ririn. Ia segera bangkit berdiri, mencoba melerai kedua pria yang sangat ia kasihi. Dimas mengabaikan seruan Ririn. Ia kembali memukul perut Bram dengan keras. Bram tak melawan, ia mengerti bahwa Dimas sedang salah paham. “Dimas, berhenti!” seru Darmawan keras. Ia berjalan cepat lalu melerai Dimas dan Bram. “Pa, mengapa Papa malah membela Bram? Dia sudah mempermalukan keluarga kita. Dia juga sudah menodai Ririn. Mengapa Papa menyuruh aku berhenti?” protes Dimas sambil meronta-ronta ingin melepaskan diri dari papanya. “Kak Dimas, Kak Bram tak pernah melakukan itu kepada Ririn, Kak,” ucap Ririn sambil terisak. Ia memegang lengan Bram erat, menghalangi agar Dimas tak kembali menyakiti pria yang sudah berbaik hati kepadanya itu. “Sudah, jangan menangis lagi, Rin. Ayo, duduk, kamu tak boleh terlalu lelah.” Bram berkata dengan lembut. Pemuda itu menuntun Ririn dan membantunya duduk di sofa. Dimas mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ia meredam amarahnya. Melihat Dimas yang sudah kembali tenang, Darmawan melepaskan putranya itu. “Semua tak seperti yang kamu pikirkan, Dim. Aku tak pernah melakukan hal yang tak baik kepada Ririn. Aku hanya merasa kalau aku ikut bersalah dalam kejadian ini. Kalau saja aku bisa menjaga Ririn dengan baik, Ririn pasti tidak akan mengalami hal ini. Untuk itu, aku menawarkan diri untuk bertanggung jawab dan menikahi Ririn.” Bram menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak ingin Dimas kembali salah paham padanya. “Jadi, bukan Bram yang sudah menghamilimu, Rin?” tanya Dimas kepada adiknya. “Bu-bukan, Kak,” jawab Ririn pelan, sambil mengusap air matanya. Dimas menghempaskan tubuhnya di sofa yang empuk. Ia semakin kalut karena belum memahami secara keseluruhan apa yang telah terjadi. Namun, setelah mendengar pengakuan Ririn, Dimas segera meminta maaf kepada Bram yang sudah menjadi sasaran kemarahannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN