Chapter 01 - Awal Sebuah Senja
Ryan Aditya. Seorang jurnalis yang juga peenulis novel, puisi, dan kolom cinta di beberapa media daring. Hidupku tidak berisik, tidak juga terlalu sunyi. Ryan hidup di tengah-tengah; antara sorotan publik dan diamnya ruang pribadi yang kutemukan hanya saat menatap layar laptop di malam hari.
Sebagai lulusan psikologi, lelaki 43 tahun itu sering dianggap paham soal hati, soal cinta, soal luka yang sulit dijelaskan tapi terasa. Julukan "dokter cinta" itu datang bukan dari keinginannya, tapi dari pembaca yang merasa tulisan Ryan menyembuhkan. Dia hanya menulis apa yang dipahami—tentang jatuh, kehilangan, bangkit, dan memilih lagi. Tentang rasa yang tak selalu bisa diucapkan tapi bisa dirasakan.
Hari itu, Kamis siang yang terik di Semarang. Ryan punya jadwal peluncuran dan bedah buku novel terbarunya "Karena Aku Memilihmu" yang diadakan di ruang bioskop mini, berdampingan dengan ruang koleksi dewasa di Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah. Tema buku ini cukup berat: cinta beda usia dan perasaan dikhianati oleh negara sendiri, terinspirasi dari kisah atlet bulutangkis Indonesia yang akhirnya berjaya di negeri orang. Tapi intinya tetap tentang cinta. Selalu tentang cinta.
Acara itu berjalan cukup khidmat. Tak terlalu ramai, tapi kursi hampir penuh. Ryan menyampaikan pandangan, menjawab pertanyaan, dan menyelipkan puisi-puisi yang ditulis dalam sunyi. Di antara hadirin, dirinya tak tahu bahwa ada seorang gadis yang akan mengubah alur hidupnya perlahan-lahan.
Dia duduk di pojok belakang. Rambut hitamnya dikuncir setengah, wajahnya polos tanpa riasan mencolok, hanya membawa ransel yang tampak berat. Ryan bahkan tak menyadari kehadirannya, sampai ia berdiri mendekatinya usai sesi tanda tangan buku selesai.
"Mas Ryan?" suaranya pelan tapi jelas. Ia menyodorkan bukuku yang sudah lecek di ujungnya. "Boleh saya minta tanda tangan? Ini saya tadi beli di mbak-mbak yang di luar sana."
Ryan tersenyum, menerima bukunya, dan menandatangani dengan catatan kecil: Untuk pembaca yang tak sengaja menemukan cerita, semoga ini membawa pulang sesuatu.
"Namamu siapa?" tanya Ryan, sambil menatap matanya. Matanya jernih tapi dalam. Ada kejujuran yang tak dibuat-buat.
"Nuraini Senja. Tapi teman-teman panggil Nu," jawabnya.
Ryan mengangguk. Nama yang indah. Senja. Tak tahu kenapa, hatinya terasa hangat ketika menyebutnya dalam hati.
"Kamu mahasiswa?"
Dia tersenyum lalu menggeleng. "SMK. Kelas akhir. Saya ke sini awalnya nyari bahan buat tugas Bahasa Indonesia, suruh resensi novel. Tapi malah ketemu acara ini. Tertarik aja."
Ryan terkekeh pelan. "Tertarik sama bukunya atau... sama penulisnya?"
Nu menunduk malu, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Dari perkenalan singkat itu, Nu mencatat nomor kontak Ryan—alasannya untuk bertanya lebih lanjut soal isi novel. Dan Ryan memberikannya, mengira itu hanya sebatas interaksi pembaca dan penulis. Tak lebih.
Tapi dugaannya salah.
Pesan pertama masuk malam itu juga. Nu bertanya hal-hal sederhana: latar belakang karakter di novel, kenapa tokohnya memilih bertahan walau dikhianati, dan kenapa selalu ada luka dalam setiap karyanya.
