BAB 6(b)

1019 Kata
"Ra," "Gue tahu lo mau bilang apa," potong Rara sebelum Kira melontarkan pertanyaannya. "Tapi untuk sekarang, gue enggak bisa. Lo denger sendiri kan, Pak Burhan ngasih gue tugas istirahat ini?" "Iya sih, tapi—" "Gue pergi dulu." Rara terlihat tergesa-gesa. Pengampunan Pak Burhan tadi sudah termasuk keberuntungan bagi Rara. Rara benar-benar tidak mau menguji keberuntungannya lagi. Dengan napas terengah-engah, Rara memasuki perpustakaan yang memang sepi seperti biasanya. Petugas perpustakaan seperti tengah sibuk mengerjakan sesuatu hingga membiarkan televisinya menyala tanpa penonton. Hanya ada tiga siswa di sana termasuk Satria yang sudah berdiri di depan meja resepsionis sembari membaca koran. Rara mendekati Satria yang terlihat tengah sibuk itu. "Apa aku terlambat?" Satria langsung melipat korannya, "sama sekali tidak." "Syukurlah ...." Satria tertawa kecil. "Kamu lucu." Rara mengerutkan keningnya, merasa tidak paham dengan ucapan Satria. "Lucu? Kenapa?" "Sudahlah, ayo! Pak Burhan meninggalkan banyak tugas untuk kita." Bukannya menjawab pertanyaan Rara, Satria malah menggiringnya ke ruang referensi yang terletak di samping meja resepsionis tadi. "Kita harus membersihkan seluruh ruangan ini." Rara membelalakkan matanya. Ruang referensi yang dilihatnya kali ini benar-benar berdebu dan kotor. "Semua ini? Sekarang? Hanya kita berdua?" Satria menggelengkan kepalanya, "Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ayo!" Satria mulai mengelap meja berdebu yang ada di tengah-tengah ruangan. Melihat Satria yang bersemangat, Rara juga tidak mau kalah. Satria adalah pria yang baik dan rajin. Rara sama sekali tidak mendengar sedikit pun keluhan dari mulutnya. Satria sangat bersemangat dengan sesekali bersenandung. Rara hanya tersenyum melihat tingkah Satria yang menurutnya lucu itu. Sudah hampir jam makan siang ketika tugas mereka selesai. Rara dan Satria menghenyakkan diri di kursi ruang referensi yang sudah mereka bersihkan. "Sepertinya kita melewatkan jam pelajaran," ujar Rara lesu dengan pandangan lurus ke langit-langit. "Tidak masalah," jawab Satria. "Yang penting kita sudah bertanggung jawab atas semua kesalahan yang kita perbuat." Rara menegakkan tubuhnya karena tiba-tiba teringat sesuatu. "Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang sudah kamu lakukan hingga bisa mendapatkan hati Pak Burhan. Kamu tahu sendiri, kan, kalau Pak Burhan itu orangnya super killer?" Satria tertawa kecil. Matanya yang menyipit ketika tertawa itu, sungguh membuat Rara tertegun. "Saya tidak pernah merasa melakukan apa-apa. Saya hanya terkadang menyelesaikan soal yang diberikan Pak Burhan di kelas. Itu saja, tidak lebih." "Kamu bisa menyelesaikan soal yang diberikan Pak Burhan? Serius?" Rara tidak percaya begitu saja dengan penjelasan Satria. Satria hanya menganggukkan kepalanya, "Serius? Lagi pula, itu bukan sesuatu yang istimewa. Semua juga bisa." "Pantas saja Pak Burhan bisa lunak banget gitu sama kamu." ujar Rara. "Asal kamu tahu ya, hanya ada sedikit orang yang bisa ngerjain soal yang diberikan Pak Burhan." "Kamu juga di antaranya? Berarti kamu hebat, dong?" Wajah Rara memerah karena malu. Sebenarnya Rara tidak ingin menyombongkan diri. Namun Rara tiba-tiba teringat Kenzo yang selalu mengunggulinya dalam segala hal. "Aku tidak sehebat itu," raut wajah Rara berubah muram. "Si Nomor Dua, itulah aku disini." "Nomor dua juga bagus kan?" "Tidak jika kamu bertahan selama lima tahun berturut-turut." Hening. Rara sibuk dengan perasaannya. Dia memang agak sensitif jika disinggung tentang hal ini. Satria tampak memperhatikan Rara dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Saya tahu bagaimana rasanya menjadi nomor dua." ucap Satria lirih. "Apa?" "Tidak apa-apa," kilah Satria cepat. "Oh iya, sebenarnya aku ingin menanyakan ini sejak pertama kita bertemu dulu." "Tanya apa?" "Kamu seorang pianis ya? Permainan pianomu bagus." Di luar dugaan, Satria tertawa mendengar pertanyaan Rara. "Pianis? Saya? Kamu salah kira." "Lha terus, kamu ini apa?" "Saya hanya siswa biasa yang kebetulan bisa main piano. Itu saja." Rara masih tidak puas dengan jawaban Satria. Menurutnya, kemampuan Satria lebih dari itu. "Kamu bohong." "Beneran..." jawab Satria yang masih belum bisa meredam tawanya. "Terus kenapa kamu bicara dengan bahasa yang formal? Aku jadi merasa tua." Melihat ekspresi Rara yang agak mengerutkan bibirnya membuat tawa Satria semakin kencang. "Tidak usah berlebihan deh," protes Rara karena melihat Satria yang tertawa sampai segitunya. "Maaf, maaf. Saya hanya merasa geli saja." jawab Satria masih dengan tawa yang ditahan. "Terus, kenapa kamu bicara formal kepadaku? Apa aku terlihat tua hingga harus kamu ajak bicara seperti itu?" "Bukan itu," jawab Satria. "Hanya saja, saya terbiasa dengan gaya bicara seperti ini. Lagipula saya jarang berbicara dengan orang lain selain kamu." Rara mengerutkan keningnya, "Memangnya kenapa?" Satria bangkit dari posisi duduknya, "Saya ingin kembali ke kelas," Bukannya menjawab pertanyaan Rara, Satria justru mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu belum jawab," "Lain kali saja," jawab Satria santai. "Ayo, perlu saya antar ke kelas lagi atau sendiri saja?" "Sendiri saja. Yang tadi sudah cukup." jawab Rara cepat yang membuat Satria kembali tersenyum. "Kamu lucu hari ini," ujar Satria. "Terima kasih ya." Sebelum Rara melontarkan pertanyaan yang lain, Satria sudah berlalu meninggalkannya. Ada banyak pertanyaan yang berputar di benak Rara, namun sepertinya Satria tidak mau menjawab pertanyaannya. Rara mengangkat kedua bahunya. Dia pasti akan tahu semuanya nanti. Iya nanti, bukan sekarang. **** Rara berjalan melewati koridor antara perpustakaan dan ruang musik seperti biasa. Rara sedikit memelankan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar orang yang sedang berbicara. "Apa yang kamu lakukan semalam?" Rara mengenali suara itu. Dari nadanya, Rara tahu bahwa dia sedang tidak sabar dan marah. "Bukan urusanmu," Rara mengerutkan keningnya ketika ada suara seorang wanita yang menjawabnya. Rara semakin penasaran lantas mendekatkan diri ke pintu ruang musik yang memang sedikit terbuka. "Kenapa kamu tidak ada di rumah? Kamu keluyuran kemana?" "Bukan urusanmu." Rara membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang tengah beradu mulut di dalam. Kenzo dan guru musiknya, Clarissa, sepertinya terlibat dalam perdebatan hebat. "Jangan menguji kesabaranku." Kentara sekali Kenzo sedang mencoba menahan amarahnya. "Jangan mengatur hidupku," balas Clarissa tak kalah sengit. "Kamu tidak punya hak sama sekali." Kenzo terlihat begitu emosi dengan jawaban Clarissa. Rara semakin terkejut dengan apa yang Kenzo lakukan selanjutnya. Pria berkulit putih itu mencium bibir Clarissa begitu saja tanpa malu dan ragu. Lutut Rara lemas menyaksikan kejadian yang seharusnya tidak boleh dia lihat. Rara bergegas meninggalkan ruang musik. Dia berlari begitu saja seperti orang gila. Mata Rara memanas. Rara tidak tahu kenapa dia bisa sebodoh ini. Apa yang dilakukan Kenzo bukanlah urusannya. Akan tetapi, kenapa yang dilakukan Kenzo itu membuat hatinya sakit? Rara tetap berlari, berlari, sembari berharap sakit yang dirasakan hatinya berguguran seiring dengan goncangan dari tubuhnya. *** ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN