4.

986 Kata
"Kau pikir Ayah akan membelamu setelah kukatakan apa yang kutahu tentang kelakuanmu diluar sana?" Damian menakup wajah Mika dengan jemari besarnya, memaksa gadis itu untuk menatap manik tajamnya. "Ayah bukan orang bodoh yang mudah percaya pada orang. Beliau akan mencari kebenaran dari setiap kata yang dia dengar, jika beliau tidak suka dengan fakta itu, kau tahukan apa yang akan terjadi?" "Orang itu akan menghilang." Mika menelan ludah serat dengan keringat dingin membanjiri tubuh akibat rasa takut. Mengadu pada sang ayah bisa menjadi boomerang bagi dirinya sendiri dan paling buruk, Marco bisa kena getah atas ulahnya itu. Mika tidak mau Marco kenapa-kenapa. "JAWAB MIKA!" suara Damian menggelegar, penuh dengan emosi di wajahnya yang memerah hingga membuat Mika hampir berteriak ketakutan. "Ada ini, Damian?" suara lain datang, menginterupsi kakak dan adik itu dengan wajah bingungnya, "Kenapa kamu bentak adikmu seperti itu?" "Bunda." wajah Mika berubah cepat, gadis yang sebelumnya mematung kaku takut itu kini memasang raut sedih dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. Gadis itu mendorong tubuh sang kakak, berlari kecil kearah sang bunda dan memeluknya erat, mengadu. "Kenapa sayang? Apa yang dilakukan kakakmu padamu, hm?" Sang Bunda mengelus kepala Mika sebelum akhirnya membawa wajah sang putri dalam takupan jemari lembutnya sembari menghapus air mata yang perlahan turun dari manic gadis itu. "Kakak...hua...hua..." isak tangis itu semakin diikuti dengan air mata yang mengalir di wajahnya yang memerah. "Mika, jangan nangis." Luna kembali memeluk putri kecilnya itu saat si bungsu tak kunjung berhenti menangis, mengelus punggung rapuhnya untuk menenangkan. "Apa yang kamu lakukan pada adikmu, Damian?!" wajah lembut yang biasanya penuh senyum kini menatap Damian tajam. "Kami sedang berdiskusi." "Diskusi apa?" Luna marah, "Yang bunda lihat tadi bukan diskusi tapi kau bentak-bentak adikmu sampai dia menangis." Luna melepaskan pelukannya pada Mika dan membawa tangan gadis itu, "Lihat! Ini yang kamu lakukan pada adikmu?" memar keunguan tercipta jelas di tangan Mika, "Ini yang kamu bilang diskusi?" Luna menarik nafas panjang sembari menepuk dadanya yang kini mulai terasa sesak dan perih atas ulah Damian pada adiknya. Kenapa Damian tidak bisa bersikap lembut pada Mika seperti sulungnya itu bersikap lembut pada Desyana, sepupunya. "Tolong Damian, Bunda mohon padamu jangan pernah sakiti adikmu. Tolong jangan buat Bundamu ini berpikir kalau kalian sebagai saudara tidak pernah akur." Luna mencengkram tangan Mika saat tiba-tiba kakinya tidak bisa menopang tubuhnya lagi namun Luna segera menatap Damian tajam saat anaknya itu hendak mendekat membantunya. "Bunda!" Mika memeluk tubuh sang ibu, "Bunda tidak apa-apa?" "Tolong bawa bunda keluar, bunda butuh udara segar untuk nafas bunda." "Ok." Mika memapah sang ibu, mengikuti langkah kaki wanita paruh baya itu pergi ke halaman samping dimana udara jauh lebih segar dan teduh. Sebelum pergi, Mikaila menolehkan kepalanya pada sang kakak, menatap pria itu dengan seringai licik di wajah cantiknya. 'Kalau Lo punya ayah buat memperlancar dan nekan gue, maka gue punya Ratunya. Lo nggak akan bisa berkutik lawan gue karena gue tahu setiap kata yang keluar dari bibir gue akan berpengaruh besar buat kesehatan Bunda dan gue tahu Lo nggak akan mau bunda kenapa-napa.' "Apa yang katakan pada Bunda?" Mika meninggalkan sang bunda di halaman samping sesuai permintaan wanita itu dan Damian langsung mencekal tangannya. "Menurut kakak apa yang kukatakan pada Bunda?" "Jangan macam-macam, Mika!" "Kalau tidak mau aku macam-macam, turuti permintaanku." Mika menarik pundak sang kakak agar posisi pria itu sejajar dengannya kemudian berbisik di telinga pria itu, "Lepaskan Marco." Mika lantas menepuk pundak sang kakak berulang kali, "Kalau kakak tidak menuruti permintaanku, tahukan apa yang akan kukatakan pada Bunda?" manic itu menatap Damian dengan tatapan polosnya. "Cepat beri tahu bodyguardmu sana, kutunggu." senyum Mika terbit dengan manisnya sebelum pergi meninggalkan sang kakak untuk keluar rumah. Kemana lagi? Tentu saja menemui sang kekasih hati, Marco. Mika memakirkan mobilnya di tempat biasa kemudian naik ke kamar Marco. Gadis itu membuka pintu dan mendapati Marco seorang diri di kamarnya yang kini mirip kapal pecah. "Mereka nggak ngapa-ngapain kamu, kan?" Mika menginspeksi tubuh sang kekasih secara detail, mencari luka baru di tubuh pemuda itu. "It's Ok, Mika. Mereka nggak nyentuh aku." Marco tersenyum tipis pada Mika saat gadis itu menakup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Syukurlah." desah lega Mika, "Tapi lihat, kamarmu sekarang berantakan banget. Mereka pasti sengaja hancurin kamar ini sebelum pergi." "It's Ok. Aku bisa rapiin lagi." "Marco. Gimana kalau kamu pindah kost aja." "Kenapa mesti pindah? Aku sudah bayar kamar ini setahun full. Sayang uangku." "Tapi kamar ini udah nggak layak ditempati." "Mika, kamu tahukan kalau aku ingin belajar hidup mandiri? Aku nggak mau menyia-nyiakan sepeserpun uang orang tuaku." "Yang minta kali ini, aku." "Kemarin kamu udah bayar biaya rumah sakitku, Mika. Lagian kamu juga harus ngerti posisiku, bagaimana kalau kakakmu ngamuk lagi? Aku lagi yang kena." "Maaf." Mika semakin merasa bersalah pada Marco atas perbuatan Damian, "Tapi kali ini aku jamin, kakakku tidak akan mengganggumu." "Marco..." Mika meraih tangan Marco dan meremas tangan kekasihnya itu, "Pindah yuk. Aku punya rekomen kost bagus dan layak buat kamu. Tempatnya lebih nyaman dan aku bisa lebih leluasa main kesana. Mau, ya. Please..." "Ok." "That's my boy." Mika tersenyum lebar dan langsung mengecup pipi Marco senang, "Kita pindah hari ini juga." "Ya terserah kamu. Aku ikut aja apa kata kamu." ucap Marco pasrah saat Mika mulai mengambil koper milik Marco dan memasukkan baju-baju pemuda itu kedalamnya. "Sudah. Ayo!" Tangan Mika terulur, meminta Marco untuk menyambutnya. "Ayo." tangan Mika disambut Marco dan pintu kamar kost yang sempit itu akhirnya ditinggalkan oleh pemiliknya. Sementara itu Damian yang mendapatkan kabar bahwa Marco dan Mika keluar dari kost kecil dengan koper itu mendesah kesal dan menutup sambungan teleponnya. "Apa yang harus saya lakukan pada mereka, Tuan?" "Biarkan saja. Kita lihat sejauh mana tindakan yang akan mereka ambil." Damian memutus sambungan teleponnya dan meletakkannya diatas meja. "Apa yang akan kau lakukan pada anak itu Damian?" Alex yang sedari tadi duduk di depan si sulung akhirnya bersuara. "Ayah tenang saja, anak bandel itu akan Damian urus dengan baik." "Ayah serahkan dia padamu karena ada hal penting yang harus ayah lakukan ,Damian."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN