Seni musik adalah pelajaran yang paling Rara benci. Sejak dulu dia memang tidak suka dengan segala hal yang berbau seni.
Di dalam keluarganya, hanya Rara yang sama sekali tidak berbakat di bidang seni. Ayahnya adalah artis teater ketika sekolah dulu. Bahkan ayahnya pernah meraih penghargaan sebagai pemeran utama terbaik. Ibu dan kakak keduanya, Aidan, pandai dalam bermusik sedangkan Laila dan kakak pertamanya lincah dalam menggoreskan kuas pada kanvas.
Rara tidak pernah merasa nyaman dengan kuas atau pun tuts-tuts piano. Meski di rumahnya ada sebuah piano, Rara hanya sekali memainkannya. Menurut Rara, permainannya sangat buruk. Rara sudah berusaha tetapi sia-sia saja. Rara rasa, Tuhan melewatkannya ketika sedang membagikan bakat seni kepada keluarganya.
Rara membuang napas beratnya yang seketika itu langsung dia sesali. Permainan piano berhenti dan dia mendadak jadi pusat perhatian.
"Rara, ada yang salah?"
Clarissa, guru musik Rara, berdiri dari posisi duduknya lantas berjalan menghampiri Rara. Rara mulai berkeringat dingin. Meski gurunya itu bertanya dengan lembut disertai senyuman yang menghanyutkan setiap orang yang melihatnya, Rara masih merasa ketakutan.
"Eh, maafkan saya, Miss," ujar Rara gugup dengan jantung yang tiba-tiba memompa kencang.
Kenzo yang sedari tadi terlihat bosan dan tidak mau tahu dengan penjelasan Clarissa, mendadak jadi b*******h. Hal itu sangat terlihat jelas pada matanya dan senyumnya yang sangat menyebalkan itu. Melihat Rara yang gugup dan tak bisa berkutik seperti itu merupakan sesuatu yang menyenangkan baginya. Menurut Kenzo, Rara terlihat lebih menarik dengan mata yang membola dan bibir yang mengerucut karena gugup. Entah mengapa Kenzo tersenyum tipis. Namun, dia segera menghilangkan senyumannya karena merasa aneh dengan sikapnya sendiri yang tiba-tiba mengagumi Rara.
Berbeda dengan Kenzo yang tengah asyik dengan pemikirannya, keringat dingin mulai membasahi pelipis Rara. Menjadi pusat perhatian seperti ini sangat dia benci. Rara melirik Kira berusaha mencari bantuan. Kira yang memang kurang peka dengan kegugupannya pun hanya menatap Rara dengan bingung.
"Apakah kamu ingin mencoba lagu baru yang tadi saya ajarkan?"
Rara gugup. Dia tidak tahu harus berkata apa. Rara sangat tahu dan hafal lagu yang baru saja dimainkan gurunya itu. Hanya saja, dia tidak percaya diri untuk memainkannya sendiri.
"Gue berani bertaruh, dia enggak akan berani mencobanya," ujar Kenzo sedikit mengeraskan suaranya agar Rara mendengar.
Jujur saja, ucapan Kenzo membuat telinga Rara memerah. Andai saja tidak ada Clarissa di sini, sudah Rara tinju wajah menyebalkan pria itu.
"Bagaimana Rara? Kamu mau mencobanya?" ujar Clarissa yang tampaknya tidak memedulikan sindiran Kenzo. Clarissa melembutkan suaranya. "Sejak awal kelas kita, saya tidak pernah melihatmu bermain piano. Saya tidak tahu sebabnya dan itu membuat saya penasaran."
Tubuh Rara bergetar. Baru kali ini Rara tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari guru. Rara berusaha mati-matian menyembunyikan ketidaksukaannya dengan piano. Entah mengapa sejak kecil Rara tidak bisa berteman baik dengan piano. Bukannya Rara tidak bisa bermain piano, hanya saja Rara tidak bisa melawan ketakutannya. Setiap selesai bermain piano, Rara akan bermimpi buruk. Mimpi yang sama sepert rekaman yang terus diulang. Rara tidak mengerti tetapi enggan untuk menceritakan kepada keluarganya. Rara lebih memilih diam dan memendam ketakutannya sendiri.
"Saya ... saya ...."
Suara bel tanda pulang akhirnya berbunyi. Rara bersyukur karena terselamatkan kali ini. Dia pun tersenyum kepada Clarissa yang tampaknya paham dengan kode yang diberikan Rara.
"Baiklah, kita akhiri pelajaran hari ini," ujar Clarissa kepada semua tetapi kembali berbalik untuk menatap Rara. "Pertemuan selanjutnya, kita akan mendengarkan permainan piano Rara."
Rara menelan salivanya dengan susah payah, tubuhnya lemas, dan suara tawa Kenzo yang terdengar memuakkan itu semakin membuatnya kesal. Semua teman-temannya sudah keluar meninggalkan ruang musik tetapi Rara memilih untuk tinggal.
"Ada apa? Kenapa masih di sini? Bel sudah berbunyi," ujar Clarissa ketika mendapati Rara masih berdiri di hadapannya dengan kikuk.
Clarissa tersenyum lantas mendudukkan diri di kursi piano, paham dengan maksud muridnya itu. "Ada yang ingin kamu sampaikan?"
Rara terlihat gugup. "Saya tidak bisa," ujar Rara sedikit terbata. Suaranya sedikit bergetar ketika mengucapkannya. "Saya tidak bisa bermain piano."
Clarissa mengerutkan keningnya. Dilihatnya gadis bersurai panjang di hadapannya itu penuh selidik. "Alasannya?"
"Saya hanya tidak bisa," jawab Rara singkat.
Clarissa berdiri lantas mendekati Rara yang seperti tengah ketakutan. Jujur saja Clarissa sedikit tidak tega tetapi dia harus menemukan penyebab siswi pandai di hadapanya itu tidak bisa bermain piano.
"Saya mendengar dari guru seni kelas X bahwa kamu pernah bermain piano untuk pengambilan nilai praktek. Jadi, berikan saya alasan logis yang membuat kamu tidak bisa bermain piano," ujar Clarissa tenang tetapi penuh penekanan.
Tenggorokan Rara tiba-tiba kering. Dia ingat kejadian buruk beberapa tahun itu. Setelah pengambilan nilai praktek waktu kelas X, Rara tiba-tiba demam dan bermimpi buruk. Dia sampai tidak masuk sekolah selama tiga hari. Rara tidak mau mengulang hal menyakitkan itu lagi. Tidak akan pernah!
"Saya bisa mengerjakan tugas pengganti untuk ujian bermain piano," ujar Rara. "Saya biasa mengerjakan itu saat kelas XI."
Clarissa semakin penasaran dengan jawaban Rara. "Untuk kelas yang saya ajar, semua wajib praktek bermain piano tanpa terkecuali. Saya tidak bisa menerima alasan apa pun. Lagipula, bermain piano tidak terlalu menguras tenaga dan menyebabkan kematian."
"Tapi Miss—"
"Sebaiknya kamu mempersiapkan diri," potong Clarissa cepat. "Kamu memiliki banyak waktu berlatih. Saya akan membantu jika kamu kesulitan. Jadi, berusahalah."
Clarissa berjalan meninggalkan Rara yang masih terpaku karena belum bisa mencerna perkataan gurunya itu. Pikirannya berkecamuk. Ketakutannya datang lagi. Dia belum siap menanggungnya kembali.
"Wajahmu sangat menyedihkan."
Rara menoleh untuk melihat Satria yang berdiri bersandar di pintu ruang musik. Rara sedikit tersentak kemudian mengusap kasar matanya yang mulai berembun.
"Sedang apa kamu di sini?" ujar Rara sedikit keras berusaha menyembunyikan keterkejutanya.
Satria tersenyum miring lantas berjalan mendekati Rara. Kini pria bermanik hitam itu berdiri tepat di hadapan Rara.
Tanpa persetujuan Rara, Satria mengusap lembut pipi Rara yang sedikit basah karena air mata yang diusap secara kasar. "Jangan menangis," ujarnya lembut.
"Bukan urusan kamu," ujar Rara datar. Saat hendak meninggalkan Satria karena tidak suka dengan sikap pria itu yang seenaknya sendiri, Satria mencekal tangan Rara lantas membawa Rara ke dalam pelukannya.
"Bisakah kamu berjanji untuk tidak menangis di hadapan saya? Saya takut akan menghilangkan orang yang membuatmu meneteskan air mata," ujar Satria dalam yang semakin membuat Rara tidak nyaman.
"Lepas!"
Satria langsung melepaskan pelukannya setelah mendengar perintah Rara. Rara menatap Satria tajam.
"Bukankah aku sudah pernah mengatakan untuk tidak usah mengurusi urusan orang lain," ujar Rara dingin.
Satria tidak terpancing dengan ucapan Rara. Dia justru betah berlama-lama menatap manik hitam berkilat itu.
"Tolong menyingkir dari hadapanku. Aku sedang terburu-buru," ujar Rara.
Satria menatap Rara datar. "Ke mana?"
"Latihan," jawab Rara singkat tetapi lengannya kembali ditahan Satria.
"Saya tidak mengizinkan sebelum memastikan bahu kamu baik-baik saja," ujar Satria sedikit memaksa.
"Aku tidak butuh izin dari kamu."
Rara benar-benar muak dengan pria di hadapannya ini. Satria terlalu ikut campur dengan urusannya. Rara tidak suka dengan sikap posesif Satria. Menurutnya itu terlalu berlebihan mengingat mereka baru saling mengenal.
Rara menyentak tangan Satria. Sebelum emosinya meledak, Rara segera meninggalkan Satria yang masih mematung di tempatnya. Rara tidak peduli dengan tatapan dingin Satria tadi. Yang terpenting bagi Rara sekarang adalah untuk tidak membuat Kenzo kembali marah dan semakin membencinya.
***