Rara sengaja berangkat lebih pagi hari ini. Dia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Namira meski dia tidak tahu masalah yang sebenarnya. Sikap dingin Namira kemarin sangat mengganggunya hingga membuatnya terjaga hampir semalaman. Dengan tekad yang besar, Rara ingin memperbaiki semua itu.
Sudah hampir setengah jam Rara berdiri sambil bersandar di tembok depan kelas Namira. Teman-teman sekelas Namira menatapnya aneh. Tak jarang juga Rara menerima tatapan benci dan dingin dari mereka. Rara kembali meneguhkan hatinya. Tujuannya datang adalah untuk meminta maaf kepada Namira, tidak untuk memikirkan hal lain.
Pengaturan kelas berdasarkan peringkat membuat Rara mendapat perlakuan kurang menyenangkan di kelas Namira. Rara adalah si peringkat dua yang sangat terkenal itu. Seharusnya dia tidak sembarangan berkeliaran di kelas peringkat bawah jika masih sayang kehidupan SMA yang aman dan damai. Namun, Rara tidak peduli dengan itu. Toh, hidupnya memang sudah tidak damai setelah berani menantang Kenzo.
Sebenarnya Rara tidak setuju dengan pengaturan kelas berdasarkan peringkat. Hal ini justru menimbulkan persaingan dan kebencian yang tidak sehat antara kelas yang termasuk peringkat atas dan kelas yang termasuk peringkat bawah. Mereka seperti terkotak-kotakkan sesuai raihan nilai. Tidak ada kekompakan atau solidaritas antar sesama teman. Mereka yang termasuk peringkat bawah, seperti tidak mau tahu dengan kegiatan sekolah. Seperti halnya siswa yang termasuk peringkat atas, tidak mau tahu tentang kesulitan para penghuni peringkat bawah ketika menghadapi ujian dan rapat orang tua murid yang dilakukan hampir di setiap pekannya.
Rara sudah hampir frustrasi ketika Namira tidak juga muncul. Wajahnya mulai memanas karena menahan air mata. Jika persahabatanya harus berakhir di sini karena kesalahpahaman, Rara benar-benar tidak rela.
"Ngapain lo di sini?"
Rara menatap gadis di depannya dengan mata berkaca-kaca kemudian memeluknya begitu saja. Tangis Rara pecah ketika berada dalam pelukan Namira.
"Eh, ada apa, sih? Jangan nangis di sini."
Namira terlihat sedikit malu karena Rara tiba-tiba memeluknya dan menangis di depan semua teman sekelasnya. Sebelum semakin banyak orang berkerumun di sekeliling mereka dan terjadi kekacauan, Namira menarik Rara menjauh dari kerumunan.
Ujung koridor lantai dua memang selalu sepi. Laboratorium Bahasa yang jarang digunakan pada jam pertama membuat Namira sedikit lega. Gadis itu hanya menatap Rara dengan melipat kedua tangannya di d**a, menunggu sahabatnya itu selesai dengan tangisannya. Dia hanya diam, membiarkan Rara menumpahkan semua air matanya.
"Asal lo tahu ya, lo benar-benar enggak cocok kalau nangis,” sindir Namira dengan senyum jahilnya.
Rara memukul lengan Namira karena menyindirnya. Namun, Namira sama sekali tidak keberatan diperlakukan seperti itu.
"Emang menurut lo, gue nangis karena siapa?"
Namira mengerutkan keningnya, berusaha berpikir keras. Namun, dia tetap tidak menemukan jawabannya. Dia pun hanya mengangkat kedua bahunya.
"Karena lo, Namira Putria."
Namira menunjuk hidungnya sendiri tak percaya. "Gue? Emang gue nglakuin kesalahan apa?"
Rara kembali memukul bahu Namira yang kali ini Namira berlagak kesakitan karena pukulan Rara yang tak seberapa itu.
"Sakit tahu?" ujar Namira sembari mengusap bahunya sendiri.
Rara menundukkan kepalanya, "maaf."
Namira tidak mengerti dengan sikap aneh Rara. Rara hampir saja menangis dan itu membuat Namira semakin bingung.
"Jangan nangis lagi dong. Gue becanda kok."
Rara masih menundukkan kepalanya. "Maaf karena kemarin gue sudah bikin lo marah dan kecewa. Gue tidak mau kehilangan sahabat sebaik lo. Gue benar-benar minta maaf. Gue—"
"Gue enggak mau denger lo minta maaf lagi," potong Namira. "Itu masalah kemarin. Lupakan saja."
"Tapi kemarin lo marah sama gue ...."
Namira mendesah pelan lantas mengangkat wajah Rara yang tertunduk itu. Namira tersenyum lembut sembari berkata, "jangan bertindak bodoh kaya kemarin ya. Gue enggak sanggup kalau terjadi apa-apa sama lo."
Kedua mata sahabat itu saling bertemu. Namira melihat ketakutan dan penyesalan di mata Rara. Dia benar-benar tidak mau Rara disakiti siapa pun. Baginya, Rara adalah keluarga yang selama ini dia idam-idamkan, yang selalu ada saat dibutuhkan.
Rara menganggukkan kepalanya dan Namira pun langsung memeluk Rara. Rara yang memang lebih kecil dari Namira dapat dengan mudah masuk ke dalam pelukan Namira. Pada akhirnya, bel masuklah yang memisahkan pelukan antar dua sahabat itu.
***
Rara memasuki kelasnya yang memang sudah sangat ramai itu. Beberapa temannya bahkan ada yang masih di luar kelas walaupun bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Ada yang masih mengobrol dengan teman sebangkunya. Ada yang sedang mendengarkan musik lewat ponselnya. Bahkan ada yang terang-terangan membawa majalah dewasa ke sekolah. Meski kelasnya mempunyai label kelas unggulan, Rara merasa kelasnya sama dengan kelas-kelas lain.
Rara menghenyakkan diri di bangkunya dan melirik bangku Kira yang kosong dan hanya menyisakan tas hijau kesukaannya. Rara mendesah pelan kemudian melepas tas dan jaketnya.
"Semuanya ... kembali ke tempat duduk kalian!"
Perintah Kenzo sangat lantang dan jelas ketika memasuki kelas. Tidak ada yang berani membantah perintahnya. Kenzo berdiri di depan kelas dengan Kira yang juga berdiri di samping Kenzo. Meski serampangan dan sombongnya minta ampun, Kenzo adalah ketua kelas yang baik. Dia selalu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Kenzo memastikan semua teman sekelasnya duduk agar dia bisa menyampaikan pengumuman secara menyeluruh. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ketika matanya dan mata Rara bertemu, Kenzo seakan membeku. Tatapannya tajam kepada Rara yang juga tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun.
Karena melihat situasi semakin menegangkan antara Kenzo dan Rara, Kira akhirnya mengambil alih memimpin di depan kelas.
"Mohon perhatian dari teman-teman semua. Ada satu pengumuman dari sekolah yang harus gue sampaikan saat ini juga," ucap Kira tegas. "Untuk memperingati HUT Kemerdekaan, OSIS mengadakan beberapa lomba antar kelas."
Kelas kembali riuh karena kelas mereka memang jarang mengikuti lomba-lomba yang berhubungan dengan fisik seperti itu. Teman-teman sepertinya kurang tertarik dengan lomba kali ini.
"Kita enggak bisa absen kali ini," ujar Kenzo lantang yang langsung membuat kelas kembali tenang. "Ketua OSIS yang baru sudah kasih peringatan ke gue."
Semua yang ada di kelas memperhatikan Kenzo dengan seksama karena mereka bisa melihat keseriusan di wajah sang ketua kelas.
"Lomba kali ini berbeda dengan lomba-lomba sebelumnya. Gue sudah meminta secara khusus untuk mengubah semuanya."
Aura semangat dan antusias tiba-tiba menguar di penjuru kelas. Mereka terlihat tidak sabar dengan lomba yang diajukan secara khusus oleh Kenzo. Meski Kenzo tidak pernah mau menjadi pengurus OSIS, suara dan pendapatnya sangat diperhitungkan dalam setiap kegiatan yang diadakan sekolah.
