Dentingan tuts-tuts piano terdengar indah dan nada-nada mulai mengalir dengan merdu dan harmoni. Langit sudah mulai kemerahan di ufuk barat pertanda siang akan berganti malam. Sekolah mulai sepi yang hanya menyisakan beberapa siswa yang memang ada latihan tambahan untuk pertandingan futsal minggu depan. Meski hari sudah mulai gelap, Kenzo masih setia bersandar pada dinding depan ruang musik, sembari memejamkan matanya, menikmati setiap alunan nada yang tercipta.
Entah sudah berapa kali Kenzo melakukan ini. Baginya, mendengarkan musik klasik adalah kenikmatan tersendiri selain menorehkan warna di kanvas. Musik klasik yang sedikit mengusik jiwa mulai menggelayuti pikirannya semenjak pertemuannya dengan Clarissa.
Kenzo tahu komposisi lagu yang sedang didengarnya ini. Beethoven menuliskan kisah patah hatinya melalui sebuah komposisi yang apik, Fur Elise. Konon wanita yang sangat dicintai Beethoven menikah dengan pria lain sebelum Beethoven sempat menyatakan cintanya. Sungguh tragis memang, tetapi dari kisah tragis itulah sebuah musik yang indah bisa tercipta dan bisa dinikmati sampai sekarang.
Kenzo merasakan kepedihan yang luar biasa ketika mendengar lagu ini. Sang pianis sepertinya paham dengan apa yang dirasakan Beethoven hingga menyalurkan segenap perasaannya pada lagu yang sedang dimainkan. Clarrisa merupakan seorang pianis muda berbakat. Kenzo mengenalnya. Bahkan sebelum Clarissa mengajar musik di sekolah, Kenzo sudah mengenalnya. Clarissa sering hadir dalam pameran seni yang diadakan komunitas pecinta seni atau event yang diadakan ayah Kenzo. Kenzo sudah terjerat pesona Clarissa sejak pertemuan pertama mereka.
Kenzo membuka matanya ketika dentingan tuts piano mulai berhenti. Tampaknya sang painis menghentikan permainannya pada bagian paling menguras emosi. Kenzo merasakan sakit yang juga dirasakan oleh sang pianis. Meski permainanya berhenti di tengah jalan, sang pianis dapat menginterpretasikan perasaannya melalui musik.
Pintu ruang musik tiba-tiba terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu yang diurai rapi, keluar dari ruangan itu. Sembari memegang buku musik di tangan kanannya, Clarrisa berjalan melewati Kenzo begitu saja. Jelas terihat bahwa Clarissa berusaha mengabaikan kehadiran Kenzo.
"Bagian itu. Kenapa harus berhenti di bagian itu?"
Clarissa menghentikan langkahnya, meski tidak menjawab Kenzo. Hal itu justru membuat Kenzo semakin tidak bisa menahan emosinya.
"Kenapa musikmu terasa menyedihkan?"
Clarissa masih terdiam.
"Katakanlah! Jika kamu terus begini, apa yang harus kulakukan?" kali ini Kenzo terdengar frustrasi. Dia sudah mencoba. Dia tahu Clarissa bisa merasakan apa yang dirasakan Kenzo.
"Memangnya apa yang mau kamu lakukan?" Clarissa balik bertanya kepada Kenzo. "Lebih baik urus urusanmu sendiri. Jangan campuri urusanku! Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?"
Mata Clarissa berkilat tajam. Namun, air mata yang sudah terlanjur jatuh tidak bisa disembunyikan begitu saja. Kenzo sama sekali tidak terkejut dengan perlakukan dan ucapan dingin Clarissa.
"Kemana perginya Clarissa yang ramah dan penuh gairah yang dulu kukenal?" Kenzo melembutkan suaranya. "Permainan pianomu terasa begitu menyakitkan."
Tanpa berkata sepatah katapun, Clarissa berjalan menjauhi Kenzo yang masih berdiri mematung. Kenzo menatap punggung Clarissa yang semakin menjauh dalam diam. Kedua tangannya mengepal. Kali ini usahanya memang gagal, tapi suatu saat Kenzo yakin akan mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya ini.
***
"Kakak sudah melupakan kami ya, hingga enggak berniat untuk pulang?"
Rara duduk di depan meja riasnya dengan ponsel yang masih ditempelkan di telinganya. Pagi ini tiba-tiba Aidan menelpon Rara ketika dia bersiap untuk berangkat sekolah.
"Enggak gitu," jawab Aidan. "Kali ini memang enggak bisa pulang untuk sementara waktu. Asal kamu tahu, Kakak di sini juga merindukan kalian."
Rara mendesah pelan, "Rara ngerti." Rara tahu jika Aidan memang sedang sibuk dengan segala ujian yang harus dipersiapkan.
"Sekarang kamu kelas XII, kan? Rencana mau nglanjutin ke mana?"
Rara kembali mendesah, "itulah, Kak. Rara sama sekali belum punya bayangan."
"Sama Kak Rizky saja."
"Ogah," tolak Rara mentah-mentah. "Kakak kan tahu sendiri kalau Rara enggak terlalu suka dengan fisika dan mesin."
"Terus mau apa, dong?"
"Entahlah, Kak." jawab Rara sembari mengangkat kedua bahunya.
"Ya sudah. Pikir dulu baik-baik ya. Jangan terlalu memaksakan diri."
"Iya, Kak."
"Jangan tidur kemalaman dan lupakan persaingan konyolmu dengan Kenzo."
Rara membulatkan matanya. "Laila ngadu, ya?"
"Enggak," jawab Aidan. "Kakak bisa merasakan apa yang kamu rasakan."
Rara hanya mendesah pelan. Aidan memang selalu mencemaskan Rara. Bagi Aidan, Rara masih seperti adik kecilnya. Dibandingkan Laila, sifat kekanak-kanakan Rara lebih besar. Itulah yang selalu membuat Aidan khawatir.
"Nanti kita sambung lagi ya. Kamu harus ke sekolah, kan?"
"Hmm ..." jawab Rara malas.
"Jangan lemes gitu dong ... Semangat!"
"Oke kakakku yang bawel ...."
"Bye, Ra."
"Bye."
Rara membuang napas beratnya lantas memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kali ini Rara benar-benar kesiangan. Rara harus bergegas berangkat jika tidak ingin menerima konsekuensi karena terlambat.
***
Napas Rara terengah-engah ketika sampai di kelas. Dia menghenyakkan diri di bangkunya lantas meneguk air minum yang memang selalu dibawanya. Setelah dahaganya terpuaskan, Rara memasukkan botol ungu kesanyangannya ke dalam tas.
"Kali ini lo hampir telat."
Rara mengepalkan kedua tangannya. Suara bariton berat itu begitu mengganggunya. Rara membalikkan badannya untuk menatap langsung lawan bicaranya. Matanya menyipit dan dadanya kembali naik turun. Namun Rara segera meredam emosinya. Dia tidak ingin meladeni omongan Kenzo yang memprovokasinya itu.
"Sebegitu perhatiaannya lo sama gue." ujar Rara sinis. "Sayang banget ya. Gue sama sekali enggak berniat mengubah status hubungan kita."
Kenzo tertawa mendengar ucapan Rara. Begitu pula Farros yang sedari tadi di samping Kenzo. Untung saja Ojan tidak di sini karena Ojan memang tidak pernah sekelas dengan mereka. Singkatnya, kemampuan Ojan tidak sebanding dengan Kenzo dan Farros.
"Lo masih mimpi, Ra?" ucap Kenzo dengan nada mengejek. "Memang status hubungan apa yang lo pikir? Lo punya kaca, kan?"
Entah mengapa kali ini hati Rara benar-benar sakit mendengar ejekan Kenzo. Wajahnya mulai panas karena menahan air mata. Sebelum Rara benar-benar menangis di depan Kenzo dan Farros, Rara bangkit dari duduknya. Kenzo dan Farros terlihat terkejut dengan sikap Rara yang tidak seperti biasanya itu.
"Mau kemana, Ra?" tanya Kira.
"Toilet." jawab Rara singkat lantas berlari keluar kelas tanpa menoleh lagi meski Kira memanggilnya berkali-kali.
Kira menatap Kenzo dan Farros penuh amarah.
"Apa?" tanya Kenzo tanpa rasa bersalah.
"Gue bakal ngubur lo hidup-hidup jika sampai terjadi sesuatu sama Rara."
Kenzo dan Farros saling pandang mendengar ancaman Kira. Kira sudah berada di ambang pintu kelas untuk menyusul Rara ketika Pak Burhan, guru matematika super killer masuk kelas dan menyuruh Kira untuk kembali duduk. Meski enggan, pada akhirnya Kira mematuhi perintah Pak Burhan.
***
Rara mengumpat pada dirinya sendiri. Dia tidak tahu kenapa hari ini dia berubah melankolis. Biasanya dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ejekan Kenzo. Tetapi entah apa yang terjadi, ejekan kenzo hari ini terasa begitu mengusik perasaannya.
Rara menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Dia mencoba meraba wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya mencari-cari kesalahan yang ada pada dirinya. Namun, Rara tidak menemukan apa yang dia cari. Dia merasa wajahnya tidak bermasalah meski Rara merasa wajahnya sedikit berbeda dengan saudara-saudarnya yang lain.
Rara kembali membasuh wajahnya. Dia harus melupakan pikiran negatifnya. Kenzo adalah saingan yang selalu ingin dia kalahkan. Tahun ini adalah kesempatan terakhir yang tersisa baginya. Tidak ada waktu untuk sibuk dengan pemikiran tidak bergunanya.
Setelah Rara kembali mengumpulkan tekadnya, dia segera kembali ke kelasnya. Kelas-kelas yang lain sudah memulai pembelajaran jam pertama. Rara tidak ingin terlihat oleh siapa pun jika dia terlambat, maka kali ini dia memilih jalan memutar untuk sampai di kelasnya. Dia melewati lab Biologi kemudian belok melewati belakang ruang musik.
Langkah Rara terhenti setelah dia sayup-sayup mendengar suara dentingan piano. Rara mengerutkan keningnya karena dia tahu, guru musiknya hanya akan datang tiga kali dalam seminggu dan hari ini bukan salah satu di antaranya.
Musik yang dimainkan orang ini seperti mengandung kemisteriusan dan kemarahan yang terpendam. Semakin lama didengarkan, melodinya semakin suram dan kelam hingga membuat bulu kuduk berdiri siapapun yang mendengarnya. Kebetulan pintu ruang musik sedikit terbuka. Rara mencoba mengintip siapa yang memainkan melodi penuh kemarahan ini.
Rara mengerutkan keningnya ketika mendapati seorang laki-laki yang sedang duduk di balik piano. Rara yakin laki-laki itu bukanlah guru ataupun staf sekolah karena dia mengenakan seragam yang sama seperti yang dia kenakan. Tanpa sengaja, Rara menyenggol meja depan pintu ruang musik hingga menimbulkan suara yang mengangganggu. Laki-laki itu menghentikan permainan pianonya lantas berbalik untuk melihat siapa yang mengganggunya.
Rara berdiri dengan kikuk sembari menyunggingkan senyum seadanya. Pria itu berdiri lantas menatap Rara dengan tatapan datar.
"Ma...af mengganggu permainanmu," ujar Rara takut.
"Kamu lagi?"
"Heh?" Rara bingung dengan ucapan laki-laki itu.
"Kamu yang hampir terpeleset tempo hari, kan?"
Rara membulatkan matanya. Dia baru ingat sekarang. Laki-laki di hadapannya ini adalah malaikat penolongnya kemarin. Rara baru menyadari kebodohannya karena tidak mengenali laki-laki yang telah baik kepadanya.
"Eh..."
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum ada orang lain."
Laki-laki itu berjalan melewati Rara yang masih mematung di tempatnya berdiri. Dia masih tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja dia hadapi.
"Sebentar!" ujar Rara kepada laki-laki itu dan laki-laki itupun berhenti kemudian berbalik untuk menatap Rara.
Meski tangannya gemetaran dan lidahnya sedikit kelu, Rara memberanikan diri untuk berbicara kepada laki-laki itu.
"Aku Rara," Rara menyebutkan namanya dengan gugup. "Kalau boleh tahu—"
"Satria."
Laki-laki itu menyebutkan namanya bahkan sebelum Rara bertanya kepadanya. Rara kembali menjadi orang linglung dengan hanya bengong di hadapan Satria.
"Masih mau di sini?" tanya Satria yang langsung menyadarkan Rara. Rara buru-buru menggelengkan kepalanya. "Ayo ke kelas!"
Satria pun akhirnya berlari meninggalkan Rara. Rara masih tidak mengerti dengan kejadian singkat yang serba cepat ini. Musik yang Satria mainkan tadi masih terngiang jelas di kepala Rara. Rara seperti terhipnotis olehnya. Seperti ada jutaan mawar merah yang jatuh ketika Satria memainkannya namun segera saja mawar-mawar itu menghilang karena embusan angin kencang yang tiba-tiba datang.
Bunyi bel pertanda jam pertama telah berlalu menyadarkan Rara dari lamunannya. Dia sudah benar-benar terlambat sekarang. Rara pun segera berlari untuk bisa mengejar sisa jam Matematika yang telah ditinggalkannya.
***