BAB 7

1758 Kata
"Kemana saja, Ken? Kami sudah nunggu lo." Rara hanya diam mendengar protes Farros. Dia tahu jika Kenzo sedang kesal hari ini dan Rara benar-benar tidak ingin menambah kekesalan Kenzo. Feeling Rara tepat. Bukannya menjawab pertanyaan Farros, Kenzo malah langsung mengambil bola basket yang tergeletak begitu saja di dekat kaki Rara. "Dua lawan satu," ujar Kenzo tanpa berbalik memandang Farros atau pun Rara. "Apa?!" "Dua lawan satu," ulang Kenzo. "Lo sama Rara lawan gue." "Tapi Ken..." "Gue ingin mengukur kemampuan Rara," ujar Kenzo memotong protes Farros. Rara mengepalkan tangannya. Dia kesal dengan ucapan Kenzo. Bocah tengil itu dengan angkuhnya meragukan kemampuannya bermain basket. Rara sungguh tak terima perlakukan tidak sopan seperti itu. "Ken..." Farros ingin menginterupsi keputusan Kenzo namun dicegah oleh Rara. Walau bagaimana pun, Rara tetap memiliki harga diri. Ucapan Kenzo adalah tantangan baginya dan Rara tidak mau menjadi bulan-bulanan Kenzo yang tingkahnya sok berkuasa itu. Kenzo tersenyum miring kemudian menatap Rara secara langsung. "Sebaiknya lo keluarkan semua kemampuan terbaik yang lo miliki. Kali ini enggak akan ada malaikat yang bakal nolong lo." Kenzo masih marah dengan kejadian kemarin lusa. Rara dapat merasakan dari ucapan Kenzo yang penuh penekanan di setiap kata-katanya. Kali ini Rara benar-benar tidak bisa mengelak lagi. Dia harus membuktikan kemampuannya dan membungkam mulut sombong Kenzo Adams. *** Rara terengah-engah dengan keringat yang mengucur deras dari kepalanya. Meski Rara satu tim dengan Farros, mereka masih terlihat kuwalahan menghadapi Kenzo. Permainan Kenzo seperti orang yang kesetanan hingga sangat menyulitkan Rara maupun Farros. "Kalian terlihat menyedihkan," Kenzo menyeringai sembari memantulkan bola di tangannya. "Jangan belagu. Skor kita sama," Kenzo tertawa mendengar pembelaan Rara. "Gue sedikit menurunkan tempo permainan. Itu satu-satunya alasan skor kita bisa sama." Tenggorokan Rara benar-benar kering. Tenaganya sudah terkuras habis. Dia tahu jika Kenzo memang bukan tandingannya. Emosi Kenzo hari ini menambah tingkat kesulitan bagi Rara untuk mengalahkannya. "Sebaiknya kalian hentikan permainan ini!" Rara, Farros, dan Kenzo melihat suara melengking yang tiba-tiba menginterupsi mereka. Kira berdiri di sisi lapangan dengan beberapa teman lain. Rara baru sadar jika sejak tadi mereka menjadi tontonan. "Jangan ikut campur urusan gue!" Kenzo menatap tajam ke arah Kira dan teman-teman yang lain. "Ini menjadi urusan kita ketika lo membuat Rara dan Farros kelelahan," jawab Kira datar tetapi penuh penekanan. "Lo ingin kelas kita kalah?" Kenzo tertawa. Suaranya sungguh membuat jengkel siapapun yang mendengarnya. "Kami sedang berlatih. Memangnya apa yang lo pikirkan?" "Lo nyiksa mereka. Itu yang gue pikir!" tatapan Kira tak kalah tajamnya dengan Kenzo. Kira memang bisa menjadi sosok yang begitu mengancam jika dia melihat suatu ketidakadilan. Kenzo tersenyum miring dengan protes yang dilayangkan kepadanya. Sebenarnya Kenzo juga tidak mengerti kenapa dia bisa semarah ini. Bayangan murid baru yang menolong Rara kemarin begitu mengusiknya. Apalagi tadi pagi Rara dan murid baru itu terlambat bersama. Darah Kenzo semakin mendidih ketika mengingatnya. Dia membenci Rara. Sangat benci. "Gue hanya memberikan sedikit pelajaran bermain basket kepada Rara. Kemarin permainannya sangat buruk. Gue enggak ingin dipermalukan di lapangan." Rara kembali menalan ludahnya dengan susah payah. Dia sudah merasa bahwa Kenzo sedang mengincarnya. Ucapan Kenzo barusan sangat jelas menyiratkan bahwa Kenzo masih sakit hati dan marah dengan kejadian kemarin. "Biarkan saja," ujar Rara akhirnya memecah ketegangan. "Gue memang perlu pelajaran dari Kenzo. Sudah lama enggak main basket jadi agak lupa beberapa tekniknya." "Tapi, Ra.." "Kalian jangan khawatir," potong Rara cepat sebelum Kira melontarkan protesnya lagi. Rara sungguh tidak ingin ada perpecahan di kelas mereka. Ini adalah tahun terakhir SMA mereka. Rara tidak ingin ada kenangan buruk ketika saatnya berpisah nanti. "Gue sama Farros baik-baik saja kok. Lagipula kami sudah terbiasa berlatih seperti ini." Rara melirik Farros berharap Farros paham dengan maksud ucapannya. Farros menganggukkan kepalanya. Rara lega setidaknya Farros memiliki pembawaan tenang yang jauh berbeda dengan Kenzo. "Kami baik-baik saja. Benar kata Kenzo. Kalau kita ingin menang, memang harus berlatih seperti ini." Kira nampaknya tidak puas denga jawaban Rara maupun Farros. Matanya menyipit penuh selidik mencari kebohongan dan celah. Namun percuma, Kira tidak bisa menukannya dari Farros maupun Rara. Pada akhirnya Kira menyerah. "Ya sudah," ujar Kira. "Kalian tetaplah berlatih. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri." Rara dan Farros mengangguk bersamaan. "Kemenangan itu penting. Tapi kalian lebih penting dari kemenangan itu sendiri," kali ini Riko ikut menimpali. "Gue nggak ingin kalian memaksakan diri demi kelas. Terlebih lo, Ra." Semua mata kini tertuju kepada Riko. Ucapan Riko tadi terasa begitu ambigu dengan makna tersirat. Rara merasakan ada yang berbeda dari Riko. Akhir-akhir ini Riko memang sering berada di kelas. Kabarnya dia sudah memutuskan semua kekasihnya. Bagi Rara, itu hanyalah sebuah kabr burung. Dia tidak mempercayainya begitu saja. Seorang playboy kelas kakap seperti Riko tentu sulit untuk melepas kesenangannya begitu saja kan? "Lo ngomong apaan, Rik?" pada akhirnya Gian yang lebih dulu sadar. "Tumben omongan lo berbobot." Riko menjitak kepala Gian. "Emang selama ini omongan gue sampah?" Gian mengusap bekas jitakan Riko, "sensitif amat sih. Gue kan cuma peduli sama lo. Siapa tahu setelah tamparan keras dari Tiara kemarin membuat salah satu syaraf di otak lo putus." Riko kembali menjitak Gian sebal. "Jangan asal kalau ngomong. Gue khawatir sama Rara. Kita semua tahu alasan dia enggak main basket lagi kan? Mikir dulu deh kalau mau ngomong." "Habisnya lo aneh, sih. Kan, gue cemas," Terdengar suara tawa dari teman-teman Rara. Rara cukup lega. Meski Rara tahu Gian terlihat sangat kesakitan, setidaknya hal itu menurunkan ketegangan diantara mereka. Rara bersyukur menjadi bagian dari kelas konyol yang menyandang gelar kelas unggulan ini. Ikatan persaudaraan diantara penghuni kelas sangat kuat. Mereka merasa saling memiliki dan menjaga satu sama lain. Rara cukup terhibur dan ikut tertawa bersama mereka. Mata Rara menangkap Kenzo sedang menatapnya tajam. Kenzo sama sekali tidak ikut tertawa bersama yang lain. Rara merasa terintimidasi. Hari ini sangat bingung dengan sikap Kenzo kepadanya. Rara membuang napasnya asal. Dia juga bingung dengan perasaannya kali ini. Jujur, Rara takut. Takut jika pada akhirnya dia harus kecewa. *** Rara berjalan gontai keluar dari hall serba guna. Latihan basket bersama Kenzo sungguh menguras tenaganya. Rara merasa ada yang tidak beres dengan bahu kirinya. Sejak latihan tadi Rara terus merasakan nyeri di bahunya. Rara mengabaikannya begitu saja sembari berharap rasa nyerinya segera menghilang. Rara berhasil meredam rasa sikitnya selama latihan, tetapi kini nyeri itu kembali datang dan semakin sakit. Rasa berhenti sejenak sekadar untuk meredam nyeri yang kini menjalar ke seluruh tubuhnya. Rara sadar jika ini adalah efek dari memaksakan diri dalam latihan. Setahun lalu Rara pernah mengalami cedera bahu ketika bertanding. Setelah itu, Rara merasa kemampuan tangannya tidak lagi sama. Kini setelah lama tidak latihan, tubuh Rara harus dipaksa sekeras itu. Tentu saja tubuhnya berontak. Rara tidak mau keluarganya cemas seperti dulu. Rara mendesah pelan. Hari sudah semakin gelap. Sekolah sudah sepi dari hiruk pikuk siswanya. Farros tadi pamit terlebih dahulu karena ada janji penting. Sedangkan Kenzo meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata pun. Rara kembali membuang napasnya asal. Menelepon ibunya jam segini pasti akan membuat panik. Alhasil Rara hanya mengirim pesan kepada adiknya jika dia akan pulang terlambat hari ini karena ada latihan. Setelah mengirim pesan, Rara mematikan ponselnya lantas memasukkannya ke dalam tas. Dia malas menerima pesan atau panggilan cemas dari keluarganya. Menurutnya ini adalah hal sepele yang harus bisa dia selesaikan sendiri. Rara