"Apa Marco masih di rumah sakit?" alis gadis itu mengerut, "Tapi rumah sakit mana?" Mika lupa bertanya dimana Marco dirawat.
"Atau mungkin dia sudah pulang ke kost?" Mika menetap rumah dengan bimbang, seolah dia akan melakukan perbuatan yang salah, "Bolos sesekali tidak akan jadi masalah, kan? Aku masih punya jatah absen." keputusan Mika sudah bulat, gadis itu menyalakan mesin mobilnya dan mengendarai sedannya menuju kost Marco yang terletak tidak jauh dari kampusnya.
Mika memakirkan mobilnya di depan minimarket karena gang kost Marco hanya bisa dilewati motor. Gadis itu naik ke lantai atas setelah melewati lorong-lorong sempit di lantai 1 yang sepi.
Mika membuka pintu kamar paling ujung tanpa mengetuknya dan mendapati sang kekasih terbaring diatas ranjang dengan mata terpejam lelah dalam posisi toples.
"Marco." Mika duduk di ranjang sempit itu, menatap Marco kasihan, "Andai kakak tidak datang, pasti kamu tidak akan dipukuli seperti ini." Mika mendekatkan wajahnya, berniat menghindu leher sang kekasih namun hidung gadis itu mengendus aroma lain dari sana. Sorot mata kelam itu juga mendapati sesuatu di leher kekasihnya.
"Huft..." Mika meniup tipis leher Marco, pemuda itu mendesah berat, "Jangan godain gue kalau nggak siap gue bikin Lo teriak keenakan dibawah tubuh gue." sebelum akhirnya matanya terbuka.
"Mika?" ada sorot kaget di mata Marco saat sadar bahwa Mika berada di kamarnya.
"Iya, ini aku. Memang siapa lagi?!" Mika menatap Marco dengan ekspresi curiga, "Apa maksud ucapan kamu tadi? Siapa yang bakalan kamu bikin enak?"
"Apaan sih? Nggak ada!"elaknya cepat, "Kupikir tadi aku bermimpi. Makanya kaget."
"Mimpi atau mimpi?"
"Lantas kamu mau aku jawab apa?"
"Kamu bohongkan? Ada bau parfum asing di badan kamu? Ada bekas kissmark juga di lehermu. Aku yakin tidak meninggalkan jejak disana."
"Kamu nuduh aku selingkuh? Selingkuh sama siapa? Kapan? Coba buka mata kamu, aku disini sendirian!"
"Aku tidak menuduhmu, aku hanya bertanya..."
"Apa bedanya dengan kamu menuduhku selingkuh? Kalau mau putus bilang saja jangan bertele-tele."
"AKU TIDAK MAU PUTUS! Sampai kapanpun kita tidak akan pernah putus, Marco." Mika meraih tangan Marco namun Marco menepisnya dengan kasar.
"Sorry Marco. Jangan marah, Ok? Sorry aku emosi apalagi pas denger ucapan kamu tadi..."
"Aku ngelindur! Ngerti nggak sih?!"
"Marco..."
"Apa?!"
"Maaf."Mika menggigit bibirnya keras sembari berpikir untuk memulihkan mood Marco yang marah karena ulahnya, "Oh ya, kamu sudah sarapan? Belum, kan? Aku pesankan makanan, ya." Mika mengambil ponselnya, menekan aplikasi online untuk pesan makanan, "Mau sarapan apa?"
"Nggak usah! Aku bisa makan mie instan, Mika. Stokku banyak." nada suara Marco masih tinggi, terlihat masih kesal.
"No. Jangan terlalu sering makan mie, tidak sehat. Kalau kamu keburu lapar, kita pesan makanan yang lokasinya dekat kost ini, Ok?" Mika memasang wajah sendu, memohon pada Marco.
"Hm." angguk Marco singkat bersamaan dengan diketuknya pintu kamar itu.
"Siapa? Temanmu mau datang?" Mika bertanya pada Marco namun pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Mika akhirnya membuka pintu karena pintu terus diketuk tanpa henti.
"Ternyata benar, kau berada disini." Suara itu tajam, Mika belum sempat bereaksi saat tangannya dicengkram dan tubuhnya diseret paksa.
"Lepaskan aku!" teriaknya keras sembari meronta-ronta, "Lepaskan aku, Damian b*****t!" Bukannya melepaskan adiknya itu, Damian justru membopong tubuh Mika, membawanya diatas pundak seperti karung beras.
"Lepaskan aku, b*****t!"
"DIAM MIKA! Berhenti berontak kubuat lumpuh b******n tengik itu."
"Aku akan membunuh kakak jika kau berani menyentuh Marco!"
"Kau yakin kau bisa membunuh kakakmu?!" seringai kejam terbit di bibir Damian, pria itu menatap Marco yang berdiri kaku disamping ranjang kecilnya, "Bodyguard urus pemuda itu sekarang!"
"Damian b*****t!" jerit Mika keras karena meninggalkan Marco dengan dua bodyguard Damian di dalam kamar sempit itu.
Mika memberontak tak terkendali dan teriakan melengking gadis itu mengundang penghuni kost keluar dari kamar mereka untuk melihat apa yang terjadi di lorong.
"Diam Mikaila!" Damian terpaksa mengikat ruang gerak serta mulut Mikaila demi mempermudah Damian membawa adiknya itu untuk pulang.
"Bruk!"
Tubuh Mika dilempar dengan kasar di sofa ruang tengah.
"Sret!" ikatan pada mulut gadis itu dibuka dan makian langsung diterima Damian detik itu juga.
"b******n b*****t! Bagaimana bisa kakak melakukan hal ini pada adiknya, hah?!" teriakan Mika melengking diikuti dengan nafas kasar penuh emosi.
"Aku akan laporkan hal ini pada Ayah! Ayah harus tahu bagaimana kelakuan anak tersayangnya."
"Kau mau melaporkan hal ini pada ayah?" Damian menyeringai kemudian mendekatkan wajahnya ke cangkir telinga Mika dan berbisik lirih disana, "Lakukan saja, Mika."