Ryan menjawab sekenanya, tapi perlahan lelaki itu mulai menikmati percakapan itu. Ada rasa ringan saat berbicara dengannya. Dia mungkin lebih muda hampir dua dekade darinya, tapi caranya berpikir dan bertanya membuat Ryan lupa soal usia.
Hari berganti minggu. Pesan menjadi telepon. Telepon menjadi video call. Kadang Nu bercerita soal tugas sekolah, tentang guru yang galak, tentang teman yang menyebalkan. Kadang juga hanya ingin mendengar Ryan membaca puisi. Dan Ryan tanpa sadar, mulai menanti malam hanya untuk berbicara dengannya.
Ryan mencoba mulai mengenalnya lebih jauh. Nu tinggal bersama ibunya, Dewi, seorang janda yang membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Ayahnya sudah lama bercerai karena KDRT. Nu tidak banyak bercerita soal keluarga, tapi Ryan tahu dari raut wajah dan suaranya, hidup tak selalu lembut padanya.
Yang mengejutkan, Nu membaca semua novel-novel Ryan, baik versi cetak maupun yang bertebaran di beberapa aplikasi e-novel. Dia mengulasnya dengan cara yang sangat personal. "Mas, aku suka cara tokoh di ‘Yang Tersisa Dari Cinta' menerima kenyataan ditinggal. Rasanya kayak... aku sendiri pernah merasa ditinggal tanpa dimengerti."
Kalimat itu mengguncang Ryan. Tak banyak yang bisa membaca kedalaman karyanya seperti itu.
Lama-lama, Ryan tak bisa membohongi diri sendiri. Perlahan namun pasti, dirinya merasa jatuh hati. Bukan karena usianya. Bukan karena wajahnya yang segar atau tawanya yang jujur. Tapi karena kehadirannya menyembuhkan sesuatu dalam diri Ryan yang sudah lama beku. Dia mendengarkan, benar-benar mendengar, saat yang lain hanya ingin bicara tentang sosok Ryan.
Ryan tahu itu gila. Seorang penulis empat puluhan, jatuh cinta pada gadis SMK yang bahkan belum lulus. Tapi cinta bukan logika. Ia datang tak menunggu waktu tepat, tak peduli latar, usia, atau status.
Yang jadi masalah adalah... dirinya mulai takut.
Takut dunia menghakimi.
Takut Nu disakiti karena dekat dengannya.
Takut dirinya sendiri, yang mungkin hanya mencari pelarian dari kesepian.
Suatu malam, Ryan menanyakan hal itu pada Nuraini. Lewat telepon, saat suara hujan menyelimuti Semarang.
"Nu, kamu sadar kan... kita berbeda jauh. Aku bukan remaja lagi. Aku sudah melewati banyak luka. Kamu mungkin hanya terpesona sesaat."
"Aku tahu, Mas," jawabnya tenang. "Tapi aku juga tahu, kamu orang pertama yang membuat aku merasa dihargai bukan karena nilai atau rupa. Tapi karena cara aku berpikir."
Ryan diam. Tak mampu membalas. Dalam diam itu, dia tahu, dia tak bisa mundur.
Hingga suatu hari Nu mengirimkan pesan : "Mas, kalau aku lulus nanti, aku pengen ketemu lagi. Tapi bukan di perpus aja ya, aku juga pengen diajak makan... kepiting atau lobster. Tapi kamu jangan malu ya, bawa anak SMK makan bareng."
Ryan tertawa saat membaca pesan itu. "Kapan kamu tahu hasil kelulusan?"
"Tanggal 5 bulan depan. Tapi acara perpisahan tanggal 8, di Kopeng. Tapi... kayaknya aku nggak ikut."
"Kenapa?"
"Karena aku lebih milih ketemu Mas Ryan."
Ryan terdiam. Tak tahu harus senang atau khawatir. Tapi kubalas, "Kalau begitu, kita janjian ya. Ketemu lagi di tempat pertama kita ketemu. Perpustakaan Wilayah."
Dan Nu setuju.
-----
Hari kelulusan datang. Nu dinyatakan lulus. Semua temannya heboh merayakan, mempersiapkan perpisahan di Kopeng, kawasan wisata yang dikenal sejuk dan hijau dengan hutan pinus dan udara pegunungan yang bersih. Tapi Nu punya rencana lain.
Ia berbohong pada ibunya bahwa ia ikut rombongan perpisahan, menginap di villa bersama teman-temannya. Padahal sejak pagi ia sudah bersiap. Mengenakan dress pastel lembut yang mempermanis kulitnya, rambutnya diikat setengah dan dibubuhi sedikit parfum yang entah sejak kapan jadi favoritnya.
“Mas Ryan suka wangi segar,” begitu kata Nu saat membeli parfum itu.
Sementara itu Ryan sudah tiba di Perpustakaan Wilayah. Menyerahkan lima eksemplar novel yang belum lama dilaunching. Ibu Sundari, pustakawan yang ramah dan hangat menyambutnya seperti biasa.
"Wah, Mas Ryan, seneng banget bisa nambah koleksi baru dari Mas. Ini pasti banyak yang antre pinjam."
Ryan tersenyum. "Mudah-mudahan. Saya juga mau diskusi soal literasi nih, Bu. Rencana mau bikin program baca bareng di komunitas. Plus, saya lagi nulis novel baru."
"Wah, ditunggu! Yang kemarin temanya berat tapi banyak yang suka, lho!" katanya semangat.
Kami berbincang cukup lama hingga sebuah notifikasi muncul di ponsel Ryan.
>Nu: Mas, aku udah di depan. Udah lapar banget, ingat nggak janjimu?"
Ryan membalas cepat : Siap, Princess Senja. Let's go lobster-hunting.
Mereka pun meluncur ke RM Kampung Laut, sebuah tempat makan di atas air tak jauh dari Bandara Internasional Ahmad Yani. Nu terlihat sangat berbeda hari itu. Lebih dewasa, lebih anggun. Tapi tawanya tetap sama: renyah dan jujur.
Sambil menikmati kepiting saos padang dan lobster bakar, keduanya duduk di ujung restoran, memandang senja yang menggantung di ufuk barat.
“Mas, tahu nggak kenapa aku suka senja? Bukan karena namaku mengandung kata Senja,” tanya Nu sambil menyesap teh hangat.
Ryan menggeleng.
“Karena dia nggak buru-buru gelap. Dia sabar, pelan-pelan berubah. Sama kayak perasaan yang aku rasakan ke Mas.”
Ryan menatapnya, terdiam. Hari itu, Ryan tahu… cerita mereka benar-benar dimulai.
Di tengah senja yang menggantung, di restoran terapung itu, mereka tak perlu banyak kata. Hanya diam, hanya tatap. Tapi rasanya… lebih dari cukup.
Namun benih masalah juga tumbuh berbareng dengan itu. Seorang teman di media sosial mulai menanyakan siapa gadis yang sering muncul di kolom komentar puisi-puisi Ryan. Editor di media tempatnya bekerja juga mulai bertanya kenapa Ryan lebih sering menulis tema tentang cinta remaja akhir-akhir ini. Dunia mulai memperhatikan. Dan seperti biasa, dunia tak suka hal yang tak umum.
Sementara Ryan dan Nu semakin tenggelam dalam percakapan, tawa, dan rasa yang belum sepenuhnya mereka beri nama. Merekai belum berciuman. Bahkan bertemu untuk kali kedua pun belum bahkan belum bersentuhan secara fisik. Tapi jiwa mereka sudah merasa bersentuhan dengannya setiap malam.
Dan dari sinilah kisah itu bermula.
Ryan tak tahu ke mana arah cerita ini. Tapi satu hal pasti:
Dia, Ryan Aditya, tak lagi sendiri sejak senja memperkenalkannya pada Nu.