BAB 4(b)

1285 Kata
"Nam, tunggu gue!" Rara sedikit kepayahan mengejar langkah lebar Namira. Entah kenapa, semenjak kejadian di lapangan basket tadi siang, sikap Namira menjadi dingin kepadanya. Rara mempercepat langkahnya hingga seperti berlari kecil untuk bisa mengejar Namira. "Dengarkan gue!" ujar Rara dengan napas terngah-engah setelah akhirnya berhasil mengejar Namira dan menghentikan langkah sahabatnya itu. Namira terlihat enggan menatap Rara. Hal itu justru membuat Rara semakin tidak mengerti. "Apa?" ujar Namira dingin. Rara agak tersentak dengan ucapan Namira. Tidak biasanya sahabatnya itu bersikap seperti itu. "Lo marah sama gue?" tanya Rara. Namira kali ini menatap Rara. "Marah? Gue kecewa sama lo, Ra." Namira melanjutkan langkahnya menjauhi Rara yang masih belum paham dengan situasi yang terjadi. Gadis bersurai hitam itu masih diam mematung di tempatnya berdiri, menatap punggung Namira yang semakin menjauh. Rara bergeming di tempatnya berdiri. Orang-orang melewatinya begitu saja dengan tatapan aneh mereka. Kini Namira benar-benar telah menghilang dari pandangannya, meninggalkan Rara dengan sejuta tanya dalam benaknya. Lutut Rara tiba-tiba lemas. Dia jatuh terduduk di tempatnya berdiri tadi. Orang-orang masih menatapnya aneh seiring dengan gumaman-gumaman yang menyakitkan hati. Rara tidak tahu kenapa dia selemah ini. Dia mengutuk dirinya sendiri. Menantang Kenzo saja sudah menguras tenaga dan emosinya, kini sahabat yang selalu menemaninya malah meninggalkannya begitu saja tanpa tahu kesalahan apa yang Rara perbuat. Tiba-tiba hujan turun tanpa peringatan. Mendung memang sudah menggelayut sejak tadi siang, tetapi orang-orang tidak menyangka bahwa hujan akan turun sore ini. Semua orang berlarian mencari tempat berlindung kecuali Rara. Rara menatap langit seakan menantang hujan yang turun tanpa ampun itu. "Gue sama sekali enggak butuh hujan dramatis!" Langit sama sekali tidak bergeming dengan teriakan Rara. Hujan masih turun dengan derasnya dan Rara masih tetap pada posisinya. Kepalanya kini tertunduk. Air matanya mulai berjatuhan bercampur dengan hujan. Mungkin ini bukan cara langit menambah kesulitannya. Mungkin ini adalah cara langit membantu menyamarkan tangisnya. Rara masih sibuk dengan isakannya ketika dia merasa hujan sudah tidak lagi berjatuhan dengan bebas menimpa tubuhnya. Ada sesuatu yang mengahalanginya. Sebuah payung abu-abu besar itu berada tepat di atas kepalanya hingga melindungi Rara sepenuhnya dari tetes hujan. Perlahan Rara membalikkan tubuhnya sekedar memastikan siapa yang memberikan payung untuknya. Rara membulatkan matanya ketika tahu siapa yang berada di belakangnya. "Hujan akan lebih indah jika dinikmati, bukannya ditangisi, iya, kan?" *** "Gue sama sekali enggak ngerti kenapa lo bisa semarah itu tadi di lapangan." Kenzo sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari deretan cat dan kuas di etalase sebuah toko peralatan seni. Matanya masih memilih dengan seksama kuas dan cat-cat yang akan dia gunakan untuk lukisannya kali ini. Meski begitu, Farros melanjutkan ucapannya seolah sudah terbiasa dengan sikap dingin Kenzo. "Biasanya lo cuma ngejek dia atau bikin dia kesal. Tapi tadi siang lo benar-benar bikin Rara marah sampai berani nampar lo di lapangan." Kali ini Kenzo mengalihkan perhatiannya lantas menatap Farros tajam. Sebenarnya Farros sedikit terkejut dengan tatapan tajam Kenzo. Namun, dia berhasil menyembunyikannya dengan baik. "Tadi pagi lo sudah minta maaf, kan? Kok, Rara masih marah banget sama lo?" Kenzo kembali mengalihkan perhatiannya pada deretan jenis cat di depannya. Laki-laki berwajah blesteran itu tiba-tiba menjadi pendiam setelah kejadian tadi siang. Farros mengerti jika sahabatnya itu masih belum mau berbagi cerita. Dia pun hanya mengikuti langkah Kenzo sembari sesekali mengecek ponselnya. Kenzo mengambil satu warna yang jarang sekali dia gunakan, lemon. Kenzo memutar botol cat itu dan tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan sosok Rara yang tersenyum di depan anak baru yang tidak tahu diri itu. Kenzo pun segera meletakkan botol itu kembali ke tempatnya kemudian bergegas pergi dari sana. *** Langit malam ini begitu cerah dengan bintang-bintang yang bertebaran menghiasinya. Kenzo duduk di tepi jendela kamarnya yang memang terletak di lantai dua sembari menikmati cola kesukaannya. Angin yang berembus lumayan kuat tidak serta merta membuat pikirannya terbebas dari bayangan kejadian tadi siang. Dia tidak tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini. Entah kenapa bayangan wajah Rara yang hampir menangis karena dirinya terus-menerus mengganggunya. Sebenarnya tadi pagi setelah Rara keluar untuk ke kamar mandi, Kenzo juga langsung menyusulnya meski harus melewati Pak Burhan yang super killer. Kenzo merasa bersalah karena memang baru kali itu Rara menangis karena ucapannya. Kenzo berlari seperti orang kesetanan untuk bisa segera meminta maaf kepada Rara. Meski Rara adalah saingan terbesar sekaligus musuh bebuyutannya, Kenzo sama sekali tidak bermaksud membuatnya menangis. Setelah sampai di kamar mandi perempuan, Kenzo tidak menemukan Rara. Dia pun terus mencari dengan melewati jalan yang berbeda. Perpustakaan, lapangan basket, sampai kantin dia jelajahi untuk mencari sosok Rara. Kenzo sempat hampir frustrasi ketika dia melewati ruang musik dan mendapati Rara sedang berdiri di depan pintu, berbicara dengan seseorang di sana. Kenzo sedikit mengintip siapa orang yang Rara ajak bicara. Kenzo mengerutkan keningnya karena tidak mengenal siapa laki-laki itu. Kenzo menunggu dan mendengar semua percakapan Rara dan laki-laki itu. Namun, ketika Kenzo melihat senyum tipis yang mengembang dari bibir Rara, entah kenapa hatinya bergejolak. Kenzo menatap laki-laki itu sekali lagi dan itu semakin membuat darahnya mendidih. Sebelum Kenzo tidak bisa mengendalikan perasaaanya, dia memutuskan untuk pergi dari sana. Siang harinya, ketika melihat Rara bermain basket di lapangan bersama sekelompok juniornya, tiba-tiba Kenzo ingin menarik Rara dari sana dan bertanya kepadanya. Namun entah setan apa yang merasuki pikiran dan hati Kenzo, kata-kata yang seharusnya tidak pantas diucapkan itu, tiba-tiba keluar begitu saja. Kenzo menyesalinya. Sungguh-sungguh menyesal. Dia sama sekali tidak bermaksud membuat Rara menangis dan tidak berniat untuk balas menamparnya. Namun, sekali lagi, emosi yang entah dari mana asalnya berhasil menguasai dirinya ketika laki-laki itu datang. Kenzo merasa ditantang. Kenzo meremas kaleng cola di tangannya. Mengingat kejadian hari ini membuatnya kesal setengah mati. "Jangan buang sampah sembarangan!" Kenzo mengalihkan perhatiannya kepada gadis cantik dengan mata biru yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. "Bukankah sudah pernah kakak katakan kalau mau masuk ketuk dulu?" Kenzo berdiri dari posisinya lantas melempar kaleng cola yang sudah tak berbentuk di tempat sampah. Kenzo duduk di kursi belajarnya dan membuka kumpulan soal Matematika yang sebenarnya sudah dia kuasai seluruhnya. "Kakak sedang kesal, ya?" goda gadis itu. "Zi bisa melihatnya dengan jelas dari wajah kakak." Kenzo pura-pura tidak memedulikan Kezia, adik satu-satunya. Dia masih terus sibuk dengan soal-soal Matematika di depannya. "Mom mengkhawatirkan Kakak," ujar Kezia sembari duduk bersila di kasur empuk milik Kenzo dan menatap kakaknya yang tengah sibuk belajar itu. "Bilang sama Mom, kalau kakak baik-baik saja," jawab Kenzo asal tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku. Kezia tersenyum mendengar jawaban Kenzo. "Zi tahu apa yang membuat kakak kesal?" "Apa?" "Kak Rara, kan?" Kenzo terkejut dengan jawaban Kezia. Kenzo seperti ditelanjangi oleh adiknya sendiri. "Jangan sebut-sebut namanya di sini." Kezia tertawa melihat ekspresi kakaknya itu dan Kenzo semakin tidak mengerti dengan adiknya. "Kakak seharusnya melihat wajah kakak sendiri,” ujar Kezia terpingkal. "Ternyata kakakku yang katanya sempurna ini bisa bertingkah konyol, ya?" Kenzo melempar Kezia dengan bantal. "Tutup mulutmu!" Meski Kenzo kesal setengah mati, tetapi dia tetap tidak bisa marah kepada adiknya yang manis itu. Kenzo hanya kembali mengalihkan perhatiannya kepada soal-soal di depannya agar dia tidak harus mendengar ocehan Kezia. Kezia bangkit dari posisi duduknya kemudian memeluk kakaknya dari belakang. Dia berbisik lembut kepada Kenzo, "Zi sayang Kakak." Kenzo mengelus tangan Kezia, "Kakak juga sayang Zi meski agak menyebalkan." Kezia kembali tertawa dan melepaskan pelukannya. "Sepertinya tahun ini akan menarik," ujar Kezia sembari berjalan menuju pintu. "Satu lagi yang harus Kakak tahu. Wanita sangat benci diteriaki. Kami lebih suka kelembutan." Kenzo berbalik menatap Kezia yang masih berdiri di depan pintu dengan tatapan penuh tanya. Kezia justru tertawa melihat Kenzo seperti itu. "Selamat malam, Kak. Semoga mimpi indah." Setelah mengucapkan selamat malam, Kezia benar-benar keluar dari kamar Kenzo. Kini Kenzo benar-benar sendirian. Pikirannya kembali berkecamuk. Dan dia sama sekali tidak paham dengan maksud ucapan adiknya. Kenzo menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran aneh dari kepalanya. Kali ini dia harus benar-benar fokus belajar. Kenzo bertekad untuk tak terkalahkan sampai akhir. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN