BAB 6(a)

1644 Kata
"Sepuluh menit." Rara paham maksud ucapan Kenzo. Tidak seperti biasanya, kali ini Rara sama sekali tidak membalas ucapan dingin Kenzo itu. "Sudahlah," ucap Farros mencoba mencairkan suasana. Dia tahu jika sejak tadi suasana hati sahabatnya itu memang tidak baik. "Yang penting Rara sudah ada di sini." Kenzo menghentikan permainannya. Tatapannya dingin, tajam langsung ke arah Rara. Rara yang memang sudah tahu kesalahannya, hanya bisa menundukkan kepala. "Gue paling benci orang sombong yang enggak bisa dipegang janjinya." Setelah mengucapkan kata-kata tajam dan dingin kepada Rara, Kenzo membuang asal bola di tangannya lantas pergi begitu saja dengan amarah yang sangat kentara dari wajahnya. "Ken!" Farros berusaha memanggil sahabatnya itu namun sia-sia karena Kenzo tidak mau berbalik sama sekali. "Bentar ya, Ra. Gue ngejar Kenzo dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Rara, Farros pergi begitu saja untuk menyusul Kenzo. Rara membenci dirinya sendiri. Entah kenapa akhir-akhir ini dia terlalu lemah. Semua ucapan Kenzo selalu membuat hatinya sakit. Padahal sejak gendang perang ditabuh, Rara tidak pernah seperti ini. Mata Rara mulai memanas. Tuduhan Kenzo kepadanya terlalu menyakitkan hati. Padahal, Rara sama sekali tidak bermaksud mengingkari janji. "Pasti akan seperti ini." Rara segera mengusap air matanya lantas mengangkat kepala. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Rara mengalihkan pembicaraan. "Main basket." Rara mengerutkan kening melihat Satria tiba-tiba muncul dan memainkan bola basket dengan baik. Drible yang dia mainkan juga sempurna. Dengan sekali lompatan, bola basket yang ada di tangannya berhasil masuk ke dalam ring. Satria terlihat puas dengan permainannya kemudian berjalan mendekati Rara. Seperti biasa, Satria mengenakan seragam sekolah dengan kemeja yang sepenuhnya di luar celana. Rambutnya yang agak kecoklatan itu, terlihat lebih panjang dari sebelumnya. Sejak kedatangan Satria, atmosfer sekolah terasa berbeda. Rara merasa sudah ada kasak-kusuk yang mencoba membandingkan antara Satria dan Kenzo. Meski Rara mengakui ketampanan Satria, tetapi membanding-bandingkan orang lain adalah perbuatan jahat karena Rara tahu bagaimana rasanya. "Mau latihan basket, kan?" "Hah?" "Kamu ke sini mau latihan basket, kan?" "Eh itu, iya." Rara gugup. Dia tidak tahu dari mana rasa gugupnya itu berasal. "Daripada kamu bengong di sini, mending main sama saya." Tawaran Satria begitu menggiurkan tetapi Rara tidak langsung mengiyakan begitu saja. "Ayo! Kamu pegang bolanya duluan." "Tapi—" "Tidak pakai tapi-tapian. Ayo!" Satria mengoper bola kepada Rara. Meski Rara belum sepenuhnya siap, tetapi operan dari Satria berhasil Rara tangkap dengan baik. Rara menikmati permainannya bersama Satria. Hal itu membuat Rara dapat melupakan segala keresahan dan pikiran tentang Kenzo yang akhir-akhir ini sangat menguras emosinya. *** Rara turun dari Ducati merah itu dengan agak susah payah. Bagi Rara yang memang belum pernah diboncengkan dengan motor sport, hal itu merupakan masalah besar. Namun, Rara dapat mengatasi kecanggungannya dengan baik. "Jadi, terima kasih atas tumpangannya," ujar Rara sembari menyerahkan helm yang dipinjami Satria. "Tidak masalah," jawab Satria santai. Terjadi kecanggungan diantara keduanya. Namun keduanya terlihat bisa mengendalikan diri masing-masing. "Masuk saja. Sudah malam," "Kamu tidak mau mampir?" "Kapan-kapan saja. Lagipula, saya juga harus segera pulang." Hening lagi. "Ya sudah, aku masuk dulu. Sekali lagi, terima kasih atas segalanya," Satria menganggukkan kepala lantas menstarter motornya. Setelah mengangguk sekali lagi kepada Rara, Satria langsung melajukan motornya menembus keheningan malam. *** "Kak ...." "Hmm ...." "Sibuk?" "Lumayan."" Meski sudah tahu jika kakaknya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah, Laila tetap menghampiri Rara kemudian duduk di tepi tempat tidur yang memang berdekatan dengan meja belajar sang kakak. Laila memperhatikan Rara dari ujung kaki sampai ujung rambut. Matanya seperti men-scan seluruh tubuh kakaknya itu, berusaha mencari sesuatu. Rara yang tidak mengerti dengan sikap aneh adiknya, menghentikan aktifitas belajaranya, kemudian berbalik untuk menatap sang adik. "Ada apa?" tanya Rara sembari membuang napasnya asal. "Cowok tadi, siapa, Kak?" Tanpa basa-basi Laila langsung menodong Rara dengan pertanyaan. "Teman," jawab Rara singkat kemudian kembali melanjutkan tugasnya. "Kok, Laila enggak pernah lihat, ya?" "Beda kelas." "Enggak biasanya," sanggah Laila. "Temen kakak, kan, bisa dihitung pake jari." Rara membuang napasnya asal. Agak jengkel dengan semua sanggahan adiknya itu. "Sudah tanyanya?" ujar Rara ketus. "Tugas Kakak banyak, nih." Usiran secara halus itu sangat dipahami Laila. Dia mengerti jika kakaknya itu sedang tidak ingin diganggu sekarang. "Ya sudah, Laila kembali ke kamar, ya." "Hmm." "Jangan lupa tutup jendelanya." Rara mendongak, melihat jendela kamarnya yang memang masih terbuka. "Akan ada badai lagi malam ini." Laila memperingatkan lantas pergi begitu saja. Rara menatap adiknya tak percaya. Sudab dua kali dalam seminggu ini, Laila memperingatkan tentang badai. Jujur, itu membuat Rara agak takut. Dengan cepat, Rara langsung menutup jendela kamarnya. Badai selalu membuatnya ketakutan. Hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar selalu berhasil membuatnya merinding. Seklebatan masa lalu terkadang muncul, namun Rara tetap saja tidak bisa mengingat apapun. Jika saja Rara bisa mengingat semuanya, mungkin dia akan tahu penyebab ketakutannya yang tak berdasar ini. Rara bergegas menyelesaikan tugasnya lantas naik ke tempat tidurnya. Rara menyelimuti seluruh tubuhnya yang mulai menggigil. Dia bertekad untuk bisa tidur lebih awal sebelum badai datang. *** Rara berjalan seperti orang linglung. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur. Suara petir yang menggelegar membangunkannya dari tidur dan membuatnya terjaga sampai subuh. Sebenarnya, Mama dan Laila sudah menawarinya berangkat bersama. Dan seperti biasa, Rara menolaknya dengan alasan jarak antar rumah dan sekolah sangat dekat. Rara membuang napas penuh kelegaan ketika akhirnya menginjakkan diri di gerbang sekolah. Seperti hari-hari biasa setelah hujan, halaman sekolah pagi terlihat basah. Rara berusaha menghindari jalanan yang masih basah karena hujan karena tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi. Dengan terpaksa Rara memilih jalan memutar yang memang sangat jarang dilewati oleh orang lain. Rara melewati koridor perpustakaan yang memang sepi di pagi hari. Berbeda dengan sebagian besar bangunan di sekolahnya, perpustakaan sekolahnya justru terpisah dari gedung utama dan terlihat begitu klasik. Perpustakaan sekolahnya memang dibuat berbeda dengan tujuan agar siswa yang datang ke sana merasa nyaman dan betah. Ditambah dengan taman depan perpustakaan yang didesain khusus bagi para penggila buku. Di sisi lain bangunan perpustakaan ini, ada ruang musik yang memang sengaja dibangun agak berjauhan dari gedung utama. Bagian gedung ini memang selalu sepi karena tidak setiap hari ruangan musik digunakan. Rara menghentikan langkahnya ketika sayup-sayup mendengar suara dentingan piano. Ketika Rara memastikan bahwa yang didengarnya adalah benar, Rara kembali melangkahkan kakinya lantas mempercepat langkahnya. Rara semakin penasaran dengan musik yang dimainkan itu. Rara dapat merasakan semua emosi sang pianis tercurahkan di sana. Musiknya terdengar seperti orang yang tengah marah dan tidak sabar. Sang pianis seperti ingin mengungkapkan sesuatu namun tak bisa hingga semuanya meledak pada permainan musiknya. Napas Rara sedikit terengah-engah ketika berhenti tepat di depan pintu ruang musik. Ruang musik yang biasanya tertutup rapat, pintunya agak terbuka hingga menimbulkan sedikit celah di sana. Rara sedikit mengintip siapa yang memainkan piano di dalam. Perlahan Rara membuka pintu ruang musik. Bunyi pintu yang