berjalan perlahan sembari menahan lengan kirinya dengan tangan kanan. Meski dengan tertatih, Rara akhirnya berhasil sampai di gerbang sekolah. Tiba-tiba Rara mendengar suara motor dari arah belakangnya lantas berhenti sejenak untuk memberi jalan kepada pengendara motor itu agar bisa lewat. Namun, Rara terkejut ketika motor yang tadi di belakangnya berhenti tepat di sebelahnya. Satria melepas helm abu-abunya lantas menatap Rara, "selalu saja seperti ini." "Memangnya seperti apa?" jawab Rara mengelak, pura-pura tidak mengerti maksud ucapan Satria. Menurut Rara, Satria berbeda dengan teman-teman Rara yang lain. Kepekaan dan rasa yang dimiliki Satria seperti orang dewasa yang sudah mapan dan banyak pengalaman. Terkadang Rara penasaran dengan sifat Satria yang satu itu. Tanpa banyak biacara, Satria memegang bahu kiri Rara. Rara pun menjerit kesakitan lantas menangis. Tangis yang sejak tadi dia tahan. Entah itu tangis karena rasa sakit atau rasa lelah di hatinya karena harus menghadapi sikap dingin Kenzo. Satria menarik Rara ke dalam pelukannya. Entah kenapa ketika melihat Rara menangis seperti itu, hatinya terasa sakit. "Menangislah! Menangislah sampai kamu puas. Setidaknya kamu bisa mengeluarkan semua bebanmu ketika menangis. Menangislah! Saya akan berada di sini menemanimu." Tangis Rara semakin pecah setelah mendengar ucapan Satria. Rara memang butuh meluapkan semua emosinya setelah seharian menahannya dengan sekuat tenaga. *** Rara menggumamkan terima kasih ketika Satria menyodorinya teh hangat. Teh hangat memang selalu berhasil membuatnya tenang. Rara kini duduk di bangku depan pos satpam dengan Satria berjongkok di hadapannya. "Masih sakit?" Rara menggelengkan kepalanya. Namun, Satria tampak tidak puas dengan jawaban Rara. Dia meraih tangan kiri Rara untuk memeriksanya. Rara mengaduh kesakitan meski Satria baru menyentuhnya sedikit. "Ke dokter saja," "Nanti juga sembuh. Tenang saja, aku sudah biasa seperti ini." "Jangan jadikan kebiasaan," bantah Satria tidak suka. "Sebagai seorang atlet basket, kekuatan lengan sangat penting. Saya yakin lengan kirimu masih sangat dibutuhkan untuk bertanding basket." Rara tersenyum untuk meyakinkan. "Aku baik-baik saja. Sungguh. Lagi pula, aku bukan atlet basket sejak setahun lalu. Di sini aku hanya ketua ekskul basket putri tanpa pertandingan." Satria menatap Rara seolah tidak percaya dengan ucapan Rara. "Kalau begitu, besok bilang sama Kenzo kalau kamu mengundurkan diri dari tim basket kelas." Rara menolaknya mentah-mentah, "Tidak akan." Rara meletakkan gelasnya. "Ini adalah pertandingan terakhir kami di kelas XII. Aku tidak akan melewatkannya begitu saja." Rara serius dengan ucapannya. Sudah menjadi tradisi bahwa semua kelas XII tidak diizinkan mengikuti kegiatan ekskul apapun. Mereka hanya diperkenankan sesekali mendampingi latihan adik-adik kelas. Pertandingan kali ini begitu penting bagi Rara karena akhirnya dia bisa bermain dengan Kenzo, bermain bersama sebagai tim bukan sebagai lawan seperti biasanya. Satria tampak kurang puas dengan jawaban Rara. "Kita lihat besok," ujar Satria. "Jika besok bahumu belum sembuh, saya yang akan mengatakannya langsung kepada Kenzo." "Kamu tidak bisa," Rara panik. Dia tahu bahwa mustahil bahunya akan sembuh dalam waktu semalam. "Ini menyangkut kehormatan kelas kami. Kamu tidak bisa ikut campur seenaknya." Rara merasa Satria terlalu ikut campur dengan urusannya. Meski Rara tahu ini demi kebaikannya, tapi Rara tidak bisa melepaskan pertandingan ini begitu saja. "Saya tidak mau berdebat dengan orang yang sedang emosi," "Siapa yang emosi?" Rara meninggikan suaranya. "Aku mau pulang saja." "Saya antar." "Tidak usah." Rara meninggalkan Satria begitu saja. Meski harus menahan sakit, Rara terus berjalan tanpa berbalik sedikitpun. Satria juga tidak mengikuti Rara kali ini. Terus terang Rara marah kepada Satria kali ini. Baru kali ini Rara melihat sifat pemaksa dari Satria. Tidak seharusnya Satria berkata seperti itu di hadapannya. Sebaiknya Rara harusmenjaga jarak dari Satria untuk beberapa waktu. Itu demi kebaikan Rara sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN