"Ra ...."
"Hmm ...," jawab Rara asal sembari membuka botol minuman kemasan yang tadi dibelinya di kantin.
"Tadi lo nangis di kamar mandi, ya?"
Rara berhasil menyembunyikan keterkejutanya atas pertanyaan Namira. Sebenarnya dia malas membahas kejadian tadi pagi.
"Tahu dari mana?" tanya Rara malas lantas meneguk air minumnya, pura-pura tak acuh.
Namira menunjukkan ponselnya. "Tadi Kira nge-Line gue."
Rara menutup botol minumnya. Menghela napas sejenak, lantas bertanya sekenanya.
"Sejak kapan kalian akrab?" tanya Rara tanpa mengalihkan pandangan kepada gadis di sampingnya itu. Pandangannya masih tertuju kepada sekelompok anak laki-laki yang sedang bermain basket di lapangan. Rara mengenal mereka sebagai juniornya di klub basket sekolah.
"Sejak tahu kalau kesukaan kami sama," jawab Namira dengan senyum polosnya seperti anak-anak.
Rara memutar bola matanya. Sejak Namira dan Kira datang ke rumahnya untuk meminjam komik Laila, hubungan mereka semakin akrab. Bahkan akhir minggu ini mereka sudah ada janji untuk ke toko buku bersama. Rara sangat bersyukur karena ini. Berkat keakraban mereka, Rara jadi sedikit bebas dari rengekan Namira yang selalu meminta ditemani ke toko buku untuk membeli komik.
"Nam ...."
"Hmm ....." Kali ini Namira menjawab Rara seadanya karena sibuk dengan ponselnya.
"Gue mau main basket sebentar."
"Apa?!" Namira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lo enggak bercanda, kan?"
"Enggak," jawab Rara singkat yang tanpa menghiraukan protes dari Namira, langsung berlari menuju kerumunan adik-adik kelas yang merupakan junior di klub basket sekolah.
Tidak butuh waktu lama, Rara sudah mendapatkan timnya. Meski Rara adalah satu-satunya perempuan dalam permainan itu, dia sama sekali tidak merasa canggung. Sebagian besar laki-laki yang bermain di sana adalah juniornya di klub basket, jadi Rara bisa lebih mudah membaur.
"Oper, Kak!" ucap salah satu anggota timnya. Tanpa ragu, Rara memberikan operan yang bagus untuk juniornya itu dan langsung mencetak angka.
Kali ini Rara membawa bola. Semua rekan satu timnya sedang dijaga dengan ketat hingga membuat Rara mau tidak mau harus memasukkan bolanya sendiri ke dalam ring. Rara memantulkan bolanya kemudian berlari menuju ring depan ring yang memang kosong tanpa penjagaan. Rara bersiap untuk melepaskan tembakan ke dalam ring sampai ada seseorang yang dengan tidak sopannya merebut bola yang ada di tangan Rara.
Rara hampir terjengkang karena orang itu merebut bolanya dengan sedikit kasar. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, orang itu langsung mengarahkan tembakannya ke dalam ring. Mata Rara berkilat tajam menatap laki-laki sombong dan seenaknya sendiri di depannya itu. Dia akan meminta perhitungan.
"Maksud lo apa?!"
Permainan berhenti. Semua yang ada di lapangan kini menatap Rara dengan cemas. Mereka terkejut dengan amarah yang ditunjukkan Rara. Selama ini mereka mengenal Rara sebagai pribadi yang ramah dan lembut.
Laki-laki yang tadi merebut bola Rara kini berbalik untuk balas menatap Rara. Laki-laki itu justru tersenyum seperti meremehkan Rara. Rara benar-benar tidak bisa menahan emosinya.
"Lo mau nantang gue?" teriak Rara sekali lagi, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan dari lawan bicaranya.
Namira yang sedari tadi hanya melihat dari pinggir lapangan, kini berusaha memisah keduanya agar tidak terjadi pertumpahan darah.
"Maaf, Ken," ujar Namira. "Kami akan pergi sekarang."
Namira menarik lengan Rara namun Rara menolaknya. Dia tidak terima dengan ketidakadilan yang sedang terjadi di hadapannya ini.
"Kita enggak salah, ngapain minta maaf,” ucap Rara tak terima. "Seharusnya orang sombong ini yang harus meminta maaf."
Senyum yang sedari tadi tersungging di bibir Kenzo kini menghilang digantikan ekspresi datar yang menakutkan. Semua yang ada di sana bergidik ngeri melihatnya, kecuali Rara. Dia justru semakin terang-terangan menantang Kenzo.
"Masih belum nyadar diri rupanya?" ujar Kenzo dingin. "Ternyata lo begitu murah."
"Maksud lo apa?" Rara tidak terima dengan perkataan Kenzo yang seenaknya sendiri itu. Rara merasa direndahkan, dilecehkan.
"Jangan memasang wajah sok lugu gitu deh," ujar Kenzo sinis. "Gue enggak bakal terpengaruh dengan topeng yang lo pakai."
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Kenzo. Rara menatap Kenzo tajam, dadanya naik turun dengan air mata yang kini telah bergumul di pelupuk matanya. Semua yang melihat kejadian itu tidak pernah menyangka bahwa Rara akan melakukannya. Selama ini Kenzo tidak pernah menerima perlakuan seperti ini. Mereka jadi agak takut dengan apa yang akan dilakukan Kenzo selanjutnya.
Bukannya marah, Kenzo justru tertawa sembari menyeka ujung bibirnya yang berdarah.
"Dengar ya, Kenzo William Adams! Lo memang cowok paling sombong dan paling angkuh yang pernah gue kenal. Tapi gue enggak pernah nyangka kalau mulut lo juga sekotor itu."
Semakin banyak orang yang berkumpul di lapangan untuk menyaksikan keributan yang terjadi. Kenzo dan Rara sama sekali belum bisa mengendalikan emosi mereka. Justru kini Kenzo mulai terpancing dengan ucapan Rara.
"Untung saja lo cewek. Kalau enggak—" Kenzo menggantungkan kalimatnya.
"Kalau enggak kenapa? Lo mau balas mukul gue?" tantang Rara. "Ayo pukul! Gue enggak pernah takut sama lo."
Hampir saja Kenzo mengangkat tangannya dan Rara sudah siap dengan memejamkan matanya, tiba-tiba tangan kekar dan kuat berani menahan Kenzo. Kenzo terkejut ada orang yang berani menginterupsinya. Semua orang yang ada di sana juga terkejut dan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Akhirnya Rara berani membuka matanya. Matanya langsung membulat menyaksikan apa yang sedang terjadi. Satria berdiri di sampingnya dengan tangan yang menahan pukulan Kenzo.
Kenzo terlihat semakin marah. Dia menurunkan tangannya, "Maksud lo apa?"
Satria memasukkan tangannya ke dalam saku, sama sekali tidak menghiraukan teriakan Kenzo. Satria justru menoleh kepada Rara yang terlihat gugup.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut yang membuat jantung Rara berdebar tak karuan. Rara hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Satria mengacak rambut Rara sembari tersenyum lembut, "Hati-hati, ya."
Setelah mengatakan itu, Satria pergi begitu saja. Semua yang ada di sana hanya bisa terdiam menatap kejadian tadi. Jantung Rara berdebar kencang hingga dia kesulitan untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
Sepertinya Kenzo lebih terkejut dengan semua ini. Baru kali ini ada orang yang berani menantangnya dengan terang-terangan seperti itu. Tidak seperti Rara yang dulu menantangnya karena nilai, tantangan kali ini karena ada orang yang sama sekali mengabaikannya.
Sebelum terjadi pertengkaran di halaman dan memancing para guru untuk keluar dari kantor, Farros merangkul Kenzo lantas membawanya menjauh dari lapangan. Pada awalnya Kenzo menolak dan masih menatap Satria yang pergi menjauh dengan kebencian. Namun pada akhirnya Kenzo mengalah juga karena melihat Pak Burhan tengah berjalan di teras pinggir lapangan. Semua yang ada di sana pun membubarkan diri termasuk Rara yang meski harus ditarik Namira.
***