berderit tampaknya tidak mengangganggu permainan musik sang pianis. Rara melangkah perlahan. Dia mengenal siapa orang dibalik dentingan piano yang penuh emosi itu. Terlihat Satria memejamkan matanya dengan jemari tangan yang masih menari indah di atas tuts-tuts piano. Satria yang Rara lihat saat ini, sangat berbeda dengan Satria yang Rara kenal. Entah kenapa setiap Satria berada di balik piano, dia seperti menjadi orang lain. Rara merasa Satria yang biasanya bukanlah Satria yang sebenarnya. Permainan piano tiba-tiba berhenti. Satria membuka matanya kemudian menatap Rara yang memang berdiri tepat di depannya. Mereka beradu pandang untuk sejenak. Kemudian Satria mengalihkan pandangannya dan berdiri dari kursi pianonya. Jantung Rara berdegub kencang ketika Satria tiba-tiba berjalan mendekatinya. Ekspresi Satria sudah kembali seperti biasanya, tersenyum lembut kepada Rara. "Maaf mengganggu pagimu," Satria mengucapkannya dengan sopan dan itu yang membuat Rara menjadi gelisah tanpa sebab. "Eh, bukan. Seharusnya aku yang minta maaf karena mengganggu permainanmu." Satria tertawa geli kemudian mengacak rambut Rara, "Kamu lucu. Saya suka." Rara terkejut dengan ucapan Satria. Dia tidak tahu maksud dibalik ucapan pria di depannya itu. "Ayo kita ke kelas," ajak Satria. "Sepertinya bel sudah berbunyi lima menit lalu." "Lima menit?! Gimana nih? Pasti diketawain seluruh kelas." Rara terlihat putus asa. Melihat Rara seperti itu, Satria menarik tangan Rara begitu saja. "Ikut saya." Tanpa bisa menolak, Rara mengikuti langkah Satria dengan pasrah. Rara tidak tahu Satria mengajaknya kemana karena Rara hanya menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan. Dan Rara baru sadar arah tujuan mereka ketika Satria tiba-tiba berhenti tepat di depan kelas Rara. Suara guru matematikanya terdengar menggelegar menerangkan pelajaran di dalam kelas. Rara terkejut. Lantas mengangkat kepalanya. Dia menggelengkan kepalanya kepada Satria sebagai kode agar Satria tidak usah mengetuk pintu kelasnya. Rara pasti akan malu setengah mati jika ketahuan terlambat oleh teman-temannya. Sepertinya wajah memelas Rara tidak berguna di hadapan Satria. Satria tetap mengetuk pintu kelasnya dan lutut Rara tiba-tiba lemas. Satria menarik tangan Rara dan mengajaknya memasuki kelasnya. Rara sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya. Kali ini dia benar-benar menjadi pusat perhatian. Rara mengintip sedikit. Terlihat guru matematikanya tengah melipat tangan di d**a. Rara tahu jika gurunya itu pasti akan marah. Rara berusaha menata hati dan membulatkan tekad untuk meminta maaf kepada gurunya itu. Namun sebelum Rara meminta maaf, Satria lebih dahulu melakukannya. "Maafkan kami," ujar Satria sembari menundukkan kepalnya, memohon maaf. Rara terkejut dengan apa yang dilakukan Satria dan tampaknya seluruh teman-temannya juga demikian. "Maaf karena saya membuat Rara terlambat datang ke kelas," ujar Satria. "Saya akan bersedia menanggung semua konsekuensi yang diberikan asal Rara bisa mengikuti pelajaran seperti biasa." Pak Burhan masih tak bergeming. Dia seperti menilai dan menimbang situasi yang sedang terjadi. "Sebenarnya saya sangat tidak suka ada yang terlambat di kelas," ujar Pak Burhan. "Tapi karena kalian sudah mengaku bersalah dan saya tahu kemampuan matematika kalian, saya mengizinkan dia mengikuti pelajaran." Rara terlihat lega dan Satria mengucapkan terima kasih berkali-kali karena kemurahan Pak Burhan. "Tapi, kalian tetap menerima konsekuensi keterlambatan kalian." ujar Pak Burhan. "Istirahat nanti, temui saya di perpustakaan. Saya ada tugas untuk kalian." "Baik, Pak." "Ya sudah." Rara berjalan menuju tempat duduknya dan Satria keluar dari kelas Rara. Rara masih merasa menjadi pusat perhatian. Tatapan teman-temannya tertuju kepadanya. Rara harus siap dengan segala konsekuensinya termasuk ejekan Kenzo yang pasti akan dia terima karena sejak tadi Kenzo menatapnya dengan tatapan tajam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN