Rara memasuki kelasnya dengan tergesa lantas membereskan perengkapan sekolahnya yang masih ada di meja. Sesekali Rara melirik jam dinding kelasnya dengan gugup. Jika kali ini dia terlambat lagi, Rara tidak yakin Kenzo akan melepasnya begitu saja.
"Ra, gue pulang bareng lo, ya?"
Suara lantang Namira selalu berhasil membuat Rara terkejut tetapi masih melanjutkan pekerjaannya yang tinggal menutup tasnya itu.
"Gue belum mau balik, Nam," ujar Rara sembari menggendong tasnya.
"Terus, gue balik sama siapa dong?"
"Biasanya juga sendiri, kan?" jawab Rara malas sembari melirik jam dinding.
Tanpa mendengar jawaban sahabatnya itu, Rara berjalan melewati Namira. Dia sedang malas meladeni gadis berparas latin itu.
"Ra, tunggu gue!"
Namira mengejar Rara yang telah berjalan jauh di depannya.
"Lo mau kemana, sih? Buru-buru amat?" tanya Namira setelah berhasil menyamai langkah Rara.
"Gue mau latihan."
Namira membulatkan matanya kemudian menghalangi jalan Rara. Rara akhirnya berhenti dan Namira berhasil mendapatkan perhatian penuh darinya.
"Lo beneran sama Kenzo main satu tim?"
Rara memutar bola matanya. "Kami, kan, sekelas, ya wajar, dong."
"Lo yakin?"
Rara membuang napasnya asal karena tidak sabar dan kesal dengan sahabatnya yang satu itu. Namira memang selalu merumitkan masalah. Sifatnya yang suka meledak-ledak itu juga terkadang menyebalkan. Meski begitu, Namira adalah sahabat yang baik. Dia selalu ada di saat sahabatnya paling membutuhkan dan dia akan selalu berada di garis depan untuk membela sahabatnya.
"Dengar, ya, Namira Putria. Gue sama Kenzo bakal main satu tim."
"Lo yakin Ra?" Namira ragu dengan jawaban Rara. Dia mencemaskan sahabatnya itu.
"Gue yakin, Nam," jawab Rara mantap.
"Sebaiknya lo segera menemukan strategi yang bagus bersama Kenzo," ujar Namira kali ini dengan nada cemas yang berlebihan.
Rara mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"
"Gue enggak mau ada Perang Dunia ketiga di lapangan nanti,"
Rara tahu jika Namira selalu berlebihan dalam segala hal. Dia pun hanya tertawa ringan.
"Tenang saja. Kami sudah lengket kayak bubur ayam."
Namira menatap Rara bingung. "Perumpamaan yang lo buat enggak nyambung banget."
Rara tertawa melihat wajah bingung Namira. Kepolosan sahabatnya itu memang selalu berhasil membuatnya tersenyum meski tadi suasana hatinya begitu buruk. "Pokoknya lo tenang saja."
Namira masih kurang puas dengan jawaban Rara, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tahu perasaan Rara. Hanya saja, gadis itu tidak ingin sahabatnya terluka. Sebenarnya yang Namira cemaskan tidak hanya Kenzo dan Rara, tetapi ia memilih diam saja.
"Gue lihat latihan lo, ya." Namira tak mau kalah begitu saja meski sudah ditolak berkali-kali.
"Enggak usah," tolak Rara. "Mending lo pulang bareng Laila, deh. Lo mau bareng gue karena ada urusan sama dia, kan?"
Namira mengangguk. "Iya sih. Tapi—"
"Please, Nam," potong Rara cepat. "Gue baik-baik saja. Percaya sama gue. Hubungan gue sama Kenzo enggak seburuk yang lo kira."
"Ck, lo lupa kejadian kemarin? Asal lo tahu, beberapa anak masih ngomongin kejadian di lapangan itu."
Rara memutar bola matanya, malas dengan semua gosip murahan yang selalu menjadikannya sebagai tokoh utama. "Dengar, ya ... gue sama sekali enggak peduli dengan semua omong kosong itu. Kemarin itu hanya salah paham. Dan hubungan gue sama Kenzo masih baik-baik saja."
Namira memincingkan mata, menatap curiga pada sahabatnya itu. "Ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue, kan?"
"A-apaan, sih? Jangan curigaan gitu, deh." Rara gugup dengan kecurigaan Namira. Namira memang satu-satunya sahabat dekat yang Rara miliki. Namun, Rara masih belum bisa membagi semua rahasianya kepada Namira. Sifat tertutup Rara selalu menghalanginya untuk berbagi kepada orang lain selama ia masih bisa memendam dan mengatasinya sendiri.
"Lo aneh banget. Sumpah," ujar Namira penasaran. "Jangan-jangan ... lo sama Kenzo ..."
Namira menggantungkan kalimatnya. kedua telunjuk jarinya bertaut, seolah menyimbolkan ada hubungan spesial antara Rara dan kenzo. Melihat hal itu, Rara buru-buru melepaskan tautan jari Namira. Jantungnya berdebar lebih cepat. Rara takut jika suatu saat, orang-orang mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Ia masih belum siap menerima reaksi semua orang.
"Sebaiknya lo cepetan pergi, deh. Keburu Laila lumutan nunggu lo di depan." Rara mendorong Namira paksa. Meski Namira enggan untuk meninggalkan Rara, pada akhirnya dia pergi juga.
Rara membuang napasnya. Melihat Namira yang berjalan menjauhinya, membuat Rara lega. Ia sungguh tidak akan bisa berkilah lagi jika Namira semakin curiga kepadanya. Setelah ini, ia harus lebih berhati-hati jika berbicara soal Kenzo.
Setelah masalahnya dengan Namira selesai, Rara kembali melirik arlojinya, lantas berlari ke tempat latihan. Jika Kenzo kembali memarahinya karena terlambat, Rara akan membuat perhitungan kepada Namira.
"Maaf, gue telat."
Rara langsung meminta maaf kepada Kenzo dan Farros yang memang sudah berada di lapangan. Dia tidak mau lagi membuat Kenzo marah seperti kemarin.
Kenzo yang sedari tadi berbicara dengan Farros pun menghentikan aktivitasnya. Perhatian Kenzo kini penuh kepada Rara.
Kenzo berjalan mendekat dengan tatapan datarnya seperti biasa. Rara sungguh membenci situasi seperti ini. Rara merasa sangat terintimidasi dengan tatapan ketua kelasnya itu. Jika diminta untuk memilih, Rara lebih baik menghadapi Kenzo yang berteriak kepadanya daripada harus diam dan menatapnya datar seperti ini. Hal itu membuat Rara salah tingkah.
"Lo marah ya, Ken?" tanya Rara gugup. "Tadi Namira—"
"Buat lo."
Rara mengerutkan keningnya. Kenzo dengan tiba-tiba menarik tangan kanan Rara dan memberinya sesuatu. "Apa ini?" tanya Rara dengan alis bertaut.
Rara tahu apa yang diberikan Kenzo kepadanya. Hanya saja dia tidak mengerti kenapa Kenzo tiba-tiba memberinya sekotak obat penahan rasa sakit.
"Gue enggak mau kalah minggu depan," ujar Kenzo datar. "Sebaiknya lo jaga bahu kiri lo baik-baik."
Rara menatap Kenzo bingung. Dia masih menerka-nerka bagaimana Kenzo bisa tahu jika bahu kirinya bermasalah.
"Cabut yuk," ajak Kenzo kepada Farros yang sedari tadi hanya diam memperhatikan tingkah manis sahabatnya itu. "Gue ada janji sama Kezia."
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Farros mengikuti Kenzo begitu saja. Masih dengan kebingungannya, Rara hanya diam mematung melihat kepergian kedua sahabat itu. Terkadang Kenzo memang ajaib. Rara sama sekali tidak bisa menebak apa yang sedang Kenzo rasakan. Suatu waktu Kenzo bersikap manis dan terbuka, namun tak butuh waktu lama, semuanya berubah begitu saja. Rara hanya ingin melihat Kenzo yang sering tertawa dan terbuka ketika bersama adik dan teman-temannya. Akan tetapi, Rara selalu mendapatkan Kenzo yang berbeda. Ketika Kenzo berada di sekitarnya, aura mengancam dan intimidasi yang kuat selalu meliputinya. Jika mengingat hal itu, hati Rara terasa sakit.
Rara membuang napas beratnya. Dia harus bisa mengendalikan perasaanya sendiri. Kenzo sudah memiliki wanita spesial di hatinya, Rara tahu itu. Rara benar-benar tidak punya kesempatan. Benar kata Laila bahwa benci sangat dekat dengan cinta. Sebelumnya Rara membenci Kenzo setengah mati, namun semakin lama hatinya mulai memberontak. Rasa cinta itu mulai tumbuh tanpa Rara sadari. Dan Rara bertekad, sebelum cinta itu berkembang terlalu jauh dan terlalu besar, Rara harus segera menghapusnya.
***