"Lomba yang harus kita ikuti adalah basket." Seluruh anak basket kelas bersorak tetapi Kenzo segera meredakan euforia teman-temannya dengan mengangkat tangan kirinya dan suasana kelas pun kembali tenang. "Setiap kelas wajib mengirimkan regunya dengan formasi 2 cowok dan 1 cewek."
"Wah, gue yakin kali ini kelas kita bakal menang," ujar Gian salah satu siswa yang suka duduk di pojok karena sibuk dengan gawainya. "Dua kapten tim basket sekolah, kan, ada di kelas kita."
Kelas kembali riuh dengan pernyataan dari Gian. Mereka terlihat sangat yakin dengan kemenangan tim basket kelas. Lain halnya dengan Rara. Dia sama sekali tidak seyakin itu. Dia tahu yang dimaksud Gian adalah dirinya dan Kenzo. Rara tidak yakin bisa bekerja sama dengan Kenzo. Sedangkan kemarin saja hampir terjadi pertumpahan darah di antara mereka.
Kenzo tampak tidak meladeni tanggapan Gian, dia mengangkat tangannya dan setelah teman-temannya tenang, Kenzo kembali melanjutkan. "Lomba kedua yang wajib diikuti adalah musikalisasi puisi dengan tema pahlawan. Untuk ini gue mengajukan diri untuk memainkan gitarnya."
Kelas kembali semangat dengan lomba kedua karena mereka tahu kemampuan bermusik Kenzo tidak diragukan lagi. Mereka lantas memilih Tiara sebagai pembaca puisi yang memang pernah mengikuti lomba semacam ini meski belum pernah mendapat juara.
"Lomba ketiga," lanjut Kenzo yang langsung membuat teman-temannya kembali tenang. "Lari estafet yang wajib diikuti oleh seluruh kelas."
Teman-teman sekelas Kenzo terlihat tidak bersemangat dengan lomba yang satu itu. Lari estafet adalah lomba rutin yang diadakan sekolah dan kelas mereka selalu menanggung kekalahan yang memalukan.
"Gue yakin kalian keberatan dengan lomba ini," ujar Kenzo menenangkan teman-temannya. "Tapi kita harus mengirimkan tim lari estafet jika ingin mengikuti lomba basket."
Kasak-kusuk mulai terdengar di penjuru kelas. Meski begitu, Kenzo tetap melanjutkan. "Gue akan memilih Farros sebagai pelari jangkar."
Meski Farros sedikit terkejut, tapi dia tidak keberatan. Toh dia tahu alasan Kenzo memilihnya sebagai pelari jangkar.
"Pelari lainnya gue dan Rara mengajukan diri," ujar Kenzo yang juga membuat Rara terkejut. "Sebagai anggota tim basket, fisik kita cukup kuat. Jadi, masih kurang tiga orang."
Kenzo melemparkan pertanyaan kepada teman-teman sekelasnya. Sebenarnya semua orang yang ada di sana sedikit terkejut dengan keputusan Kenzo. Mereka tahu Kenzo paling tidak suka dengan lomba-lomba yang berbau fisik seperti ini kecuali basket. Tapi Kenzo rela melakukannya demi kelas.
"Gue ikut," teriak Gian dari pojokan. "Gue enggak bisa diam begitu saja melihat Kenzo berjuang demi kelas kita."
Semuanya menganggukkan kepala, tanda setuju dengan ucapan Gian.
"Gue juga ikut," kali ini Riko, si playboy, yang angkat bicara. "Meski gue payah dalam olahraga, tapi gue yakin lari gue kenceng."
"Gue juga ikut." Kira berani mengangkat tangannya. "Gue akan berlari bersama Rara."
Rara terharu mendengar ucapan Kira. Matanya sudah berkaca-kaca dan Kira pun balas menatapnya dengan senyuman yang luar biasa manis. Kira memang sudah banyak berubah sejak mengenal Namira dan Laila.
"Baiklah, sudah kita putuskan semuanya," ujar Kenzo lantang. "Untuk lomba kebersihan dan display kelas, gue yakin kita bisa bersaing dengan kelas-kelas lain. Tunjukan bahwa kita bukan hanya segerombolan anak dengan nilai seratus yang sombong dan suka seenaknya sendiri. Tunjukkan bahwa kita juga bisa berjuang. Tunjukkan kepada semuanya bahwa semua yang kita raih ini bukan hasil instan."
Semuanya bertepuk tangan untuk orasi pembakar semangat dari Kenzo. Rara tidak tahu mesti bagaimana dan berkata apa. Hari ini Kenzo terlihat berbeda. Kenzo terlihat lebih dewasa dengan aura kepemimpinan yang kuat. Rara terus menatap Kenzo tanpa mengalihkan perhatian. Dia hanya ingin memastikan bahwa Kenzo yang dia benci tidak berubah. Sialnya, Kenzo sekarang juga menatap ke arahnya. Sudah terlambat bagi Rara untuk mengalihkan pandangan. Mata mereka saling bertemu. Rara seperti tidak bisa mendengar keriuhan dari teman-teman sekelasnya. Sekarang ini Rara merasa hanya dirinya dan Kenzo yang berada di dalam kelas. Mata cokelat itu begitu menghipnotis. Rara sungguh tidak pernah memperhatikan Kenzo seintens ini. Rambut Kenzo yang sedikit kecoklatan disisir rapi menyamping. Ternyata Kenzo juga memiliki lesung pipi yang dia tersenyum atau bicara sangat jelas terlihat.
"Ra, lo liat apa?"
Panggilan Kira membuat Rara kembali menapak bumi. Kira yang sekarang ada di sampingnya, menatap Rara bingung sembari mengerutkan keningnya.
"Eh, enggak apa-apa kok," kilah Rara langsung sok sibuk dengan tasnya.
Kira menyipitkan matanya, merasa tidak puas dengan jawaban Rara. Kira masih menatap Rara seakan mencoba men-scaning untuk mencari jawaban. Rara tidak peduli dengan sikap Kira yang terkadang sedikit aneh itu. Dia masih sibuk mengeluarkan buku-buku dari tasnya ketika Kenzo tiba-tiba melewatinya dan mata mereka kembali bertemu. Untuk sesaat, Rara melihat senyum tipis dari bibir Kenzo sebelum dia duduk di bangku belakang Rara.
Jantung Rara berdebar tak karuan. Baru kali ini dia merasakan perasaan aneh ketika di dekat Kenzo. Rara sampai tidak berani menggeser tubuhnya karena takut Kenzo juga masih memperhatikannya.
"Lo yakin akan ngelakuin itu semua, Ken?"
Rara mendengar pertanyaan Farros sesaat setelah Kenzo duduk. Karena penasaran, Rara juga ikut mendengarkan percakapan mereka.
Bukannya menjawab pertanyaan Farros, Kenzo justru balik bertanya, "Kenapa harus enggak yakin?"
"Buat gue, itu sama sekali enggak masalah. Tapi Rara? Lo sudah tanya pendapatnya? Dia itu cewek loh!"
Meski namanya disebut-sebut, Rara masih mempertahankan posisinya. Justru Kiralah yang menanggapi obrolan dua laki-laki di belakangnya itu.
"Gue juga enggak yakin," timpal Kira. "Kalian bertiga belum pernah latihan kan? Gimana yakin mau menang?"
Rara masih tak bergeming dari posisinya. Yang dimaksud Kira adalah Rara, Kenzo, dan Farros. Sebenarnya Rara juga tidak seyakin itu dengan tim yang dibentuk Kenzo.
Rara tahu jika Kenzo sekarang tengah menatapnya dari belakang. Rara membuang napas beratnya lantas berbalik untuk memberikan konfirmasinya.
"Gue sama sekali enggak masalah," jawab Rara dengan mengedarkan pandangannya kepada tiga orang yang tadi membicaraknnya. "Hanya saja kita perlu latihan untuk membuat strategi."
Semuanya terdiam mendengar ucapan Rara.
"Jadi, kapan kita mulai latihan?" Rara mengakhirinya dengan senyuman yang membuat Kira dan Farros juga menyunggingkan senyumnya. Hanya Kenzo yang masih berwajah datar seperti biasa.
"Nanti setelah pulang sekolah kita berkumpul di hall belakang," jawab Kenzo yang diikuti anggukan kepala oleh Farros dan Rara.
***